"Nyonya, ini data-data yang anda minta. Semua tentang wanita itu ada didalam berkas ini." Lyden mengambil berkas yang diberikan kepadanya. Ia duduk dengan anggun di meja kerjanya. Mengenakan serba hitam termasuk kacamata.
"Saya pikir wanita tua itu cukup berkuasa, ternyata tidak seperti yang saya pikirkan." Lyden berbicara sendirian dengan senyum ganjil. Tidak disangka orang yang melawannya tidak lebih hebat darinya. Ia sempat berpikir wanita tua tersebut mempunyai peranan sangat penting dalam dunia bisnis di kota ini. Lyden keluar dari ruang kerjanya, berganti pakaian ke yang lebih sederhana untuk kembali menjadi penjual bunga. "Hari ini, seharusnya ada pertunjukan." Mobilnya melaju ke arah toko bunga deket rumah Quen. Ia menantikan respon apa yang wanita tua itu berikan kepadanya. Ketika sedang merangkai bunga ia melihat Quen datang. Lyden memposisikan diri dengan baik ketika Quen berusaha untuk menceritakan tentang rumah tangganya. Tidak berselang lama setelah Quen berpamitan, terdengar teriak dari luar. "Apakah anda telah menerima pesan saya?" tanya Lyden tanpa basa-basi. Berenice mendelik melihat kelancangan wanita di depannya. "Dari mana kamu mendapatkan nomor pribadi saya?" Lyden tersenyum sinis. Meskipun ia belum menemukan siapa orang dibalik layar dari wanita tua ini sehingga bisa seberani itu dalam mengancam orang. Namun, ia berusaha terlihat santai. "Jangankan cuma nomor pribadi anda, bahkan rahasia anda pun saya tahu. Jadi berhati-hatilah. Dan jangan berharap anda bisa menjatuhkan saya." Lyden sudah kepalang tidak menyukai wanita tua angkuh itu. "Apakah kamu berusaha mengancam saya? Kamu pikir kamu siapa, hanya wanita miskin yang sok tahu." Nyali Berenice sedikit menciut. Ada kekhawatiran yang terpancar dari raut wajahnya yang tegas. Ia mulai meregangkan tangannya yang bersedekap angkuh. "Bagaimana jika saya menyebar ke media bahwa restoran bermichelin bintang dua milik keluarga Barclay didapatkan dari hasil mencuri resep dari restoran lain? Atau ... " "Cukup! Hentikan. Baik kali ini kamu menang, lihat saja nanti!" Berenice pergi meninggalkan Lyden dengan perasaan kesal. Di sepanjang jalan ia hanya memikirkan cara untuk menjatuhkan wanita tersebut. Namun, Berenice sadar penjaga toko itu bukanlah orang sembarangan. Seharusnya ia terfokus mencari cara agar menantunya keluar dari rumahnya. "Ah ... apa yang tidak bisa dilakukan dengan uang." Senyum ganjil terpasang kembali ke wajahnya. Entah apa yang Berenice rencanakan kali ini. Berenice menuju ke arah kamar Quen. Ia ingin mengambil beberapa pakaian Quen untuk diberikan kepada orang bayaran yang bisa mengaku sebagai selingkuhan menantunya itu.Saat menarik pakaian paling bawah, tanpa sengaja satu amplop besar juga ikut tertarik. Berenice membuka perlahan benang yang melilit pada pengait amplop. Mata coklatnya membelalak, terpancar senyum sumringah setelah melihat semua isi amplop. Ia langsung menuju ke kamarnya untuk menelpon Edward yang sedang berada di butiknya. "Istrimu hamil." Hanya itu yang Berenice katakan saat Edward menerima panggilannya. Raut bahagia masih terpancar diwajahnya meskipun beberapa kerutan juga mulai bermunculan. Mendengar hal tersebut Edward langsung menuju rumahnya. Mobil yang dikendarai melaju dengan cepat. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa istrinya hamil sedangkan ia selalu menggunakan pengaman setiap kali bermain dengan istrinya. "Mama ..." Edward berteriak dengan keras hingga menggema ke penjuru rumah yang cukup besar. Berenice membuka pintu kamarnya, menghampiri Edward yang kesal karena informasi darinya. "Mana surat dokter yang Mama maksud?" Berenice menyerahkan amplop berwarna coklat kepadanya. Edward membuka dengan kasar amplop itu. Ia hanya tidak habis pikir kenapa istrinya menyembunyikan ini. "Mama sangat bahagia, akhirnya akan menimang cucu." "Ini tidak mungkin, tidak mungkin ... ini bukan anak saya." Edward terduduk. Meremas kertas yang ada ditangannya. "Kenapa sayang? Kenapa kamu tampak frustasi dengan berita bahagia ini? Atau jangan-jangan?" Berenice mencoba untuk membangunkan Edward. "Ini tidak seperti yang Mama pikirkan bukan?" Edward di bantu Berenice menuju ke arah sofa di dekat mereka. Berenice berlari ke dapur untuk mengambilkan minum anaknya yang tampak begitu terkejut. 