Share

Bab 2. Fitnah

"Quen! Dimana kamu?" Edward berteriak mencari keberadaan Quen. Seorang yang mendengar namanya disebutkan berlari ke arah sumber suara dengan keadaan yang berantakan dan masih terdengar sisa-sisa tangisnya.

"Lancang kamu sebagai istri berani memarahi Mama. Jika bukan karna bantuannya apakah kamu pikir brand yang kamu agungkan akan berkembang? Dasar wanita tidak tahu diri." Edward menunjuk-nunjuk wajah Quen. Satu tamparan tepat mengenai pipi kanan Quen hingga ia tersungkur.

"Bangun!" Edward membentak sambil menarik baju Quen. "Selama ini saya diam dengan semua pengaduan Mama, apakah ini balasan dari kebaikan Mama kepada kamu?"

Edward menarik baju Quen dengan saat erat hingga terasa mencekik dileher Quen. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan tangan Edward dari bajunya.

"Lepaskan!" Quen menghempaskan tangan Edward dengan penuh tenaga. Ia terbatuk saat berhasil melepaskan diri.

"Oh kamu sudah berani melawan!" Raut wajah Edward merah padam, matanya melotot kemerahan. Ia mendorong Quen hingga tersungkur dan kesakitan.

"Laki-laki memang harus tegas seperti itu." Berenice mengacungkan jempol untuk anaknya. Edward menarik tangan Berenice meninggalkan Quen yang berusaha bangkit. Ia merasakan sakit yang teramat pada bagian perutnya.

Quen berusaha untuk bangkit dari lantai dengan sisa tenaga yang dimiliki demi mendapatkan pertolongan. Ia berjalan terhuyung-huyung tertuju pada toko bunga di ujung jalan rumahnya. Wajahnya terlihat begitu pucat, tangan kanannya memegangi leher sedangkan tangan sebelah kiri memegangi perutnya. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tepat di depan toko ia mulai kehilangan keseimbangan. Beruntung seorang lelaki menangkapnya diikuti seorang wanita yang memapah dan membawa masuk ke dalam toko.

"Scouts, kamu harus membawa Quen ke rumah sakit terdekat. Dia nampak begitu pucat." Seorang wanita membantu memijit-mijit pundak Quen yang tidak sadarkan diri. Quen adalah pelanggan tetap dari toko bunga tersebut, karna seringnya membeli bunga membuat mereka akrab.

"Lalu bagaimana dengan tokonya? Siapa yang akan menjaga?" tanya pemuda yang dipanggil Scouts.

"Tidak perlu kamu khawatirkan, biar Mama yang menjaga. Ini kunci mobil. Cepat angkat," perintahnya.

Ia adalah Lyden Charrolina, pemilik dari ratusan toko bunga yang ada di negara ini. Sedangkan seorang yang dipanggil Scouts adalah anak angkatnya. Lyden tepat berumur 36 tahun, bertahun-tahun ia telah mencoba melakukan berbagai cara untuk memiliki anak, namun hasilnya nihil.

Scouts dibantu Lyden memapah Quen ke arah mobil. Mereka membaringkan Quen di kursi bagian belakang. Scouts dengan segera mengemudikan mobil ke rumah sakit terdekat. Tidak memerlukan waktu lama untuk sampai di rumah sakit. Dengan cekatan ia langsung memanggil perawat untuk meminta pertolongan. Quen di bawa ke ruangan untuk segera di periksa sedangkan Scouts menunggu dengan gusar di depan ruangan.

"Apakah anda suami dari pasien?" tanya seorang dokter.

"Bukan, saya hanya tetangga dari nona Quen. Bagaimana keadaannya, Dok?" Scouts memastikan semuanya baik-baik saja.

Dokter menyampaikan bahwa keadaan Quen baik-baik saja. Hanya perlu beristirahat. Dokter mempersilahkan mereka untuk pulang. Scouts dengan hati-hati menggandeng Quen. Scouts mengantarnya sampai rumah. Tanpa mereka sadari sepasang mata mengintai dari balik jendela. Segera mungkin si pengintai mengambil kamera dan memfoto kedua orang yang terlihat sangat romantis bergandengan.

"Ini akan menjadi bukti cukup kuat. Lihat saja kamu, sebentar lagi kamu pasti akan di depak dari rumah ini." Wanita itu terbahak seolah telah berhasil mendapatkan yang ia mau.

