Share

Bab 5

Author: Piemar
last update Last Updated: 2025-04-20 20:32:37

Tanpa sàdar, air mata Andini menetes perlahan. Ia merasa dikhianati oleh keluarganya, tidak hanya Bima.

Hanya saja, Andini mendadak teringat ibu asuhnya–seorang pelayan paruh baya yang merawatnya setelah ibu kandungnya meninggal dunia. 

Mungkin, dia dapat menginap di sana?

“Terlalu jauh.” Andini menggelengkan kepala kala mengingat lokasinya di daerah pedesaan. Sepertinya, pilihan yang paling tepat adalah pergi ke indekos sahabatnya untuk sementara waktu sampai situasi terkendali.

Andini pun mengeluarkan ponselnya. Ia akan menghubungi sahabatnya, Naura.

Baru saja ia hendak membuka ponsel untuk menelepon Naura, layar ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal.

Andini mengerutkan kening, lalu menerima telepon itu dengan hati-hati.

[Halo?]

Suaranya berat dan dingin. Seketika bulu roma Andini meremang mendengar suaranya. 

[Nona Andini Raharja. Kami tahu kamu lari. Tapi kamu tidak bisa lari selamanya.]

Andini menegakkan duduknya. 

[Oke, Mas. Tapi ini bukan call center ya? Nggak usah dramatis amat.]

[Kami punya Naura. Sahabatmu. Satu langkah lagi kamu kabur, dia yang akan menanggung akibatnya.]

 Deg!

Andini terdiam. Nafasnya tercekat. Naura diculik orang suruhan keluarga Hadinata? 

Benar-benar seperti film Hollywood. Ternyata, benar apa yang diperingatkan oleh Dewa. Keluarga Hadinata sangat kejam. 

Lalu suara lirih terdengar dari telepon, samar namun jelas.

[Andiiiniii! Tolong akuuu! Mereka nyekap aku di hotel.]

Andini langsung berdiri. 

[Naura! Astaghfirullah! Naura, tenang ya! Aku akan datang menyelamatkanmu.]

[Kamu punya satu jam. Kembali ke ballroom hotel! Sekarang!]

Telepon mati.

Andini berdiri mematung. Ia berpikir, satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya adalah Dewa. Sepertinya Dewa bukan orang biasa. Terbukti ia tinggal di apartemen mewah. Dengan kekuasaannya, ia pasti bisa membantunya.

Andini menatap ponsel yang masih dalam genggaman. Tanpa pikir panjang, Andini memesan ojek dan meluncur ke apartemen Dewa. Di sepanjang jalan, ia bergumam sendiri.

Sesampainya di apartemen Dewa, Andini mengetuk pintu dengan tatapan lelah.

Dewa membuka pintu dengan ekspresi kaget. “Andini?! Kok balik lagi? Kamu nyasar lagi ya ke ruang laundry?”

Andini mendesah panjang. Ia melesak masuk begitu saja.

“Bukan nyasar, Om Dewa. Tapi sahabat saya disandera. Kalau saya nggak nyerah, dia bisa jadi sate manusia.”

Dewa menatap serius. “Keluarga Hadinata menculik temanmu?”

Andini mengangguk lalu berkata dengan nada serius, “Om Dewa, aku bersedia menjadi kekasih bayaranmu. Tapi, tolong selamatkan sahabatku,”

“Saya sudah berubah pikiran,” jawab Dewa lalu menunjuk ke arah pintu. “Silahkan keluar dari sini!”

Andini tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Mengapa Dewa begitu mudah berubah pikiran?

Namun, ia tak bisa memikirkannya terlalu lama.

Kini, Andini bahkan sudah kembali ke hotel Sun Shine dengan jantung berdebar. Ia begitu takut terjadi sesuatu pada sahabatnya.

Tiba-tiba suara ponselnya gemetar. Ia langsung melihat pesan yang masuk.

[Kamar S705]

Andini pun pergi menuju kamar hotel yang berada di lantai tujuh tersebut. Kakinya mendarat tepat di depan pintu kamar nomor S705 dengan perasaan yang berkecamuk.

Tangannya terulur langsung meraih gagang pintu yang terlihat tidak dikunci.

“Naura?” serunya pelan, matanya menyisir ruangan kamar hotel jenis presidential suite.

Sunyi. 

Sial, lampunya mati. Semakin mendramatisir keadaan. Entah, memang seseorang berusaha memadamkan lampunya. Yang pasti, orang itu sudah bertekad berbuat jahat padanya.

Tiba-tiba pintu di belakangnya tertutup dan terkunci otomatis! 

Andini berbalik cepat. 

Dalam hitungan detik, ia baru sàdar jika Naura tidak mungkin diculik. Ia lupa jika Naura seorang atlet silat dan karate. Pasti, ia tidak akan mudah diculik.

Pasti, ini adalah jebakan!

Srak!

Tak lama kemudian lampu pun menyala kembali. Akhirnya, ia bisa melihat sosok orang yang berada di kamar itu. Seorang pria bertubuh tambun muncul dari balik kamar. 