'Keberuntungan memang selalu berpihak kepada saya. Dengan sentuhan sedikit drama, Quen pasti akan diusir dari rumah ini.' kata Berenice dalam hati. Ia kembali dengan segelas air putih ditangannya. Edward masih memukul-mukul sofa dimana ia duduk. Berenice mengarahkan gelas ke bibir Edward. Ia meneguk pelan-pelan. Mencoba mengontrol emosi dalam dirinya. "Apakah itu benar anak saya, Ma?" Tatapan mata Edward kosong. Pikirannya melayang seperti tidak menerima dengan semua keadaan ini. "Mama sendiri tidak yakin, jika benar itu adalah anakmu bukannya seharusnya istrimu memberitahumu, bukan malah menyembunyikan seperti ini." Berenice merasa sangat bahagia karna ia sangat tahu anaknya belum ingin mempunyai anak. Edward masih tidak percaya dengan surat kehamilan pemberian Mamanya. Bukannya antara ia dan Quen telah membuat perjanjian selama beberapa tahun ke depan mereka hanya terfokus pada pengembangan bisnis. Berenice menggunakan kesempatan ini untuk memanas-manasi Edward. "Apakah istrimu menggunakan semua uangnya untuk membayar lelaki sewaan agar dia bisa hamil? Kamu perlu memperjelas semua ini." Edward bangkit dari duduknya, meninggalkan Mamanya sendirian. Ia berjalan menuju kamar. Ia masih belum bisa mengkondisikan dirinya harus bersikap seperti apa. Edward membaringkan diri. Ia tiba-tiba merasakan kepalanya begitu sakit. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dari pikiran soal kehamilan ini. Beberapa saat kemudian, Quen datang dengan gulungan-gulungan kain. Quen langsung menuju tempat kerjanya untuk meletakkan semua gulungan yang ia bawa. Ia berjalan menuju kamarnya untuk mengganti baju. "Tumben sudah pulang." Quen meletakkan tas yang di bawa di meja terdekat dan menuju ke arah lemari pakaian. "Apa maksud surat kehamilan ini?" Edward mengangkat kertas yang tergeletak disebelahnya. Raut wajah Quen berubah, ia ketakutan jika suaminya akan bertindak bodoh kepada dirinya. "Kamu ... su ... dah tahu semuanya?" Quen terbata, ia semakin gugup. "Siapa lelaki yang kamu bayar untuk menghamilimu?" Quen merasa bingung dengan pertanyaan yang diberikan kepadanya. Bagaimana suaminya bisa menuduh hal menjijikan seperti itu kepadanya. Bahkan, tidak satupun teman lelaki yang ia punya. "Apa maksudmu, Edward? Tentu ini anakmu." Edward bangkit dari tempat tidur. Mendorong tubuh Quen ke arah dinding. Ia mengepalkan tangannya. Quen kini terdesak diantara dinding dan juga Edward. Quen merasa gemetaran melihat semua ini. Satu pukulan berhasil mengenai dinding disamping Quen, membuatnya berteriak ketakutan. "Sekali lagi saya tanya, siapa yang menghamilimu?!" Edward membentak bersamaan dengan satu pukulan kembali mengenai dinding. Quen hanya menangis pasrah. Bahkan ia bingung jawaban seperti apa yang diinginkan oleh suaminya. "Baiklah, jika kamu tetap mau diam, jangan harap kamu bisa keluar dari kamar ini!" Edward mendorong keras badan Quen ke arah dinding. Dengan perasaan berkecamuk ia pergi meninggalkan Quen dan menguncinya di kamar. Berenice menghampiri Edward saat hendak meninggalkan rumah. "Ini semua pasti ide dari penjaga toko di ujung jalan tersebut." Edward melangkahkan kaki menuju toko bunga yang dimaksud Mamanya. Ia ingin memberi perhitungan dengan lelaki yang pernah diceritakan oleh Mamanya."Tolong bawakan makanan ini kepada Quen, bagaimanapun dia sedang hamil. Tidak baik menyiksanya begitu." Berenice menyerahkan sandwich yang ia buat beserta satu gelas jus. "Mama, tidak perlu sebaik ini pada wanita yang