"Quen! Dimana kamu?" Edward berteriak mencari keberadaan Quen. Seorang yang mendengar namanya disebutkan berlari ke arah sumber suara dengan keadaan yang berantakan dan masih terdengar sisa-sisa tangisnya.
"Lancang kamu sebagai istri berani memarahi Mama. Jika bukan karna bantuannya apakah kamu pikir brand yang kamu agungkan akan berkembang? Dasar wanita tidak tahu diri." Edward menunjuk-nunjuk wajah Quen. Satu tamparan tepat mengenai pipi kanan Quen hingga ia tersungkur. "Bangun!" Edward membentak sambil menarik baju Quen. "Selama ini saya diam dengan semua pengaduan Mama, apakah ini balasan dari kebaikan Mama kepada kamu?" Edward menarik baju Quen dengan saat erat hingga terasa mencekik dileher Quen. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan tangan Edward dari bajunya. "Lepaskan!" Quen menghempaskan tangan Edward dengan penuh tenaga. Ia terbatuk saat berhasil melepaskan diri. "Oh kamu sudah berani melawan!" Raut wajah Edward merah padam, matanya melotot kemerahan. Ia mendorong Quen hingga tersungkur dan kesakitan. "Laki-laki memang harus tegas seperti itu." Berenice mengacungkan jempol untuk anaknya. Edward menarik tangan Berenice meninggalkan Quen yang berusaha bangkit. Ia merasakan sakit yang teramat pada bagian perutnya. Quen berusaha untuk bangkit dari lantai dengan sisa tenaga yang dimiliki demi mendapatkan pertolongan. Ia berjalan terhuyung-huyung tertuju pada toko bunga di ujung jalan rumahnya. Wajahnya terlihat begitu pucat, tangan kanannya memegangi leher sedangkan tangan sebelah kiri memegangi perutnya. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tepat di depan toko ia mulai kehilangan keseimbangan. Beruntung seorang lelaki menangkapnya diikuti seorang wanita yang memapah dan membawa masuk ke dalam toko. "Scouts, kamu harus membawa Quen ke rumah sakit terdekat. Dia nampak begitu pucat." Seorang wanita membantu memijit-mijit pundak Quen yang tidak sadarkan diri. Quen adalah pelanggan tetap dari toko bunga tersebut, karna seringnya membeli bunga membuat mereka akrab. "Lalu bagaimana dengan tokonya? Siapa yang akan menjaga?" tanya pemuda yang dipanggil Scouts. "Tidak perlu kamu khawatirkan, biar Mama yang menjaga. Ini kunci mobil. Cepat angkat," perintahnya. Ia adalah Lyden Charrolina, pemilik dari ratusan toko bunga yang ada di negara ini. Sedangkan seorang yang dipanggil Scouts adalah anak angkatnya. Lyden tepat berumur 36 tahun, bertahun-tahun ia telah mencoba melakukan berbagai cara untuk memiliki anak, namun hasilnya nihil.Scouts dibantu Lyden memapah Quen ke arah mobil. Mereka membaringkan Quen di kursi bagian belakang. Scouts dengan segera mengemudikan mobil ke rumah sakit terdekat. Tidak memerlukan waktu lama untuk sampai di rumah sakit. Dengan cekatan ia langsung memanggil perawat untuk meminta pertolongan. Quen di bawa ke ruangan untuk segera di periksa sedangkan Scouts menunggu dengan gusar di depan ruangan. "Apakah anda suami dari pasien?" tanya seorang dokter. "Bukan, saya hanya tetangga dari nona Quen. Bagaimana keadaannya, Dok?" Scouts memastikan semuanya baik-baik saja. Dokter menyampaikan bahwa keadaan Quen baik-baik saja. Hanya perlu beristirahat. Dokter mempersilahkan mereka untuk pulang. Scouts dengan hati-hati menggandeng Quen. Scouts mengantarnya sampai rumah. Tanpa mereka sadari sepasang mata mengintai dari balik jendela. Segera mungkin si pengintai mengambil kamera dan memfoto kedua orang yang terlihat sangat romantis bergandengan. "Ini akan menjadi bukti cukup kuat. Lihat saja kamu, sebentar lagi kamu pasti akan di depak dari rumah ini." Wanita itu terbahak seolah telah berhasil mendapatkan yang ia mau. Quen meminta Scouts untuk kembali, ia khawatir jika terlalu lama bersamanya, Lyden akan kesusahan mengurus toko sendiri. Ia sangat berterima kasih atas bantuan dari Scouts dan mamanya. Quen masuk ke dalam rumah dengan memegangi dinding menuju ke