LOGINSepeninggal Jeandra, Zelena hanya bisa berbaring lemah di tempat tidur. Demamnya tidak kunjung reda. Tubuhnya panas seperti dibakar, tetapi tangannya dingin dan gemetar. Setiap kali ia mencoba berdiri ia kembali jatuh ke tempat tidur.
Ia sudah meminum sisa obat penurun panas yang ditemukannya di laci, tetapi tidak banyak membantu. Melihat jam sudah menunjukkan pukul enam sore, Zelena memaksakan diri untuk bangun. Dengan sisa tenaga yang ada, Zelena berjalan terhuyung ke kamar mandi sambil berpegangan pada dinding. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, yang langsung membuatnya menggigil semakin hebat. Saat Zelena keluar dari kamar mandi, Jeandra sudah berdiri di depannya. Lelaki itu baru saja pulang. “Ada acara makan malam keluarga malam ini,” beritahunya datar. “Aku nggak bisa ikut, Je, aku masih sakit,” tolak Zelena lemah. Penolakan itu membuat Jeandra menunjukkan sedikit ketidaksenangannya. “Jangan cari masalah. Kamu udah cukup buruk di mata keluargaku. Kalau kamu nggak ikut, mereka akan bertanya kamu ke mana. Dan aku harus bilang apa? Bahwa istriku nggak bisa ikut gara-gara manja kayak anak kecil?” Jeandra masih saja meremehkan keadaan Zelena, padahal kondisinya sangat mengkhawatirkan. “Aku takut pingsan di sana dan merepotkan orang lain.” “Sudahlah, Zel, jangan berlebihan,” jawab Jeandra yang tampak muak. Zelena terdiam. Jeandra bersikap seolah Zelena memang sedang mencari perhatian. Padahal, sejak pagi ia berjuang sendirian. Demam tinggi, muntah, dan hampir jatuh di kamar mandi. “Je, tapi—“ Jeandra mendekat, menatap Zelena dengan lebih intens. “Apa sulitnya datang ke sana? Kamu hanya perlu duduk manis dan senyum sama semua orang.” “Tapi aku benar-benar nggak kuat.” Ekspresi Jeandra sedikit mengeras. “Aku nggak nanya kamu kuat atau nggak. Kamu harus ikut,” titah Jeandra tidak ingin dibantah. Jeandra berjalan menuju lemari. Ia mengambil sebuah gaun milik Zelena, lalu melemparnya ke tempat tidur. “Pakai ini. Jangan bikin aku ngomong dua kali.” Zelena memandang gaun itu dengan tatapan sayu. Tubuhnya terasa lemah, seluruh persendiannya nyeri, dan kepalanya seperti dipukul palu. Namun ia tahu, menolak hanya akan membuat Jeandra semakin tidak senang. Dengan lesu ia mengambil gaun itu dan mengenakannya dengan gerakan yang sangat lambat. Zelena memaksa diri melangkah ke cermin. Rambutnya berantakan, wajahnya benar-benar pucat. Tangannya gemetar saat mencoba mengaplikasikan sedikit riasan. Namun, tetap saja tidak bisa menutupi keadaannya. Tepat pukul tujuh malam mereka tiba di kediaman orang tua Jeandra. Seluruh keluarga sudah berkumpul. Begitu Jeandra dan Zelena melangkah masuk ke ruang makan keluarga besar itu, suasana langsung hening beberapa detik. Semua orang memandang ke arah mereka, lebih tepatnya ke arah Zelena. Namun, tidak ada yang menyapa Zelena. Semua hanya tersenyum kepada Jeandra. “Selamat malam semuanya, maaf sedikit terlambat.” Jeandra menyapa sebelum duduk. “Nggak apa-apa, Je. Kamu, kan, baru pulang dari kantor. Bukan pengangguran yang kerjanya hanya tidur seharian,” jawab ibu Jeandra. Zelena tahu, sindiran itu ditujukan padanya. Ia memilih untuk tidak menanggapi. “Zelena, kamu pucat,” komentar Tante Wita, salah seorang tante Jeandra. Namun, nadanya bukannya khawatir, melainkan mengejek. “Apa karena terlalu banyak tidur ya, Zel? Itu sebabnya kamu nggak bisa hamil. Tidur-tiduran