Mag-log inTanpa memedulikan tatapan tajam Rini yang seolah ingin memakannya, Rania duduk di kursi yang bersebelahan dengan Bima. Gerakannya tenang, anggun, seakan dapur ini memang wilayah kekuasaannya.Ia mengambil nasi dan soto, menyusunnya rapi ke dalam piring, lalu meletakkannya tepat di hadapan Bima.“Makan, Mas.” Rania tersenyum tipis. “Bukankah ini makanan kesukaanmu?”Bima menoleh, matanya langsung berbinar.“Tentu saja, Sayang.” Ia mengangguk cepat, senyum lebarnya tak tertahan.Semenjak datang ini kali pertama Rania mau memasak dan menyajikan untuknya. Tentu saja hatinya begitu bahagia.“Ah… kamu memang selalu tahu apa yang Mas mau.” ucapnya sangat antusias.Tanpa menunggu lama, Bima meraih sendok dan mulai menyantap soto itu dengan lahap. Sesekali ia mengangguk-angguk kecil, seolah memastikan bahwa rasa masakan itu benar-benar tidak berubah, sama seperti dulu yang selalu melayaninya dalam hal apapun.Rini menatap pemandangan itu dengan rahang mengeras.‘Apa-apaan ini? Sejak kapan dia
Hari ini Rania bangun lebih pagi dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya naik ketika ia duduk di tepi ranjang, menghela nafas panjang.Hari ini kebetulan hari Minggu. Rencananya pagi ini ia ingin memasak soto. Masakan sederhana, tapi penuh kenangan. Dulu, Bima paling suka soto buatannya. Kini… Rania hanya tersenyum getir mengingatnya.Saat suara khas tukang sayur terdengar dari ujung gang, Rania segera meraih dompet dan keluar rumah. Udara pagi menyambutnya, segar dan bersih. Beberapa ibu-ibu sudah berkumpul, saling menyapa sambil memilih sayuran.Rania berhenti sejenak, menghirup udara pagi dalam-dalam.Ia rindu suasana ini. Rindu rutinitas sederhana yang entah sejak kapan menghilang dari hidupnya“Eh, Rania!” sapa seorang ibu paruh baya begitu melihatnya.“Kamu ke mana saja, kok sudah lama nggak pernah belanja lagi?”Sekejap, beberapa pasang mata menoleh ke arahnya.Rania tersenyum kikuk. “Sibuk, Bu.” jawabnya singkat.Ia segera mengalihkan perhatian pada tumpukan sayuran, memilih
“Sayang, kamu pasti capek ya.” suara Bima terdengar begitu Rania melangkah masuk ke dalam rumah.Rania yang baru saja melepas sepatunya menghentikan langkah. Ia menoleh sekilas, ekspresinya datar.“Lumayan.”Ia hendak melanjutkan langkah menuju kamar ketika suara Bima kembali menahannya.“Sayang, sini sebentar. Mas mau ngomong.”Tangan Bima meraih pergelangan tangannya, menariknya pelan. Rania menahan desah kesal, namun akhirnya menurut. Ia duduk di sofa kosong di sisi Bima, tepat di hadapan Rini yang sejak tadi memasang wajah tak bersahabat.Awalnya Rania benar-benar cuek. Mendengar kata sayang keluar dari mulut Bima hanya membuat perutnya mual. Namun ketika sudut matanya menangkap tatapan Rini tajam, penuh rasa tak suka—sebuah ide melintas di benaknya.Baiklah… mari kita mainkan sedikit sandiwara.Rania mengubah raut wajahnya, memasang senyum tipis yang menggoda.“Kenapa, Mas?” suaranya mendadak lembut. “Apa kamu begitu merindukanku?”Tangannya bergerak pelan, mengusap dada Bima den
Seorang petugas keamanan menghampiri Bima yang sejak tadi berdiri di depan gedung itu. Wajahnya tampak lelah, tapi sorot matanya masih menyimpan harap. “Mas lagi cari kerja, ya?” tanya petugas keamanan itu ramah. Bima mengangguk cepat.”Iya Pak. apakah disini sedang buka lowongan?” ucapnya mengulangi pertanyaan. “Iya… Kebetulan di sini lagi buka lowongan,” lanjut pria itu sambil menunjuk ke arah dalam gedung. “Coba saja langsung ke ruang HRD, lantai dua. Siapa tahu cocok.” Wajah Bima langsung berubah cerah, seolah diberi setetes air di tengah gurun. “Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih sekali.” Ia membungkuk sopan lalu melangkah masuk ke halaman gedung dengan langkah lebih ringan dari sebelumnya.Untuk pertama kalinya sejak pagi, dadanya terasa sedikit lega. Mungkin… hari ini keberuntungannya akan berubah.Di saat yang hampir bersamaan, sebuah mobil hitam melaju perlahan keluar. Di dalamnya, Rania duduk di kursi penumpang, matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang begitu dik
Siap. Berikut teks hanya dengan perubahan nama karakter, tanpa mengubah apa pun selain nama:“Pagi-pagi udah cemberut aja, Non?” suara Ardi langsung menyambar begitu Rania melangkah masuk ke ruangannya. Pria itu menyandarkan tubuh di kursi kerjanya, tangan terlipat di dada.Rania menjatuhkan diri ke sofa dengan dramatis.“Huh!”Ardi mengangkat alis. “Kenapa lagi? Ribut sama istri muda?”Rania menatap langit-langit, malas gerak. “Biasa. Drama pagi yang seru… tapi bikin capek jiwa raga.”Ardi mendecak geli.“Sepertinya hari-hariku bakal lebih berwarna nih. Kayak nonton sinetron ikan terbang, absurd tapi nagih.”Rania akhirnya bangkit duduk, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. “Ah, sudahlah. Ngomong-ngomong… aku ini kerja di bagian apa ya sebenarnya?”Tanpa ragu-ragu, Ardi menjawab, “Sekretaris gue lah.”Rania langsung menatapnya lebar, hampir berdiri. “HAH!? Ardi! Yang bener aja!”Ardi memutar kursinya menghadap Rania, kaki disilangkan santai.“Memang kenapa kalau jadi sekretar
Begitu keluar dari kamar mandi, rambut Rania masih basah dan handuk tergantung di bahunya. Ia baru saja berniat kembali ke kamar, namun suara ribut-ribut dari ruang tamu membuat langkahnya terhenti. “Aku ketiduran, Rini,” suara Bima terdengar lelah. “Gak! Kamu bohong, Mas!” balas Rini dengan nada melengking. “Kamu pasti habis tidur di kamar Rania, kan?!”Telinga Rania menangkap jelas namanya disebut. Ia berhenti di depan pintu dapur, alisnya terangkat.Hah… ternyata rumah sudah mulai seru pagi-pagi begini.Senyum kecil muncul di ujung bibirnya. Senyum penuh ide. Senyum yang sudah lama tidak muncul, senyum seorang wanita yang akhirnya sadar bahwa ia punya kekuatan untuk membalas.Dengan kepala tegak, Rania berjalan keluar.“Memang kenapa kalau dia tidur di kamar aku?” suara Rania terdengar tenang, namun menohok. “Bukankah dia suamiku juga?”Ucapan itu membuat Bima dan Rini menoleh bersamaan.Rini melotot, seperti baru saja melihat hantu. Wajahnya merah antara marah dan terkejut.Bim







