Share

Bab 6

Penulis: Piemar
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-06 22:28:14

Kini Andini terduduk di pinggir ranjang, tangannya terikat di belakang, bibirnya gemetar. Ia menggigit sudut lidahnya agar tak menjerit, hanya bisa menatap pria tambun yang berdiri di depannya dengan senyum menjijikkan.

Pria itu menyeringai. “Tenang saja, cantik. Kamu hanya perlu diam, dan semuanya akan cepat berlalu. Aku akan mengajakmu ke tempat yang indah,”

Langkah kakinya berat, napasnya memburu seperti binatang lapar. Andini menunduk, tubuhnya gemetar hebat, namun matanya tetap mencari jalan keluar.

Dalam hati Andini berdoa. Semoga saja ada pertolongan datang. 

Sebuah keajaiban datang di waktu yang tepat.

BRAAAK!

Saat pria itu hendak meraih wajahnya, pintu terlempar terbuka hingga membentur dinding. Suara keras menggelegar disusul langkah berat yang memasuki kamar.

Dewa datang untuk menyelamatkan Andini. “Sentuh dia satu milimeter lagi, dan kamu akan kehilangan tanganmu.”

Pria tambun itu berbalik, terkejut.

Dewa tak menunggu jawaban. Tinju keras menghantam rahangnya, membuat pria itu terpental menabrak meja kecil hingga kaca lampu berhamburan.

Pria itu merintih lalu berkata. “Siapa... siapa kamu?!”

Dewa tidak menjawab. Matanya terlihat bengis melihat pria itu. Tanpa tedeng aling-aling ia menarik tubuh pria itu lagi dan menghajarnya tanpa ampun. 

Andini berusaha bersuara, tapi hanya air mata yang jatuh lebih dulu. Tubuhnya lemas dan kepala pening karena tali yang mengikat tangannya terlalu lama. 

Setelah memastikan pria itu tak bergerak, Dewa berbalik. Nafasnya terengah, tapi matanya penuh amarah dan kekhawatiran.

Ia berlutut, melepaskan ikatan di tangan Andini dengan cepat. Saat tangannya menyentuh pergelangan Andini yang memerah, ia terlihat seperti hendak menghancurkan dunia.

“Om,” lirih Andini menatap Dewa dengan perasaan yang terluka. Jika Dewa tidak datang ia sudah dieksekusi olehnya. 

 Dewa menatap Andini lalu segera mengangkat tubuhnya perlahan dan hati-hati. 

 Andini mengerjapkan matanya. Ia tahu tubuhnya lemah namun ia merasa malu jika harus digendong segala. Apalagi ala bridal seperti di drama romantis.

 Air mata Andini jatuh dalam diam. Ia merasa terharu.

 Kini Andini sudah berada di dalam mobil mewah Dewa. 

 “Om Dewa, terima kasih sudah menolongku,” ucap Andini tulus dari dalam hati yang terdalam. Kemudian ia melanjutkan kalimatnya. “Om, bagaimana bisa tahu aku berada di hotel?”

Dewa menoleh ke arah Andini lalu menjawab. “Kamu yang bilang mau kembali ke hotel,”

“Ah, ya, benar,” cicit Andini dengan nyengir kuda. 

Sisi lain, Dewa menyandarkan punggung, matanya menatap langit-langit mobil.

“Aku ingin Om bantu aku membalas perbuatan Bima,” seru Andini setelah merasa lebih baik. Ia tidak pernah mengira jika Bima dan keluarganya bisa setega itu padanya. Hidupnya nyaris hancur dalam hitungan singkat. 

Dewa mendesah pelan lalu bersuara. “Oke. Aku bantu. Kita bikin kesepakatan. Kamu mau balas dendam? Aku bantu. Tapi kamu juga bantu aku.”

Andini mengerutkan keningnya lalu menghela nafas pelan. “Aku mau jadi kekasih bayaran Om!”

Dewa menatap Andini lalu mengangguk. “Aku akan bayar kamu 5 miliar sebagai kompensasi.”

Pria itu memang agak absurd, tapi tawarannya masuk akal.

Andini menatap Dewa dengan tatapan serius. “Deal. Tapi jangan jatuh cinta beneran ya.” 