tidak tahu diuntung itu. Memang apa kurangnya saya sebagai laki-laki?" Edward memakan sosis yang ada didepannya. "Cepatlah, jika kamu ingin anak di kandungannya segera pergi, maka turuti saja perintah Mama." Edward mengambil piring dan gelas yang telah disiapkan Mamanya. Dari semalam, Quen tidak diizinkan untuk keluar dan juga tidak diberi makan. Tidak ada yang bisa ia lakukan di dalam kamar selain mendesain pakaian agar pikirannya terfokus tidak pada makanan. Ia teringat perkataan Lyden untuk merubah sudut pandanganya mengenai pernikahannya dengan Edward. Quen mendengar seorang membuka pintu kamarnya. Meskipun ia telah mencoba untuk menahan lapar, tetap saja tidak bisa. Ia mendapati Edward membawa makanan serta jus untuknya. Tanpa pikir panjang Quen langsung me
"Dok, bagaimana keadaan sahabat saya?" tanya seorang wanita dengan setelan rapi, sedangkan wanita lainnya terlihat harap cemas. "Untung saja kalian datang tepat waktu untuk mengambil keputusan. Jika tidak, saya tidak tahu hal apa yang akan terjadi selanjutnya." Kedua wanita yang merupakan sahabat Quen tersebut adalah Sarah Staphanny dan Micheline Gourge. Mereka dulunya berkuliah dikampus yang sama dan memutuskan untuk tinggal bersama. Sarah yang merupakan putri dari orang yang cukup penting dikota ini. Mereka berbincang dengan dokter yang menanganin Quen soal apa yang sebenarnya terjadi. Wajah Sarah terlihat merah padam. Tangannya menggengam kuat. Ia hanya tak habis pikir bagaimana bisa suami Quen meninggalkan Quen seorang diri. Dokter bergegas pergi setelah dirasa penjelasannya cukup. "Berkali-kali saya bilang, seharusnya dia mencari tahu siapa lelaki itu," ucap Sarah jengkel. "Quen bukanlah lagi anak kecil. Dia pasti mempunyai pertimbangan akan keputusannya dulu. Sudahlah. Mar
"Apa? Kamu akan kembali ke rumahnya? Apakah cinta benar-benar membuatmu kehilangan akal?" Sarah mendelik ke arah Quen."Apakah ada pilihan lain?" tanya Quen.Michelle merasa iba dengan keadaan yang harus dihadapi sahabatnya. Tidak tega rasanya jika ia harus memberitahukan kebenaran soal Edward."Apa yang kamu harapkan dari lelaki yang bahkan tidak pernah ada ketika kamu butuh. Hampir dua bulan kamu dirawat disini, apakah pernah dia datang?" Sarah memalingkan mukanya. Bagaimanapun ia tetap merasa kasihan dengan Quen."Terima kasih karna selalu ada. Namun ... apakah mungkin saya harus meninggalkan Bhlyte Callie begitu saja? Tapi bolehkah saya meminta pertolongan lagi?" tanya Quen.Ia terlihat begitu menyedihkan karna sesuatu yang sudah ia bangun. Quen menghabiskan semua yang ia punya untuk brandnya. "Katakanlah." Michelle menatap Quen dengan seksama.Quen memberitahu apa keinginannya kepada Sarah dan Michelle. Ia yakin hanya mereka berdua yang bersedia membantu tanpa pamrih.***"Quen,
"Selangkah lagi, apa yang saya cita-citakan akan tercapai." Edward merapikan dasi yang sedang ia kenakan."Mama yakin kamu pasti bisa mendapatkan yang kamu inginkan, Nak." Berenice menepuk pundak Edward penuh kasih sayang.Berenice menggandeng Edward menuju Altar pernikahannya bersama Jeanne Fredh Diomore, putri dari pemilik ribuan perusahaan yang bergerak dibilang kemediaan. Namun, orang tua Jeanne juga memiliki pertambangan di luar negeri."Mr. Fredhor sangat pandai dalam memilih menantu," bisik salah seorang tamu yang hadir."Tidak hanya tampan, dengar-dengar dia juga seorang desainer yang karyanya luar biasa."Para tamu yang hadir sangat mengagumi Edward. Selain parasnya, pencapai-pencapaian yang ia miliki juga membuat banyak orang terpukau. Itu juga yang menjadi alasan Fredhor menjodohkan Jeanne dengannya.Gemuruh riuh saat janji suci diucapkan oleh Edward untuk Jeanne. Kebahagiaan tak terkira dirasakan oleh kedua pembelai. Bahkan tamu yang hadir memandang kagum akan ketampanan da