kamarnya.Berenice memperhatikan gerak-gerik menantunya dengan seksama dari balik pintu kamarnya. Setelah merasa keadaan aman, ia berjalan menuju toko bunga dimana lelaki tersebut bekerja. Wanita tua dengan gaun merah merona polos itu merasa uang akan mempermudah urusannya. "Hei anak muda, kemarilah." Berenice melambaikan tangannya. Melihat hal tersebut dengan senyum ramah Scouts menghampirinya. "Saya tidak suka basa-basi, saya akan memberikan berapa pun uang yang kamu minta, asal kamu bersedia mengaku bahwa Quen adalah kekasihmu." Wanita dengan gaya nyentrik itu merogoh tasnya, memperlihatkan sebuah amplop tebal kepada lelaki belia di depannya. "Saya tidak butuh uang itu, Nyonya, dan saya tidak ada hubungan dengan Quen." Meskipun kebingungan dengan permintaan wanita yang belum pernah ia temui tersebut, ia tetap berusaha ramah. Mendengar tawarannya di tolak Berenice merasa dihina, wajahnya mulai memerah. Ia merasa dipermainkan oleh anak kemarin sore. "Tidakkah kamu tahu saya ini siapa?" Scouts menggelengkan kepalanya. "Asal kamu tahu ya bocah tengik, satu perintah dari saya bisa menghilangkanmu selamanya dari kota ini." Berenice meninggikan suaranya hingga terdengar oleh Lyden yang sedang menggunting tangkai bunga. Ia terburu keluar untuk melihat apa yang terjadi. "Apa maksud perkataan anda?" Lyden bertanya sambil menghampiri Scouts yang menunduk ketakutan. "Saya hanya menawarkan pekerjaan yang gajinya lebih besar daripada hanya menjadi penjaga toko kecil seperti ini." Berenice memperhatikan Lyden dengan tatapan seperti mereka berbeda level. Berenice membusungkan dadanya. Ia memandangi wanita yang bergaya sangat sederhana di depannya. Sedangkan Lyden masih menenangkan Scouts. "Begini saja, saya akan membayar berapapun yang kalian minta asal bocah ingusan ini mau mengaku sebagai kekasih Quen dan kamu menjadi saksi. Sangat mudah bukan? Saya tahu kalian berdua berasal dari keluarga miskin pasti belum pernah melihat uang sebanyak ini." Berenice membuka amplop yang ia pegang, memperlihatkan lembaran-lembaran uang di dalamnya. Lyden merasa kesal dengan wanita tua angkuh di depannya. Ia mulai kehilangan kesabaran. Dengan isyarat, ia meminta Scouts untuk masuk ke toko. Ia benar-benar memastikan bahwa anaknya telah berada di dalam. "Apakah anda pikir kami bisa dibeli dengan uang yang tidak seberapa itu? Jika benar kami miskin, kami juga tidak akan mau menerima uang sepeser pun dari wanita licik seperti anda!" Lyden membentak wanita yang umurnya jauh lebih tua darinya. Berenice mendelik merasa dihina oleh seorang wanita miskin. "Kamu berani melawan saya? Bahkan hanya dengan satu kata, toko bunga dimana kamu bekerja bisa saya buat bangkrut. Tidakkah kamu tahu siapa saya?" Kemarahan Berenice semakin menjadi. Seumur ia hidup, belum pernah ada yang berani menentangnya. Lyden menarik napas panjang mendengarkan perkataan omong kosong dari wanita tua dihadapannya. "Apakah anda gila? Apakah saya harus peduli dengan siapa anda? Saya rasa anda perlu pergi ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan perawatan intensif. Kebetulan saya kenal beberapa dokter disana."Mendengarkan hal tersebut justru membuat Berenice semakin naik pitam. Bagaimana mungkin seorang wanita dengan pakaian lusuh menganggapnya sebagai wanita gila. "Lihat saja apa yang akan saya lakukan. Saya tidak main-main." Berenice pergi meninggalkan Lyden. Ia merasa akan sia-sia jika berdebat dengan wanita miskin yang hanya paham cara memotong tangkai bunga. "Saya tunggu. Jangan sampai malu sendiri. Dan terima kasih sudah mampir." Ia melambaikan tangannya kepada wanita yang telah menjauh dari tokonya. "Dia pikir dia siapa? Berani-beraninya mengancam," keluhnya."Apa yang kamu masak hari ini?" Berenice menutup hidungnya saat mendekat ke arah Quen. Tidak lupa ia juga selalu membawa antiseptik untuk di semprotkan ke ruangan bekas Quen. Quen memandang getir