Happy reading gaess
Freya turun tangga dengan langkah hati-hati, mengenakan blouse putih longgar dan celana bahan. Wajahnya segar, tapi ada garis lelah di bawah matanya.Di ruang makan, Ratih sedang menyusun roti panggang dan buah segar. “Pagi, Freya! Kamu bangun juga akhirnya.”“Maaf, Tante, aku tidur agak larut,” jawab Freya sambil duduk. “Aku masih kurang fit gara-gara obat itu—” katanya dengan suara yang lembut selembut beledu.Ratih tertawa ringan. “Tenang aja, rumah ini pelan-pelan akan menyembuhkanmu.”Langkah kaki berat terdengar dari arah lorong. Surya muncul. Ia berhenti sejenak melihat Freya duduk di meja makan. Tatapannya tajam, tapi tak lagi sekeras waktu pertama kali Freya datang. Kini, justru lebih... diam-diam tidak suka.Mengapa gadis itu ada di sana?Kedatangannya bisa membuat masalah. Bagaimanapun, ia mantan Dewa. Jika istri Dewa melihat kedatangannya, maka pasti akan menimbulkan sebuah masalah baru dalam rumah tangga Dewa.“Pagi, Om Surya,” sapa Freya sopan. Ia mengangguk pelan. Sury
Andini terbaring di sofa, tubuhnya menggigil, keringat dingin membasahi pelipisnya.Tangannya sempat menggenggam gelas air putih, tapi kini gelas itu sudah tergeletak di lantai, airnya tumpah sebagian. Pandangannya buram, dunia terasa berputar.“Aku… cuma… kurang makan…” bisiknya lirih, memaksakan diri untuk duduk. Namun baru setengah bangkit, semuanya gelap.Brak!Tubuh Andini terjatuh ke lantai, tak sadarkan diri.Beberapa menit kemudianNaura memasukkan kode apartemen dengan tergesa-gesa. Tangannya gemetaran saat menekan tombol. Ia baru saja pulang dari rumah sakit saat mendapat pesan dari Andini yang isinya kacau—tidak seperti biasanya. Kebetulan ia mendapat shift malam hari.Begitu pintu terbuka, matanya langsung membelalak. Ia disuguhkan oleh pemandangan yang menyedihkan.“Andini!”Naura berlari menghampiri tubuh sahabatnya yang tergeletak di lantai ruang tengah. Nafas Andini lemah, wajahnya pucat seperti kertas.“Ya Allah, kamu kenapa sih, Din?” gumam Naura panik. Ia cepat-cepa
Freya menarik napas berat, wajahnya nyaris hanya sejengkal dari wajah Dewa. Namun Dewa tak bergeming.Tatapan matanya tajam—bukan karena godaan, tapi karena kecewa dan letih. Ia merasa muak dengan sikap Freya—yang nyaris meruntuhkan harga dirinya. Bagaimanapun Dewa seorang pria yang memiliki nafsu. Namun ia berusaha waras di tengah situasi kalut itu.“Freya,” ucap Dewa dingin, “jangan paksa aku kehilangan respek terakhir yang aku punya buat kamu.”Genggaman Freya melemah. Matanya berkaca. “Aku tahu, Mas. Kamu udah punya Andini… tapi kamu datang juga kan saat aku minta…”Dewa melepaskan cengkeramannya pelan. “Aku datang karena kamu dalam bahaya. Karena manusiawi. Bukan karena cinta.”Freya terdiam. Bahunya berguncang. Air matanya jatuh perlahan, namun Dewa tidak luluh. Ia menoleh ke pintu, menghela napas panjang, lalu memanggil bantuan.Beberapa menit kemudian, seorang dokter panggilan tiba bersama seorang perawat wanita. Dewa memastikan Freya mendapat perawatan dengan baik—tanpa menye
Flashback onSuasana pub elegan itu penuh tawa. Musik jazz elektronik mengalun lembut. Freya duduk di pojok lounge bar bersama dua rekan kerjanya dari agensi, tertawa kecil sambil memegang mocktail di tangannya.“Ayo dong, Frey. Malam ini kamu yang traktir, kan kamu bintang utama iklan Hadinata,” canda Ellyn, sambil mengangkat gelas wine-nya.Freya tersenyum tipis. “Mocktail aja, ya. Aku gak kuat alkohol.”Di seberang ruangan, seorang wanita berkacamata hitam duduk sendiri di meja paling ujung, topinya sedikit menutupi wajah. Dia sedang mengamati sosok Freya dalam diam.Wanita itu mengintip dari balik menu, melihat saat bartender mengantarkan minuman baru untuk Freya.“Terlalu polos… terlalu mudah,” batinnya sambil mengirim pesan pendek ke seseorang. “Tandai gelas oranye. Kasih setengah dosis.”Tak lama, seorang bartender berpakaian rapi menyodorkan gelas pada Freya. “Dari kami, untuk yang paling bersinar malam ini,” katanya sopan.Freya sempat ragu. Ia memang sering pergi ke pub bersa
“Andin, apa kau baik-baik saja?”Rika berjalan menghampiri Andini yang baru saja turun dari lantai dua gedung rektorat. Ia baru saja mendengar kabar desas-desus dari para mahasiswa lain kalau Andini baru saja dipanggil lagi pihak rektorat.Andini menghentikan langkah kakinya, menatap Rika. Pundaknya luruh begitu saja seperti melepas beban yang menghimpit batinnya. “Aku baik, Rik,”Rika merangkul lengan Andini. Mereka berjalan bersisian lalu duduk di bangku yang berada di depan TU.“Apa benar Shafira melapor balik? Maaf, tadi aku dengar dari yang lain,” ujar Rika penuh perhatian. Ia menatap Andini dengan perasaan simpatik. Betapa tidak, Andini terus saja terjebak dalam masalah di kampus. Padahal ia tidak pernah memulai dulu, mengusik orang lain.“Tadi Tuan Mudzakir, ayahnya Shafira datang. Beliau meminta penjelasan—” helaan nafas keluar dari bibirnya. “Shafira memang memutarbalikan kata. Dia melapor pada ayahnya kalau aku yang memulai duluan, mencari masalah—”Ke dua mata Rika mengerjap
Malam semakin larut. Lampu gantung di ruang tengah memancarkan cahaya kuning hangat, menemani dua perempuan yang duduk lesehan di atas karpet sambil menyeruput teh hangat.Naura mengenakan setelan piyama motif awan, lengkap dengan kaus kaki belang-belang pink-putih. Andini di sampingnya, masih memakai hoodie longgar, rambutnya dikuncir seadanya.Naura mengangkat alis curiga. “Dari tadi kamu diem aja, wajah kamu kayak tahu bulat digoreng dua kali. Kenapa, Din?”Andini menatap cangkir di tangannya dengan tatapan merana kayak anak ayam kehilangan induknya. Suaranya pelan. “Aku dapat surat dari kampus.”Naura langsung duduk lebih tegak. “Surat cinta? Atau surat drop out? Astaghfirullah—”Andini mendecak pelan. “Nauraaa... serius nih.”“Oke, oke,” Naura mengangkat dua tangan seperti menyerah. “Surat apa?”Andini mengambil ponselnya, membuka file P*F, lalu menyerahkannya.Naura membaca. Matanya melebar saat membaca isinya.“Waw.” Naura menatap Andini. “Ini… serius banget. Sepertinya Shafira