“Aku sudah bilang, Om Dewa. Aku nggak tertarik dengan sandiwara. Aku bukan figuran sinetron. Hidupku sudah cukup kayak FTV pagi,” ujar Andini dengan nada tegas.
Ia menolak permintàan Dewa yang memintanya menjadi kekasih bayarannya.
Matanya menatap Dewa seolah pria itu adalah sepiring nasi goreng tanpa kerupuk—mengecewakan.
“Satu miliar, sebagai bonus menjadi kekasihku di depan keluargaku. Bagaimana?” imbuh Dewa bernada serius. Ia pikir gadis miskin seperti Andini pasti akan langsung menyetujuinya. Dari penampilannya, Dewa bisa langsung menyimpulkan jika Andini bukan berasal dari kalangan sosialita. “Kalau bersedia, saya kasih DP seratus juta sekarang,”
Andini menganga mendengar permintàan Dewa. Bagaimana bisa pria itu dengan begitu mudah mengeluarkan uang miliaran hanya untuk hal semacam itu.
Andini diam. Tentu saja, ia manusia normal. Dengan uang sebanyak itu ia bisa melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi. Atau, ia bisa mengambil Fakultas kedokteran.
“5 miliar, bagaimana?” seru Dewa memberikan penawaran yang lebih fantastis. Gadis bodoh mana yang menolak uang sebanyak itu hanya untuk bersandiwara menjadi kekasihnya?
“No! Gak usah Om! Aku gak makan gaji buta. Serius, aku gak mau aja,” jawab Andini tanpa pikir panjang.
‘Andini memang gadis bodoh!’ batin Dewa dengan kesal.
Sial, ia tak bisa mencari gadis lain selain Andini!
Meskipun kecewa namun Dewa tidak terlalu menunjukan ekspresinya. Ia pandai mengendalikan emosi di wajahnya. Ia duduk santai di atas sofa, hanya menaikkan satu alis. Ia memutar rokok di jari-jarinya, meskipun tak kunjung dinyalakan.
“Tidakkah kamu sadar? Kamu telah membuat dosa besar di keluarga Hadinata. Mereka nggak akan diam. Percaya padaku, perhitungan mereka sangat rumit, dan biasanya dibayar kontan.”
Andini mengangkat dagunya penuh gaya. “Kalau dosa besar, kasih saya kalkulator, Om. Saya hitung cicilan ke neraka mulai sekarang.”
Sungguh, dalam hati Andini merasa tegang mendengar perkataan Dewa. Keluarga Hadinata terkenal sebagai keluarga yang tegas dan kejam kecuali Bima.
Bima yang dulu ternyata manipulatif. Ia selalu tampil sebagai pria cemerlang dengan segala ketampanan dan keramahtamahannya. Ternyata, jauh panggang dari api, Bima sama seperti anggota keluarga yang lainnya.
Dewa nyaris menjitak kepalanya sendiri. “Gadis aneh!”
“Aku serius, Andini,” desisnya, setengah frustasi.
“Dan aku serius mau pulang,” balas Andini dengan mantap.
Dengan gerakan cepat seperti orang yang kebelet, ia meraih tasnya dan membetulkan kacamata yang melorot di hidung mancritnya, lalu berbalik hendak pergi.
Dewa menyentuh lengannya. “Andini, ini bukan permainan.”
Andini menatap tangan Dewa, lalu menatap matanya. “Betul. Kalau ini permainan, saya pasti udah game over dari babak pertama.”
Dengan gaya drama Korea yang gagal total, Andini mengibaskan tangan Dewa dan melesat menuju pintu.
Adegan dramatis berubah kacau total saat ia malah nyasar ke ruang laundry. Karena kurang fokus, Andini seperti orang linglung.
“Astaghfirullah. Ini bukan pintu keluar! Mana pula tumpukan kaos kaki sebanyak ini?” gerutunya, lalu berlari keluar lagi dan tersesat ke ruang penyimpanan barang.
Dewa hanya diam, menyaksikan gadis yang dianggap ‘bodoh’ itu mondar-mandir mirip setrika.
Akhirnya, setelah sempat kebingungan, Andini menemukan pintu keluar. Ia berjalan terburu-buru menuju pintu lift.
Senyum lebar terbit di wajahnya.
“Hah... bebas!” serunya dengan dramatis, mengangkat kedua tangannya seperti baru lolos dari penjara. Ia sudah tiba di lantai bawah apartemen. Ia akan segera pergi dari sana.
Naasnya, tanpa ia duga, sebuah mobil hitam berhenti mendadak tepat di depannya, membuat debu beterbangan. Dua pria berbaju necis keluar dari dalam mobil. Wajah mereka setegang saldo rekening saat tanggal tua.
Terlalu cepat!