Dewa mengangkat alisnya. “Deal!”

Andini tidak tahu jika keputusannya akan mengubah hidupnya secara drastis.

Yang jelas, dia setuju menjadi kekasih bayarannya. Malam itu bahkan Andini menginap di apartemen Dewa sebab tak mungkin jika ia pulang ke rumah ke dua orang tuanya. 

Beberapa kali sang ayah menghubunginya, namun ia abaikan. Ia marah pada keadaan dan keluarganya. 

Siang itu Andini menatap pantulan dirinya di cermin mobil sebelum turun. Kacamata tebal bertengger di hidungnya, rambutnya ia biarkan tergerai sederhana. Tidak ada gaun mewah, tidak ada riasan mencolok. 

Namun Dewa, pria yang kini duduk di sampingnya tidak terlalu mempermasalahkannya. Lagipula, Andini menolak pergi ke salon. Ia hanya berdandan seadanya namun tetap terlihat cantik dan manis.

“Siap?” tanya Dewa pelan.

“Tidak,” jawab Andini jujur, suaranya nyaris seperti bisikan. “Aku masih belum paham kenapa Om membawaku ke sini ...”

Dewa hanya tersenyum. “Kamu akan paham nanti.”

Setengah jam kemudian mereka tiba di kediaman keluarga besar Dewa—sebuah rumah mewah berarsitektur kolonial, dikelilingi taman rapi dan penjagaan ketat. Di ruang makan yang luas dan dingin karena pendingin ruangan, meja panjang telah tertata rapi. Lilin-lilin putih menyala, menambah suasana formal yang kaku.

Andini melangkah di belakang Dewa. Langkahnya ragu, sementara tangan pria itu menggenggamnya erat.

Surya, sang kepala keluarga, menyambut mereka dengan penuh keramah tamahan. Senyumnya tidak lebar, namun cukup untuk mencairkan suasana. “Selamat datang, Nak. Senang bertemu denganmu.”

Andini membungkuk sedikit, sopan. “Terima kasih, Pak.”

Namun tidak demikian dengan Ratih, ibunda Dewa. Ia memandangi Andini dari atas ke bawah. Tidak ada senyum di wajahnya. Tidak ada sambutan hangat, hanya anggukan kecil yang terlalu singkat untuk disebut ramah.

Tatapan Ratih menyiratkan kekecewaan yang dalam, meski ia tidak mengucapkannya. Harapannya runtuh begitu melihat perempuan itu—sederhana, berkacamata tebal, tidak punya latar belakang istimewa. Bukan tipikal calon menantu keluarganya.

Namun, demi menjaga nama baik dan perasaan putra bungsunya yang baru kembali dari Eropa, Ratih menahan diri. Ia menyembunyikan kecewa di balik formalitas.

“Ayah dan Ibu...” Dewa membuka suara. “Hari ini aku bawa Andini ke sini bukan sekadar sebagai rekan kerja atau sekretaris ya... tapi sebagai kekasihku.”

Ruang makan hening seketika.

Para sepupu dan kerabat yang hadir menoleh, seolah menunggu drama dimulai.

Andini merasa tubuhnya menegang. Ia tahu peran ini hanya sementara—hanya kontrak, sebuah kesepakatan. Namun mengapa kini dada ini terasa sesak? Mengapa tatapan Dewa begitu tulus saat menggenggam tangannya di depan semua orang?

Surya hanya mengangguk. “Kalau itu keputusanmu, kami terima. Tapi kalian harus tahu, keputusan besar datang dengan tanggung jawab besar.”

Ratih tak berkata apa-apa. Namun sorot matanya penuh tanya.

Apa hubungan mereka sungguh nyata?

Andini tahu, makan siang ini baru permulaan. 

Apalagi beberapa anggota keluarga lain baru saja ikut bergabung. 

Sial! 

Mengapa ada Bima dan Amanda di sana?

“Selamat siang semua,” kata Bima sembari menggandeng lengan Amanda lalu tersenyum melihat keluarga Hadinata. Tapi senyumnya hilang saat melihat seorang wanita yang dikenalnya duduk di samping Dewa, pamannya yang sudah lama tidak ia temui.