"Quen, hari ini kami akan mengundang kolega, tolonglah jaga sikap!" Jeanne memandang Quen sinis."Baik." Quen mengambil kertas yang berisi catatan apa yang harus dimasak.Segalanya telah dipersiapkan didapur. Edward dan Jeanne mengundang kurang lebih 20 orang koleganya sebagai bentuk penghargaan atas kesuksesan Blhyte Callie di acara fashion show. Selain itu, Edward sengaja mengundang untuk bekerja sama agar dapat membuat fashion shownya sendiri.Sekitar 30 menit acara dimulai, namun Quen sama sekali belum mempersiapkan apapun di meja makan. Itu membuat Jeanne menjadi geram."Cepatlah! Bergunalah sedikit saja. Ingat kamu hanya menumpang di rumah ini!" bentak Jeanne.Quen dengan segera menyiapkan piring-piring dan perlengkapan lainnya. Peluhnya menetes deras. Ia kembali teringat perkataan dari seorang nenek yang ia temui di rumah sakit. Dalam hidup ada yang harus diperjuangkan, jika tidak itu bukan hidup. Dengan tekat yang kuat dalam hatinya, Quen mencoba menerima semua kenyataan dan t
"Tuan, kenapa anda tampak begitu muram hari ini? Apakah karna pengaruh harga saham yang menurun?" tanya seorang lelaki kurus tinggi kepada seorang yang sedang memainkan penanya."Tidak ... ada seorang wanita yang sangat menarik untuk saya ... namun ... Sudahlah lupakan." Vinn meletakkan pena yang ia pegang.Sepulang dari makan malam yang diadakan oleh Edward, ia merasakan ada hal yang salah pada dirinya. Entah bagaimana seorang pelayan telah membuatnya jatuh hati. Wanita itu sangat sederhana namun membuat kesan yang tidak semua wanita bisa berikan."Tuan, jika boleh saya tahu ada apakah gerangan?" lanjut sekretaris pribadi Vinn.Ia adalah Vincecio Leaman, seorang anak dari pembisnis terkemuka. Merupakan pewaris tunggal dari perusahaan papanya yang bergerak di bidak lokomotif. Tidak hanya itu, mamanya juga seorang kolektor permata yang memiliki ratusan toko pertama diseluruh dunia."Carilah informasi soal wanita yang bekerja di rumah Edward." Vinn bangun dari tempat duduknya menuju ke
"Apakah mungkin saya bisa bertahan dirumah ini dengan segala perlakuan yang sangat tidak pantas?" bisik Quen kepada dirinya.Kedudukannya di rumah The Barclay tidak berubah sama sekali. Ia tetap dianggap sebagai pembantu. Meskipun ia telah melakukan banyak hal namun, tetap saja tidak ada harganya dimata suaminya."Bagaimana manapun saya harus mulai mengubah diri saya. Mencintai diri sendiri lebih baik," ucap Quen lagi.Ia menyelinap keluar rumah untuk ke toko bunga milik Lyden. Sudah lama sekali ia tidak berkunjung kesana. Quen merasa sangat rindu dengan Lyden."Quen!" pekik Lyden yang melihat Quen dari menuju ke arahnya.Quen langsung memeluk Lyden. Tidak ada kata-kata yang mampu ia ucapkan. Melihat mata Lyden saja sudah berhasil membuatnya menjatuhkan bulir-bulir hangat."Are you okay, Honey? Apakah si nenek durjana itu masih memperlakukanmu tidak pantas?" Lyden menggandeng Quen untuk masuk ke dalam toko. "Tidak ... tapi ... Edward menikah lagi dengan putri dari salah satu investorn
"Bagaimana dengan proposal penawaran dari saya? Apakah kami tertarik mendanai fashion show yang akan saya adakan, Vinn?" Edward mengundang Vinn untuk bertemu di kafe dekat dengan butiknya."Saya akan mempelajari kembali proposal yang kamu tawarkan. Sudah lama sekali kita tidak berjumpa. Saya sangat tertarik bagaimana kamu bisa membangun butik sebesar ini sekarang?" Vinn mengambil proposal kerjasama yang diberikan kepadanya.Vinn dan Edward adalah sahabat lama yang cukup dekat. Mereka saling mengenal sejak sekolah menengah atas. Edward adalah orang yang paling tulus berteman dengan Vinn. Ia tidak pernah peduli dengan seberapa banyak uang yang dimiliki Vinn.Edward tertawa mendengar pertanyaan Vinn. "Apakah kamu pernah melihat seorang wanita lusuh ketika datang ke rumah saya?" Vinn hanya mengangguk. Ia hanya melihat seorang wanita lusuh yaitu pembantu dari keluarga Barclay."Ini rahasia antara kita berdua, dia adalah desainer yang sebenarnya. Kamu pasti masih ingat dengan baik bagaimana