“Kamu sudah menunggu lama?” tanya Kaivan yang menemui Khayra di sebuah restoran yang berada tidak jauh dari kantor.
“Tidak, Pak.”
“Sudah pesan makan?” tanya Kaivan.
“Sebelum makan, aku ingin membahas syarat-syarat dariku,” ucap Khayra merogoh sebuah amplop dari tasnya dan menyerahkannya pada Kaivan.
Kaivan membuka amplop dan membaca isi surat kontraknya itu. “Syarat yang pihak kedua ajukan : Pertama, Menghargai keputusan dan kehidupan pribadi masing-masing pihak. Kedua, Pihak kedua tidak akan melakukan tugas seorang istri yang melayani suaminya. Ketiga, Setelah pihak kedua hamil, maka pihak pertama tidak berhak menyentuh pihak kedua. Keempat, Pihak kedua tidak mau berhenti bekerja di Perusahaan. Kelima, Menjaga kesetiaan selama pernikahan masih berlangsung. Keenam, Langsung gugat perceraian saat bayi sudah lahir. Ketujuh, Bayi akan bersama pihak kedua sampai usia minimal lima tahun.”
“Aku tidak setuju,” ucap Kaivan saat membaca isi syarat itu.
“Bagian mana yang tidak kamu setujui?” tanya Khayra.
“Poin ketiga, poin keenam dan poin ketujuh. Aku yang menawarkan, jadi aku yang menentukan kapan pernikahan itu akan berakhir,” ucap Kaivan.
“Kenapa begitu, aku tidak mau.”
“Khair, pernikahan ini tetap sah di mata Negara dan agama, jadi aku ingin kita tetap melakukan kegiatan layaknya pasangan suami istri, sebelum jatuhnya gugatan cerai,” ucap Kaivan.
“Aku akan menjamin semua keperluanmu, kamu mau bekerja atau tidak, aku tidak akan mempermasalahkannya. Aku akan membantumu membalaskan dendam pada Yuda dan Ziya, sebagai gantinya lakukan apa yang aku minta,” ucap Kaivan.
“Lalu kamu ingin pernikahan kita berakhir kapan?” tanya Khayra.
“Yang pasti setelah anak yang aku inginkan hadir ditengah-tengah kita. Dan dia harus dirawat olehku,” ucap Kaivan terlihat keras kepala.
Khayra menghela napasnya. “Baiklah,” jawab Khayra.
“Besok kita temui pengacaraku dan memperbaiki surat kontrak ini,” ucap Kaivan.
Tidak ada pilihan lain untuk Khayra selain menyetujuinya. Dia sudah menerima penawaran ini dan dia tidak bisa mundur lagi. Setidaknya, sakit hatinya akan segera terbayarkan.
***
Khayra berada di antara dua makam dengan rumput hijau. Tertulis nama orang tua Khayra di batu nisan.
“Ma, Ayah, Khayra datang,” ucap Khayra. “Awalnya Khayra tidak tahu bagaimana ke depannya. Khayra tidak lagi memiliki tujuan hidup, orang yang sangat Khayra percaya pun dengan tega mengkhianati dan membohongi Khayra. Sebenarnya, Khayra tidak memiliki lagi keberanian untuk melanjutkan hidup dengan pria lain, karena rasa trauma ini. Tapi, setelah Khayra pertimbangkan lagi, Khayra perlu membalaskan dendam sakit hati ini pada mereka yang sudah melukai dan menghancurkan hidup Khayra.”
“Ma, Ayah, kalian pernah berkata. Maafkanlah semua kesalahan orang lain, jadilah orang yang baik supaya mendapat karma baik. Tetapi lihatlah sekarang, hidupku hanya dimanfaatkan, kebaikanku diremehkan oleh mereka.” Khayra menitikkan air matanya saat mengatakan hal itu, mengingat bagaimana Tante dan Pamannya yang tidak memaksanya untuk membatalkan pernikahan tanpa menuntut apa pun pada Yuda. Bahkan mereka dengan teganya menggunakan semua persiapan yang sudah disiapkan Khayra untuk pernikahannya dengan Yuda. Mulai dari MUA yang sudah masuk uang muka, mereka dengan tanpa malu meneruskannya. Semua yang sudah disiapkan Khayra digunakan, hanya saja pengantin perempuannya saja yang berubah, bukan lagi Khayra.
