LOGINTanpa sàdar, air mata Andini menetes perlahan. Ia merasa dikhianati oleh keluarganya, tidak hanya Bima.
Hanya saja, Andini mendadak teringat ibu asuhnya–seorang pelayan paruh baya yang merawatnya setelah ibu kandungnya meninggal dunia.
Mungkin, dia dapat menginap di sana?
“Terlalu jauh.” Andini menggelengkan kepala kala mengingat lokasinya di daerah pedesaan. Sepertinya, pilihan yang paling tepat adalah pergi ke indekos sahabatnya untuk sementara waktu sampai situasi terkendali.
Andini pun mengeluarkan ponselnya. Ia akan menghubungi sahabatnya, Naura.
Baru saja ia hendak membuka ponsel untuk menelepon Naura, layar ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal.
Andini mengerutkan kening, lalu menerima telepon itu dengan hati-hati.
[Halo?]
Suaranya berat dan dingin. Seketika bulu roma Andini meremang mendengar suaranya.
[Nona Andini Raharja. Kami tahu kamu lari. Tapi kamu tidak bisa lari selamanya.]
Andini menegakkan duduknya.
[Oke, Mas. Tapi ini bukan call center ya? Nggak usah dramatis amat.]
[Kami punya Naura. Sahabatmu. Satu langkah lagi kamu kabur, dia yang akan menanggung akibatnya.]
Deg!
Andini terdiam. Nafasnya tercekat. Naura diculik orang suruhan keluarga Hadinata?
Benar-benar seperti film Hollywood. Ternyata, benar apa yang diperingatkan oleh Dewa. Keluarga Hadinata sangat kejam.
Lalu suara lirih terdengar dari telepon, samar namun jelas.
[Andiiiniii! Tolong akuuu! Mereka nyekap aku di hotel.]
Andini langsung berdiri.
[Naura! Astaghfirullah! Naura, tenang ya! Aku akan datang menyelamatkanmu.]
[Kamu punya satu jam. Kembali ke ballroom hotel! Sekarang!]
Telepon mati.
Andini berdiri mematung. Ia berpikir, satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya adalah Dewa. Sepertinya Dewa bukan orang biasa. Terbukti ia tinggal di apartemen mewah. Dengan kekuasaannya, ia pasti bisa membantunya.
Andini menatap ponsel yang masih dalam genggaman. Tanpa pikir panjang, Andini memesan ojek dan meluncur ke apartemen Dewa. Di sepanjang jalan, ia bergumam sendiri.
Sesampainya di apartemen Dewa, Andini mengetuk pintu dengan tatapan lelah.
Dewa membuka pintu dengan ekspresi kaget. “Andini?! Kok balik lagi? Kamu nyasar lagi ya ke ruang laundry?”
Andini mendesah panjang. Ia melesak masuk begitu saja.
“Bukan nyasar, Om Dewa. Tapi sahabat saya disandera. Kalau saya nggak nyerah, dia bisa jadi sate manusia.”
Dewa menatap serius. “Keluarga Hadinata menculik temanmu?”
Andini mengangguk lalu berkata dengan nada serius, “Om Dewa, aku bersedia menjadi kekasih bayaranmu. Tapi, tolong selamatkan sahabatku,”
“Saya sudah berubah pikiran,” jawab Dewa lalu menunjuk ke arah pintu. “Silahkan keluar dari sini!”
Andini tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Mengapa Dewa begitu mudah berubah pikiran?
Namun, ia tak bisa memikirkannya terlalu lama.
Kini, Andini bahkan sudah kembali ke hotel Sun Shine dengan jantung berdebar. Ia begitu takut terjadi sesuatu pada sahabatnya.
Tiba-tiba suara ponselnya gemetar. Ia langsung melihat pesan yang masuk.
[Kamar S705]
Andini pun pergi menuju kamar hotel yang berada di lantai tujuh tersebut. Kakinya mendarat tepat di depan pintu kamar nomor S705 dengan perasaan yang berkecamuk.
Tangannya terulur langsung meraih gagang pintu yang terlihat tidak dikunci.
“Naura?” serunya pelan, matanya menyisir ruangan kamar hotel jenis presidential suite.
Sunyi.
Sial, lampunya mati. Semakin mendramatisir keadaan. Entah, memang seseorang berusaha memadamkan lampunya. Yang pasti, orang itu sudah bertekad berbuat jahat padanya.
Tiba-tiba pintu di belakangnya tertutup dan terkunci otomatis!
Andini berbalik cepat.
Dalam hitungan detik, ia baru sàdar jika Naura tidak mungkin diculik. Ia lupa jika Naura seorang atlet silat dan karate. Pasti, ia tidak akan mudah diculik.
Pasti, ini adalah jebakan!
Srak!
Tak lama kemudian lampu pun menyala kembali. Akhirnya, ia bisa melihat sosok orang yang berada di kamar itu. Seorang pria bertubuh tambun muncul dari balik kamar.
