Kini Andini terduduk di pinggir ranjang, tangannya terikat di belakang, bibirnya gemetar. Ia menggigit sudut lidahnya agar tak menjerit, hanya bisa menatap pria tambun yang berdiri di depannya dengan senyum menjijikkan.
Pria itu menyeringai. “Tenang saja, cantik. Kamu hanya perlu diam, dan semuanya akan cepat berlalu. Aku akan mengajakmu ke tempat yang indah,”
Langkah kakinya berat, napasnya memburu seperti binatang lapar. Andini menunduk, tubuhnya gemetar hebat, namun matanya tetap mencari jalan keluar.
Dalam hati Andini berdoa. Semoga saja ada pertolongan datang.
Sebuah keajaiban datang di waktu yang tepat.
BRAAAK!
Saat pria itu hendak meraih wajahnya, pintu terlempar terbuka hingga membentur dinding. Suara keras menggelegar disusul langkah berat yang memasuki kamar.
Dewa datang untuk menyelamatkan Andini. “Sentuh dia satu milimeter lagi, dan kamu akan kehilangan tanganmu.”
Pria tambun itu berbalik, terkejut.
Dewa tak menunggu jawaban. Tinju keras menghantam rahangnya, membuat pria itu terpental menabrak meja kecil hingga kaca lampu berhamburan.
Pria itu merintih lalu berkata. “Siapa... siapa kamu?!”
Dewa tidak menjawab. Matanya terlihat bengis melihat pria itu. Tanpa tedeng aling-aling ia menarik tubuh pria itu lagi dan menghajarnya tanpa ampun.
Andini berusaha bersuara, tapi hanya air mata yang jatuh lebih dulu. Tubuhnya lemas dan kepala pening karena tali yang mengikat tangannya terlalu lama.
Setelah memastikan pria itu tak bergerak, Dewa berbalik. Nafasnya terengah, tapi matanya penuh amarah dan kekhawatiran.
Ia berlutut, melepaskan ikatan di tangan Andini dengan cepat. Saat tangannya menyentuh pergelangan Andini yang memerah, ia terlihat seperti hendak menghancurkan dunia.
“Om,” lirih Andini menatap Dewa dengan perasaan yang terluka. Jika Dewa tidak datang ia sudah dieksekusi olehnya.
Dewa menatap Andini lalu segera mengangkat tubuhnya perlahan dan hati-hati.
Andini mengerjapkan matanya. Ia tahu tubuhnya lemah namun ia merasa malu jika harus digendong segala. Apalagi ala bridal seperti di drama romantis.
Air mata Andini jatuh dalam diam. Ia merasa terharu.
Kini Andini sudah berada di dalam mobil mewah Dewa.
“Om Dewa, terima kasih sudah menolongku,” ucap Andini tulus dari dalam hati yang terdalam. Kemudian ia melanjutkan kalimatnya. “Om, bagaimana bisa tahu aku berada di hotel?”
Dewa menoleh ke arah Andini lalu menjawab. “Kamu yang bilang mau kembali ke hotel,”
“Ah, ya, benar,” cicit Andini dengan nyengir kuda.
Sisi lain, Dewa menyandarkan punggung, matanya menatap langit-langit mobil.
“Aku ingin Om bantu aku membalas perbuatan Bima,” seru Andini setelah merasa lebih baik. Ia tidak pernah mengira jika Bima dan keluarganya bisa setega itu padanya. Hidupnya nyaris hancur dalam hitungan singkat.
Dewa mendesah pelan lalu bersuara. “Oke. Aku bantu. Kita bikin kesepakatan. Kamu mau balas dendam? Aku bantu. Tapi kamu juga bantu aku.”
Andini mengerutkan keningnya lalu menghela nafas pelan. “Aku mau jadi kekasih bayaran Om!”
Dewa menatap Andini lalu mengangguk. “Aku akan bayar kamu 5 miliar sebagai kompensasi.”
Pria itu memang agak absurd, tapi tawarannya masuk akal.
