Share

9. Pemaksaan

Saat memasuki jam makan siang, Davie berencana akan makan di kantin. Pria itu berjalan dengan santai menuju kantin perusahaan. Davie menghampiri salah satu etalase penjual soto ayam. Ia memesan untuk satu porsi beserta minuman untuk dirinya sendiri. Sebelum ke kantin, Davie sempat mengirim pesan singkat pada Ileana dan mengajaknya makan siang bersama. Tapi sayang, wanita itu menolaknya. Davie mengerti maksud dari penolakan Ileana tadi. Ia juga tidak bisa memaksakan keinginannya.

Sembari menunggu hidangan datang, Davie melihat ponselnya dan duduk di sudut kantin yang dekat dengan jendela. Ada beberapa pesan singkat dari teman-teman lamanya yang mengajaknya untuk ikut dalam acara reuni SMA. Selain melalui pesan singkat, pengumuman acara reuni itu juga ada di grup alumni SMAnya. Davie membaca satu per satu isi pesan yang ada dalam grup tersebut. Banyak yang menyetujui dan ikut berpartisipasi dalam acara reuni yang akan berlangsung minggu depan.

"Hhh!" Davie menghela napas berat. Hatinya bimbang untuk menerima ajakan dari teman-temannya itu. Ia memang tidak terlalu suka menghadiri acara-acara seperti itu. Apalagi ada Naura. Davie sudah malas melihat Naura semenjak kejadian Ileana difitnah oleh Naura sebagai pelakor.

"Pak Davie."

Davie masih melamun. Belum menyadari ada seseorang yang sedang memanggilnya berulang kali.

"Pak Davie."

Lagi-lagi tidak ada jawaban. Sampai akhirnya, Davie tersentak saat lengannya sedikit digoyang oleh seorang wanita yang sudah duduk berhadapan dengannya. Davie menatap Tiara yang tengah tersenyum manis padanya. Seketika ekspresi Davie berubah menjadi dingin.

"Ada apa?"

"Bapak sendirian aja di sini? Ileana mana?" tanya Tiara yang selalu berusaha akrab dengan Davie.

Davie menatap ponsel lalu berkata, "Bukan urusanmu."

"Pak, saya kan cuma tanya." Tiara berusaha sabar menghadapi sikap dingin Davie. "Oh iya, saya boleh makan di sini nggak, Pak?"

Davie kembali menatap Tiara sekilas, kemudian melihat ke sekeliling kantin. Setelah itu ia menatap Tiara lagi dan berkata, "Masih banyak kursi kosong. Silakan cari kursi yang lain. Jangan ganggu saya."

"Bapak kok gitu sih sama saya? Coba kalau sama Ilea, Bapak pasti lebih peduli. Bapak nggak boleh pilih kasih loh sama karyawan," protes Tiara.

Davie meletakkan ponselnya ke atas meja, lalu menatap Tiara dengan tatapan yang tak kalah tajam dari pisau. Begitu tajam dan menusuk. "Kamu siapa? Kamu nggak berhak atur-atur saya mau dekat sama siapapun. Itu hak saya. Jadi, jangan paksa saya untuk dekat sama kamu. Ilea itu beda. Dia istimewa bagi saya."

"Tapi, apa bagusnya dia, Pak? Dia itu bau oli, terus kotor. Dia nggak pantes dapat perlakuan istimewa dari Bapak loh. Selain itu, sifatnya juga arogan dan nggak sopan sama Bapak."

"Terus, siapa yang pantes menurut kamu?" tanya Davie dengan nada bicara tidak suka.

"Saya." Tiara menunjuk dirinya sendiri dengan penuh percaya diri yang tinggi. "Menurut saya, Bapak itu harus istimewain saya. Saya lebih pantes karena saya termasuk tipe cewek yang Bapak suka, kan?"

Davie justru mendecih sambil menyeringai. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan seorang wanita yang begitu percaya diri mengatakan dirinya pantas diistimewakan seperti itu. "Memangnya nggak ada kandidat lain selain kamu?"

"Enggak ada, Pak. Cuma saya doang," jawab Tiara dengan mantap.

"Hhh!" Davie menghela napas berat. "Saran saya, jangan terlalu percaya diri. Nanti kamu bisa sakit sendiri. Tipe cewek yang saya suka itu bukan kamu, tapi Ilea."

Tiara langsung menggenggam tangan kanan Davie yang terletak di atas meja. Ia menggenggamnya dengan erat sampai membuat Davie terkejut. "Pak, saya mohon, jadiin saya pacar Bapak. Saya sukaaa banget sama Bapak. Dari awal ketemu Bapak, saya udah naksir berat. Saya mohon, Pak, jadian sama saya ya."

"Kamu udah nggak waras ya?" Davie berbicara sambil berusaha menarik tangannya dari genggaman Tiara. "Lepasin tangan saya!"

Tiara menggeleng. "Enggak, Pak. Saya nggak akan lepasin Bapak sampai kapanpun. Saya udah coba tahan untuk nggak paksa Bapak. Tapi kali ini, saya nggak bisa tahan lagi. Perasaan saya udah mendarah-daging buat Bapak."

"Tiara, lepasin saya!" ucap Davie tegas sambil berdiri. "Jangan paksa saya untuk suka sama kamu. Saya nggak ada rasa apapun untuk kamu. Jadi, apa yang kamu lakuin ini percuma aja. Buang-buang waktu."