Begitu juga Andini langsung tertuju pemilik suara, Bima lalu beralih pada Dewa dengan tatapan ingin tahu.

“Om Dewa, kenapa ada mereka di sini?” tanya Andini setengah berbisik. 

“Aku ini... pamannya Bima.”

Hening. Udara seperti membeku.

“Paman?” ulang Andini pelan, dengan nada yang tidak yakin antara mau tertawa atau kabur.

Dewa hanya mengangkat alis. “Well, secara teknis, aku anak bungsu keluarga Surya Hadinata. Bima anak Mbak Rania, kakakku. Jadi dia keponakanku.”

Seketika tenggorokan Andini tercekat, mengetahui fakta yang mencengangkan itu! Jadi, ia menjadi kekasih paman mantan tunangannya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 79

    “Pak Dewa, ini proposal kerja sama untuk lomba antar-mahasiswa farmasi se-Malaysia. Namanya Formula It,” ujar seorang wanita muda sembari meletakkan map cokelat ke atas meja. “Finalnya akan digelar di Kuala Lumpur bulan depan.”Dewa mengangkat kepala sekilas dari laporan keuangan yang tengah ia pelajari. Sorot matanya belum sepenuhnya tertarik. “Farmasi? Malaysia? Kompetisinya tentang apa?”“Formulasi obat inovatif,” jawab Lina—sekretaris baru dengan cepat. “Mahasiswa ditantang mengembangkan ide segar, relevan, dan punya nilai riset tinggi. Kalau PT Hadinata Pharmaceutical jadi sponsor, nama perusahaan kita bisa tampil sebagai brand besar yang mendukung pendidikan dan sains.”Dewa mengangguk pelan, namun belum memberi keputusan. Tangannya mulai membuka map, membaca dengan tempo lambat. “Ini proposal dua bulan yang lalu? Kenapa baru kamu serahkan sekarang?”Lina mengangguk pelan dan menjawab dengan hati-hati. Ia sudah menyerahkan proposal itu namun Dewa belum sempat membacanya. Jadi, bu

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 78

    Suasana ruang keluarga sore itu terasa lengang, tapi tegang. Angin dari jendela terbuka hanya menambah kesan sepi, bukan menyejukkan.Dewa duduk di sofa dengan punggung tegak, menatap kosong ke dinding seberang. Secangkir kopi sudah mulai dingin di tangannya.Di hadapannya, Rania berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Tatapannya tajam, namun nada suaranya tetap tenang—meskipun mengandung tekanan.Kali ini Dewa tidak berniat pergi. Ia tidak boleh mengalah lagi. Sudah cukup kakak sulungnya itu berbuat seenaknya. Sejak kecil hanya Rania saudaranya yang terlihat ambisius. Sejak kecil ia selalu ingin menjadi nomor satu dan mendapatkan apa yang ia mau. Ia egois, tidak peduli pada adik-adiknya.Perselisihan masa lalu yang terjadi di antara Rania dan Kalingga membuat Dewa terluka. Kalingga tidak senang dengan sikap kakaknya yang terlalu mendominasi. Naasnya, ke dua orang tua mereka justru selalu membelanya. Bukan sekali dua kali, lama kelamaan Kalingga merasa menjadi seorang yang tidak be

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 77

    “Cepetan, Bego. Gak usah banyak alasan!” geram Shafira, tangannya menggenggam pergelangan tangan Andini makin erat.Andini berusaha menarik tangannya, tapi Shafira dan dua temannya malah membentuk barikade hidup, menyeretnya ke arah lorong belakang gedung kampus. Jalur sepi. Bangku taman tinggal bayangan. Toilet jadi tujuan yang tak diinginkan siapa pun jika sedang dibully.“Kalau kamu gak ngaku juga siapa sugar daddy kamu, kita bantuin ya buat nyebarin versi kita sendiri!” Shafira menyeringai puas.“Lepasin! Kalian tuh udah gila!” Andini mencoba melawan, tapi tiga lawan satu jelas tidak adil.Apalagi Andini yang bertubuh mungil akan sangat mudah diseret oleh mereka. Tiba-tiba—“Eh, sorry. Ini kampus, bukan lokasi syuting sinetron.”Suara pria terdengar di belakang mereka. Tenang, malas, tapi cukup nyaring untuk bikin ketiga cewek itu menoleh.Seorang cowok jangkung berjaket biru tua, ransel miring, headphone menggantung di lehernya. Tio. Wajahnya biasa aja, tapi tatapannya tajam sep