Andini menatap Dewa dengan tatapan serius. “Deal. Tapi jangan jatuh cinta beneran ya.”
Dewa mengangkat alisnya. “Deal!”
Andini tidak tahu jika keputusannya akan mengubah hidupnya secara drastis.Yang jelas, dia setuju menjadi kekasih bayarannya. Malam itu bahkan Andini menginap di apartemen Dewa sebab tak mungkin jika ia pulang ke rumah ke dua orang tuanya.
Beberapa kali sang ayah menghubunginya, namun ia abaikan. Ia marah pada keadaan dan keluarganya.
Siang itu Andini menatap pantulan dirinya di cermin mobil sebelum turun. Kacamata tebal bertengger di hidungnya, rambutnya ia biarkan tergerai sederhana. Tidak ada gaun mewah, tidak ada riasan mencolok.
Namun Dewa, pria yang kini duduk di sampingnya tidak terlalu mempermasalahkannya. Lagipula, Andini menolak pergi ke salon. Ia hanya berdandan seadanya namun tetap terlihat cantik dan manis.
“Siap?” tanya Dewa pelan.
“Tidak,” jawab Andini jujur, suaranya nyaris seperti bisikan. “Aku masih belum paham kenapa Om membawaku ke sini ...”
Dewa hanya tersenyum. “Kamu akan paham nanti.”
Setengah jam kemudian mereka tiba di kediaman keluarga besar Dewa—sebuah rumah mewah berarsitektur kolonial, dikelilingi taman rapi dan penjagaan ketat. Di ruang makan yang luas dan dingin karena pendingin ruangan, meja panjang telah tertata rapi. Lilin-lilin putih menyala, menambah suasana formal yang kaku.
Andini melangkah di belakang Dewa. Langkahnya ragu, sementara tangan pria itu menggenggamnya erat.
Surya, sang kepala keluarga, menyambut mereka dengan penuh keramah tamahan. Senyumnya tidak lebar, namun cukup untuk mencairkan suasana. “Selamat datang, Nak. Senang bertemu denganmu.”
Andini membungkuk sedikit, sopan. “Terima kasih, Pak.”
Namun tidak demikian dengan Ratih, ibunda Dewa. Ia memandangi Andini dari atas ke bawah. Tidak ada senyum di wajahnya. Tidak ada sambutan hangat, hanya anggukan kecil yang terlalu singkat untuk disebut ramah.
Tatapan Ratih menyiratkan kekecewaan yang dalam, meski ia tidak mengucapkannya. Harapannya runtuh begitu melihat perempuan itu—sederhana, berkacamata tebal, tidak punya latar belakang istimewa. Bukan tipikal calon menantu keluarganya.
Namun, demi menjaga nama baik dan perasaan putra bungsunya yang baru kembali dari Eropa, Ratih menahan diri. Ia menyembunyikan kecewa di balik formalitas.
“Ayah dan Ibu...” Dewa membuka suara. “Hari ini aku bawa Andini ke sini bukan sekadar sebagai rekan kerja atau sekretaris ya... tapi sebagai kekasihku.”
Ruang makan hening seketika.
Para sepupu dan kerabat yang hadir menoleh, seolah menunggu drama dimulai.
Andini merasa tubuhnya menegang. Ia tahu peran ini hanya sementara—hanya kontrak, sebuah kesepakatan. Namun mengapa kini dada ini terasa sesak? Mengapa tatapan Dewa begitu tulus saat menggenggam tangannya di depan semua orang?
Surya hanya mengangguk. “Kalau itu keputusanmu, kami terima. Tapi kalian harus tahu, keputusan besar datang dengan tanggung jawab besar.”
Ratih tak berkata apa-apa. Namun sorot matanya penuh tanya.
Apa hubungan mereka sungguh nyata?
Andini tahu, makan siang ini baru permulaan.
Apalagi beberapa anggota keluarga lain baru saja ikut bergabung.
Sial!
Mengapa ada Bima dan Amanda di sana?