terus nggak baik untuk kesehatan. Harus aktif, harus sehat. Jangan malas. Perempuan yang malas rahimnya juga jadi malas.” Telinga Zelena terasa panas oleh hinaan itu. Apalagi beberapa orang tampak tertawa. “Aku nggak malas, Tante. Aku lagi—“ “Lagi apa?” potong Tante Wita cepat. “Lagi capek? Lagi nggak enak badan? Ya gimana mau hamil kalau sakit-sakitan terus?” Zelena diam. Ia tidak malas. Ia tidak tidur-tiduran karena ingin bermanja-manja. Ia sakit. Tubuhnya benar-benar sakit. Tetapi tidak ada yang mau mendengar. Ia berharap Jeandra akan membelanya. Namun, lelaki itu malah sibuk berbicara dengan sepupunya di sebelah. “Kamu udah ke dokter kandungan belum, Zel?” tanya tante yang lain dengan nada sok prihatin. “Atau kamu takut? Biasanya perempuan yang mandul itu suka paranoid sendiri.” Zelena tidak mandul. Dulu ia pernah dua kali mengandung, tetapi tidak bertahan lama. Kandungannya yang lemah membuat Zelena mengalami keguguran, juga sebanyak dua kali. Dan ia tidak pernah berani bercerita pada keluarga ini. Karena ia tahu, mereka hanya akan mencemooh dan menyalahkannya, karena pada dasarnya mereka tidak suka pada Zelena. Satu-satunya yang sayang pada Zelena hanyalah nenek Jeandra. Tetapi sayang, wanita tua itu sudah tiada. “Oh, atau jangan-jangan kamu memang sudah periksa dan hasilnya buruk?” tanya sepupu perempuan Jeandra dengan nada penasaran yang terdengar seperti ingin bergosip. Ia menyipitkan mata menatap Zelena dari atas hingga bawah. “Karena kalau melihat dari kondisi tubuhmu, sepertinya kamu yang bermasalah.” “Aku sudah—“ “Sudah apa?” potong tante yang lain sambil menyuapkan makanan ke mulutnya. “Sudah coba? Sudah usaha? Tetapi hasilnya tetap nol, kan? Sudah berapa tahun menikah? Satu? Dua?” “Tiga tahun,” jawab ibu Jeandra menyela. “Tiga tahun dan masih nggak ada tanda-tanda apa pun.” “Ya Tuhan, sayang sekali,” ujar Tante Wita sambil menggelengkan kepala. “Jeandra itu laki-laki sempurna. Wajahnya tampan, keuangannya mapan, masa nggak dikaruniai keturunan karena istrinya bermasalah?” Bibir Zelena bergetar halus. Dengan suara nyaris tidak terdengar ia mencoba menyangkal. “I-itu bukan karena aku nggak—“ “Kamu jangan membantah orang tua,” tegur ibu Jeandra, tatapannya menyorot Zelena dengan tajam. “Perempuan kalau belum bisa memberi keturunan ya harus tahu diri.” Suasana meja makan kembali dipenuhi gumaman, bisikan, senyum mencemooh, dan tawa kecil, yang semua mengarah pada satu orang, yaitu Zelena. Situasi itu membuat Zelena sangat tersiksa. Ia masih berharap Jeandra akan membelanya. Tetapi Jeandra tampak tidak peduli. Sepanjang makan malam berlangsung Zelena terus di-bully atas kekurangannya. Zelena yang sejak awal tadi makan dengan terpaksa, kini tidak kuat lagi menahan mual. “Hueeeek ....” Zelena spontan membekap mulutnya dengan telapak tangan. Dan seluruh mata refleks memandang padanya. “Nggak sopan kamu, Zelena! Orang lagi makan kamu malah muntah!” bentak ibu mertuanya marah. Begitu pun Jeandra. Lelaki itu mengirim tatapan dinginnya pada Zelena. “Maaf, Ma, nggak sengaja. Aku ke toilet dulu.” Begitu Zelena bangkit dari kursinya, seluruh yang hadir di sana membicarakannya, bahkan Zelena belum sepenuhnya pergi dari sana. Di kamar mandi, Zelena kembali muntah. Perutnya benar-benar tidak enak. Ia menahan diri agar tidak menangis walau saat ini hatinya sangat sedih dan sakit. Begitu Zelena selesai membasuh