"Apa yang kamu masak hari ini?" Berenice menutup hidungnya saat mendekat ke arah Quen. Tidak lupa ia juga selalu membawa antiseptik untuk di semprotkan ke ruangan bekas Quen.
Quen memandang getir dengan sikap berlebihan mertuanya. Kini ia mulai menyesali keputusannya dulu untuk tinggal bersama mertua. Namun, sebelum tinggal bersama, Berenice sangat baik kepadanya. Jadi, tidak ada alasan untuk menolaknya. "Saya hanya membuat sandwich dan omelette. Maaf Ma, saya terburu-buru untuk mengambil beberapa kain yang sudah saya pesan," ujarnya. "Bagus, segeralah pergi. Oksigen dirumah ini menjadi tercemar karna kamu." Berenice bersedekap dan menyemprot antiseptik ke arah Quen, hingga membuatnya risih. Quen mengambil tasnya dan berlalu begitu saja. Saat ini, ia benar-benar butuh seseorang untuk diajak berdiskusi. Ia tidak mungkin menghubungi sahabatnya, karena tahu pasti urusan akan menjadi panjang dan runyam. Terpikirkan olehnya satu nama, Lyden. Ia sangat berharap hari ini Lyden berada di tokonya. Quen berlari menuju toko bunga milik Lyden. Dari kejauhan ia melihat Lyden sedang merangkai bunga di meja bundar depan tokonya. Lyden melambaikan tangan ketika melihat Quen mendekat. "Sudah beberapa hari kamu tidak kelihatan, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Lyden. Quen mengangguk-anggukan kepalanya. Lyden mempersilahkannya masuk ke dalam toko. Ia tidak mau jika wanita tua gila itu datang kembali untuk mengacau. Quen duduk di kursi bagian dalam yang menghadap ke jalan, sedangkan Lyden masih membuat teh dan juga mengambil kue untuk Quen. Lyden melihat dengan seksama ke arah Quen yang terlihat penuh beban. Ia memanaskan air dan menyerahkan kue kepada Quen. Quen meletakkannya tepat di depannya. "Quen, siapakah wanita tua yang selalu mengenakan gaun merah? Saya melihat dia seperti iblis pencabut nyawa." Lyden terkekeh membayangkannya. Ia mencoba untuk mencairkan suasana karna melihat wajah Quen yang tertekuk sedih. Quen hanya tersenyum kecil. "Mertua saya. Adakah sesuatu yang dia perbuat?" "Bagaimana kamu bisa hidup dengan wanita gila seperti itu? Kamu sungguh hebat. Selain gila, dia juga keterlaluan. Dia kira bisa membeli soerang dengan uangnya yang bahkan tidak seberapa. Seharusnya, seumurnya lebih banyak berbuat baik ketimbang mencari masalah." Lyden berdecak kagum dengan kesabaran yang dimiliki Quen. Sedangkan ia baru 5 menit berdebat saja sudah terasa muak dengan segala kesombongan wanita tua itu. "Saya meminta maaf atas hal tersebut. Saya benar-benar tidak tahu kalau mertua saya menemui anda." Lyden hanya mengangguk mendengar permintaan maaf yang seharusnya tidak keluar dari mulut Quen. "Suami saya sekarang berani berlaku kasar kepada saya. Menurut mon coeur, saya harus bagaimana?" lanjutnya. Quen selalu memanggil orang terdekatnya dengan sebutan mon coeur yang berarti kesayangan. Lyden terkejut dengan pernyataan Quen. Ia meletakkan teh yang ia buat tepat di tengah mereka. "Jadi tempo hari itu?" "Iya. Untung saja anak yang saya kandung tidak kenapa-napa. Sekarang saya bingung harus berbuat apa." Quen mulai menangis meratapi nasibnya. Ia hanya ingin memiliki keluarga utuh dan mengurus anak-anaknya supaya menjadi anak-anak hebat. "Saya merasa suami saya berubah setelah ada Mamanya." Quen mengusap air matanya. "Quen, dia tidak berubah, hanya saja menunjukkan sifat aslinya. Mertuamu saja bisa memaksa Scouts untuk mengakui bahwa dia menjalin hubungan denganmu. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Jadi, apa yang kamu harapkan?" Quen hanya menggeleng. Pernikahan antara ia dan Edward adalah kemauannya. Tidak mungkin ia menyerah begitu saja. "Setiap orang pintar dalam menyembunyikan siapa dirinya sampai dia mendapatkan apa yang diinginkan. Jika kamu berpikir suami kamu akan menjadi baik dan menyesal telah menyiksamu, saya rasa itu tidak mungkin," terang Lyden. "Tapi kenapa?" "Mungkin dia sudah mendapatkan yang dia inginkan, sehingga kamu dirasa tidak berguna lagi. Sebelum menikah, berapa lama kamu mengenalnya? Pernahkah membahas mengenai tujuan pernikahan kalian?" selidik Lyden. Quen menjelaskan awal pertemuan mereka. Hanya dalam waktu 5 bulan mereka memutuskan untuk menikah. Ia merasa yakin menikahi Edward karna sikap lembutnya kepada mamanya. Ketika itu, ia hanya berpikir Edward akan menjadi papa yang baik. "Kenapa bisa kamu selugu itu? Pernikahan yang kamu jalani hanya seperti bisnis. Kamu menginginkan anak sedangkan suaminya ingin membangun bisnisnya. Bagaimana mungkin seorang lelaki tidak penasaran dengan latar belakang keluarga istrinya. Tidak masuk akal." Lyden menggeleng-gelengkan kepalanya. "Begini, saya harap kamu tidak menginginkan dia berubah menjadi seperti yang kamu inginkan. Lebih baik kamu yang mengubah sudut pandang soal pernikahan yang kamu jalanin. Hakikatnya, kamu tidak akan bisa membayar waktu yang dia habiskan puluhan tahun untuk mengikuti keinginanmu," lanjut Lyden. Quen menyeruput teh yang ada di depannya. Ia merasa dirinya terlalu naif. Demi tetap terlihat baik-baik saja, mengabaikan banyak hal. "Saya bingung bagaimana cara memberitahu bahwa saya sedang hamil? Mama pasti tidak senang akan hal itu." Quen menundukkan kepalanya. Isak tangis kembali terdengar. "Honey ... kamu harus hadapi semuanya. Dunia tetap akan berputar meski kamu diam. Tapi masalah tidak akan selesai jika kamu hanya mengalah. Perjuangkan yang seharusnya diperjuangkan." Lyden mengusap-usap rambut Quen untuk menenangkannya. Lyden telah menganggap Quen seperti adiknya sendiri. Quen berpamitan setelah merasa lega. Namun, wanita tua dengan setelah serba merah kembali datang ke toko Lyden. "Wanita miskin. Keluar kamu!" teriak Berenice. Lyden berjalan keluar untuk melihat perihal apalagi yang membawa wanita tua ini datang. Lyden melihat wajah wanita tua itu merah padam, seperti hendak menerkamnya. "Berani-beraninya kamu! Kamu harus tahu siapa yang kamu lawan!""Nyonya, ini data-data yang anda minta. Semua tentang wanita itu ada didalam berkas ini." Lyden mengambil berkas yang diberikan kepadanya. Ia duduk dengan anggun di meja kerjanya. Mengenakan serba hitam termasuk kacamata. "Saya pikir wanita tua itu cukup berkuasa, ternyata tidak seperti yang saya pikirkan." Lyden berbicara sendirian dengan senyum ganjil. Tidak disangka orang yang melawannya tidak lebih hebat darinya. Ia sempat berpikir wanita tua tersebut mempunyai peranan sangat penting dalam dunia bisnis di kota ini. Lyden keluar dari ruang kerjanya, berganti pakaian ke yang lebih sederhana untuk kembali menjadi penjual bunga. "Hari ini, seharusnya ada pertunjukan." Mobilnya melaju ke arah toko bunga deket rumah Quen. Ia menantikan respon apa yang wanita tua itu berikan kepadanya. Ketika sedang merangkai bunga ia melihat Quen datang. Lyden memposisikan diri dengan baik ketika Quen berusaha untuk menceritakan tentang rumah tangganya. Tidak berselang lama setelah Quen berpamitan,
