Share

Bab 3

Penulis: Piemar
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-08 12:45:22

Kini, Andini menatap sekelilingnya melalui jendela mobil.

Sejauh mata memandang, ia hanya bisa melihat gedung-gedung menjulang tinggi. Entah akan dibawa kemana dirinya oleh pria yang bernama Dewa itu.

Namun, matanya melebar tatkala menangkap sebuah tulisan pada signboard, Apartemen COSMIC. 

Berbagai fantasi liar muncul di kepalanya. Apakah mungkin pria itu akan mengeksekusi dirinya?  

Namun, sedetik kemudian gadis itu berusaha tenang. Otaknya mulai berpikir keras. Ia sedang mencari cara bagaimana ia bisa melarikan diri dari pria misterius bernama Dewa. 

“Om Dewa, kenapa bawa aku ke mari?”

Meskipun suaranya tenang, namun Andini bertanya dengan wajah yang patut dikasihani. Ia terlihat letih setelah berlari dari kejaran para pengawal keluarga Hadinata. Ia khawatir jika Dewa akan meminta imbalan karena sudah menolongnya.

“Keluar!” 

Dewa mengetuk jendela mobil samping Andini. Suaranya yang bariton membuatnya merinding hebat. 

Andini menggeleng pelan dengan kedua tangannya sudah mencengkram handgrip seperti seekor kera.  

“Andini! Cepat keluar! Atau—” ucap Dewa terdengar intimidatif. Ia mengetuk jendela dengan keras.

Andini mengerucutkan bibirnya lalu melepas sabuk pengaman. Tangannya yang mungil menarik handle pintu hingga terbuka dan dalam hitungan detik ia pun sudah keluar dari dalam mobil dan berlari dari sana. 

Namun entah bagaimana, Andini merasa lari di tempat. Ia juga merasa tubuhnya melayang ke udara. Matanya membola saat menundukkan pandangannya. Ia sudah tidak menapak di lantai.

Gadis berwajah mungil itu pun menoleh ke belakang. Sial, dengan satu tarikan saja, Dewa menarik pinggang Andini dan memangkunya seperti memangku seekor kucing.

 “Lepas! Apaan sih! Aku mau pulang,” 

Andini memekik sembari memukul-mukul lengan kekar Dewa, tetapi pria itu sama sekali tidak merasa terusik. 

Menyerah, akhirnya Andini tidak melawan dan ia pasrah digendong oleh Dewa hingga masuk ke dalam apartemen mewah miliknya.  

Dewa menurunkan Andini di atas sofa. Namun ia terkesiap saat melihat Andini memejamkan matanya dengan air mata yang basah.

“Kenapa nangis?” Dewa bersuara dengan heran.

“Kamu udah lancang!” jawab Andini dengan tersedu sedan. 

“Hah?”

Sontak, Dewa merasa bersalah. Ia sàdar, ia bukan pria yang sabar. 

“Aku sudah ternoda!” kata Andini dengan bibir yang mencucuk. Ia tak terima dengan perlakuan Dewa yang seenaknya menggendongnya. 

Kerutan di dahi Dewa semakin dalam. “Maksudmu? Aku sama sekali tidak melakukan hal senonoh padamu,”

Dewa menatap tajam Andini, hingga gadis itu menangis lebih kencang.

Ia sedang patah hati, masih jetlag, baru turun dari pesawat, belum makan sejak semalam dan merasa letih karena dikejar para pengawal keluarga Hadinata. 

Naasnya tidak ada keluarga yang memperdulikannya dan ada om-om yang menculiknya!

Sungguh, sempurna sudah penderitaan Andini. 

Sementara itu, Dewa mulai membuka maskernya dan meraih satu batang rokok lalu menyalakannya. 

Ia menghisap rokok itu dengan dalam lalu mengepulkan asapnya ke udara. “Stop drama!” 

Mendengar perkataan Dewa, sepasang mata jernih Andini mengerjap. Ia berhenti menangis lalu berkata. “Sudahlah, percuma bicara sama Om Om yang tak punya hati.”

“What the fuc*k?”

Dewa tak terima dikatai tak punya hati. Berani sekali gadis muda di depannya. Padahal tidak ada yang berani membantah maupun mendebatnya sebelumnya. “Kalau aku tak punya hati, aku tidak akan menolongmu,” 

“Menolong sih menolong. Tapi … gak gratis!” protes Andini menundukan wajahnya. Ia melepas kacamata yang membingkai wajahnya lalu mengelapnya dengan tisu yang diambil dari atas meja. 

Dewa terdiam mendengar perkataan Andini yang memang benar adanya.  

“Toilet umum saja tidak gratis!” sembur Dewa kesal.

Andini mendengus pelan mendengar komentar Dewa. 

Sisi lain, Dewa terus menatap Andini dengan tatapan penuh selidik dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Mengapa kamu merusak acara keluarga Hadinata? Apa kamu gak takut masuk penjara?” 

Andini mendongak mendengar pertanyaan pria itu lalu sedikit terkejut saat baru melihat wajah di balik masker hitam misterius tadi. Sial, Dewa tampan meskipun usianya sepertinya di atas kepala tiga. 