Karena dilanda panik, Andini mundur selangkah. Tangannya meraba-raba apa pun sebagai senjata.
Sial justru ia malah tersandung kaki meja di belakangnya dan jatuh menghantam lantai keras. Kacamatanya terlempar dan mendarat di lantai.
“MATILAH GUE,” gumamnya, wajahnya menempel di lantai dingin seperti tempura gagal. Ia mencoba meraba-raba untuk mengambil kacamata miliknya.
Tangannya gemetar saat mencoba bangkit. Pria bertubuh tambun itu berdiri menjulang tepat di depannya.
“Apa yang kamu lakukan gadis cantik?” katanya dengan suara yang berat.
Andini mendongak, melihat pria di depannya dengan perasaan yang berdebar-debar. Namun ia berusaha menormalkan perasaannya.
“Maaf, Om, sepertinya, saya salah masuk kamar hotel,” ucap Andini berusaha mencari alasan agar ia bisa kabur dari situasi pelik.
Alih-alih menjawab perkataan Andini, pria itu tertawa keras.
Andini mengerutkan keningnya. Ia merasa sedang tidak melucu.
Pria itu tertawa dan menatap Andini seperti seekor harimau pada mangsanya. “Akhirnya... kiriman Hadinata datang juga...”
Tubuh Andini sontak mundur. Ia sedang terancam bahaya. “Maaf Om, saya kayaknya salah masuk kamar—”
Pria dalam balutan handuk kimono itu melangkah maju. “Jangan malu-malu, Cantik! Aku sudah bayar mahal. Kamu tinggal nurut saja.”
Kedua alis Andini menyatu. “Bayar? Nurut?”
Pria itu mulai mendekat. Andini panik, meraih pajangan keramik, lalu melemparkannya tepat ke jidat pria itu.
“Rasakan, Bastard!” pekik Andini lalu langsung berlari menuju pintu. Ia mencoba membuka pintu dengan paksa. Naasnya, pintu terkunci otomatis. Andini tak mungkin bisa membukanya.
Pria itu mengaduh, terhuyung, tapi masih mendekat.
Si pria mencengkeram bajunya dari belakang. Namun Andini menoleh lalu menendang tulang keringnya. Pria itu menjerit dan terjatuh. Tak kehabisan akal, pria itu tersenyum smirk.
Sebuah ide yang sudah seharusnya ia gunakan sejak tadi. Saat Andini sibuk membuka pintu dengan benda apa pun, ia membekap mulut Andini dengan tisu yang sudah diberi obat bius.
Dalam hitungan detik, Andini langsung tak sadarkan diri.
Jantung Naura berdegup kencang mendengar pertanyaan Dipta. Maksudnya siap untuk apa? Untuk ikut internship? Siap untuk menjadi dokter umum? Atau … siap untuk malam pertama mereka eh.Dipta membelai pipi Naura dengan lembut dan sopan. Meskipun hasratnya besar saat melihat wanita yang dicintainya kini telah halal menjadi miliknya, ia ingin melakukan malam pertama itu dengan tanpa keraguan, tenang dan hati yang ikhlas. Dipta segera menormalkan perasaannya. “Kamu gugup banget, Na. Kamu udah siap kan jadi istri dokter Dipta?” Naura mengerjap, menahan tawa. Oh istri toh? “Um, anu, aku kira … kamu mau ngajak aku anu–” beo Naura dengan suara yang nyaris tenggelam. Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus. “Malam pertama?” ulang Dipta, tatapannya tak lepas dari wajah istrinya yang terlihat lugu, natural dan menyejukan hatinya. Ia menghela napas pendek. “Enggak lah, Na. Aku gak akan minta itu sekarang. Tapi, aku pengen minta satu hal malam ini?”Naura mengangkat mata. Tatapan mereka be
Mendengar suara panggilan Dipta, Naura menoleh perlahan. Jantungnya nyaris meledak ketika melihat Dipta berada dalam jarak yang begitu dekat. Apalagi … Dipta menatapnya tanpa berkedip. Naura menelan salivanya, merasa gugup sekali. “Hum, a-apa?” tanya Naura memutar tubuhnya hingga kini mereka berhadapan, menyamping.Dipta mengulum senyum, menelusuri wajah yang selama ini ia kenali. Baru pertama kalinya melihat Naura tidak memakai penutup kepala. Dia terlihat cantik sekali! Rambutnya hitam legam dan berkilau. Persis seperti iklan shampo. Wajahnya tampak berbeda!Dipta bersyukur karena hanya dia seorang yang bisa melihat aurat Naura.Naura menghela napas pelan. “Didi kenapa menatapku seperti itu sih? Naura jadi takut,” katanya polos, membuat Dipta terkekeh rendah.“Kenapa malah tertawa sih? Didi? Kamu kecewa ya, karena aku gak secantik yang kamu pikir,” beo Naura dengan bibir yang mencucuk lucu. Rasanya ingin sekali mencium bibir yang cerewet itu. Argh, apakah Naura sudah siap? Batin