dengan sikap berlebihan mertuanya. Kini ia mulai menyesali keputusannya dulu untuk tinggal bersama mertua. Namun, sebelum tinggal bersama, Berenice sangat baik kepadanya. Jadi, tidak ada alasan untuk menolaknya. "Saya hanya membuat sandwich dan omelette. Maaf Ma, saya terburu-buru untuk mengambil beberapa kain yang sudah saya pesan," ujarnya. "Bagus, segeralah pergi. Oksigen dirumah ini menjadi tercemar karna kamu." Berenice bersedekap dan menyemprot antiseptik ke arah Quen, hingga membuatnya risih. Quen mengambil tasnya dan berlalu begitu saja. Saat ini, ia benar-benar butuh seseorang untuk diajak berdiskusi. Ia tidak mungkin menghubungi sahabatnya, karena tahu pasti urusan akan menjadi panjang dan runyam. Terpikirkan olehnya satu nama, Lyden. Ia sangat berharap hari ini Lyden berad
"Nyonya, ini data-data yang anda minta. Semua tentang wanita itu ada didalam berkas ini." Lyden mengambil berkas yang diberikan kepadanya. Ia duduk dengan anggun di meja kerjanya. Mengenakan serba hitam termasuk kacamata. "Saya pikir wanita tua itu cukup berkuasa, ternyata tidak seperti yang saya pikirkan." Lyden berbicara sendirian dengan senyum ganjil. Tidak disangka orang yang melawannya tidak lebih hebat darinya. Ia sempat berpikir wanita tua tersebut mempunyai peranan sangat penting dalam dunia bisnis di kota ini. Lyden keluar dari ruang kerjanya, berganti pakaian ke yang lebih sederhana untuk kembali menjadi penjual bunga. "Hari ini, seharusnya ada pertunjukan." Mobilnya melaju ke arah toko bunga deket rumah Quen. Ia menantikan respon apa yang wanita tua itu berikan kepadanya. Ketika sedang merangkai bunga ia melihat Quen datang. Lyden memposisikan diri dengan baik ketika Quen berusaha untuk menceritakan tentang rumah tangganya. Tidak berselang lama setelah Quen berpamitan,
"Tolong bawakan makanan ini kepada Quen, bagaimanapun dia sedang hamil. Tidak baik menyiksanya begitu." Berenice menyerahkan sandwich yang ia buat beserta satu gelas jus. "Mama, tidak perlu sebaik ini pada wanita yang tidak tahu diuntung itu. Memang apa kurangnya saya sebagai laki-laki?" Edward memakan sosis yang ada didepannya. "Cepatlah, jika kamu ingin anak di kandungannya segera pergi, maka turuti saja perintah Mama." Edward mengambil piring dan gelas yang telah disiapkan Mamanya. Dari semalam, Quen tidak diizinkan untuk keluar dan juga tidak diberi makan. Tidak ada yang bisa ia lakukan di dalam kamar selain mendesain pakaian agar pikirannya terfokus tidak pada makanan. Ia teringat perkataan Lyden untuk merubah sudut pandanganya mengenai pernikahannya dengan Edward. Quen mendengar seorang membuka pintu kamarnya. Meskipun ia telah mencoba untuk menahan lapar, tetap saja tidak bisa. Ia mendapati Edward membawa makanan serta jus untuknya. Tanpa pikir panjang Quen langsung me
"Dok, bagaimana keadaan sahabat saya?" tanya seorang wanita dengan setelan rapi, sedangkan wanita lainnya terlihat harap cemas. "Untung saja kalian datang tepat waktu untuk mengambil keputusan. Jika tidak, saya tidak tahu hal apa yang akan terjadi selanjutnya." Kedua wanita yang merupakan sahabat Quen tersebut adalah Sarah Staphanny dan Micheline Gourge. Mereka dulunya berkuliah dikampus yang sama dan memutuskan untuk tinggal bersama. Sarah yang merupakan putri dari orang yang cukup penting dikota ini. Mereka berbincang dengan dokter yang menanganin Quen soal apa yang sebenarnya terjadi. Wajah Sarah terlihat merah padam. Tangannya menggengam kuat. Ia hanya tak habis pikir bagaimana bisa suami Quen meninggalkan Quen seorang diri. Dokter bergegas pergi setelah dirasa penjelasannya cukup. "Berkali-kali saya bilang, seharusnya dia mencari tahu siapa lelaki itu," ucap Sarah jengkel. "Quen bukanlah lagi anak kecil. Dia pasti mempunyai pertimbangan akan keputusannya dulu. Sudahlah. Mar
