Andini berdiri di halaman mansion keluarga Surya Hadinata, mencoba mengatur napasnya yang terasa sesak. Pertemuan barusan masih bergema di kepalanya. Namun sebelum ia bisa menenangkan diri, seseorang menarik lengannya dengan kasar.“Kita perlu bicara.”Suara Bima dingin, tajam seperti pisau. Ia menyeret Andini ke sisi mansion yang sepi, di antara semak dan tembok pagar yang menjulang tinggi.“Andini,” katanya sambil melepaskan lengannya dengan kasar, “apa yang kamu cari sebenarnya?”“Apa yang aku cari? Bukan urusanmu!” salak Andini dengan mata yang terasa panas. Teringat foto-foto perselingkuhan Bima dan Amanda. Lebih parah lagi, mereka bahkan melangsungkan pernikahan tanpa sepengetahuannya.Hati wanita mana yang merasa sakit mendapati kenyataan yang begitu pahit itu? Bima mengepalkan ke dua tangannya. Ia menuntut penjelasan Andini. “Dengar, kamu harus segera akhiri hubunganmu dengan Om Dewa! Aku gak mau tau,”Andini spontan menggelengkan kepalanya dengan mantap. Mungkin dulu ia tak
“Oh, jadi kamu beneran datang juga, Mbak Andin,” suara Amanda melengking nyaring dari pelaminan, cukup keras untuk membuat seluruh penghuni ballroom menoleh. Ia tersenyum tipis namun sinis.“Andaikan aku tahu kamu akan datang,” lanjutnya, “mungkin aku harus menyiapkan kursi khusus di belakang. Kursi untuk mantan.”Beberapa tamu mulai saling berbisik. Mata-mata menyorot ke arah pintu utama ballroom, tempat seorang wanita berdiri dengan gaun hitam sederhana namun elegan, Andini.Suasana ballroom Hotel Sun Shine yang sebelumnya romantis—dengan musik lembut dan gemerlap lampu gantung kristal—mendadak menjadi seperti panggung drama. Kehadiran Andini mengusik kebahagiaan pesta.Andini baru saja kembali dari Malaysia. Dan kini, apa yang dikhawatirkan selama ini terbukti benar. Sahabatnya tak berbohong, tunangannya, Bima, pria yang pernah bersumpah takkan meninggalkannya, kini berdiri gagah di pelaminan. Bersanding dengan Amanda, adik tiri yang selama ini pura-pura lugu.“Kukira kamu sibuk de
Andini berlari secepat yang ia bisa, menghindari kejaran para pengawal yang berusaha menangkapnya. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tetapi yang jelas, ia harus menjauh dari tempat ini. Sayangnya, gaun warna hitam yang dikenakannya terlihat mencolok sehingga membuatnya semakin mudah dikenali oleh para pengawal.Pengawal-pengawal suruhan keluarga Hadinata terus mengejarnya. Tanpa mengambil jeda, Andini mencoba masuk ke dalam lift, tapi tombolnya terlalu lambat merespons mirip siput. Ia pun menoleh ke lorong di sebelah kirinya. “Berhenti di situ, Nona Andini!” teriak salah satu pengawal berbadan besar sambil menunjuk ke arah Andini. “Kalau aku berhenti, aku pasti jadi tumisan kalian!” gerutu Andini sambil melangkah mundur dengan panik. Ia harus segera melarikan diri jika ingin selamat dari mereka.Tiba-tiba, seorang pria berpostur tubuh tinggi berdiri di hadapannya. Matanya tampak dingin dan wajahnya tertutup masker hitam.Mengenakan setelan mahal armani, ia terlihat seperti CEO
Kini, Andini menatap sekelilingnya melalui jendela mobil.Sejauh mata memandang, ia hanya bisa melihat gedung-gedung menjulang tinggi. Entah akan dibawa kemana dirinya oleh pria yang bernama Dewa itu.Namun, matanya melebar tatkala menangkap sebuah tulisan pada signboard, Apartemen COSMIC. Berbagai fantasi liar muncul di kepalanya. Apakah mungkin pria itu akan mengeksekusi dirinya? Namun, sedetik kemudian gadis itu berusaha tenang. Otaknya mulai berpikir keras. Ia sedang mencari cara bagaimana ia bisa melarikan diri dari pria misterius bernama Dewa. “Om Dewa, kenapa bawa aku ke mari?”Meskipun suaranya tenang, namun Andini bertanya dengan wajah yang patut dikasihani. Ia terlihat letih setelah berlari dari kejaran para pengawal keluarga Hadinata. Ia khawatir jika Dewa akan meminta imbalan karena sudah menolongnya.“Keluar!” Dewa mengetuk jendela mobil samping Andini. Suaranya yang bariton membuatnya merinding hebat. Andini menggeleng pelan dengan kedua tangannya sudah mencengkram