“Selamat siang semua,” kata Bima sembari menggandeng lengan Amanda lalu tersenyum melihat keluarga Hadinata. Tapi senyumnya hilang saat melihat seorang wanita yang dikenalnya duduk di samping Dewa, pamannya yang sudah lama tidak ia temui.
Begitu juga Andini langsung tertuju pemilik suara, Bima lalu beralih pada Dewa dengan tatapan ingin tahu.
“Om Dewa, kenapa ada mereka di sini?” tanya Andini setengah berbisik.
“Aku ini... pamannya Bima.”
Hening. Udara seperti membeku.
“Paman?” ulang Andini pelan, dengan nada yang tidak yakin antara mau tertawa atau kabur.
Dewa hanya mengangkat alis. “Well, secara teknis, aku anak bungsu keluarga Surya Hadinata. Bima anak Mbak Rania, kakakku. Jadi dia keponakanku.”
Seketika tenggorokan Andini tercekat, mengetahui fakta yang mencengangkan itu! Jadi, ia menjadi kekasih paman mantan tunangannya?
Pintu IGD terbuka, dan dari luar terlihat Dr. Gilang berdiri di ambang pintu, kedua tangannya menyilang di dada. “Dia pasienku juga, Dipta. Aku harus tahu kondisinya.” Suaranya datar, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dibaca.Dipta menoleh sekilas, wajahnya tetap dingin. “Kamu bisa baca hasil lab nanti. Sekarang, keluar.” Nada tegas itu membuat perawat yang sedang mencatat data pasien menelan ludah gugup.Tunggu. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ke dua dokter itu terlihat bersaing dalam menolong dokter KOAS yang pingsan itu. Bisik-bisik pun mulai menyebar seperti bola panas yang bergerak liar.Gilang menghela napas, mengendalikan emosinya, melangkah masuk beberapa langkah. “Aku cuma mau memastikan dia baik-baik saja. Nggak perlu segitunya.” Dipta berdiri di sisi ranjang, tubuhnya seperti dinding pelindung. “Aku bilang keluar, Gilang.” Tatapan mereka bertemu dengan sorot yang tajam, seolah saling menantang. Udara di ruangan itu terasa lebih padat dari biasanya. Naura
Hujan baru saja reda. Jalanan basah berkilau memantulkan lampu jalan. Naura duduk di kursi penumpang, mengamati tetesan air yang masih menetes di kaca mobil dr. Gilang.“Makanya aku tawarin tumpangan, Naura. Taksi nggak bakal gampang lewat sore mana hujan,” kata Gilang sambil menyalakan pemanas.Naura tersenyum tipis. “Makasih, Dok.”Ia ragu sejenak, lalu bertanya santai, “Tadi… abis ngapain di mall?”Gilang menghela napas pelan. “Beli buku… sama nyari hadiah buat keponakan. Harusnya istriku ikut, tapi ya, dia sibuk.”Nada “sibuk” itu terdengar lebih berat daripada kata biasa.Naura melirik sekilas. “Lagi banyak operasi, ya?”Diam sejenak, lalu Gilang tersenyum miris. “Operasi, seminar, konferensi, semua diambil. Kayak… hidupnya cuma buat karier.” Tangannya mengetuk setir pelan. “Kadang aku pikir… kalau menikah itu harusnya saling isi, bukan saling tinggal.”Naura menunduk. Ia tidak nyaman mengomentari urusan pribadi, tapi tetap berusaha sopan menanggapi. “Mungkin dia cuma lagi kejar