“Nona Andini,” ucap pria berkacamata gelap, senyumnya sinis seperti sales yang gagal menjual barang dagangannya. “Kita ketemu lagi.”
Andini melongo. “Sial…”
Para pengawal keluarga Hadinata tidak menyerah, mengejarnya hingga ke sana?
Satu langkah... dua langkah…
Andini mundur pelan-pelan. Ia memutar badannya dan lari sekencang-kencangnya seperti atlet maraton.
“KEJAR!” teriak pria berbaju necis yang tadi sok cool.
Andini menjerit tertahan. Sepatunya tertinggal sebelah. Ia sempat ragu mau mengambilnya, tapi melihat dua pria di belakangnya yang begitu bersemangat mengejarnya, ia terus berlari.
Andini berbelok tajam ke gang sempit di samping toko fotokopi. Sayangnya, gang itu ternyata bukan jalan keluar, melainkan lorong dipenuhi oleh barang-barang yang sudah tidak dipakai; kardus, kursi reyot dan motor rusak.
“Ya Allah, kenapa nasibku kayak karakter utama sinetron Indosiar?” gerutu Andini merutuki takdirnya. Ia panik. Matanya bergerak liar mencari ide penyelamatan.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Seperti dapat wahyu dari langit, matanya tertumbuk pada satu pintu tua yang tampak terbuka sedikit. Di luar logika waras, Andini mendorong pintu itu dan masuk begitu saja untuk sembunyi.
Setelah memastikan para pengawal sudah pergi, Andini keluar dari tempat sembunyinya. Ia mengganti sepatunya dengan sandal pinjaman. Ukurannya dua kali lebih besar. Baginya tak masalah.
Yang terpenting, ia sekarang tengah duduk di halte bus dengan perasaan yang lebih lega.
“Alhamdulillah... masih hidup,” gumamnya sambil menyeka keringat dengan punggung tangannya. Sejenak ia termangu.
Ke manakah ia akan pulang?
Jika ia pulang ke rumah ke dua orang tuanya, tentu saja, keluarganya dengan senang hati pasti menyerahkannya pada keluarga Hadinata.
Apakah meminta bantuan Dewa?
“Pak Dewa, ini proposal kerja sama untuk lomba antar-mahasiswa farmasi se-Malaysia. Namanya Formula It,” ujar seorang wanita muda sembari meletakkan map cokelat ke atas meja. “Finalnya akan digelar di Kuala Lumpur bulan depan.”Dewa mengangkat kepala sekilas dari laporan keuangan yang tengah ia pelajari. Sorot matanya belum sepenuhnya tertarik. “Farmasi? Malaysia? Kompetisinya tentang apa?”“Formulasi obat inovatif,” jawab Lina—sekretaris baru dengan cepat. “Mahasiswa ditantang mengembangkan ide segar, relevan, dan punya nilai riset tinggi. Kalau PT Hadinata Pharmaceutical jadi sponsor, nama perusahaan kita bisa tampil sebagai brand besar yang mendukung pendidikan dan sains.”Dewa mengangguk pelan, namun belum memberi keputusan. Tangannya mulai membuka map, membaca dengan tempo lambat. “Ini proposal dua bulan yang lalu? Kenapa baru kamu serahkan sekarang?”Lina mengangguk pelan dan menjawab dengan hati-hati. Ia sudah menyerahkan proposal itu namun Dewa belum sempat membacanya. Jadi, bu
Suasana ruang keluarga sore itu terasa lengang, tapi tegang. Angin dari jendela terbuka hanya menambah kesan sepi, bukan menyejukkan.Dewa duduk di sofa dengan punggung tegak, menatap kosong ke dinding seberang. Secangkir kopi sudah mulai dingin di tangannya.Di hadapannya, Rania berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Tatapannya tajam, namun nada suaranya tetap tenang—meskipun mengandung tekanan.Kali ini Dewa tidak berniat pergi. Ia tidak boleh mengalah lagi. Sudah cukup kakak sulungnya itu berbuat seenaknya. Sejak kecil hanya Rania saudaranya yang terlihat ambisius. Sejak kecil ia selalu ingin menjadi nomor satu dan mendapatkan apa yang ia mau. Ia egois, tidak peduli pada adik-adiknya.Perselisihan masa lalu yang terjadi di antara Rania dan Kalingga membuat Dewa terluka. Kalingga tidak senang dengan sikap kakaknya yang terlalu mendominasi. Naasnya, ke dua orang tua mereka justru selalu membelanya. Bukan sekali dua kali, lama kelamaan Kalingga merasa menjadi seorang yang tidak be