“Aku sudah bilang, Om Dewa. Aku nggak tertarik dengan sandiwara. Aku bukan figuran sinetron. Hidupku sudah cukup kayak FTV pagi,” ujar Andini dengan nada tegas. Ia menolak permintàan Dewa yang memintanya menjadi kekasih bayarannya.Matanya menatap Dewa seolah pria itu adalah sepiring nasi goreng tanpa kerupuk—mengecewakan.“Satu miliar, sebagai bonus menjadi kekasihku di depan keluargaku. Bagaimana?” imbuh Dewa bernada serius. Ia pikir gadis miskin seperti Andini pasti akan langsung menyetujuinya. Dari penampilannya, Dewa bisa langsung menyimpulkan jika Andini bukan berasal dari kalangan sosialita. “Kalau bersedia, saya kasih DP seratus juta sekarang,”Andini menganga mendengar permintàan Dewa. Bagaimana bisa pria itu dengan begitu mudah mengeluarkan uang miliaran hanya untuk hal semacam itu.Andini diam. Tentu saja, ia manusia normal. Dengan uang sebanyak itu ia bisa melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi. Atau, ia bisa mengambil Fakultas kedokteran. “5 miliar, bagaimana?” seru
Tanpa sàdar, air mata Andini menetes perlahan. Ia merasa dikhianati oleh keluarganya, tidak hanya Bima.Hanya saja, Andini mendadak teringat ibu asuhnya–seorang pelayan paruh baya yang merawatnya setelah ibu kandungnya meninggal dunia. Mungkin, dia dapat menginap di sana?“Terlalu jauh.” Andini menggelengkan kepala kala mengingat lokasinya di daerah pedesaan. Sepertinya, pilihan yang paling tepat adalah pergi ke indekos sahabatnya untuk sementara waktu sampai situasi terkendali.Andini pun mengeluarkan ponselnya. Ia akan menghubungi sahabatnya, Naura.Baru saja ia hendak membuka ponsel untuk menelepon Naura, layar ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal.Andini mengerutkan kening, lalu menerima telepon itu dengan hati-hati.[Halo?]Suaranya berat dan dingin. Seketika bulu roma Andini meremang mendengar suaranya. [Nona Andini Raharja. Kami tahu kamu lari. Tapi kamu tidak bisa lari selamanya.]Andini menegakkan duduknya. [Oke, Mas. Tapi ini bukan call center ya? Nggak usah dramatis ama
Kini Andini terduduk di pinggir ranjang, tangannya terikat di belakang, bibirnya gemetar. Ia menggigit sudut lidahnya agar tak menjerit, hanya bisa menatap pria tambun yang berdiri di depannya dengan senyum menjijikkan.Pria itu menyeringai. “Tenang saja, cantik. Kamu hanya perlu diam, dan semuanya akan cepat berlalu. Aku akan mengajakmu ke tempat yang indah,”Langkah kakinya berat, napasnya memburu seperti binatang lapar. Andini menunduk, tubuhnya gemetar hebat, namun matanya tetap mencari jalan keluar.Dalam hati Andini berdoa. Semoga saja ada pertolongan datang. Sebuah keajaiban datang di waktu yang tepat.BRAAAK!Saat pria itu hendak meraih wajahnya, pintu terlempar terbuka hingga membentur dinding. Suara keras menggelegar disusul langkah berat yang memasuki kamar.Dewa datang untuk menyelamatkan Andini. “Sentuh dia satu milimeter lagi, dan kamu akan kehilangan tanganmu.”Pria tambun itu berbalik, terkejut.Dewa tak menunggu jawaban. Tinju keras menghantam rahangnya, membuat pria
