Seluruh peserta outbound sudah berkumpul di lapangan rumput yang agak lembap. Angin pegunungan berembus, membuat udara terasa segar sekaligus menambah semangat. Panitia berdiri di depan, memakai rompi oranye terang dengan peluit di leher.
“Selamat pagi semua! Selamat datang di kegiatan outbound dan camping RS Aurora Medika!” seru salah satu panitia dengan suara lantang.
“Hari ini kita bukan dokter, bukan perawat, bukan staf rumah sakit. Hari ini kita adalah satu tim besar yang akan belajar kerja sama, keberanian, dan tentu saja… bersenang-senang!”
Suasana langsung riuh, sebagian bertepuk tangan, sebagian hanya saling lirik.
Dari belakang, perwakilan HRD RS Aurora Medica, Mbak Tania maju sambil membawa mic. “Acara ini adala
“Aku baik-baik saja, Vin,” kata Dipta menegur Vina yang sedari tadi berusaha menempel padanya mirip lalat. Meskipun dengan cara yang sangat halus, Dipta bisa merasakan jika Vina cukup agresif berusaha mendekatinya. Dengan cara apapun.Dipta tidak nyaman namun tetap berusaha fokus pada kegiatan outbond. Apalagi tadi Naura sempat mendelik tajam ke arahnya.Naura menunduk, menahan rasa yang sulit ia jelaskan. Hatinya berdegup kencang, bukan karena jalannya menurun, tapi karena interaksi kecil antara Vina dan Dipta. Satu tangannya tanpa sadar mengepal hingga memperlihatkan otot-otot hijau di punggung tangannya.“Vina maksudnya apa sih. Nempel ke si Didi? Apa jangan si Didi juga suka ditempelin makhluk agresif itu?”Sayang, gerutuny
Mobil hitam milik Dewa meluncur tenang di jalanan Jakarta yang mulai padat. Sesekali tatapan Dewa terarah ke wanita di sebelahnya yang sedang sibuk menatap layar ponsel.Perut Andini memang belum menampakkan perubahan berarti, tapi bagi Dewa, dua bulan usia kandungan itu sudah cukup untuk membuatnya siaga dua puluh empat jam.“Andin, jangan lama-lama main ponsel. Katanya bikin pusing, nanti berpengaruh juga ke bayi,” ucap Dewa tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Andini menoleh, terkekeh kecil. “Sayang, aku cuma baca artikel doang kok. Lagi cari tahu apa yang boleh dimakan sama yang nggak.”“Nggak usah repot-repot, aku sudah tanyain semua ke dokter. Ada catatannya di rumah. Kamu tinggal ikutin aja,” jawab Dewa cepat, suaranya
Seluruh peserta outbound sudah berkumpul di lapangan rumput yang agak lembap. Angin pegunungan berembus, membuat udara terasa segar sekaligus menambah semangat. Panitia berdiri di depan, memakai rompi oranye terang dengan peluit di leher.“Selamat pagi semua! Selamat datang di kegiatan outbound dan camping RS Aurora Medika!” seru salah satu panitia dengan suara lantang.“Hari ini kita bukan dokter, bukan perawat, bukan staf rumah sakit. Hari ini kita adalah satu tim besar yang akan belajar kerja sama, keberanian, dan tentu saja… bersenang-senang!”Suasana langsung riuh, sebagian bertepuk tangan, sebagian hanya saling lirik.Dari belakang, perwakilan HRD RS Aurora Medica, Mbak Tania maju sambil membawa mic. “Acara ini adala
Andini membuka pintu apartemen dengan wajah muram. Dewa yang baru pulang lebih dulu, tengah melepas jaketnya, langsung menoleh.“Din?” suaranya pelan, namun sarat cemas. “Kenapa? Mukamu pucat banget. Mual lagi gak?”Andini hanya meletakkan tasnya di sofa, lalu duduk dengan gerakan lelah. Ia mengusap wajahnya, menahan perasaan yang mengganjal.“Capek?” Dewa mencoba menebak sambil duduk di sampingnya. Menatapnya lekat.Andini menggeleng. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menunduk, tak berani menatap Dewa. “Ayah…”Andini tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Mendadak, lidahnya terasa kelu. Ia masih merasa sedih. Kunjungan ke rumah ayahnya sangat mengecewakan. Sesuai dugaaannya.“Sayang, kamu masih marah sama Ayah? Apa kamu juga kecewa padaku? Gara-gara aku hubungan kalian memburuk,” ujar Dewa mencoba memahami perasaan Andini yang begitu sensitif kali ini. Ia tahu suasana hati wanita hamil tidak bisa diprediksi.Dewa mendesah pelan. Okay, ia tidak mau bersikap gegabah, namun melihat Andini yan
Mobil Dewa berhenti di halaman rumah besar bercat putih gading. Pagar besi terbuka, seakan menyambut mereka, tapi hati Andini justru mengecil. Tangannya dingin, meski genggaman Dewa di sisinya terasa kuat.Dewa menoleh, menepuk lembut tangannya. “Siap, Sayang?”Andini tersenyum tipis, menahan rasa was-was. “Iya… aku cuma mau ketemu Ayah. Itu aja.”Dewa tersenyum tipis. Sebelumnya Andini terlihat ragu-ragu untuk mengunjungi ayahnya. Ia berpikir mungkin Siska adalah alasannya. Ya, Dewa tidak tahu penyebab sebenarnya. Andini masih menyimpannya rapat. Begitu pintu rumah dibuka, aroma kayu jati bercampur aroma pengharum ruangan menyergap. Andika, ayah Andini, muncul dengan wajah setengah ramah tatkala melihat putrinya.Dalam langkah canggung, Andini menghampiri sang ayah dan hendak mencium punggung tangannya. Terakhir kali pertemuan mereka, sang ayah bahkan tak bersedia mengulurkan tangannya. Namun karena disana ada Dewa, maka Andika berusaha menjaga sikap.“Ayah…” suaranya parau, penuh r
Pesawat baru saja mendarat di Jakarta. Suara roda pesawat yang beradu dengan landasan membuat dada Andini berdebar tak karuan. Ia menggandeng lengan Dewa erat-erat, seolah tak ingin kehilangan pegangan.Meski wajahnya letih, sorot matanya penuh semangat. Rasanya seperti baru pulang dari perjalanan panjang menuju rumah yang sebenarnya.Andini menarik napas lega. “Akhirnya sampai juga. Aku kangen banget sama Jakarta.”Dewa melirik sekilas, tersenyum kecil. “Kangen macetnya juga?”Andini tertawa lirih sambil mencubit lengannya. “Ya nggak gitu juga. Tapi… rasanya beda aja. Kayak baru pulang dari perantauan bertahun-tahun.”Mereka berjalan melewati lorong bandara. Suara pengumuman samar-samar terdengar, bercampur dengan riuh penumpang lain yang baru tiba. Andini menempelkan kepalanya sebentar di bahu Dewa.Andini berkata dengan lirih. “Mas, aku kangen soto deh. Sama es teh manis warung kaki lima.”Dewa terkekeh, menurunkan koper yang ia tarik agar bisa menatap istrinya. Dewa menahan tawa. “