Ya, setega itulah mereka, orang-orang yang berkata sangat menyayangi, berjasa karena memberi makan dan tempat tinggal setiap hari.
“Untuk kali ini, biarkan Khayra membalaskan dendam, Ma, Ayah. Ijinkan Khayra membalaskan sakit hati ini, walau ini salah. Mungkin dengan begini, aku tidak akan merasa lebih sakit hati lagi setiap melihat mereka,” gumam Khayra.
***
Kyaira dan Kaivan pergi menemui pengacara mereka. Di sana, mereka sudah menyepakati isi kontrak dan mulai menandatanganinya.
“Baiklah, aku akan menyimpan yang asli dan copyannya akan kalian bawa masing-masing,” ucap Budi memberikannya pada mereka berdua.
Setelah mengurus kontrak, mereka berdua keluar dari ruangan Budi.
“Sudah makan?” tanya Kaivan.
“Belum, tadi langsung kemari,” jawab Khayra.
“Kalau begitu kita makan dulu,” ucap Kaivan mengulurkan tangannya ke arah Khayra.
Khayra mengernyitkan dahinya di sana. “A-apa?” tanya gadis itu dengan polos.
“Kamu calon istriku sekarang, memangnya aku tidak boleh memegang tangan calon istriku?” tanya Kaivan.
Khayra pun menyambut uluran tangan Kaivan. “Bersamaku, kamu tidak akan pernah merasakan sakit hati. Aku akan memperlakukanmu dengan sangat baik, apalagi di atas ranjang,” bisik Kaivan membuat Khayra melotot ke arahnya.
Kaivan terkekeh melihat ekspresi menggemaskan dari Khayra.
Mereka pun berjalan menuju parkiran mobil. Kaivan membukakan pintu penumpang untuk Khayra dan itu cukup mengejutkan bagi Khayra.
“Aku tidak sangka kalau kamu bisa memberikan act of service, aku kira kamu hanya bisa marah-marah saja,” sindir Khayra.
“Sudah aku katakan, kamu tidak mengenalku. Dan kamu akan bahagia bersamaku, aku akan memperlakukanmu dengan sangat baik, walau pernikahan kita hanya pernikahan kontrak,” ucap Kaivan membuat Khayra terdiam.
Tidak butuh waktu lama, mereka sampai di sebuah restoran dan memesan makanan yang mereka inginkan.
“Weekend begini, kamu tidak ada acara?” tanya Kaivan.
“Ada,” jawab Khayra.
“Oh ya? dengan siapa?” tanya Kaivan.
“Dengan bos galakku,” jawab Khayra. “Bukankah kita sedang keluar saat ini. Karenamu, hari liburku tidak bisa digunakan untuk istirahat,” ucap Khayra.
“Kamu ini memang berbeda dari yang lain, Kura-kura,” ucap Kaivan.
“Oh, ya? memangnya apa yang berbeda?” tanya Khayra sangat penasaran.
“Kamu itu unik,” ucapnya membuat Khayra terkekeh. “Dan ternyata kamu lebih cerewet dari yang aku kira.”
“Tentu saja. Aku bisa berbicara panjang lebar saat bertemu dengan orang yang mau mendengarkanku dengan baik,” ucapnya membuat Khayra terkekeh.
Mereka berbincang dan menikmati makanan dengan sesekali tertawa terbahak-bahak. Dan satu hal yang Khayra tahu dari Kaivan, pria itu seperti orang dengan dua kepribadian. Di kantor dan di luar kantor sangatlah berbeda karakternya.