Andini berdiri di halaman mansion keluarga Surya Hadinata, mencoba mengatur napasnya yang terasa sesak. Pertemuan barusan masih bergema di kepalanya. Namun sebelum ia bisa menenangkan diri, seseorang menarik lengannya dengan kasar.“Kita perlu bicara.”Suara Bima dingin, tajam seperti pisau. Ia menyeret Andini ke sisi mansion yang sepi, di antara semak dan tembok pagar yang menjulang tinggi.“Andini,” katanya sambil melepaskan lengannya dengan kasar, “apa yang kamu cari sebenarnya?”“Apa yang aku cari? Bukan urusanmu!” salak Andini dengan mata yang terasa panas. Teringat foto-foto perselingkuhan Bima dan Amanda. Lebih parah lagi, mereka bahkan melangsungkan pernikahan tanpa sepengetahuannya.Hati wanita mana yang merasa sakit mendapati kenyataan yang begitu pahit itu? Bima mengepalkan ke dua tangannya. Ia menuntut penjelasan Andini. “Dengar, kamu harus segera akhiri hubunganmu dengan Om Dewa! Aku gak mau tau,”Andini spontan menggelengkan kepalanya dengan mantap. Mungkin dulu ia tak
“Selamat siang semua,” ujar Bima sambil tersenyum, melangkah mantap ke dalam ruangan sembari menggandeng lengan istrinya, Amanda. Matanya menyapu wajah-wajah yang dikenalnya. Ada Surya, duduk tegap dengan tongkat di pangkuannya, dan Ratih yang langsung menyambutnya dengan senyum ramah.“Bima, akhirnya kamu datang juga,” sambut Ratih hangat. “Pengàntin baru, sini Sayang!”Ratih merentangkan ke dua tangannya, menyambut kedatangan cucu kesayangannya. “Maaf terlambat, tadi sempat terjebak macet,” jawab Bima, kemudian menghampiri Surya.“Maafkan Eyang sudah melewatkan acara pernikahan kalian,” imbuh Surya sembari memeluk Bima dengan penuh kehangatan. “Gak apa-apa, Eyang. Kesehatan Eyang lebih utama,” ujar Bima menatap Surya dengan lekat. Lalu memeluk Ratih bergantian. Ia justru bersyukur mereka tidak hadir karena acara pesta pernikahannya berantakan akibat dirusak oleh Andini. Beruntung, sang ibu berhasil kembali menangani acara pesta hingga kembali normal dan selesai. Namun naasnya ki
Kini Andini terduduk di pinggir ranjang, tangannya terikat di belakang, bibirnya gemetar. Ia menggigit sudut lidahnya agar tak menjerit, hanya bisa menatap pria tambun yang berdiri di depannya dengan senyum menjijikkan.Pria itu menyeringai. “Tenang saja, cantik. Kamu hanya perlu diam, dan semuanya akan cepat berlalu. Aku akan mengajakmu ke tempat yang indah,”Langkah kakinya berat, napasnya memburu seperti binatang lapar. Andini menunduk, tubuhnya gemetar hebat, namun matanya tetap mencari jalan keluar.Dalam hati Andini berdoa. Semoga saja ada pertolongan datang. Sebuah keajaiban datang di waktu yang tepat.BRAAAK!Saat pria itu hendak meraih wajahnya, pintu terlempar terbuka hingga membentur dinding. Suara keras menggelegar disusul langkah berat yang memasuki kamar.Dewa datang untuk menyelamatkan Andini. “Sentuh dia satu milimeter lagi, dan kamu akan kehilangan tanganmu.”Pria tambun itu berbalik, terkejut.Dewa tak menunggu jawaban. Tinju keras menghantam rahangnya, membuat pria
Tanpa sàdar, air mata Andini menetes perlahan. Ia merasa dikhianati oleh keluarganya, tidak hanya Bima.Hanya saja, Andini mendadak teringat ibu asuhnya–seorang pelayan paruh baya yang merawatnya setelah ibu kandungnya meninggal dunia. Mungkin, dia dapat menginap di sana?“Terlalu jauh.” Andini menggelengkan kepala kala mengingat lokasinya di daerah pedesaan. Sepertinya, pilihan yang paling tepat adalah pergi ke indekos sahabatnya untuk sementara waktu sampai situasi terkendali.Andini pun mengeluarkan ponselnya. Ia akan menghubungi sahabatnya, Naura.Baru saja ia hendak membuka ponsel untuk menelepon Naura, layar ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal.Andini mengerutkan kening, lalu menerima telepon itu dengan hati-hati.[Halo?]Suaranya berat dan dingin. Seketika bulu roma Andini meremang mendengar suaranya. [Nona Andini Raharja. Kami tahu kamu lari. Tapi kamu tidak bisa lari selamanya.]Andini menegakkan duduknya. [Oke, Mas. Tapi ini bukan call center ya? Nggak usah dramatis ama
