Kini, Andini menatap sekelilingnya melalui jendela mobil.
Sejauh mata memandang, ia hanya bisa melihat gedung-gedung menjulang tinggi. Entah akan dibawa kemana dirinya oleh pria yang bernama Dewa itu.
Namun, matanya melebar tatkala menangkap sebuah tulisan pada signboard, Apartemen COSMIC.
Berbagai fantasi liar muncul di kepalanya. Apakah mungkin pria itu akan mengeksekusi dirinya?
Namun, sedetik kemudian gadis itu berusaha tenang. Otaknya mulai berpikir keras. Ia sedang mencari cara bagaimana ia bisa melarikan diri dari pria misterius bernama Dewa.
“Om Dewa, kenapa bawa aku ke mari?”
Meskipun suaranya tenang, namun Andini bertanya dengan wajah yang patut dikasihani. Ia terlihat letih setelah berlari dari kejaran para pengawal keluarga Hadinata. Ia khawatir jika Dewa akan meminta imbalan karena sudah menolongnya.
“Keluar!”
Dewa mengetuk jendela mobil samping Andini. Suaranya yang bariton membuatnya merinding hebat.
Andini menggeleng pelan dengan kedua tangannya sudah mencengkram handgrip seperti seekor kera.
“Andini! Cepat keluar! Atau—” ucap Dewa terdengar intimidatif. Ia mengetuk jendela dengan keras.
Andini mengerucutkan bibirnya lalu melepas sabuk pengaman. Tangannya yang mungil menarik handle pintu hingga terbuka dan dalam hitungan detik ia pun sudah keluar dari dalam mobil dan berlari dari sana.
Namun entah bagaimana, Andini merasa lari di tempat. Ia juga merasa tubuhnya melayang ke udara. Matanya membola saat menundukkan pandangannya. Ia sudah tidak menapak di lantai.
Gadis berwajah mungil itu pun menoleh ke belakang. Sial, dengan satu tarikan saja, Dewa menarik pinggang Andini dan memangkunya seperti memangku seekor kucing.
“Lepas! Apaan sih! Aku mau pulang,”
Andini memekik sembari memukul-mukul lengan kekar Dewa, tetapi pria itu sama sekali tidak merasa terusik.
Menyerah, akhirnya Andini tidak melawan dan ia pasrah digendong oleh Dewa hingga masuk ke dalam apartemen mewah miliknya.
Dewa menurunkan Andini di atas sofa. Namun ia terkesiap saat melihat Andini memejamkan matanya dengan air mata yang basah.
“Kenapa nangis?” Dewa bersuara dengan heran.
“Kamu udah lancang!” jawab Andini dengan tersedu sedan.
“Hah?”
Sontak, Dewa merasa bersalah. Ia sàdar, ia bukan pria yang sabar.
“Aku sudah ternoda!” kata Andini dengan bibir yang mencucuk. Ia tak terima dengan perlakuan Dewa yang seenaknya menggendongnya.
Kerutan di dahi Dewa semakin dalam. “Maksudmu? Aku sama sekali tidak melakukan hal senonoh padamu,”
Dewa menatap tajam Andini, hingga gadis itu menangis lebih kencang.
Ia sedang patah hati, masih jetlag, baru turun dari pesawat, belum makan sejak semalam dan merasa letih karena dikejar para pengawal keluarga Hadinata.
Naasnya tidak ada keluarga yang memperdulikannya dan ada om-om yang menculiknya!
Sungguh, sempurna sudah penderitaan Andini.
Sementara itu, Dewa mulai membuka maskernya dan meraih satu batang rokok lalu menyalakannya.
Ia menghisap rokok itu dengan dalam lalu mengepulkan asapnya ke udara. “Stop drama!”
Mendengar perkataan Dewa, sepasang mata jernih Andini mengerjap. Ia berhenti menangis lalu berkata. “Sudahlah, percuma bicara sama Om Om yang tak punya hati.”
“What the fuc*k?”
Dewa tak terima dikatai tak punya hati. Berani sekali gadis muda di depannya. Padahal tidak ada yang berani membantah maupun mendebatnya sebelumnya. “Kalau aku tak punya hati, aku tidak akan menolongmu,”
“Menolong sih menolong. Tapi … gak gratis!” protes Andini menundukan wajahnya. Ia melepas kacamata yang membingkai wajahnya lalu mengelapnya dengan tisu yang diambil dari atas meja.
Dewa terdiam mendengar perkataan Andini yang memang benar adanya.
“Toilet umum saja tidak gratis!” sembur Dewa kesal.
Andini mendengus pelan mendengar komentar Dewa.
Sisi lain, Dewa terus menatap Andini dengan tatapan penuh selidik dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Mengapa kamu merusak acara keluarga Hadinata? Apa kamu gak takut masuk penjara?”
Andini mendongak mendengar pertanyaan pria itu lalu sedikit terkejut saat baru melihat wajah di balik masker hitam misterius tadi. Sial, Dewa tampan meskipun usianya sepertinya di atas kepala tiga.