"Enggak, Pak. Ini nggak buang-buang waktu. Saya tulus cinta sama Bapak. Saya nggak rela kalau Bapak sampai dekat ataupun jalin hubungan sama cewek lain. Saya nggak akan pernah rela, Pak."

Davie menarik paksa tangannya dari genggaman Tiara sampai akhirnya terlepas. "Dengar ya, saya ini bukan tipe cowok yang mudah dipaksa. Kalau saya bilang nggak suka, selamanya bakal tetap kayak gitu. Kamu nggak berhak minta saya supaya suka sama kamu. Permisi."

Pria itu hendak pergi dari kantin, namun tanpa disangka, Tiara justru berlutut di hadapan Davie sambil memohon dan menangis. Bahkan Tiara memeluk kaki jenjang Davie dengan erat sekali. Davie meminta untuk dilepaskan, namun Tiara enggan melepasnya.

"Saya nggak akan biarin Bapak pergi, sebelum Bapak terima cinta saya. Bapak harus jadi pacar saya sekarang juga. Harus," ucap Tiara.

"Ini pemaksaan namanya!"

"Saya nggak peduli apa yang Bapak bilang. Pokoknya saya bakal tetap kayak gini sampai Bapak terima cinta saya." Tiara tetap bersikeras.

Davie tidak menanggapi ucapan Tiara lagi. Ia masih terus berusaha melepaskan diri dari Tiara. Dekapan wanita itu di kakinya sangat kuat. Tapi Davie berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan dekapan itu. Sampai akhirnya, Tiara tersungkur ke lantai setelah Davie mendorong paksa tubuh wanita itu.

Sebelum beranjak pergi, Davie berkata tegas pada Tiara, "Saya nggak akan pernah maafin kesalahan kamu hari ini!"

Davie bergegas pergi sebelum Tiara menahannya lagi. Ia mengabaikan teriakan Tiara yang memanggil namanya dan mengancam akan bunuh diri jika permintaannya tidak dikabulkan oleh Davie. Beberapa karyawan kantor yang melihat kejadian itupun tampak menatap Tiara sambil mencibir. Bukan hanya Davie yang tidak suka dengan pemaksaan itu, para karyawan yang melihat juga tidak suka. Mereka memang menyukai dan menganggumi Davie. Tapi tidak pernah memaksa Davie untuk membalas perasaan mereka. Tidak seperti Tiara yang memang selalu berusaha mendekati Davie dan mencari perhatian dengan cara apapun.

Davie masuk ke ruangannya dan menutup pintu dengan keras. Pria itu terlihat kesal karena ulah Tiara. Padahal tadi perutnya sudah sangat lapar. Tapi setelah adegan pemaksaan yang dilakukan Tiara, Davie kehilangan nafsu makannya. Bahkan makanan yang dipesannya sudah tak dihiraukan lagi. Untung saja Davie sudah membayarnya terlebih dulu.

Pria itu duduk bersandar di kursi sambil menghela napas berat dan menyibakkan rambut depannya ke belakang. Kedua matanya terpejam. "Sial banget hari ini. Bisa-bisanya Tiara berbuat nekad kayak gitu. Bikin malu aja."

Suara dering telepon mampu menyadarkan Davie yang tengah frustrasi saat ini. Ponsel yang ada di saku celananya langsung ia ambil dan menerima panggilan telepon dari Ileana.

"Halo, Ilea," jawabnya.

"Halo. Itu Tiara beneran nembak kamu di kantin?"

Pertanyaan Ileana langsung membuat Davie mendengus kesal. "Iya."

"Terus, kamu tolak?"

"Iya. Kenapa?"

"Ya nggak apa-apa sih."

Davie mendecak kesal. "Terus, ngapain kamu tanya?"

"Dih, kok sewot? Aku cuma mau pastiin gosip yang beredar aja. Emang salah?"

Davie langsung mengernyit dan menegakkan tubuhnya di kursi. "Gosip?"

"Iya. Emang kamu nggak tahu?"

"Enggak. Gosip apa?" tanya Davie penasaran.

"Gosip soal kamu ditembak sama Tiara di kantin loh. Aku dengar dari beberapa karyawan yang lewat dekat ruang engineering."

Davie mendecak kesal lalu berkata, "Ya ampun. Gitu aja langsung jadi gosip ya. Heran."

"Ya elah. Kamu tuh famous di sini. Jadi, jangan heran soal itu. Waktu kita makan siang bareng aja, gosipnya langsung nyebar."

"Hhh! Memang susah ya jadi orang famous. Ngelakuin apa aja pasti jadi sorotan. Capek juga kadang-kadang," ucap Davie.

"Dih, sok narsis!"

Davie langsung tertawa. Seketika moodnya membaik karena Ileana. "Oh iya, nanti malam kamu sibuk nggak?"

"Sibuk. Kenapa emangnya?"

"Sibuk apa?" tanya Davie.

"Kepo."

Davie tersenyum mendengar jawaban Ileana. "Aku nggak kepo kok. Cuma mau tahu aja kesibukan kamu."

"Sama aja itu. Udah ah, aku mau istirahat dulu. Bye!"

Panggilan langsung diakhiri oleh Ileana. Padahal Davie masih mau mengobrol tentang banyak hal dengan wanita itu. Mungkin nanti malam, Davie akan mengunjungi rumah Ileana. Mereka akan lebih leluasa mengobrol di sana.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Maria Madhury
urat malunya kemana itu neng??...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status