“Makanannya enak?” tanya Kaivan.
“Ya, lumayan enak,” jawab Khayra.
“Apa para perempuan sangat suka makan sampai belepotan supaya bisa di seka oleh prianya?” tanya Kaivan membuat Khayra mengernyitkan dahinya bingung. Sampai Kaivan mengulurkan tangannya untuk menyeka bekas makanan di sudut bibir Khayra.
“Ini maksudku,” ucap Kaivan membuat Khayra tertegun. Wanita itu merasa jantungnya berdebar, tetapi dengan cepat dia enyahkan segala pemikiran itu.
“Terima kasih,” ucap Khayra dan kembali fokus pada makanannya. “Kalau boleh aku tahu, apa rencana kamu selanjutnya?” tanya Khayra mengalihkan pembahasan mereka.
“Rencanaku. Um, tentu saja melamarmu, apalagi. Setelah itu memperkenalkanmu pada keluargaku dan kita siapkan pernikahan. Lebih cepat lebih baik, kan?” ucap Kaivan berbicara dengan sangat santai.
“Um, ya, kurasa begitu,” jawab Khayra.
“Khayra?” panggil seseorang membuat wanita itu menoleh ke sumber suara. Terlihat seorang pria berdiri di dekat meja mereka.
“Yuda?” gumam Khayra.
Kaivan menoleh ke arah Yuda dan di sana Yuda sangat kaget. “Bang Kai?” Yuda cukup kaget melihat sosok Kaivan di sana.
Lima Tahun Kemudian ... “Wah, kita naik pesawat!” seru Sasa heboh saat mereka berada di pesawat pribadi milik keluarga Dirgantara. Saat ini Kaivan, Khayra dan kedua anak-anak mereka Saga dan Sasa akan pergi liburan ke Maldives sesuai keinginan Khayra. “Kalian senang?” tanya Khayra. “Tentu saja. Kita gak pernah naik pesawat,” seru Sasa. “Kita pernah naik pesawat. Hanya saja saat itu kalian masih bayi,” kekeh Khayra. “Saga, kenapa diam saja?” tanya Kaivan. “Nggak apa-apa. Sasa berisik,” keluh Saga yang terkenal pendiam. “Ih, dasar gak seru,” keluh Sasa. Kalian dan Khayra bersama anak-anak mereka, Saga dan Sasa, tiba di Maldives untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka menginjakkan kaki di pantai berpasir putih yang lembut, dengan air laut yang jernih dan pemandangan yang sangat indah. "Wow, ini sungguh indah!" seru Khayra sambil memandangi keindahan pantai. “Y
“Hati-hati,” ucap Kaivan saat membantu Khayra menuruni brankar. Hari ini Khayra dan kedua bayi kembarnya sudah diperbolehkan untuk pulang. “Di sana Genny dan Rossa sudah menggendong bayi, masing-masing satu. “Kamu duduk di kursi roda,” ucap Kaivan menggendong Khayra dan mendudukkannya di atas kursi roda. “Semuanya sudah siap? Tidak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Genny. “Sudah, koper sama tas bayi, aku yang bawa,” ucap Aerline. “Sebagian sama Papa.” “Ya sudah kalau begitu, mobil sudah siap di bawah,” ucap Tommy. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit, setelah berada di rumah sakit selama satu minggu. Saat sampai di lobi rumah sakit, terlihat dua buah mobil suv berwarna putih dan hitam sudah terparkir di sana dengan seorang sopir yang berdiri di dekat mobil, membukakan pintu penumpang. Kaivan membawa Khayra dan Rossa masuk ke dalam mobil putih, sedangkan Tommy, Genny dan Aerlin
