Halo, My Lovely Readers, Mohon maaf atas keterlambatan update ini. Terima kasih banyak sudah mampir dan membaca sampai akhir. Kehadiran kalian sungguh seperti Wi-Fi full bar—bikin hati hangat dan sinyal ide jadi lancar! Jangan lupa tinggalkan ulasan positif ya, karena satu komentar manis bisa mengusir 99% kemalasan (sisanya butuh kopi). Sampai jumpa di bab berikutnya—yang akan tayang segera...
Di kantor pusat PT Hadinata Pharmaceutical, Dewandaru Hadinata, CEO yang lebih banyak dikenal dengan tatapan tajam dan kata-kata minim basa-basi sedang duduk membungkuk di belakang meja. Dasi dilonggarkan, jas digantung di belakang kursi kulit mahal. Wajahnya tak asing di majalah bisnis, tapi hari itu... wajahnya kusut.Hari ini partner luar negeri membatalkan kontrak ekspor. Salah satu produk unggulan mereka terkena isu label. Dan tim legal bikin keputusan sepihak.Dewa mendengus pelan. Hari ini benar-benar sial. Sampai akhirnya...Pintu ruangannya diketuk.“Pak Dewa, ada tamu…” ucap Zaka dari balik pintu.“Suruh tunggu di luar. Saya nggak terima siapa pun sekarang,” jawabnya datar.
“Minum dulu, Na. Ini teh kesukaan Mamimu waktu kuliah dulu,” katanya sambil tersenyum lembut. “Teh melati,”Naura mengangguk sopan. “Terima kasih, Aunty, eh, Mami. Wah... aku baru tahu rumah Mami segedeeee ini. Ini bukan rumah, tapi mansion seperti di Dracin,”Dengan cepat, Naura bisa cepat berbaur. Ia memang supel dan komunikatif. Padahal awalnya ia canggung bertemu dengan sahabat ibunya—yang memang sudah lama tak bersua.“Dracin kesukaan Mamimu.” Salwa tertawa kecil. “Ah, ini juga rumah lama. Udah sejak Dipta kecil. Rumah Daddy Jonathan, kakeknya Dipta. Cuma jarang penuh, karena kita semua sibuk. Ramai kalau nanti ada anak-anaknya Teh Nuha kemari. Maklum, Dipta kan anak tunggal,”Naura tersenyum, tapi pandangannya sempat terlempar ke arah tangga. Tak ada suara dari atas. Sejak Dipta naik ke kamar, suasananya sunyi. 
Ruang makan keluarga Hadinata malam itu tampak elegan seperti biasa. Meja panjang kayu jati dipenuhi aneka hidangan rumah yang menggugah selera; sup buntut, ayam bakar madu, sambal mangga, dan tumis kacang panjang.Surya, sang kepala keluarga, duduk di ujung meja, berwibawa dalam batik biru tua. Di sebelahnya Ratih, ibunda Dewa, dengan senyum manis yang sedikit kaku malam itu. Kursi-kursi lainnya telah terisi oleh Rania dan suaminya Rama, Amira, Bima dan Amanda yang sedang hamil, dan Jelita.Dewa menarik kursi, duduk dengan anggun dan sikap tenang, walau dadanya terasa sesak. Semenjak ada masalah di perusahaan dan istrinya, ia malas jika harus berkumpul di sana. Apalagi, ada Bima dan Amanda.“Terima kasih sudah menyempatkan datang, Dewa,” ujar Ratih sambil menyendokkan sup untuknya. Sang ibu sangat merindukan suasana kumpul semua anaknya.“Ya, Ibu,” jawab Dewa sing
Satu jam berlalu, suasana di dalam mobil beneran hening dan sunyi mirip kuburan. Tidak ada obrolan maupun musik yang menemani selama perjalanan. Namun sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Suara guntur terdengar nyaring lalu diikuti tetesan hujan yang awalnya merintik lalu menderas menimpa atap mobil.Naura meringis ketika mereka masih berada di jalan area perkebunan yang terlihat sepi dan menyeramkan. Mereka sudah melewati perbatasan Jakarta-Bogor. Ia mau mengantar dr Dipta pulang ke rumahnya.Pria dingin di sebelahnya hanya diam, melirik ke jendela lalu menyandarkan kepalanya pada kursi dan memejamkan matanya.‘Ini beneran kan orang bukan bot? Kok biasa aja ya lihat hujan gede. Mana ada petir lagi nambah dramatis.’Sisi lain, jantung Naura jedag-jedug, takut sekali. Jarak pandang pendek. Hujan lebat benar-benar berhasil menutupi jalan. Alhasil, ia tidak bisa melihat dengan jelas. Oleh karena itu ia melambatkan tempo kendaraannya. Baru saja ia menghela nafas, kucing belang yang se
Sore hari di apartemen, Andini masih berkutat di depan Laptopnya yang menyala di meja belajar, tab “BAB IV – HASIL PENELITIAN” terbuka rapi. Kini bab skripsinya sudah mengalami kemajuan. Dr Chan juga tidak mempersulitnya. Semua terasa lancar bagai air sungai. Gadis berkacamata tebal itu bersyukur akan hal itu. Ternyata, di balik kesedihan yang ia lewati, akhirnya ia bisa mendapatkan kebahagiaan setelahnya. Ia hanya butuh sabar dan berdoa.Andini duduk dengan hoodie kebesaran dan rambut dicepol asal-asalan. Di sebelah laptop, secangkir kopi susu buatan sendiri mengepul, dan sticky note warna-warni penuh semangat tertempel di pinggir layar.“Bismillah... bab empat, kita mulai dengan damai ya,” gumamnya, mengetik cepat. “Jangan rewel ya, please,”Tangannya menari di atas keyboard. Angka-angka dari kuesioner yang dikumpulkan beberapa minggu lalu mulai ia olah. Grafik mulai terbentuk, tabel SPSS yang dulu menakutkan kini tampak seperti sahabat karib. Ia mengerjakannya dengan teramat hati-
“Pak Dewa, ada tamu,” Suara Zaka terdengar saat ia melesak masuk ke ruangan CEO tepat setelah rapat penting di perusahaan.Mendengar suara Zaka, Dewa mengangkat mata sembari membetulkan kacamata baca yang bertengger di hidung mancungnya. Helaan nafas lolos di bibirnya. Hari ini ia cukup letih dengan pekerjaan kantor yang tidak ada habisnya.“Suruh masuk,” kata Dewa lalu menggeser tumpukan dokumen kerja itu ke samping laptop. Kini ia beralih pada ponselnya. Saat ia merasa jenuh, maka ia akan menggulir layar ponselnya untuk melihat foto-foto dirinya bersama kekasih hatinya.Gerakan tangannya terhenti tatkala menangkap suara seorang wanita yang familiar. Wajahnya seketika berubah tegang. “Mas, maaf mengganggu,” imbuh wanita bertubuh semampai itu menghampiri Dewa. Ia duduk di atas kursi ergonomis di depannya bahkan sebelum pria itu mempersilahkannya.Dewa hanya berkedip pelan. Zaka keluar dari ruangan itu untuk memberi ruang dan waktu.“Katakan dengan cepat! Aku sedang sibuk,” kata Dewa