"Tolong bawakan makanan ini kepada Quen, bagaimanapun dia sedang hamil. Tidak baik menyiksanya begitu." Berenice menyerahkan sandwich yang ia buat beserta satu gelas jus. "Mama, tidak perlu sebaik ini pada wanita yang tidak tahu diuntung itu. Memang apa kurangnya saya sebagai laki-laki?" Edward memakan sosis yang ada didepannya. "Cepatlah, jika kamu ingin anak di kandungannya segera pergi, maka turuti saja perintah Mama." Edward mengambil piring dan gelas yang telah disiapkan Mamanya. Dari semalam, Quen tidak diizinkan untuk keluar dan juga tidak diberi makan. Tidak ada yang bisa ia lakukan di dalam kamar selain mendesain pakaian agar pikirannya terfokus tidak pada makanan. Ia teringat perkataan Lyden untuk merubah sudut pandanganya mengenai pernikahannya dengan Edward. Quen mendengar seorang membuka pintu kamarnya. Meskipun ia telah mencoba untuk menahan lapar, tetap saja tidak bisa. Ia mendapati Edward membawa makanan serta jus untuknya. Tanpa pikir panjang Quen langsung me
"Dok, bagaimana keadaan sahabat saya?" tanya seorang wanita dengan setelan rapi, sedangkan wanita lainnya terlihat harap cemas. "Untung saja kalian datang tepat waktu untuk mengambil keputusan. Jika tidak, saya tidak tahu hal apa yang akan terjadi selanjutnya." Kedua wanita yang merupakan sahabat Quen tersebut adalah Sarah Staphanny dan Micheline Gourge. Mereka dulunya berkuliah dikampus yang sama dan memutuskan untuk tinggal bersama. Sarah yang merupakan putri dari orang yang cukup penting dikota ini. Mereka berbincang dengan dokter yang menanganin Quen soal apa yang sebenarnya terjadi. Wajah Sarah terlihat merah padam. Tangannya menggengam kuat. Ia hanya tak habis pikir bagaimana bisa suami Quen meninggalkan Quen seorang diri. Dokter bergegas pergi setelah dirasa penjelasannya cukup. "Berkali-kali saya bilang, seharusnya dia mencari tahu siapa lelaki itu," ucap Sarah jengkel. "Quen bukanlah lagi anak kecil. Dia pasti mempunyai pertimbangan akan keputusannya dulu. Sudahlah. Mar
"Apa? Kamu akan kembali ke rumahnya? Apakah cinta benar-benar membuatmu kehilangan akal?" Sarah mendelik ke arah Quen."Apakah ada pilihan lain?" tanya Quen.Michelle merasa iba dengan keadaan yang harus dihadapi sahabatnya. Tidak tega rasanya jika ia harus memberitahukan kebenaran soal Edward."Apa yang kamu harapkan dari lelaki yang bahkan tidak pernah ada ketika kamu butuh. Hampir dua bulan kamu dirawat disini, apakah pernah dia datang?" Sarah memalingkan mukanya. Bagaimanapun ia tetap merasa kasihan dengan Quen."Terima kasih karna selalu ada. Namun ... apakah mungkin saya harus meninggalkan Bhlyte Callie begitu saja? Tapi bolehkah saya meminta pertolongan lagi?" tanya Quen.Ia terlihat begitu menyedihkan karna sesuatu yang sudah ia bangun. Quen menghabiskan semua yang ia punya untuk brandnya. "Katakanlah." Michelle menatap Quen dengan seksama.Quen memberitahu apa keinginannya kepada Sarah dan Michelle. Ia yakin hanya mereka berdua yang bersedia membantu tanpa pamrih.***"Quen,
"Selangkah lagi, apa yang saya cita-citakan akan tercapai." Edward merapikan dasi yang sedang ia kenakan."Mama yakin kamu pasti bisa mendapatkan yang kamu inginkan, Nak." Berenice menepuk pundak Edward penuh kasih sayang.Berenice menggandeng Edward menuju Altar pernikahannya bersama Jeanne Fredh Diomore, putri dari pemilik ribuan perusahaan yang bergerak dibilang kemediaan. Namun, orang tua Jeanne juga memiliki pertambangan di luar negeri."Mr. Fredhor sangat pandai dalam memilih menantu," bisik salah seorang tamu yang hadir."Tidak hanya tampan, dengar-dengar dia juga seorang desainer yang karyanya luar biasa."Para tamu yang hadir sangat mengagumi Edward. Selain parasnya, pencapai-pencapaian yang ia miliki juga membuat banyak orang terpukau. Itu juga yang menjadi alasan Fredhor menjodohkan Jeanne dengannya.Gemuruh riuh saat janji suci diucapkan oleh Edward untuk Jeanne. Kebahagiaan tak terkira dirasakan oleh kedua pembelai. Bahkan tamu yang hadir memandang kagum akan ketampanan da