“Kamu masih bisa bertahan, kan?” tanya Kaivan. “Ya, Mas.” Khayra menjawab dengan napas tersenggal. Kaivan pun tidak peduli betapa sakitnya kedua lutut dan kedua tangannya. Menggendong Khayra yang sedang mengandung bayi kembar, dia tetap akan berjuang demi keselamatan istri dan kedua anaknya. “Bertahanlah, aku akan memastikan kalian selamat,” bisik Kaivan. Begitu sampai di rumah sakit, Khayra segera ditangani oleh para perawat dan dibawa ke ruangan khusus. Beruntung dokter yang biasa merawat Khayra, Dr. Windi, juga sedang praktek di rumah sakit itu. Khayra merasa lega, karena ia tidak mau ditangani oleh dokter lain selain Dr. Windi. “Sus, kalau saya ingin istri saya kembali ditangani dokter Windi, bisa?” tanya Kaivan. “Bisa, Pak. Kebetulan Dokter Windi ada jadwal hari ini. Tetapi untuk tindakan operasi caesar, akan ada biaya penambahan penanganan dokter,” jelas suster tersebut. “Tidak masalah, Sus. Istri saya terbiasa dir
“Mas, nanti siang aku bawakan makan siang untuk Mas, ya,” ucap Khayra yang sedang membantu memasang dasi di kerah kemeja Kaivan. “Tidak usah, Sayang. Kamu kan sedang hamil besar, istirahat saja, ya. Aku khawatir kamu kelelahan,” tolak Kaivan. “Biasanya juga kamu mau diantarkan makan siang sama aku. Kenapa sekarang gak mau? Ada apa? kamu ada rencana makan siang dengan orang lain, atau seorang wanita? Siapa itu, sampai menolak niat baik istri sendiri?” tanya Khayra memborong penuh kecurigaan dan rasa cemburu. Ya, sejak hamil, Khayra memang semakin lengket dengan Kaivan, dia seakan tidak mau berjauhan dengan suaminya. Ditambah dia juga sangat cemburuan, dan selalu salah paham dan overthinking. “Bukan begitu, Sayang. Aku mengkhawatirkan kamu, kamu sedang hamil besar dan waktu HPL kamu sebentar lagi. Aku sama sekali tidak ada janji makan siang dengan siapa pun, apalagi perempuan,” jelas Kaivan. “Tetap saja, mencurigakan! Kamu meno
“Kamu sudah datang, Mas,” ucap Khayra tersenyum manis ke arah Kaivan yang masih membeku di tempatnya. Kaivan terpana saat melihat Khayra yang tampil anggun dalam gaun indah yang membalut lekuk tubuhnya yang sedang hamil. Rambut Khayra ditata apik dan jatuh membingkai wajahnya yang berseri-seri. Sorot mata Kaivan tak mampu terlepas dari istrinya itu. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir Kaivan saat ia menyaksikan Khayra berjalan perlahan mendekatinya. Wajah Kaivan terlihat terpesona, seolah tak percaya dengan kecantikan istrinya yang sedang mengandung buah hati mereka. “Umm ... Mas Kaivan,” tegur Khayra sekali lagi membuat Kaivan tersadar dari lamunannya. "Khayr, kamu sangat cantik," ucap Kaivan akhirnya, dengan suara gemetar dan mata yang tak bisa berhenti menatap Khayra. Khayra tersenyum malu di depan Kaivan, hingga terlihat roda merah di kedua pipinya. Dia menjawab, "Terima kasih, Mas. Aku juga senang melihatmu begitu terpu
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? bagaimana respon para pemegang saham? Mereka menyambutmu dengan baik, kan?” tanya Khayra saat membuka pintu rumahnya. Kaivan yang melihat Khayra menyambutnya dengan ceria, membuat rasa lelahnya hilang seketika. Tanpa kata, Kaivan langsung memeluk Khayra. “Nyaman sekali,” ucap Kaivan. “Apa terjadi sesuatu? Apa ada hal yang tidak berjalan dengan baik?” tanya Khayra semakin khawatir di sana. Kaivan melepaskan pelukannya dan tersenyum manis pada Khayra. “Semuanya berjalan dengan lancar,” ucapnya tersenyum merekah, membuat Khayra tidak bisa menyembunyikan senyumannya. “Lalu kenapa kamu malah membuatku khawatir tadi,” keluh Khayra. “Maaf. Aku tadi hanya merasa gemas dengan sikapmu. Selain itu aku juga sangat merindukanmu,” ucap Kaivan tersenyum merekah membuat Khayra membalas senyuman suaminya. “Kalau begitu kita masuk,” ajak Khayra dan mereka berjalan bersama dengan Ka
