Share

bab 4. Saling merindu

"Kamu begitu tampan, Kak. Zahra bahagia sekali lihat Kakak yang sudah banyak berubah." Zahra mengingat kembali wajah tampan Erlangga tadi. "Aku hanya bisa berharap Kakak tidak melupakanku, walau kita tak mungkin bisa bersatu." Zahra memejamkan matanya agar sedikit meredam rasa rindunya pada Erlangga.

"Jika aku boleh jujur, Kak. Aku masih sangat mencintaimu, Kak," lirih Zahra lagi dengan tetesan air matanya.

Di kamar Malik ...

Setelah Malik dan Erlangga bersalaman. Malik memutuskan untuk pulang dan tidak menunggu sampai acara selesai. Yudistira pun tak mungkin bisa mencegahnya karena Malik berkata penyakitnya kambuh lagi. Padahal tanpa Yudistira tahu, jika sebenarnya pertemuan dengan sang putralah yang membuat Malik memilih untuk pulang lebih dulu.

Rasa bangga dan sinar bahagia saat Malik memperkenalkan calon menantunya hampir pada semua rekan kerjanya. Hilang padam saat Malik tahu siapa CEO yang sukses di usia muda itu. Tentu saja Malik sangat shok, karena ternyata pria muda itu adalah pria yang dulu di makinya karena penampilannya yang urakan.

"Astaghfirullah ... ya Allah, ampuni aku," lirih Malik menyesali perbuatannya. "Apa aku terlalu sombong?" Malik mengusap wajahnya menyesal atas kesalahannya dulu.

Malik masih terus kepikiran pada ucapan Erlangga saat dirinya melewati pintu ke luar. Di mana ternyata Erlangga menunggu dirinya. Hanya saja Erlangga tak menampakkan dirinya di depan Zahra lagi.

"Saya masih sangat mencintai Zahra, Om. Apa sekarang saya sudah bisa mendapatkan restu untuk melamar Zahra kembali? Bukankan saat ini saya sudah memiliki masa depan yang baik?"

Ucapan Erlangga yang santai penuh penekanan itu membuat jantung Malik semakin berdetak kencang. Malik merasa dirinya begitu buruk menjadi seorang Ayah. Buruk karena tak membiarkan putrinya hidup dengan pria yang dicintainya.

Malik menyesal karena dulu tak memberi kesempatan pada Erlangga untuk membuktikan cinta tulusnya pada sang putri. Sehingga dirinya harus memisahkan putrinya dengan pria yang di cintainya. Namun, nasi sudah jadi bubur. Penyesalannya tak mungkin bisa mengembalikan cinta Erlangga pada putrinya. Apalagi kini putrinya pun sudah di jodohkan dan sebentar lagi akan menikah.

"Maafkan Ayah, Zahra," lirih Malik lagi terus menyesali perbuatannya.

Aisyah, sang istri merasa iba pada suaminya yang begitu shok dan menyesal pun berusaha untuk menenangkan. "Ayah ... sudah, semuanya sudah terjadi. Mungkin ini memang sudah jalan dan takdir untuk putri kita. Jika memang mereka berjodoh, mereka pasti akan kembali bukan?"

"Ini semua karena aku terlalu sombong, Bu. Aku ...." Malik sudah tak bisa mengatakan apapun selain menyesal karena telah memisahkan putrinya dari pria yang dicintainya.

"Sudah Ayah, jangan terlalu di pikirkan. Mungkin Erlangga bukan jodoh untuk Zahra. Lagi pula Andi pun mencintai Zahra bukan? Mungkin Andi lah jodoh untuk putri kita," tutur Aisyah menenangkan Malik.

Malik menoleh pada istrinya dengan sendu. Berkali-kali Malik berusaha untuk tetap pada keegoisannya tapi ternyata perasaan menyesal itu selalu kembali. Malik baru sadar jika dirinya sangat egois telah memisahkan dua orang yang saling mencintai. Akan tetapi, Malik pun tak bisa berbuat apa-apa lagi, karena Andi pun adalah putra dari sahabat baiknya.