Karena dilanda panik, Andini mundur selangkah. Tangannya meraba-raba apa pun sebagai senjata. 

Sial justru ia malah tersandung kaki meja di belakangnya dan jatuh menghantam lantai keras. Kacamatanya terlempar dan mendarat di lantai.

“MATILAH GUE,” gumamnya, wajahnya menempel di lantai dingin seperti tempura gagal. Ia mencoba meraba-raba untuk mengambil kacamata miliknya. 

Tangannya gemetar saat mencoba bangkit. Pria bertubuh tambun itu berdiri menjulang tepat di depannya.

“Apa yang kamu lakukan gadis cantik?” katanya dengan suara yang berat.

Andini mendongak, melihat pria di depannya dengan perasaan yang berdebar-debar. Namun ia berusaha menormalkan perasaannya. 

“Maaf, Om, sepertinya, saya salah masuk kamar hotel,” ucap Andini berusaha mencari alasan agar ia bisa kabur dari situasi pelik.

Alih-alih menjawab perkataan Andini, pria itu tertawa keras.

Andini mengerutkan keningnya. Ia merasa sedang tidak melucu.

Pria itu tertawa dan menatap Andini seperti seekor harimau pada mangsanya. “Akhirnya... kiriman Hadinata datang juga...” 

Tubuh Andini sontak mundur. Ia sedang terancam bahaya. “Maaf Om, saya kayaknya salah masuk kamar—”

 Pria dalam balutan handuk kimono itu melangkah maju. “Jangan malu-malu, Cantik! Aku sudah bayar mahal. Kamu tinggal nurut saja.”

Kedua alis Andini menyatu. “Bayar? Nurut?”

Pria itu mulai mendekat. Andini panik, meraih pajangan keramik, lalu melemparkannya tepat ke jidat pria itu.

“Rasakan, Bastard!” pekik Andini lalu langsung berlari menuju pintu. Ia mencoba membuka pintu dengan paksa. Naasnya, pintu terkunci otomatis. Andini tak mungkin bisa membukanya. 

Pria itu mengaduh, terhuyung, tapi masih mendekat.

Si pria mencengkeram bajunya dari belakang. Namun Andini menoleh lalu menendang tulang keringnya. Pria itu menjerit dan terjatuh. Tak kehabisan akal, pria itu tersenyum smirk.

Sebuah ide yang sudah seharusnya ia gunakan sejak tadi. Saat Andini sibuk membuka pintu dengan benda apa pun, ia membekap mulut Andini dengan tisu yang sudah diberi obat bius.  

Dalam hitungan detik, Andini langsung tak sadarkan diri. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 79

    “Pak Dewa, ini proposal kerja sama untuk lomba antar-mahasiswa farmasi se-Malaysia. Namanya Formula It,” ujar seorang wanita muda sembari meletakkan map cokelat ke atas meja. “Finalnya akan digelar di Kuala Lumpur bulan depan.”Dewa mengangkat kepala sekilas dari laporan keuangan yang tengah ia pelajari. Sorot matanya belum sepenuhnya tertarik. “Farmasi? Malaysia? Kompetisinya tentang apa?”“Formulasi obat inovatif,” jawab Lina—sekretaris baru dengan cepat. “Mahasiswa ditantang mengembangkan ide segar, relevan, dan punya nilai riset tinggi. Kalau PT Hadinata Pharmaceutical jadi sponsor, nama perusahaan kita bisa tampil sebagai brand besar yang mendukung pendidikan dan sains.”Dewa mengangguk pelan, namun belum memberi keputusan. Tangannya mulai membuka map, membaca dengan tempo lambat. “Ini proposal dua bulan yang lalu? Kenapa baru kamu serahkan sekarang?”Lina mengangguk pelan dan menjawab dengan hati-hati. Ia sudah menyerahkan proposal itu namun Dewa belum sempat membacanya. Jadi, bu

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 78

    Suasana ruang keluarga sore itu terasa lengang, tapi tegang. Angin dari jendela terbuka hanya menambah kesan sepi, bukan menyejukkan.Dewa duduk di sofa dengan punggung tegak, menatap kosong ke dinding seberang. Secangkir kopi sudah mulai dingin di tangannya.Di hadapannya, Rania berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Tatapannya tajam, namun nada suaranya tetap tenang—meskipun mengandung tekanan.Kali ini Dewa tidak berniat pergi. Ia tidak boleh mengalah lagi. Sudah cukup kakak sulungnya itu berbuat seenaknya. Sejak kecil hanya Rania saudaranya yang terlihat ambisius. Sejak kecil ia selalu ingin menjadi nomor satu dan mendapatkan apa yang ia mau. Ia egois, tidak peduli pada adik-adiknya.Perselisihan masa lalu yang terjadi di antara Rania dan Kalingga membuat Dewa terluka. Kalingga tidak senang dengan sikap kakaknya yang terlalu mendominasi. Naasnya, ke dua orang tua mereka justru selalu membelanya. Bukan sekali dua kali, lama kelamaan Kalingga merasa menjadi seorang yang tidak be