Hanya saja, tatapan Dewa berhasil membuat Andini merasa tegang luar biasa. Mendadak otaknya tak bisa diajak kerjasama. Ia bingung mau bicara apa. 

Dewa hanya mendesah pelan melihat respon Andini yang selambat siput. Pria itu lalu mengangkat tangannya, memanggil pelayan yang berada di sana. 

“Anda butuh apa Tuan?” tanya pelayan wanita berusia paruh baya itu menghampiri Dewa. Tatapannya beralih pada gadis bertubuh mungil berwajah mirip boneka.

“Siapkan pakaian untuknya!” titahnya dengan suara yang dingin.

Sang pelayan langsung mengangguk dengan sedikit membungkukan badannya. “Baik Tuan,”

Ia pun beringsut pergi menuju salah satu kamar di apartemen mewah itu.

Alih-alih menjawab pertanyaan Dewa, Andini hanya diam dengan memainkan bibirnya tak karuan.  

“Makasih sudah menolongku. Tapi aku mau pulang,” katanya lalu menegakkan tubuhnya.

Dewa tersenyum sinis. “Pulang? Kamu tidak boleh pergi kemana-kemana,”

Andini menatap nyalang pria yang berusia lebih dewasa darinya lalu menggerakan bibirnya dengan suara yang gemetar. “Maaf, aku sudah merepotkanmu. Kalau begitu, aku harus bayar berapa untuk membalas budimu?”

Dewa seketika tertawa mengejek. “Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kamu merusak acara pesta keluarga Hadinata?”

Kedua tangan Andini mengepal di atas ke dua pahanya. Dengan mata yang memerah, ia pun akhirnya menjawab. “Aku tunangannya Bima Abimanyu. Tapi … kamu lihat sendiri, kenapa dia malah menikahi adikku?”

Dewa diam menyimak. Ia memang tidak memperhatikan lebih jauh soal apa yang terjadi. Ia hanya tahu jika Andini berusaha lari dari acara pesta setelah membuat keributan.

“Menarik! Jadi … kamu menghancurkan pesta mantan tunanganmu. Baiklah, kamu boleh pulang asalkan kamu harus membantuku.”

“Bantu apa? Jangan bilang kalau kamu mau aku membalas budimu dengan berpura-pura menjadi tunanganmu? Aku gak mau bikin drama series,” ucap Andini dengan mendecakkan lidahnya. 

“Kamu memang pintar!” kata Dewa tiba-tiba, “aku memang butuh calon istri seperti dirimu.” 

Entah Andini berhalusinasi, ia dapat melihat seringai pria itu?

Ya, Tuhan!

Hidupnya sudah cukup sulit. Bahkan ia sengaja dikirim ke Malaysia oleh sang ayah agar adiknya dapat menikahi tunangannya.

Sekarang apa lagi ini?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 144 Takkan lari gunung dikejar

    Pintu IGD terbuka, dan dari luar terlihat Dr. Gilang berdiri di ambang pintu, kedua tangannya menyilang di dada. “Dia pasienku juga, Dipta. Aku harus tahu kondisinya.” Suaranya datar, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dibaca.Dipta menoleh sekilas, wajahnya tetap dingin. “Kamu bisa baca hasil lab nanti. Sekarang, keluar.” Nada tegas itu membuat perawat yang sedang mencatat data pasien menelan ludah gugup.Tunggu. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ke dua dokter itu terlihat bersaing dalam menolong dokter KOAS yang pingsan itu. Bisik-bisik pun mulai menyebar seperti bola panas yang bergerak liar.Gilang menghela napas, mengendalikan emosinya, melangkah masuk beberapa langkah. “Aku cuma mau memastikan dia baik-baik saja. Nggak perlu segitunya.” Dipta berdiri di sisi ranjang, tubuhnya seperti dinding pelindung. “Aku bilang keluar, Gilang.” Tatapan mereka bertemu dengan sorot yang tajam, seolah saling menantang. Udara di ruangan itu terasa lebih padat dari biasanya. Naura

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 143 Love Rivalry

    Hujan baru saja reda. Jalanan basah berkilau memantulkan lampu jalan. Naura duduk di kursi penumpang, mengamati tetesan air yang masih menetes di kaca mobil dr. Gilang.“Makanya aku tawarin tumpangan, Naura. Taksi nggak bakal gampang lewat sore mana hujan,” kata Gilang sambil menyalakan pemanas.Naura tersenyum tipis. “Makasih, Dok.”Ia ragu sejenak, lalu bertanya santai, “Tadi… abis ngapain di mall?”Gilang menghela napas pelan. “Beli buku… sama nyari hadiah buat keponakan. Harusnya istriku ikut, tapi ya, dia sibuk.”Nada “sibuk” itu terdengar lebih berat daripada kata biasa.Naura melirik sekilas. “Lagi banyak operasi, ya?”Diam sejenak, lalu Gilang tersenyum miris. “Operasi, seminar, konferensi, semua diambil. Kayak… hidupnya cuma buat karier.” Tangannya mengetuk setir pelan. “Kadang aku pikir… kalau menikah itu harusnya saling isi, bukan saling tinggal.”Naura menunduk. Ia tidak nyaman mengomentari urusan pribadi, tapi tetap berusaha sopan menanggapi. “Mungkin dia cuma lagi kejar