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 76

    “Ayo, Om. Terminalnya tinggal belok kanan.”Suara Andini terdengar ringan, tapi ada jeda aneh di tengahnya. Seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu.Dewa melirik dari balik kacamata hitamnya. “Aku tahu, Andin. Aku bukan turis.”Nada suaranya datar, tapi tangannya mencengkeram koper di sebelahnya sedikit terlalu kencang.Mereka berjalan berdampingan, menyusuri lorong bandara Kuala Lumpur yang ramai. Suara roda koper beradu dengan lantai, langkah kaki para penumpang, pengumuman boarding dari speaker, dan... diam mereka berdua.Andini mengusap lengan bajunya pelan. “Om, beneran gak mau aku temenin sampai gate?” tanyanya pelan, setengah berbisik.“Ngapain? Nanti kamu malah bikin aku makin berat berangkat,” gumam Dewa tanpa menoleh.Andini menelan saliva. “Oh.”Gadis itu membetulkan kacamatanya, diam membisu.Dewa menghentikan langkahnya begitu mereka sampai di area check-in. Ia menatap layar keberangkatan sejenak, lalu menarik napas panjang. “Jam segini… pas.”Andini ikut berdiri di

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 75

    “Aku udah bilang, Andini itu harus dikasih pelajaran biar kapok,” ujar Amanda sambil menyeruput es kopi susunya. Kuku palsunya berkilau saat ia mengangkat gelas. Suara centil khasnya terdengar penuh rasa puas.Jelita yang duduk di seberangnya di café langganannya—tempat bergosip paling sakral mengangguk pelan, menyilangkan kaki sambil menatap Amanda.“Jadi kamu udah mulai? Serius nyebarin gosip itu?”Sungguh, dalam hati terdalam Jelita masih tidak pernah mengira jika ada seseorang yang tega berbuat keji pada saudarinya. Orang itu ada di depannya! Amanda yang sekilat terlihat gadis lugu dan penuh sopan santun. Nyatanya, ia seorang manipulatif. Amanda menyeringai. “Please, sayang. Nyebar gosip tuh bukan hal baru buat aku. Apalagi sekarang... kita tinggal telepon satu orang, lalu semua bisa heboh.”Gadis itu memetik jarinya dengan senyum yang menakutkan.“Aku penasaran, kamu pakai strategi apa kali ini?” tanya Jelita dengan mata menyipit penasaran.“Gampang. Aku udah kirim foto dia bers

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Paman Miliardernya   Bab 74

    Andini berusaha memanjangkan sumbu kesabaran saat menghadapi geng sosialita kampus. Ia tidak mau ambil pusing. Gadis berkacamata itu pergi meninggalkan mereka. Namun sebelum langkah kakinya terayun, lengan Andini langsung ditarik kasar olehnya.“Gak sopan banget! Buta apa? Aku masih ngomong sama kamu,” beo Shafira mencengkeram lengan Andini keras. Sontak Andini berusaha menyingkirkan tangannya yang lancang itu.“Lepasin!!” kata Andini mulai tersulut emosi.Ke dua teman Shafira tertawa kencang. “Shafir, lepasin! Nanti Sugar Daddy nya marah lo—” ucap salah satu teman Shafira berbaju crop top.“Bener, Shafir! Kasihan anak orang. Tuh, lihat dia mau nangis,” sambung yang lain gadis—yang memakai atasan sabrina dan celana jeans ketat. Ia mengatakan itu sembari menarik kacamata Andini dan melemparnya jauh.Andini panik. Ia tidak bisa melihat dengan jelas. Ia sangat khawatir jika kacamatanya diinjak. Teringat dulu Amanda yang menginjak seenaknya kacamata miliknya. Shafira melepaskan lengan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status