wajahnya, ia menarik napas panjang. Tangannya gemetaran saat meraih gagang pintu kamar mandi. Ia berharap ketika keluar nanti setidaknya suasana sudah sedikit reda. Pelan-pelan ia membuka pintu. Namun, baru selangkah keluar, Zelena langsung terhenti. Jeandra berdiri tepat di depan pintu. Menunggu dan menatapnya dengan dingin. Wajah lelaki itu tampak datar, rahangnya sedikit mengeras, menunjukkan sedikit ketidaksenangan. “Je, maaf, aku benar-benar nggak sengaja,” cicit Zelena berusaha menjelaskan. Jeandra tidak menjawab. Tapi tatapannya yang tidak hanya dingin—tapi juga tajam—membuat Zelena ketakutan. Lelaki itu maju selangkah. Zelena sontak memundurkan tubuh dan memejamkan mata saat melihat tangan Jeandra terkepal erat. Mungkin lelaki itu akan menamparnya. ***Zelena tidak tahu berapa lama dirinya tidak sadar. Yang ia tahu, saat membuka mata ia sudah berada di rumah sakit. Lagi.Sekujur tubuhnya terasa remuk. Kepalanya begitu berat. Lalu perutnya melilit dan menusuk-nusuk.Ia lantas teringat kondisinya yang sedang berbadan dua. Dengan refleks tangannya turun menyentuh perut. "Anakku gimana?" tanyanya panik.Tidak ada apa pun yang menjawab. Hanya senyap. Dan rasa nyeri yang terus menusuk membuatnya semakin cemas.Jantung Zelena berdetak sangat cepat. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari siapa pun. Kamar itu kosong. Napasnya mulai memburu. Ditekannya bel darurat yang ada di samping bed dengan tangan gemetar.Perawat datang dalam hitungan detik."Sus, anak saya, Sus. Anak saya!""Ibu, Ibu tenang dulu. Ada apa?""Anak saya ...." Zelena mengusap perutnya. "Tolong … tolong periksa. Anak saya … saya hamil. Saya … saya kecelakaan ....""Baik, Bu. Tenang dulu ya. Saya panggilkan dokter.""Jangan tinggalin saya." Zelena memohon sambil terus ter
Samar-samar Zelena mendengar suara-suara. Awalnya lirih, lalu semakin jelas. Suara langkah kaki, dan percakapan percakapan yang tidak bisa ia pahami. Perlahan, kesadarannya mulai kembali.Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya, terutama di kepala. Matanya terasa berat, namun ia berusaha membukanya. Cahaya putih yang menyilaukan langsung menyambutnya. Zelena mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.Ia berada di sebuah ruangan serba putih. Bau obat-obatan langsung menusuk hidungnya. Zelena menyadari, ia berada di rumah sakit.Seorang wanita berjas putih mendekat. Wajahnya tampak ramah dan penuh perhatian. “Syukurlah Ibu sudah sadar,” ucapnya.Zelena mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Jeandra, makan malam, jalanan sepi, dan kemudian gelap. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. Jeandra meninggalkannya.“Siapa yang membawa saya ke sini, Dok?” tanyanya dengan suara bergetar.Dokter wanita itu tersenyum tipis. “Tadi ada laki-laki
Selama beberapa detik Zelena terpejam dan menunggu. Tapi tidak terjadi apa-apa. Dengan takut-takut dibukanya mata. Jeandra tetap berdiri di hadapannya, masih dengan wajah dan tatapan yang sama dinginnya. Lelaki itu tidak menamparnya seperti yang Zelena pikirkan. Selama tiga tahun menikah, Jeandra memang tidak pernah melakukan kekerasan fisik. Pikirannya tadi hanya bentuk ketakutan Zelena saja. “Pulang sekarang.” Jeandra mendesis dingin lalu langsung menarik tangan Zelena tanpa memberinya waktu untuk bertanya atau membela diri. Zelena kewalahan mengikuti langkah Jeandra yang cepat. Begitu mereka melewati ruang makan, keluarga Jeandra yang tadi sibuk membicarakan Zelena mendadak diam. Mereka memandang dengan tatapan heran serta puas. Jeandra tidak menoleh. Tidak berpamitan. Ia terus menarik Zelena keluar, membuka pintu rumah itu, dan memasukkannya ke mobil. Jeandra masuk ke kursi pengemudi dengan wajah datarnya kemudian menyalakan mesin tanpa berkata apa-apa. Mobil m