Quen meminta Scouts untuk kembali, ia khawatir jika terlalu lama bersamanya, Lyden akan kesusahan mengurus toko sendiri. Ia sangat berterima kasih atas bantuan dari Scouts dan mamanya. Quen masuk ke dalam rumah dengan memegangi dinding menuju ke kamarnya.

Berenice memperhatikan gerak-gerik menantunya dengan seksama dari balik pintu kamarnya. Setelah merasa keadaan aman, ia berjalan menuju toko bunga dimana lelaki tersebut bekerja. Wanita tua dengan gaun merah merona polos itu merasa uang akan mempermudah urusannya.

"Hei anak muda, kemarilah." Berenice melambaikan tangannya. Melihat hal tersebut dengan senyum ramah Scouts menghampirinya.

"Saya tidak suka basa-basi, saya akan memberikan berapa pun uang yang kamu minta, asal kamu bersedia mengaku bahwa Quen adalah kekasihmu." Wanita dengan gaya nyentrik itu merogoh tasnya, memperlihatkan sebuah amplop tebal kepada lelaki belia di depannya.

"Saya tidak butuh uang itu, Nyonya, dan saya tidak ada hubungan dengan Quen." Meskipun kebingungan dengan permintaan wanita yang belum pernah ia temui tersebut, ia tetap berusaha ramah.

Mendengar tawarannya di tolak Berenice merasa dihina, wajahnya mulai memerah. Ia merasa dipermainkan oleh anak kemarin sore.

"Tidakkah kamu tahu saya ini siapa?" Scouts menggelengkan kepalanya. "Asal kamu tahu ya bocah tengik, satu perintah dari saya bisa menghilangkanmu selamanya dari kota ini." Berenice meninggikan suaranya hingga terdengar oleh Lyden yang sedang menggunting tangkai bunga. Ia terburu keluar untuk melihat apa yang terjadi.

"Apa maksud perkataan anda?" Lyden bertanya sambil menghampiri Scouts yang menunduk ketakutan.

"Saya hanya menawarkan pekerjaan yang gajinya lebih besar daripada hanya menjadi penjaga toko kecil seperti ini." Berenice memperhatikan Lyden dengan tatapan seperti mereka berbeda level.

Berenice membusungkan dadanya. Ia memandangi wanita yang bergaya sangat sederhana di depannya. Sedangkan Lyden masih menenangkan Scouts.

"Begini saja, saya akan membayar berapapun yang kalian minta asal bocah ingusan ini mau mengaku sebagai kekasih Quen dan kamu menjadi saksi. Sangat mudah bukan? Saya tahu kalian berdua berasal dari keluarga miskin pasti belum pernah melihat uang sebanyak ini." Berenice membuka amplop yang ia pegang, memperlihatkan lembaran-lembaran uang di dalamnya.

Lyden merasa kesal dengan wanita tua angkuh di depannya. Ia mulai kehilangan kesabaran. Dengan isyarat, ia meminta Scouts untuk masuk ke toko. Ia benar-benar memastikan bahwa anaknya telah berada di dalam.

"Apakah anda pikir kami bisa dibeli dengan uang yang tidak seberapa itu? Jika benar kami miskin, kami juga tidak akan mau menerima uang sepeser pun dari wanita licik seperti anda!" Lyden membentak wanita yang umurnya jauh lebih tua darinya. Berenice mendelik merasa dihina oleh seorang wanita miskin.

"Kamu berani melawan saya? Bahkan hanya dengan satu kata, toko bunga dimana kamu bekerja bisa saya buat bangkrut. Tidakkah kamu tahu siapa saya?" Kemarahan Berenice semakin menjadi. Seumur ia hidup, belum pernah ada yang berani menentangnya.

Lyden menarik napas panjang mendengarkan perkataan omong kosong dari wanita tua dihadapannya. "Apakah anda gila? Apakah saya harus peduli dengan siapa anda? Saya rasa anda perlu pergi ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan perawatan intensif. Kebetulan saya kenal beberapa dokter disana."

Mendengarkan hal tersebut justru membuat Berenice semakin naik pitam. Bagaimana mungkin seorang wanita dengan pakaian lusuh menganggapnya sebagai wanita gila.

"Lihat saja apa yang akan saya lakukan. Saya tidak main-main." Berenice pergi meninggalkan Lyden. Ia merasa akan sia-sia jika berdebat dengan wanita miskin yang hanya paham cara memotong tangkai bunga.

"Saya tunggu. Jangan sampai malu sendiri. Dan terima kasih sudah mampir." Ia melambaikan tangannya kepada wanita yang telah menjauh dari tokonya. "Dia pikir dia siapa? Berani-beraninya mengancam," keluhnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status