“Freya?” gumam Dewa, hampir tak percaya.Freya terkejut sejenak. Tapi kemudian tersenyum tenang. “Hai, Mas Dewa.”Dewa langsung menatap ibunya. “Bu, kenapa dia... tinggal di sini?”Ratih mengangkat alis, berusaha terlihat santai. “Freya sedang butuh tempat tinggal sementara. Kami ada kerjasama. Ibu tawarin tinggal di sini dulu, sambil nunggu selesai.”“Maksud Ibu, masak nggak bisa tinggal di hotel?” nada suara Dewa naik satu oktaf. Sisi lain, Freya hanya bisa menelan saliva mendengar perkataan Dewa yang terasa menusuk jantungnya. Mengapa pria itu bahkan tidak ingin melihatnya?Ratih menghela napas. “Kamu kan tahu, keluarga kita udah lama kenal. Freya juga anak baik. Gak ada yang salah…”“Salah, Bu. Saya udah nikah. Dan ini... sangat tidak pantas.” Dewa menarik nafas dalam. Ini tidak masuk akal! Bisa-bisanya sang ibu melakukan tindakan bodoh itu. Freya mendekat, mencoba meredakan ketegangan kendati hatinya terasa pahit mendengar setiap kata yang lolos dari bibir Dewa. “Aku gak ada nia
Di depan sebuah rumah bergaya kontemporer yang tampak tenang dari luar, suara langkah kaki berhenti tepat di depan pintu.Tok. Tok.Pintu dibuka pelan. Amanda berdiri di ambang pintu dengan wajah terkejut. Tumben, pria itu datang ke sana. Pasti ada sesuatu yang penting.“Om Dewa?” imbuh Amanda dengan senyum kecil.Dewa menatapnya tajam. “Kita perlu bicara.”Amanda mencoba tersenyum, tapi senyumnya hambar. “Masuk aja, Om. Mau teh? Kopi?”Dewa melangkah masuk tanpa menjawab tawaran itu. Ia langsung duduk di ruang tamu, pandangannya dingin. Amanda menutup pintu, lalu duduk dengan tubuh agak kaku di hadapannya.“Ada apa, Om?” tanyanya dengan suara dibuat tenang, meskipun jelas ada gelisah di sorot matanya. Tanpa tedeng aling-aling Dewa mengunjungi rumah kakaknya saat jam kerja. Terdengar aneh bukan!“Mama dan Papa masih di kantor,” katanya sembari mengusap perutnya yang mulai buncit. Sial, tubuhnya gemetar melihat ekspresi yang tampak dari pria dingin di depannya. Dewa membuka percakapan
Langkah kaki Amira terdengar ringan menyusuri anak tangga menuju kamar Dewa. Ia mengira jika Dewa menginap di kediaman Hadinata. Sudah lama ia tidak bersua dengannya. Begitu sampai di depan pintu kamar, Amira mendesah pelan. “Belum pulang, mungkin,” gumamnya pelan. Amira tiba di kediaman Hadinata malam. Alhasil, ia tidak bertanya pada penghuni keluarga Hadinata tentang kepulangan Dewa.Namun saat hendak berbalik, matanya terpaku pada gagang pintu. Pintu itu tidak terkunci.Alis Amira langsung berkerut. Ia menoleh kanan-kiri, sedikit ragu, lalu mendorong pintu perlahan. Terlihat aneh, kenapa Dewa tidak mengunci pintu kamarnya? Klik.“Masuk, ah. Siapa tahu lupa dikunci,” katanya, lebih untuk menenangkan diri.Begitu pintu terbuka penuh, udara kamar menyambutnya dengan keheningan yang tidak biasa. Tidak ada suara televisi, tidak ada suara keran air. Tapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.Hanya ada … perasaan tak nyaman menyelinap diam-diam.Kamar Dewa... terbuka.Amira
Naura hampir jatuh saat menekan tombol lift dengan panik, masih syok dengan suara yang barusan ia dengar dari kamar Andini.“Ya ampun… itu bukan suara AC kan? Bukan suara TV juga... OH PLEASE!” gumamnya sendiri sambil memegangi dada, mencoba menenangkan napas. “Itu suara desahan!!” Ia meringis merasa indra pendengarannya telah ternoda.Begitu pintu lift terbuka, ia langsung melangkah masuk dan memencet tombol B2—basement. Tak ada niat ke sana sebenarnya, tapi daripada menunggu lift ke lantai dasar terlalu lama dan berisiko ketemu siapa pun, lebih baik sembunyi dulu di basement. Toh, dari sana bisa naik taksi online juga.Lift meluncur turun dengan bunyi berdenting lembut. Tapi begitu pintu terbuka, Naura disambut cahaya remang dan hawa dingin khas basement parkiran yang sepi.Hanya suara dengung mesin dan kadang gemericik air dari pipa. Terlihat menyeramkan. Tapi … baginya dompet yang kerontang lebih menyeramkan.Naura melangkah pelan, merapatkan jaketnya. Tapi kemudian—matanya menan
Setelah perjalanan cukup nyaman dari rumah sakit, Andini akhirnya tiba di apartemen. Dewa, seperti biasa, langsung buka pintu, membawa masuk koper kecil, lalu berbalik—mengulurkan tangan penuh gaya dramatis.“Silakan masuk, Nyonya Dewandaru,” katanya dengan menjungkitkan sebelah alisnya.Andini mengerjap. “Tumben sopan…” katanya sembari masih agak ketus. Rasanya masih belum puas, kendati ia diperlakukan seperti tuan putri sekalipun. Kesalahan Dewa kali ini agaknya belum dimaafkan seratus persen. “Sopan itu bagian dari pemulihan,” ujar Dewa, lalu tiba-tiba membungkuk layaknya pelayan kerajaan. “Ini tempat peristirahatan putri yang baru sembuh. Semuanya sudah aku steril. Bahkan remote TV pun aku lap pakai alkohol, loh.”Andini meringis geli. “Kamu takut aku berubah jadi virus?”Dewa menatap istri kecil yang gemas. Ia ingin sekali membungkusnya. Eh …“Nggak. Aku takut kamu berubah jadi Hulk kalau nemu remah keripik di sofa.”Andini tertawa, melangkah masuk sambil menyandarkan tubuhnya k
Kamar rawat inap itu lengang. Hanya suara alat infus yang sesekali menetes pelan. Andini berbaring menyamping, punggung menghadap jendela, matanya kosong menatap tembok.Tiba-tiba pintu terbuka perlahan.“Andin?” suara lembut itu terdengar penuh ragu.Andini mengenali suara itu. Ia pelan-pelan menoleh. Di ambang pintu berdiri Naura.“Naura...?” suara Andini nyaris tak terdengar.Naura langsung melangkah cepat, lalu duduk di tepi ranjang. Ia menggenggam tangan Andini yang terasa dingin.“Aku baru tahu dari suamimu. Maaf aku telat datang...” ucap Naura dengan suara menahan haru. “Ya Allah, tuh kan aku bilang, kamu harus ke dokter. Bandel sih”Andini hanya tersenyum kecil. “Cuma... sakit lambung. Stres. Kebanyakan mikir skripsi,”Naura menatap sahabatnya dalam-dalam. “Andin, kamu nggak harus hadapi semuanya sendirian, tahu? Dari dulu juga kamu gitu. Kalau ada masalah, kamu simpan sendiri.”Andini menghindari tatapannya, bibirnya mengatup. Ia memang tidak berniat membagikan kisah sedihnya