Andini, Dewa dan Naura, mereka bertiga berjalan menuju eskalator. Dewa menggandeng tangan Andini erat, seolah takut istrinya terseret arus para gadun, eh, para pengunjung mall. Sementara itu Naura berjalan di belakang sambil meremas ujung jilbabnya. Sebuah kebiasaan kalau sedang canggung sembari mengunyah permen kapas yang entah siapa yang beliin. Sadar diri, kali ini menjelma menjadi ngengat di antara sepasang suami istri itu.“Aku beneran nggak nyangka, loh, Pak Dewa bisa langsung nyamber ke food court gitu,” ucap Naura, berusaha terdengar santai tapi ujung bibirnya menahan senyum. Dewa menoleh sedikit, wajahnya masih datar. “Refleks. Aku pikir ada yang perlu diamankan.” Naura menahan tawa. “Diamankan dari apa? Dari dokter ganteng? Oh, berarti bener dong… eh—” ia buru-buru menutup mulutnya, merasa terlalu blak-blakan.Andini menepuk lengannya. “Nana, tolong… jangan kompor-komporin. Kebiasaan deh kompor beledug,” “Tapi kan…” Naura menunduk, suaranya mengecil, “seru, Din. Tadi tuh
Naura baru saja menyuap potongan ayam saat seseorang mendekat ke meja mereka. “Permisi, mbak, boleh gabung? Meja penuh semua.”Naura langsung menegang. Tapi yang muncul ternyata hanya salah satu perawat IGD yang mereka kenal, Pak Wisnu. Seketika senyum tersungging di wajahnya. “Oh iya, silakan, Pak,” sambut Andini ramah.Naura ikut mengangguk, mencoba rileks lagi. Mereka ngobrol sebentar tentang shift jaga semalam, sambil sesekali tertawa kecil. “Eh, Bapak duluan ya. Soalnya istri Bapak telepon. Lain kali kita ngobrol lagi ya KOAS Naura dan Nona Andini.”Pak Wisnu tersenyum ramah pada Naura dan Andini.Untuk beberapa saat Naura menghela nafas panjang. Pun, Andini melihat raut wajah sahabatnya yang berubah-ubah mirip bunglon.Suasana kembali normal… sampai Naura mendengar suara berat yang terlalu familiar.Langkah sepatu sneaker. Nada bicara datar. Suara itu seperti hawa dingin yang tiba-tiba menurunkan suhu mall lima derajat. “Mario, kamu yakin mau di sini? Oh, ada meja kosong di—
“Astagfirullah, kamu ini, sabun mandi aja bisa lupa beli,” komentar Naura sambil meletakkan dua botol sabun ke dalam troli. Ia menggelengkan kepalanya ribut.Andini tersenyum kecut. “Makanya aku ajak kamu. Otakku lagi berantakan, Nana. Tapi hidup harus terus berjalan.”Cengkraman tangan Andini di trolly lebih kuat. Naura melirik sahabatnya yang tampak kelelahan. Meski senyum masih tergambar, tapi matanya tidak bisa bohong. Andini masih belum menerima perlakuan keluarga Dewa terhadapnya. Ia tidak mengeluh. Ia lebih memilih mengalihkan perasaan itu.“Duh, Din… kamu tuh butuh liburan, bukan belanja bulanan.” Tak henti-hentinya, Naura menggoda Andini. Bahkan demi menemani sahabatnya berbelanja, ia membolos dari RS dengan alasan yang dibuat-buat.“Kalau aku liburan, nanti yang nyuci piring siapa?” balas Andini, mencoba bercanda.Naura terkekeh, lalu merangkul lengan sahabatnya. “Kalau kamu tinggal nyuci air mata aja, biar aku yang urus belanjaan.”Andini tertawa kecil. Setidaknya Naura se
Dipta segera menekan tombol interkom, tiga kali. Tidak ada suara balasan, hanya statis hampa. Ia beralih ke tombol darurat, bunyi nyaring menggema, menusuk, tapi tetap tak membangkitkan respons.Naura berdiri diam di sebelahnya, menggigit bibir bawahnya. Ia mulai dilanda gelisah. Sesaat ia hanya memandangi angka lantai yang membeku di panel digital.Satu menit. Dua menit. Tiga menit berlalu.Dengan gerakan pasrah, ia menghela napas panjang lalu perlahan duduk di lantai lift, menyandarkan punggung ke dinding. Roknya ia rapikan dulu sebelum akhirnya bersandar. Dipta melirik. Keningnya mengernyit. “Kamu ngapain?”Naura menengadah, tenang. “Ya duduk. Masa