Sepeninggal Jeandra, Zelena hanya bisa berbaring lemah di tempat tidur. Demamnya tidak kunjung reda. Tubuhnya panas seperti dibakar, tetapi tangannya dingin dan gemetar. Setiap kali ia mencoba berdiri ia kembali jatuh ke tempat tidur.Ia sudah meminum sisa obat penurun panas yang ditemukannya di laci, tetapi tidak banyak membantu.Melihat jam sudah menunjukkan pukul enam sore, Zelena memaksakan diri untuk bangun.Dengan sisa tenaga yang ada, Zelena berjalan terhuyung ke kamar mandi sambil berpegangan pada dinding. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, yang langsung membuatnya menggigil semakin hebat.Saat Zelena keluar dari kamar mandi, Jeandra sudah berdiri di depannya. Lelaki itu baru saja pulang.“Ada acara makan malam keluarga malam ini,” beritahunya datar.“Aku nggak bisa ikut, Je, aku masih sakit,” tolak Zelena lemah.Penolakan itu membuat Jeandra menunjukkan sedikit ketidaksenangannya.“Jangan cari masalah. Kamu udah cukup buruk di mata keluargaku. Kalau kamu nggak ikut, mere
Setelah mendapatkan kepuasan dari Zelena, dengan cepat Jeandra menarik diri.Jangan pernah berharap ada adegan mencium kening dan mengucapkan kata-kata mesra. Semua itu hanya terjadi dalam angan-angan Zelena, karena kini setelah menaikkan celananya Jeandra berguling ke samping lalu memeluk guling dengan tubuh membelakangi istrinya. Seolah-olah Zelena tidak pernah ada. Seolah tubuhnya tadi bukanlah tubuh wanita yang ia nikahi. Dan memang bagi Jeandra Zelena tidak lebih dari sekadar objek pelepasan hasrat serta tukang bersih-bersih di rumahnya.Zelena yang masih berbaring tanpa sehelai benang pun, menggigil karena demam yang terus memburuk. Ia memandang punggung lebar Jeandra yang saat ini tertidur dengan lelap. Ditariknya selimut untuk menutupi tubuhnya."Je ...," panggilnya. "Aku sakit. Bisa beliin obat?"Jeandra tidak bergerak. Tidurnya terlalu pulas.Zelena menelan ludah yang rasanya pahit. Ia mengumpulkan sedikit tenaga, menggeser badan mendekati punggung Jeandra. Telapak tangannya
"Je, hari ini hari ulang tahun pernikahan kita. Aku mau kita makan malam bersama untuk merayakannya. Nanti malam kamu bisa cepat pulang?" kata Zelena pada suaminya yang baru keluar dari kamar mandi."Aku sibuk. Nggak ada waktu," jawab Jeandra sambil mengenakan pakaian.Jawaban Jeandra membuat Zelena kecewa. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga. Hari yang sangat berarti baginya. Ia ingin sedikit saja merayakannya. Tidak perlu ada acara besar-besaran. Cukup dengan makan malam berdua di rumah."Untuk hari ini saja tolong luangkan waktumu sedikit," pinta Zelena yang belum menyerah."Udah kubilang hari ini aku sibuk. Berhentilah melakukan hal-hal yang nggak berguna," jawab Jeandra dengan wajah datarnya, seperti biasa. Lalu lelaki itu pergi meninggalkan Zelena.Zelena hanya bisa menghela napas. Ia sudah terbiasa dengan sikap yang ditunjukkan Jeandra. Selain sikapnya yang dingin, lelaki itu juga hanya berbicara seperlunya. Sedangkan pada orang lain sikap Jeandra beg