Malam itu udara di mansion terasa sunyi. Pun, AC di dalam kamar terasa menggigit. Naura duduk dengan canggung di tepi ranjang, masih mengenakan gamis bekas akad dan kerudung yang menutupi helaian rambutnya. Kakinya masih diperban, masih terasa sakit. Dipta sudah mengobatinya. Tangannya sibuk memainkan ujung pakaiannya. Ia masih merasa asing berada di sebuah kamar seorang pria–yang kini adalah berstatus suaminya. Ya, meskipun mereka adalah sahabat masa kecil.Naura mengamati seluruh sudut ruangan dengan penuh penasaran. Kamar tidur itu mewah seperti kamar hotel dengan warna yang didominasi oleh warna abu-abu dan hitam. Jangan tanyakan ukurannya, mungkin tiga kali lipat kamar miliknya. Sebuah kamar yang menampilkan sisi maskulin dan sangat rapi sang empunya. Ruangan itu terdiri satu ranjang besar sekali, sepertinya cukup untuk empat orang, sofa panjang dilengkapi meja kecil dan ada pintu kecil di dekat kamar mandi, sebuah closet, mungkin. Tidak ada banyak barang di dalamnya. Argh, in
“Vina?” Naura menatap gadis itu dengan tatapan kaget. Mengapa gadis itu tiba-tiba berada di sana? Apa jangan-jangan dia berniat buruk ingin merusak pernikahan mereka?“Masuklah, Nak!” dr Neng Mas menyambut kedatangan gadis itu dengan senyum yang hangat khas seorang ibu. Semua orang menoleh ke arah mereka. “Kamu bisa ikut kok. Kamu doain biar pernikahan Dokter Dipta sakinah, mawadah dan warohmahh.” dr Neng Mas merangkul pundak Vina. Vina mencium punggung tangannya. “Terima kasih Tante sudah mengijinkan aku datang,”Sebelumnya, Vina memang berusaha menelpon Dipta tetapi tidak angkat. Akhitnya, malam itu mencari nomor telpon dr Neng Mas dari RS di mana ia bekerja. Alhasil, Vina menceritakan apa yang terjadi pada Naura. Ia bahkan melaporkan padanya bahwa aksi penculikan tersebut adalah rencana dr Tantri. Kini dr Tantri dan orang suruhannya-para penculik sudah ditangkap dan ditahan di Polsek. Pihak berwajib sedang mengumpulkan bukti kejahatan mereka selain dari bukti rekaman suara yang
MAS Siang itu, suasana balai desa yang awalnya riuh kini mendadak hening. Untuk membersihkan nama ke dua calon pengantin, pihak keluarga sudah sepakat akan menikahkan mereka secara agama terlebih dahulu. Selain itu keputusan itu juga atas persetujuan ke dua belah pihak antara Dipta dan Naura. Pada awalnya, Naura sempat merasa gamang, ingin menolak permintaan Dipta yang meminta padanya untuk menikah sekarang. Namun setelah ia berpikir keras, menikah sekarang ataupun beberapa minggu yang akan datang juga tetap menikah. Sama saja!Suasana haru memenuhi balai desa. Syarat sah nikah sudah terpenuhi. Ada penghulu, wali, ke dua calon pengantin, mas kawain dan saksi. Acara walimah sederhana akan segera dilaksanakan. Beruntung dr Salwa sudah mempersiapkan segalanya. Meskipun acara walimah tersebut dilaksanakan di balai desa, ia sudah menyiapkan mahar untuk Naura. Sebuah cincin emas putih 24 karat dari rumah. Perhiasan tersebut merupakan salah satu koleksi perhiasan miliknya.Mengenakan pakai
Naura nyengir. Pak RW ngomong apa sih? Tatapannya tertuju pada Dipta, seolah ingin meminta bantuan. Do something begitu!Dipta hanya menghela nafas pelan. Ia bahkan tidak bisa berpikir jernih karena pria itu tidak tidur semalaman hanya demi menjaga Naura. Naura baru sadar, melihat penampilan Dipta yang terlihat kusut masai. Wajahnya pucat pasi apalagi kulitnya sangat putih melebihi warna kulit miliknya. Ada lingkaran hitam di bawah ke dua matanya. Dan, penampilannya membuat siapapun salah paham. “Kalian harus mempertanggungjawabkan apa yang kalian lakukan dengan cara menikah!” Pak RW mengulangi kata-katanya. Begitu juga dengan warga lainnya, mengangguk setuju!Dipta mulai tersulut emosi. “Maaf, Bapak-bapak sekalian, saya harus klarifikasi di sini. Tunangan saya diculik, saya semalam menyelamatkannya. Cuman … kami tersesat dan terjebak hujan. Ponsel saya mati dan mobil saya mogok. Jika tidak percaya, saya minta ijin telepon keluarga saya sekarang termasuk pihak kepolisian dan detekt