“Cepetan, Bego. Gak usah banyak alasan!” geram Shafira, tangannya menggenggam pergelangan tangan Andini makin erat.Andini berusaha menarik tangannya, tapi Shafira dan dua temannya malah membentuk barikade hidup, menyeretnya ke arah lorong belakang gedung kampus. Jalur sepi. Bangku taman tinggal bayangan. Toilet jadi tujuan yang tak diinginkan siapa pun jika sedang dibully.“Kalau kamu gak ngaku juga siapa sugar daddy kamu, kita bantuin ya buat nyebarin versi kita sendiri!” Shafira menyeringai puas.“Lepasin! Kalian tuh udah gila!” Andini mencoba melawan, tapi tiga lawan satu jelas tidak adil.Apalagi Andini yang bertubuh mungil akan sangat mudah diseret oleh mereka. Tiba-tiba—“Eh, sorry. Ini kampus, bukan lokasi syuting sinetron.”Suara pria terdengar di belakang mereka. Tenang, malas, tapi cukup nyaring untuk bikin ketiga cewek itu menoleh.Seorang cowok jangkung berjaket biru tua, ransel miring, headphone menggantung di lehernya. Tio. Wajahnya biasa aja, tapi tatapannya tajam sep
“Ayo, Om. Terminalnya tinggal belok kanan.”Suara Andini terdengar ringan, tapi ada jeda aneh di tengahnya. Seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu.Dewa melirik dari balik kacamata hitamnya. “Aku tahu, Andin. Aku bukan turis.”Nada suaranya datar, tapi tangannya mencengkeram koper di sebelahnya sedikit terlalu kencang.Mereka berjalan berdampingan, menyusuri lorong bandara Kuala Lumpur yang ramai. Suara roda koper beradu dengan lantai, langkah kaki para penumpang, pengumuman boarding dari speaker, dan... diam mereka berdua.Andini mengusap lengan bajunya pelan. “Om, beneran gak mau aku temenin sampai gate?” tanyanya pelan, setengah berbisik.“Ngapain? Nanti kamu malah bikin aku makin berat berangkat,” gumam Dewa tanpa menoleh.Andini menelan saliva. “Oh.”Gadis itu membetulkan kacamatanya, diam membisu.Dewa menghentikan langkahnya begitu mereka sampai di area check-in. Ia menatap layar keberangkatan sejenak, lalu menarik napas panjang. “Jam segini… pas.”Andini ikut berdiri di
“Aku udah bilang, Andini itu harus dikasih pelajaran biar kapok,” ujar Amanda sambil menyeruput es kopi susunya. Kuku palsunya berkilau saat ia mengangkat gelas. Suara centil khasnya terdengar penuh rasa puas.Jelita yang duduk di seberangnya di café langganannya—tempat bergosip paling sakral mengangguk pelan, menyilangkan kaki sambil menatap Amanda.“Jadi kamu udah mulai? Serius nyebarin gosip itu?”Sungguh, dalam hati terdalam Jelita masih tidak pernah mengira jika ada seseorang yang tega berbuat keji pada saudarinya. Orang itu ada di depannya! Amanda yang sekilat terlihat gadis lugu dan penuh sopan santun. Nyatanya, ia seorang manipulatif. Amanda menyeringai. “Please, sayang. Nyebar gosip tuh bukan hal baru buat aku. Apalagi sekarang... kita tinggal telepon satu orang, lalu semua bisa heboh.”Gadis itu memetik jarinya dengan senyum yang menakutkan.“Aku penasaran, kamu pakai strategi apa kali ini?” tanya Jelita dengan mata menyipit penasaran.“Gampang. Aku udah kirim foto dia bers
Andini berusaha memanjangkan sumbu kesabaran saat menghadapi geng sosialita kampus. Ia tidak mau ambil pusing. Gadis berkacamata itu pergi meninggalkan mereka. Namun sebelum langkah kakinya terayun, lengan Andini langsung ditarik kasar olehnya.“Gak sopan banget! Buta apa? Aku masih ngomong sama kamu,” beo Shafira mencengkeram lengan Andini keras. Sontak Andini berusaha menyingkirkan tangannya yang lancang itu.“Lepasin!!” kata Andini mulai tersulut emosi.Ke dua teman Shafira tertawa kencang. “Shafir, lepasin! Nanti Sugar Daddy nya marah lo—” ucap salah satu teman Shafira berbaju crop top.“Bener, Shafir! Kasihan anak orang. Tuh, lihat dia mau nangis,” sambung yang lain gadis—yang memakai atasan sabrina dan celana jeans ketat. Ia mengatakan itu sembari menarik kacamata Andini dan melemparnya jauh.Andini panik. Ia tidak bisa melihat dengan jelas. Ia sangat khawatir jika kacamatanya diinjak. Teringat dulu Amanda yang menginjak seenaknya kacamata miliknya. Shafira melepaskan lengan