"Apa? Kamu akan kembali ke rumahnya? Apakah cinta benar-benar membuatmu kehilangan akal?" Sarah mendelik ke arah Quen."Apakah ada pilihan lain?" tanya Quen.Michelle merasa iba dengan keadaan yang harus dihadapi sahabatnya. Tidak tega rasanya jika ia harus memberitahukan kebenaran soal Edward."Apa yang kamu harapkan dari lelaki yang bahkan tidak pernah ada ketika kamu butuh. Hampir dua bulan kamu dirawat disini, apakah pernah dia datang?" Sarah memalingkan mukanya. Bagaimanapun ia tetap merasa kasihan dengan Quen."Terima kasih karna selalu ada. Namun ... apakah mungkin saya harus meninggalkan Bhlyte Callie begitu saja? Tapi bolehkah saya meminta pertolongan lagi?" tanya Quen.Ia terlihat begitu menyedihkan karna sesuatu yang sudah ia bangun. Quen menghabiskan semua yang ia punya untuk brandnya. "Katakanlah." Michelle menatap Quen dengan seksama.Quen memberitahu apa keinginannya kepada Sarah dan Michelle. Ia yakin hanya mereka berdua yang bersedia membantu tanpa pamrih.***"Quen,
"Selangkah lagi, apa yang saya cita-citakan akan tercapai." Edward merapikan dasi yang sedang ia kenakan."Mama yakin kamu pasti bisa mendapatkan yang kamu inginkan, Nak." Berenice menepuk pundak Edward penuh kasih sayang.Berenice menggandeng Edward menuju Altar pernikahannya bersama Jeanne Fredh Diomore, putri dari pemilik ribuan perusahaan yang bergerak dibilang kemediaan. Namun, orang tua Jeanne juga memiliki pertambangan di luar negeri."Mr. Fredhor sangat pandai dalam memilih menantu," bisik salah seorang tamu yang hadir."Tidak hanya tampan, dengar-dengar dia juga seorang desainer yang karyanya luar biasa."Para tamu yang hadir sangat mengagumi Edward. Selain parasnya, pencapai-pencapaian yang ia miliki juga membuat banyak orang terpukau. Itu juga yang menjadi alasan Fredhor menjodohkan Jeanne dengannya.Gemuruh riuh saat janji suci diucapkan oleh Edward untuk Jeanne. Kebahagiaan tak terkira dirasakan oleh kedua pembelai. Bahkan tamu yang hadir memandang kagum akan ketampanan da
"Quen, hari ini kami akan mengundang kolega, tolonglah jaga sikap!" Jeanne memandang Quen sinis."Baik." Quen mengambil kertas yang berisi catatan apa yang harus dimasak.Segalanya telah dipersiapkan didapur. Edward dan Jeanne mengundang kurang lebih 20 orang koleganya sebagai bentuk penghargaan atas kesuksesan Blhyte Callie di acara fashion show. Selain itu, Edward sengaja mengundang untuk bekerja sama agar dapat membuat fashion shownya sendiri.Sekitar 30 menit acara dimulai, namun Quen sama sekali belum mempersiapkan apapun di meja makan. Itu membuat Jeanne menjadi geram."Cepatlah! Bergunalah sedikit saja. Ingat kamu hanya menumpang di rumah ini!" bentak Jeanne.Quen dengan segera menyiapkan piring-piring dan perlengkapan lainnya. Peluhnya menetes deras. Ia kembali teringat perkataan dari seorang nenek yang ia temui di rumah sakit. Dalam hidup ada yang harus diperjuangkan, jika tidak itu bukan hidup. Dengan tekat yang kuat dalam hatinya, Quen mencoba menerima semua kenyataan dan t
"Tuan, kenapa anda tampak begitu muram hari ini? Apakah karna pengaruh harga saham yang menurun?" tanya seorang lelaki kurus tinggi kepada seorang yang sedang memainkan penanya."Tidak ... ada seorang wanita yang sangat menarik untuk saya ... namun ... Sudahlah lupakan." Vinn meletakkan pena yang ia pegang.Sepulang dari makan malam yang diadakan oleh Edward, ia merasakan ada hal yang salah pada dirinya. Entah bagaimana seorang pelayan telah membuatnya jatuh hati. Wanita itu sangat sederhana namun membuat kesan yang tidak semua wanita bisa berikan."Tuan, jika boleh saya tahu ada apakah gerangan?" lanjut sekretaris pribadi Vinn.Ia adalah Vincecio Leaman, seorang anak dari pembisnis terkemuka. Merupakan pewaris tunggal dari perusahaan papanya yang bergerak di bidak lokomotif. Tidak hanya itu, mamanya juga seorang kolektor permata yang memiliki ratusan toko pertama diseluruh dunia."Carilah informasi soal wanita yang bekerja di rumah Edward." Vinn bangun dari tempat duduknya menuju ke