"Ibu tolong panggil Zahra. Ayah ingin bicara dengannya, Bu."

"Ibu panggilkan, Ayah."

Tak lama dari kepergian Aisyah, pintu kamar kembali terbuka. Malik melihat wajah sang putri dengan penuh penyesalan. Apalagi mengingat putrinya yang penurut bahkan bisa di katakan jika apapun perkataannya tak bisa di tentang termasuk memisahkan Zahra dengan Erlangga.

Malik menarik napasnya panjang mencari tenaga. "Ra, Ayah minta maaf."

Zahra masih menunduk tak ingin menatap wajah ayahnya. "Untuk apa, Ayah?"

Malik menatap Zahra dengan sadar jika putrinya mungkin marah padanya. "Untuk ...."

"Sudahlah, Ayah. Jangan sampai Kak Andi tahu jika ternyata Zahra pernah mencintai pria lain. Bahkan mungkin sampai sekarang Zahra masih sangat mencintainya," ujar Zahra sedikit lantang. "Jangan menggali rasa sakit hati Zahra dengan permintaan maaf itu, Ayah," ujarnya lagi dengan deraian air mata, lalu Zahra pun beranjak pergi.

"Astaghfirullaah Ra, tidak baik seperti itu pada Ayah!"

Zahra tak menghiraukan omelan dari ibunya. Malik memberi isyarat pada istrinya untuk membiarkan Zahra pergi saat ini. Malik tahu jika Zahra pasti butuh waktu untuk menenangkan diri karena luka di hatinya kembali tergores oleh pertemuannya dengan Erlangga.

Hati Zahra sedikit egois karena cintanya pada Erlangga memang masih selalu di jaganya. Namun, Zahra pun tak mungkin menyakiti hati Andi. Karena menurutnya Andi tak salah dan memang Andi pun sangat mencintai Zahra.Malik kali ini tak bisa menyangkal atas ucapan putrinya.

Malik hanya bisa bersadar diri karena sekarang semuanya sudah terlanjur terjadi. Malik tak mungkin membatalkan perjodohan Zahra dengan Andi. Selain Andi putra dari sahabat dekatnya, Andi pun terlihat sangat mencintai Zahra. Terlihat dari tutur kata dan cara bersikap Andi pada Zahra yang begitu mengerti dan perhatian. 

*****

Zahra membuka kembali kotak berukuran kecil itu dengan tangis yang menyayat. Satu persatu di ambilnya isi dari kotak itu. Mulai dari sebuah kalung berinisial E&K. Lalu sebuah foto kecil yang terlihat di dalamnya dua insan tengah tersenyum bahagia menikmati jalanan sore.

Foto itu di ambil saat Zahra dan Erlangga ingin melihat sunset dari jalanan layang di mana selalu menunjukkan sunset yang indah.

Air mata Zahra terus mengalir membasahi pipinya. Sesak itu kembali mendera hatinya, pikirannya pun terus menggali semua kenangan indah itu. Tak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah dengan takdir yang sudah terjadi padanya. Mungkin Erlangga memang bukan jodohnya.

"Aku masih mencintaimu Kak, hik," ucap Zahra dengan sangat lirih karena sesak di hatinya.

Di tempat lain, tepatnya di balkon kamar. Seorang pria muda nan tampan tengah menatap lurus ke depan dengan tatapan penuh arti. Tangannya sedikit mengepal lalu matanya memejam merasakan gejolak rindu dan cintanya.

"Aku rindu padamu, Ra. Maaf aku tak menyapamu, aku tak ingin membuatmu mengingatku kembali. Karena mungkin kamu pun sudah bahagia dengan pria pilihan ayahmu. Aku minta maaf karena aku telat datang padamu. Membuatmu harus menerima perjodohan itu."