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 77

    “Cepetan, Bego. Gak usah banyak alasan!” geram Shafira, tangannya menggenggam pergelangan tangan Andini makin erat.Andini berusaha menarik tangannya, tapi Shafira dan dua temannya malah membentuk barikade hidup, menyeretnya ke arah lorong belakang gedung kampus. Jalur sepi. Bangku taman tinggal bayangan. Toilet jadi tujuan yang tak diinginkan siapa pun jika sedang dibully.“Kalau kamu gak ngaku juga siapa sugar daddy kamu, kita bantuin ya buat nyebarin versi kita sendiri!” Shafira menyeringai puas.“Lepasin! Kalian tuh udah gila!” Andini mencoba melawan, tapi tiga lawan satu jelas tidak adil.Apalagi Andini yang bertubuh mungil akan sangat mudah diseret oleh mereka. Tiba-tiba—“Eh, sorry. Ini kampus, bukan lokasi syuting sinetron.”Suara pria terdengar di belakang mereka. Tenang, malas, tapi cukup nyaring untuk bikin ketiga cewek itu menoleh.Seorang cowok jangkung berjaket biru tua, ransel miring, headphone menggantung di lehernya. Tio. Wajahnya biasa aja, tapi tatapannya tajam sep

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 76

    “Ayo, Om. Terminalnya tinggal belok kanan.”Suara Andini terdengar ringan, tapi ada jeda aneh di tengahnya. Seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu.Dewa melirik dari balik kacamata hitamnya. “Aku tahu, Andin. Aku bukan turis.”Nada suaranya datar, tapi tangannya mencengkeram koper di sebelahnya sedikit terlalu kencang.Mereka berjalan berdampingan, menyusuri lorong bandara Kuala Lumpur yang ramai. Suara roda koper beradu dengan lantai, langkah kaki para penumpang, pengumuman boarding dari speaker, dan... diam mereka berdua.Andini mengusap lengan bajunya pelan. “Om, beneran gak mau aku temenin sampai gate?” tanyanya pelan, setengah berbisik.“Ngapain? Nanti kamu malah bikin aku makin berat berangkat,” gumam Dewa tanpa menoleh.Andini menelan saliva. “Oh.”Gadis itu membetulkan kacamatanya, diam membisu.Dewa menghentikan langkahnya begitu mereka sampai di area check-in. Ia menatap layar keberangkatan sejenak, lalu menarik napas panjang. “Jam segini… pas.”Andini ikut berdiri di

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 75

    “Aku udah bilang, Andini itu harus dikasih pelajaran biar kapok,” ujar Amanda sambil menyeruput es kopi susunya. Kuku palsunya berkilau saat ia mengangkat gelas. Suara centil khasnya terdengar penuh rasa puas.Jelita yang duduk di seberangnya di café langganannya—tempat bergosip paling sakral mengangguk pelan, menyilangkan kaki sambil menatap Amanda.“Jadi kamu udah mulai? Serius nyebarin gosip itu?”Sungguh, dalam hati terdalam Jelita masih tidak pernah mengira jika ada seseorang yang tega berbuat keji pada saudarinya. Orang itu ada di depannya! Amanda yang sekilat terlihat gadis lugu dan penuh sopan santun. Nyatanya, ia seorang manipulatif. Amanda menyeringai. “Please, sayang. Nyebar gosip tuh bukan hal baru buat aku. Apalagi sekarang... kita tinggal telepon satu orang, lalu semua bisa heboh.”Gadis itu memetik jarinya dengan senyum yang menakutkan.“Aku penasaran, kamu pakai strategi apa kali ini?” tanya Jelita dengan mata menyipit penasaran.“Gampang. Aku udah kirim foto dia bers

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 74

    Andini berusaha memanjangkan sumbu kesabaran saat menghadapi geng sosialita kampus. Ia tidak mau ambil pusing. Gadis berkacamata itu pergi meninggalkan mereka. Namun sebelum langkah kakinya terayun, lengan Andini langsung ditarik kasar olehnya.“Gak sopan banget! Buta apa? Aku masih ngomong sama kamu,” beo Shafira mencengkeram lengan Andini keras. Sontak Andini berusaha menyingkirkan tangannya yang lancang itu.“Lepasin!!” kata Andini mulai tersulut emosi.Ke dua teman Shafira tertawa kencang. “Shafir, lepasin! Nanti Sugar Daddy nya marah lo—” ucap salah satu teman Shafira berbaju crop top.“Bener, Shafir! Kasihan anak orang. Tuh, lihat dia mau nangis,” sambung yang lain gadis—yang memakai atasan sabrina dan celana jeans ketat. Ia mengatakan itu sembari menarik kacamata Andini dan melemparnya jauh.Andini panik. Ia tidak bisa melihat dengan jelas. Ia sangat khawatir jika kacamatanya diinjak. Teringat dulu Amanda yang menginjak seenaknya kacamata miliknya. Shafira melepaskan lengan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status