Hanya saja, tatapan Dewa berhasil membuat Andini merasa tegang luar biasa. Mendadak otaknya tak bisa diajak kerjasama. Ia bingung mau bicara apa.
Dewa hanya mendesah pelan melihat respon Andini yang selambat siput. Pria itu lalu mengangkat tangannya, memanggil pelayan yang berada di sana.
“Anda butuh apa Tuan?” tanya pelayan wanita berusia paruh baya itu menghampiri Dewa. Tatapannya beralih pada gadis bertubuh mungil berwajah mirip boneka.
“Siapkan pakaian untuknya!” titahnya dengan suara yang dingin.
Sang pelayan langsung mengangguk dengan sedikit membungkukan badannya. “Baik Tuan,”
Ia pun beringsut pergi menuju salah satu kamar di apartemen mewah itu.
Alih-alih menjawab pertanyaan Dewa, Andini hanya diam dengan memainkan bibirnya tak karuan.
“Makasih sudah menolongku. Tapi aku mau pulang,” katanya lalu menegakkan tubuhnya.
Dewa tersenyum sinis. “Pulang? Kamu tidak boleh pergi kemana-kemana,”
Andini menatap nyalang pria yang berusia lebih dewasa darinya lalu menggerakan bibirnya dengan suara yang gemetar. “Maaf, aku sudah merepotkanmu. Kalau begitu, aku harus bayar berapa untuk membalas budimu?”
Dewa seketika tertawa mengejek. “Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kamu merusak acara pesta keluarga Hadinata?”
Kedua tangan Andini mengepal di atas ke dua pahanya. Dengan mata yang memerah, ia pun akhirnya menjawab. “Aku tunangannya Bima Abimanyu. Tapi … kamu lihat sendiri, kenapa dia malah menikahi adikku?”
Dewa diam menyimak. Ia memang tidak memperhatikan lebih jauh soal apa yang terjadi. Ia hanya tahu jika Andini berusaha lari dari acara pesta setelah membuat keributan.
“Menarik! Jadi … kamu menghancurkan pesta mantan tunanganmu. Baiklah, kamu boleh pulang asalkan kamu harus membantuku.”
“Bantu apa? Jangan bilang kalau kamu mau aku membalas budimu dengan berpura-pura menjadi tunanganmu? Aku gak mau bikin drama series,” ucap Andini dengan mendecakkan lidahnya.
“Kamu memang pintar!” kata Dewa tiba-tiba, “aku memang butuh calon istri seperti dirimu.”
Entah Andini berhalusinasi, ia dapat melihat seringai pria itu?
Ya, Tuhan!
Hidupnya sudah cukup sulit. Bahkan ia sengaja dikirim ke Malaysia oleh sang ayah agar adiknya dapat menikahi tunangannya.
Sekarang apa lagi ini?
Suasana ruang keluarga sore itu terasa lengang, tapi tegang. Angin dari jendela terbuka hanya menambah kesan sepi, bukan menyejukkan.Dewa duduk di sofa dengan punggung tegak, menatap kosong ke dinding seberang. Secangkir kopi sudah mulai dingin di tangannya.Di hadapannya, Rania berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Tatapannya tajam, namun nada suaranya tetap tenang—meskipun mengandung tekanan.Kali ini Dewa tidak berniat pergi. Ia tidak boleh mengalah lagi. Sudah cukup kakak sulungnya itu berbuat seenaknya. Sejak kecil hanya Rania saudaranya yang terlihat ambisius. Sejak kecil ia selalu ingin menjadi nomor satu dan mendapatkan apa yang ia mau. Ia egois, tidak peduli pada adik-adiknya.Perselisihan masa lalu yang terjadi di antara Rania dan Kalingga membuat Dewa terluka. Kalingga tidak senang dengan sikap kakaknya yang terlalu mendominasi. Naasnya, ke dua orang tua mereka justru selalu membelanya. Bukan sekali dua kali, lama kelamaan Kalingga merasa menjadi seorang yang tidak be
“Cepetan, Bego. Gak usah banyak alasan!” geram Shafira, tangannya menggenggam pergelangan tangan Andini makin erat.Andini berusaha menarik tangannya, tapi Shafira dan dua temannya malah membentuk barikade hidup, menyeretnya ke arah lorong belakang gedung kampus. Jalur sepi. Bangku taman tinggal bayangan. Toilet jadi tujuan yang tak diinginkan siapa pun jika sedang dibully.“Kalau kamu gak ngaku juga siapa sugar daddy kamu, kita bantuin ya buat nyebarin versi kita sendiri!” Shafira menyeringai puas.“Lepasin! Kalian tuh udah gila!” Andini mencoba melawan, tapi tiga lawan satu jelas tidak adil.Apalagi Andini yang bertubuh mungil akan sangat mudah diseret oleh mereka. Tiba-tiba—“Eh, sorry. Ini kampus, bukan lokasi syuting sinetron.”Suara pria terdengar di belakang mereka. Tenang, malas, tapi cukup nyaring untuk bikin ketiga cewek itu menoleh.Seorang cowok jangkung berjaket biru tua, ransel miring, headphone menggantung di lehernya. Tio. Wajahnya biasa aja, tapi tatapannya tajam sep