Kepalan tangan itu semakin erat lalu pindah pada dadanya yang sesak. Rasa rindu dan cinta yang selama ini berusaha di tahannya, kini kembali bergejolak. Sekalipun dirinya menepis rasa itu, tapi tetap saja hatinya tak bisa.

"Apa aku tak punya kesempatan lagi untuk bersamamu, Ra?" tanya Erlangga pada dirinya. "Jika aku masih di beri kesempatan untuk kembali, aku berjanji tidak akan menyakitimu, Ra. Aku sangat mencintaimu."

Baik Erlangga maupun Zahra. Ternyata mereka masih menjaga dan menyimpan rasa cinta mereka dengan baik. Walau pun mungkin cinta mereka tak akan bisa bersatu. Setidaknya mereka masih bisa mengenang masa-masa indah saat bersama dulu. Erlangga mengira jika Zahra kini telah melupakannya karena kini Zahra sudah mempunyai calon suami. Begitu pun Zahra yang mengira jika Erlangga sudah melupakannya, karena bahkan tadi saat di acara pesta Erlangga tak ingin menyapanya.

Hanya langit yang sang pemilik keindahan yang tahu bagaimana hati mereka saat ini. Mereka hanya bisa merasakan rasa rindu yang tak mampu disampaikan karena terhalang masa lalu kurang baik. Padahal cinta mereka masih sangat besar satu sama lain. Hanya saja karena mereka mengira jika waktu telah menghapus semua rasa satu sama lain. Untuk itu, mereka tak ingin mengulang kembali rasa itu karena takut terluka lagi.

"Aku akan menunggumu kembali padaku, Ra." Erlangga menghembuskan napasnya. "Ku mohon kembalilah, walau itu tak mungkin tapi itu doaku," lirinya lagi dengan dada yang begitu sesak.

"Er ...," panggil papa dari Erlangga, Yudistira. "Apa kamu baik-baik saja, Nak?"

Erlangga menoleh pada Yudis. "Insya Allah, Er baik-baik saja, Pah."

Yudis pun lega karena Erlangga baik-baik saja. Walau pun tadi sempat khawatir karena Erlangga seperti tertekan memikirkan sesuatu. Akan tetapi, Yudis pun menepis pikira itu karena Erlangga tersenyum kembali saat bercerita dengannya.

Erlangga tak ingin papanya khawatir akan dirinya. Oleh sebab itu, Erlangga buru-buru menepis pikirannya tentang Zahra, agar sang papa tak curiga jika dirinya tengah gundah. Erlangga pikir belum saatnya papanya tahu akan hubungannya dengan Malik dulu.

Zahra semakin mengurung diri karena hatinya kembali terluka. Untung saja Andi selalu sabar akan keadaan dan sikap Zahra yang terkadang masih kekanakan. Walau sebenarnya usia Zahra dan Andi tak jauh, tapi Andi memang lebih dewasa sangat sabar dan baik hati.

"Ra, enggak boleh begitu. Makan ya! Nanti kamu tambah sakit kalau tak makan," ujarnya sangat lembut.

Malik berkata pada Andi jika Zahra sedikit tak enak badan. Maka dari itu Zahra mengurung diri di kamar. Andi yang begitu baik dan perhatian tentu saja khawatir jika terjadi sesuatu pada Zahra.

"Makan sedikit saja, Ra. Aku suapin, aaa'."

Zahra menatap Andi dengan dalam. Hati Zahra masih egois menginginkan dirinya kembali pada Erlangga. Akan tetapi, saat menerima perhatian dari Andi, hati Zahra langsung sadar jika pasti akan ada hati yang tersakiti lagi.

'Ya Allah, mungkin ini takdirku. Mungkin jodohku memang Kak Andi bukan Kak Erlangga. Sadarkan aku, ya Allah. Hapuslah nama Erlangga dalam hati ini,' lirihnya dalam hati lalu menerima suapan dari Andi dengan deraian air mata, membuat Andi sedikit heran tapi tak ingin bertanya lebih dulu dan membiarkan Zahra makan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status