“Astagfirullah, kamu ini, sabun mandi aja bisa lupa beli,” komentar Naura sambil meletakkan dua botol sabun ke dalam troli. Ia menggelengkan kepalanya ribut.Andini tersenyum kecut. “Makanya aku ajak kamu. Otakku lagi berantakan, Nana. Tapi hidup harus terus berjalan.”Cengkraman tangan Andini di trolly lebih kuat. Naura melirik sahabatnya yang tampak kelelahan. Meski senyum masih tergambar, tapi matanya tidak bisa bohong. Andini masih belum menerima perlakuan keluarga Dewa terhadapnya. Ia tidak mengeluh. Ia lebih memilih mengalihkan perasaan itu.“Duh, Din… kamu tuh butuh liburan, bukan belanja bulanan.” Tak henti-hentinya, Naura menggoda Andini. Bahkan demi menemani sahabatnya berbelanja, ia membolos dari RS dengan alasan yang dibuat-buat.“Kalau aku liburan, nanti yang nyuci piring siapa?” balas Andini, mencoba bercanda.Naura terkekeh, lalu merangkul lengan sahabatnya. “Kalau kamu tinggal nyuci air mata aja, biar aku yang urus belanjaan.”Andini tertawa kecil. Setidaknya Naura se
Dipta segera menekan tombol interkom, tiga kali. Tidak ada suara balasan, hanya statis hampa. Ia beralih ke tombol darurat, bunyi nyaring menggema, menusuk, tapi tetap tak membangkitkan respons.Naura berdiri diam di sebelahnya, menggigit bibir bawahnya. Ia mulai dilanda gelisah. Sesaat ia hanya memandangi angka lantai yang membeku di panel digital.Satu menit. Dua menit. Tiga menit berlalu.Dengan gerakan pasrah, ia menghela napas panjang lalu perlahan duduk di lantai lift, menyandarkan punggung ke dinding. Roknya ia rapikan dulu sebelum akhirnya bersandar. Dipta melirik. Keningnya mengernyit. “Kamu ngapain?”Naura menengadah, tenang. “Ya duduk. Masa
Kantin siang itu tak terlalu ramai. Aroma sop buntut dan ayam bakar menguap dari balik etalase makanan. Suara alat makan beradu samar-samar, bercampur dengan siaran radio lokal yang menyenandungkan lagu-lagu dari berbagai genre dari sudut ruangan.Naura meletakkan nampan berisi dua porsi makan siang di atas meja. “Nih, spesial rumah sakit. Jangan dibandingin sama masakan chef bintang lima lo di KL.”Andini tersenyum lelah, “Siapa coba yang bandingin. Ojo dibanding-bandinge kali! Aku di sini nggak nyari rasa, Na. Cuma butuh tempat yang nyaman.”Naura menyingkirkan kursi dan duduk di hadapan sahabatnya. “Gotcha! Kamu dapet itu. Aku adalah tempat ternyaman untuk sahabatku. Aku adalah … tempat kamu berpulang. Aku adalah … tempat kamu bersandar tapi .. aku bukan atm berjalan.”Naura berkata dengan nada seorang sastrawan meskipun diakhiri dengan candaan. Andini tertawa tipis. Tapi tawanya cepat memudar saat teringat kembali apa yang sudah ia lewati di keluarga Hadinata.Naura memperhatikan
Di dalam kabin yang hangat, Andini memandangi kaca jendela mobil mewah, melihat pantulan dirinya sendiri. Matanya sembab—tapi ia sudah hapus air mata itu di kamar mandi sebelum pulang. Betapa tidak, setiap kali bertemu dengan anggota keluarga Hadinata pasti ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Dewa yang menyetir, sesekali melirik istrinya.“Kamu capek, Sayang?” tanya Dewa. Padahal pertanyaan yang sebenarnya adalah, apakah semua baik-baik saja atau tidak?Andini menoleh, lalu tersenyum kecil. “Nggak. Cuma lapar.”Dewa tertawa pelan. “Tadi kamu makannya juga dikit banget. Padahal Ibuk masak rendang favoritku.”Andini hanya mengangguk.Padahal, satu suapan saja sudah membuatnya ingin muntah. Bukan karena makanannya, tapi karena omongan mereka yang masih menggema di kepalanya.“Dia itu cuma gadis miskin numpang nama…” “Mana bisa gadis kayak gitu dampingi Dewa? Rania sudah bilang, Freya lebih cocok untuk Dewa. Freya dan Andini bagai langit dan bumi,”Di dalam mobil, keheningan kemba
Mobil yang dikendarai Dewa melaju mulus melewati gerbang besar kediaman keluarga Hadinata. Tempat yang akhir-akhir ini selalu berhasil membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Bukan karena kemewahannya, tapi karena sosok yang menunggunya di balik tembok rumah itu yang tampak enggan menerima Andini sebagai istrinya sejak awal.Sial, ibunya mulai terprovokasi oleh Rania. Selain sang ayah, anggota keluarga lain terlihat marah pada Andini karena Bima dipecat dari perusahaan Hadinata. Itu adalah puncak kemarahan mereka.“Aku nervous, Mas,” gumam Andini sambil merapikan kacamata dan sesekali menyelipkan anak rambut ke telinganya. Sebuah kebiasaan saat ia dilanda gugup. Sudah cukup lama ia tidak berkunjung ke rumah mertuanya. Entah mengapa perasaannya tak enak saat ini.Dewa meliriknya sekilas, satu tangan menggenggam tangan istrinya, lembut tapi erat. Seolah menjaga barang berharga miliknya. “Tenang aja. Selama kamu di sampingku, kamu aman, Sayang.”Kalimat itu sedikit meredakan badai k
“Sayang, sini,” imbuh Dewa dengan nada lembut. Ia menghampiri istri kecilnya yang sedang duduk termangu di meja belajarnya.Laptopnya menyala di hadapannya, tapi … ia hanya menatapnya kosong. Dewa tidak berniat menginterogasinya. Pasti sesuatu telah terjadi di rumah mertuanya.“Sayang, apa boleh kita bicara,” panggil Dewa untuk ke dua kalinya. Saat panggilan ke dua, ia menoleh. Pun, segera ia menutup layar laptopnya.Gadis dengan rambut tergerai itu duduk di tepi ranjang, di samping suaminya. Tatapannya terpacak pada sebuah map berwarna hitam dengan logo perusahaan Hadinata yang tercetak di atasnya.“Ini apa Mas?” tanya Andini dengan penasaran.Masa iya Dewa mau mengajaknya membuat surat perjanjian kontrak lagi.“Mas Dew, gak mau bikin surat kontrak nikah kan? Soalnya kan udah Mas robek,”Tawa lolos dari bibir Dewa yang bervolume. Tangannya mengusap pucuk kepalanya. “Apa Mas mau kasih wasiat sebelum meninggal?” lanjutnya lagi dengan tatapan polosnya.“Ya ampun, Andin, ini buka dulu