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 142 Perasaan yang aneh

    Andini, Dewa dan Naura, mereka bertiga berjalan menuju eskalator. Dewa menggandeng tangan Andini erat, seolah takut istrinya terseret arus para gadun, eh, para pengunjung mall. Sementara itu Naura berjalan di belakang sambil meremas ujung jilbabnya. Sebuah kebiasaan kalau sedang canggung sembari mengunyah permen kapas yang entah siapa yang beliin. Sadar diri, kali ini menjelma menjadi ngengat di antara sepasang suami istri itu.“Aku beneran nggak nyangka, loh, Pak Dewa bisa langsung nyamber ke food court gitu,” ucap Naura, berusaha terdengar santai tapi ujung bibirnya menahan senyum. Dewa menoleh sedikit, wajahnya masih datar. “Refleks. Aku pikir ada yang perlu diamankan.” Naura menahan tawa. “Diamankan dari apa? Dari dokter ganteng? Oh, berarti bener dong… eh—” ia buru-buru menutup mulutnya, merasa terlalu blak-blakan.Andini menepuk lengannya. “Nana, tolong… jangan kompor-komporin. Kebiasaan deh kompor beledug,” “Tapi kan…” Naura menunduk, suaranya mengecil, “seru, Din. Tadi tuh

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 141 Ada yang cemburu

    Naura baru saja menyuap potongan ayam saat seseorang mendekat ke meja mereka. “Permisi, mbak, boleh gabung? Meja penuh semua.”Naura langsung menegang. Tapi yang muncul ternyata hanya salah satu perawat IGD yang mereka kenal, Pak Wisnu. Seketika senyum tersungging di wajahnya. “Oh iya, silakan, Pak,” sambut Andini ramah.Naura ikut mengangguk, mencoba rileks lagi. Mereka ngobrol sebentar tentang shift jaga semalam, sambil sesekali tertawa kecil. “Eh, Bapak duluan ya. Soalnya istri Bapak telepon. Lain kali kita ngobrol lagi ya KOAS Naura dan Nona Andini.”Pak Wisnu tersenyum ramah pada Naura dan Andini.Untuk beberapa saat Naura menghela nafas panjang. Pun, Andini melihat raut wajah sahabatnya yang berubah-ubah mirip bunglon.Suasana kembali normal… sampai Naura mendengar suara berat yang terlalu familiar.Langkah sepatu sneaker. Nada bicara datar. Suara itu seperti hawa dingin yang tiba-tiba menurunkan suhu mall lima derajat. “Mario, kamu yakin mau di sini? Oh, ada meja kosong di—

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 140 Main Petak Umpet

    “Astagfirullah, kamu ini, sabun mandi aja bisa lupa beli,” komentar Naura sambil meletakkan dua botol sabun ke dalam troli. Ia menggelengkan kepalanya ribut.Andini tersenyum kecut. “Makanya aku ajak kamu. Otakku lagi berantakan, Nana. Tapi hidup harus terus berjalan.”Cengkraman tangan Andini di trolly lebih kuat. Naura melirik sahabatnya yang tampak kelelahan. Meski senyum masih tergambar, tapi matanya tidak bisa bohong. Andini masih belum menerima perlakuan keluarga Dewa terhadapnya. Ia tidak mengeluh. Ia lebih memilih mengalihkan perasaan itu.“Duh, Din… kamu tuh butuh liburan, bukan belanja bulanan.” Tak henti-hentinya, Naura menggoda Andini. Bahkan demi menemani sahabatnya berbelanja, ia membolos dari RS dengan alasan yang dibuat-buat.“Kalau aku liburan, nanti yang nyuci piring siapa?” balas Andini, mencoba bercanda.Naura terkekeh, lalu merangkul lengan sahabatnya. “Kalau kamu tinggal nyuci air mata aja, biar aku yang urus belanjaan.”Andini tertawa kecil. Setidaknya Naura se

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 139 Opposite Attract

    Dipta segera menekan tombol interkom, tiga kali. Tidak ada suara balasan, hanya statis hampa. Ia beralih ke tombol darurat, bunyi nyaring menggema, menusuk, tapi tetap tak membangkitkan respons.Naura berdiri diam di sebelahnya, menggigit bibir bawahnya. Ia mulai dilanda gelisah. Sesaat ia hanya memandangi angka lantai yang membeku di panel digital.Satu menit. Dua menit. Tiga menit berlalu.Dengan gerakan pasrah, ia menghela napas panjang lalu perlahan duduk di lantai lift, menyandarkan punggung ke dinding. Roknya ia rapikan dulu sebelum akhirnya bersandar. Dipta melirik. Keningnya mengernyit. “Kamu ngapain?”Naura menengadah, tenang. “Ya duduk. Masa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status