“Ayo, Om. Terminalnya tinggal belok kanan.”Suara Andini terdengar ringan, tapi ada jeda aneh di tengahnya. Seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu.Dewa melirik dari balik kacamata hitamnya. “Aku tahu, Andin. Aku bukan turis.”Nada suaranya datar, tapi tangannya mencengkeram koper di sebelahnya sedikit terlalu kencang.Mereka berjalan berdampingan, menyusuri lorong bandara Kuala Lumpur yang ramai. Suara roda koper beradu dengan lantai, langkah kaki para penumpang, pengumuman boarding dari speaker, dan... diam mereka berdua.Andini mengusap lengan bajunya pelan. “Om, beneran gak mau aku temenin sampai gate?” tanyanya pelan, setengah berbisik.“Ngapain? Nanti kamu malah bikin aku makin berat berangkat,” gumam Dewa tanpa menoleh.Andini menelan saliva. “Oh.”Gadis itu membetulkan kacamatanya, diam membisu.Dewa menghentikan langkahnya begitu mereka sampai di area check-in. Ia menatap layar keberangkatan sejenak, lalu menarik napas panjang. “Jam segini… pas.”Andini ikut berdiri di
“Aku udah bilang, Andini itu harus dikasih pelajaran biar kapok,” ujar Amanda sambil menyeruput es kopi susunya. Kuku palsunya berkilau saat ia mengangkat gelas. Suara centil khasnya terdengar penuh rasa puas.Jelita yang duduk di seberangnya di café langganannya—tempat bergosip paling sakral mengangguk pelan, menyilangkan kaki sambil menatap Amanda.“Jadi kamu udah mulai? Serius nyebarin gosip itu?”Sungguh, dalam hati terdalam Jelita masih tidak pernah mengira jika ada seseorang yang tega berbuat keji pada saudarinya. Orang itu ada di depannya! Amanda yang sekilat terlihat gadis lugu dan penuh sopan santun. Nyatanya, ia seorang manipulatif. Amanda menyeringai. “Please, sayang. Nyebar gosip tuh bukan hal baru buat aku. Apalagi sekarang... kita tinggal telepon satu orang, lalu semua bisa heboh.”Gadis itu memetik jarinya dengan senyum yang menakutkan.“Aku penasaran, kamu pakai strategi apa kali ini?” tanya Jelita dengan mata menyipit penasaran.“Gampang. Aku udah kirim foto dia bers
Andini berusaha memanjangkan sumbu kesabaran saat menghadapi geng sosialita kampus. Ia tidak mau ambil pusing. Gadis berkacamata itu pergi meninggalkan mereka. Namun sebelum langkah kakinya terayun, lengan Andini langsung ditarik kasar olehnya.“Gak sopan banget! Buta apa? Aku masih ngomong sama kamu,” beo Shafira mencengkeram lengan Andini keras. Sontak Andini berusaha menyingkirkan tangannya yang lancang itu.“Lepasin!!” kata Andini mulai tersulut emosi.Ke dua teman Shafira tertawa kencang. “Shafir, lepasin! Nanti Sugar Daddy nya marah lo—” ucap salah satu teman Shafira berbaju crop top.“Bener, Shafir! Kasihan anak orang. Tuh, lihat dia mau nangis,” sambung yang lain gadis—yang memakai atasan sabrina dan celana jeans ketat. Ia mengatakan itu sembari menarik kacamata Andini dan melemparnya jauh.Andini panik. Ia tidak bisa melihat dengan jelas. Ia sangat khawatir jika kacamatanya diinjak. Teringat dulu Amanda yang menginjak seenaknya kacamata miliknya. Shafira melepaskan lengan
“Dia, keluargaku,” jawab Andini berhati-hati. Pengertian keluarga luas bukan. Ia ingin bicara jujur, namun ia merasa belum siap menghadapi reaksi teman-temannya di kampus. Semoga saja Dewa juga sepakat dengan dia untuk tidak mengumumkan pernikahan mereka ke publik.Toh, pada akhirnya mereka akan berpisah. Begitulah pikiran seorang Andini Anindya Raharja.“Om kamu ya? Kalau Ayah kayaknya terlalu muda,” lanjut Miko masih belum puas mendengar jawaban Andini. Ia mulai menebak sesuka hati.Bukan tanpa alasan, ia melihat Andini berbelanja kebutuhan rumah bersama Dewa di mall. Belanjaan mereka banyak sekali. Cara pria itu menatap Andini dan bersikap padanya terasa janggal. Sebagai seorang pria, ia bisa membedakannya.Andini meringis mendengar kekepoan Miko. Jujur, ia keberatan jika seseorang berusaha mengorek hal pribadinya. Mengabaikan perkataan Miko, Andini hanya tersenyum samar. Ia tidak akan meladeninya. “Aku duluan,” katanya dengan langkah yang dipercepat.Miko menghela napas berat. J