“Kamu gugup, tidak?” tanya Khayra. “Sedikit,” jawab Kaivan tersenyum. “Tapi aku yakin, bisa menghadapi mereka semua.” Khayra tersenyum melihat kepercayaan penuh dari suaminya. “Mama Rossa kembali ke Tangerang?” tanya Kaivan. “Iya, aku meminta sopir untuk mengantarnya. Katanya ada yang mau melihat-lihat rumah,” jawab Khayra. Kaivan berdiri tegak di depan Khayra yang sedang memasangkan dasi suaminya. Kemudian, Khayra mengambilkan jas hitam dan membantu memasangkan jas di tubuh Kaivan. Dia mengusap kedua pundak lebar Kaivan dengan senyuman manisnya. Kaivan mengernyitkan dahinya melihat Khayra. “Kenapa?” tanya Kaivan. Khayra tersenyum dengan rona merah di pipinya. Matanya tak henti-hentinya memandang sosok yang terlihat begitu elegan dan tampan di hadapannya. Dalam balutan setelan kerja lengkap dengan jas hitam yang terpasang rapi, Khayra tak bisa menyangkal bahwa hari ini suaminya tampak lebih mempesona dari biasanya.
“Menjauh kalian!” teriak Danang masih menempelkan ujung pisau di leher Khayra. Kaivan khawatir, tetapi berusaha tenang. Tatapannya terpaut dengan Khayra seakan mereka berdiskusi melalui tatapan. Kaivan bergerak mendekat. “Paman sangat membenciku, bukan?” tanya Kaivan. “Jangan mendekat!” “Bagaimana kalau aku saja yang Paman tawan, lepaskan Khayra,” ucap Kaivan membuat Khayra mengernyitkan dahinya. “Kamu pikir, Paman bodoh! kamu bisa berkelahi, jangan berusaha menipu Paman!” amuk Danang. “Baiklah begini saja, aku akan ikat kedua tanganku di belakang. Paman tawan aku saja dan lepaskan Khayra,” ucap Kaivan. “Mas,” seru Khayra tidak rela bertukar posisi. “Kalau begitu ikat kedua tanganmu!” perintah Danang. Khayra meminta bantuan polisi untuk meminjamkan borgolnya dan memborgol kedua tangan Kaivan di punggung. “Sekarang lepaskan Khayra,” ucap Kaivan berjalan mendekati Danang yang sed
Puput menatap Danang yang berjalan mondar-mandir di depannya. Pria itu terlihat sangat gelisah, dan berkali-kali mengusap kedua tangannya. “Bisakah kau berhenti mondar-mandir? Membuatku pusing,” keluh Puput. “Diam!” bentak Danang membuat Puput terpekik kaget. Tidak biasanya Danang berkata kasar begitu. “Ada apa denganmu, Pa? Biarkan saja kalau mereka mau melakukan autopsi pada tubuh Ayah,” ucap Puput. “Yang harus kita pikirkan adalah Yuda, bagaimana caranya kita menolong Yuda untuk segera keluar dari sana.” “Diam! Aku bilang diam!” amuk Danang di sana membuat Puput kaget sekaligus kebingungan. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu seperti ketakutan. Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan dariku, Pa?” tanya Puput bangkit dari duduknya dengan kesal. “Apa kamu tidak bisa tutup mulut?” tanya Danang terlihat sangat frustrasi. “Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan? A-apa ini ada hubungannya dengan kematia