"Quen, hari ini kami akan mengundang kolega, tolonglah jaga sikap!" Jeanne memandang Quen sinis."Baik." Quen mengambil kertas yang berisi catatan apa yang harus dimasak.Segalanya telah dipersiapkan didapur. Edward dan Jeanne mengundang kurang lebih 20 orang koleganya sebagai bentuk penghargaan atas kesuksesan Blhyte Callie di acara fashion show. Selain itu, Edward sengaja mengundang untuk bekerja sama agar dapat membuat fashion shownya sendiri.Sekitar 30 menit acara dimulai, namun Quen sama sekali belum mempersiapkan apapun di meja makan. Itu membuat Jeanne menjadi geram."Cepatlah! Bergunalah sedikit saja. Ingat kamu hanya menumpang di rumah ini!" bentak Jeanne.Quen dengan segera menyiapkan piring-piring dan perlengkapan lainnya. Peluhnya menetes deras. Ia kembali teringat perkataan dari seorang nenek yang ia temui di rumah sakit. Dalam hidup ada yang harus diperjuangkan, jika tidak itu bukan hidup. Dengan tekat yang kuat dalam hatinya, Quen mencoba menerima semua kenyataan dan t
"Tuan, kenapa anda tampak begitu muram hari ini? Apakah karna pengaruh harga saham yang menurun?" tanya seorang lelaki kurus tinggi kepada seorang yang sedang memainkan penanya."Tidak ... ada seorang wanita yang sangat menarik untuk saya ... namun ... Sudahlah lupakan." Vinn meletakkan pena yang ia pegang.Sepulang dari makan malam yang diadakan oleh Edward, ia merasakan ada hal yang salah pada dirinya. Entah bagaimana seorang pelayan telah membuatnya jatuh hati. Wanita itu sangat sederhana namun membuat kesan yang tidak semua wanita bisa berikan."Tuan, jika boleh saya tahu ada apakah gerangan?" lanjut sekretaris pribadi Vinn.Ia adalah Vincecio Leaman, seorang anak dari pembisnis terkemuka. Merupakan pewaris tunggal dari perusahaan papanya yang bergerak di bidak lokomotif. Tidak hanya itu, mamanya juga seorang kolektor permata yang memiliki ratusan toko pertama diseluruh dunia."Carilah informasi soal wanita yang bekerja di rumah Edward." Vinn bangun dari tempat duduknya menuju ke
"Apakah mungkin saya bisa bertahan dirumah ini dengan segala perlakuan yang sangat tidak pantas?" bisik Quen kepada dirinya.Kedudukannya di rumah The Barclay tidak berubah sama sekali. Ia tetap dianggap sebagai pembantu. Meskipun ia telah melakukan banyak hal namun, tetap saja tidak ada harganya dimata suaminya."Bagaimana manapun saya harus mulai mengubah diri saya. Mencintai diri sendiri lebih baik," ucap Quen lagi.Ia menyelinap keluar rumah untuk ke toko bunga milik Lyden. Sudah lama sekali ia tidak berkunjung kesana. Quen merasa sangat rindu dengan Lyden."Quen!" pekik Lyden yang melihat Quen dari menuju ke arahnya.Quen langsung memeluk Lyden. Tidak ada kata-kata yang mampu ia ucapkan. Melihat mata Lyden saja sudah berhasil membuatnya menjatuhkan bulir-bulir hangat."Are you okay, Honey? Apakah si nenek durjana itu masih memperlakukanmu tidak pantas?" Lyden menggandeng Quen untuk masuk ke dalam toko. "Tidak ... tapi ... Edward menikah lagi dengan putri dari salah satu investorn