“Aku sudah bilang, Om Dewa. Aku nggak tertarik dengan sandiwara. Aku bukan figuran sinetron. Hidupku sudah cukup kayak FTV pagi,” ujar Andini dengan nada tegas. Ia menolak permintàan Dewa yang memintanya menjadi kekasih bayarannya.Matanya menatap Dewa seolah pria itu adalah sepiring nasi goreng tanpa kerupuk—mengecewakan.“Satu miliar, sebagai bonus menjadi kekasihku di depan keluargaku. Bagaimana?” imbuh Dewa bernada serius. Ia pikir gadis miskin seperti Andini pasti akan langsung menyetujuinya. Dari penampilannya, Dewa bisa langsung menyimpulkan jika Andini bukan berasal dari kalangan sosialita. “Kalau bersedia, saya kasih DP seratus juta sekarang,”Andini menganga mendengar permintàan Dewa. Bagaimana bisa pria itu dengan begitu mudah mengeluarkan uang miliaran hanya untuk hal semacam itu.Andini diam. Tentu saja, ia manusia normal. Dengan uang sebanyak itu ia bisa melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi. Atau, ia bisa mengambil Fakultas kedokteran. “5 miliar, bagaimana?” seru
Kini, Andini menatap sekelilingnya melalui jendela mobil.Sejauh mata memandang, ia hanya bisa melihat gedung-gedung menjulang tinggi. Entah akan dibawa kemana dirinya oleh pria yang bernama Dewa itu.Namun, matanya melebar tatkala menangkap sebuah tulisan pada signboard, Apartemen COSMIC. Berbagai fantasi liar muncul di kepalanya. Apakah mungkin pria itu akan mengeksekusi dirinya? Namun, sedetik kemudian gadis itu berusaha tenang. Otaknya mulai berpikir keras. Ia sedang mencari cara bagaimana ia bisa melarikan diri dari pria misterius bernama Dewa. “Om Dewa, kenapa bawa aku ke mari?”Meskipun suaranya tenang, namun Andini bertanya dengan wajah yang patut dikasihani. Ia terlihat letih setelah berlari dari kejaran para pengawal keluarga Hadinata. Ia khawatir jika Dewa akan meminta imbalan karena sudah menolongnya.“Keluar!” Dewa mengetuk jendela mobil samping Andini. Suaranya yang bariton membuatnya merinding hebat. Andini menggeleng pelan dengan kedua tangannya sudah mencengkram
Andini berlari secepat yang ia bisa, menghindari kejaran para pengawal yang berusaha menangkapnya. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tetapi yang jelas, ia harus menjauh dari tempat ini. Sayangnya, gaun warna hitam yang dikenakannya terlihat mencolok sehingga membuatnya semakin mudah dikenali oleh para pengawal.Pengawal-pengawal suruhan keluarga Hadinata terus mengejarnya. Tanpa mengambil jeda, Andini mencoba masuk ke dalam lift, tapi tombolnya terlalu lambat merespons mirip siput. Ia pun menoleh ke lorong di sebelah kirinya. “Berhenti di situ, Nona Andini!” teriak salah satu pengawal berbadan besar sambil menunjuk ke arah Andini. “Kalau aku berhenti, aku pasti jadi tumisan kalian!” gerutu Andini sambil melangkah mundur dengan panik. Ia harus segera melarikan diri jika ingin selamat dari mereka.Tiba-tiba, seorang pria berpostur tubuh tinggi berdiri di hadapannya. Matanya tampak dingin dan wajahnya tertutup masker hitam.Mengenakan setelan mahal armani, ia terlihat seperti CEO
“Oh, jadi kamu beneran datang juga, Mbak Andin,” suara Amanda melengking nyaring dari pelaminan, cukup keras untuk membuat seluruh penghuni ballroom menoleh. Ia tersenyum tipis namun sinis.“Andaikan aku tahu kamu akan datang,” lanjutnya, “mungkin aku harus menyiapkan kursi khusus di belakang. Kursi untuk mantan.”Beberapa tamu mulai saling berbisik. Mata-mata menyorot ke arah pintu utama ballroom, tempat seorang wanita berdiri dengan gaun hitam sederhana namun elegan, Andini.Suasana ballroom Hotel Sun Shine yang sebelumnya romantis—dengan musik lembut dan gemerlap lampu gantung kristal—mendadak menjadi seperti panggung drama. Kehadiran Andini mengusik kebahagiaan pesta.Andini baru saja kembali dari Malaysia. Dan kini, apa yang dikhawatirkan selama ini terbukti benar. Sahabatnya tak berbohong, tunangannya, Bima, pria yang pernah bersumpah takkan meninggalkannya, kini berdiri gagah di pelaminan. Bersanding dengan Amanda, adik tiri yang selama ini pura-pura lugu.“Kukira kamu sibuk de