Tentu saja berita kehamilan Vina viral. Mika memposting kebersamaannya bersama Vina, Dylan dan Linda yang sedang sarapan bersama.Mika menuliskan kalimat ‘Selamat untuk yang berbadan dua.’ Foto itu segera mendapat perhatian. Kubu terbagi dua antara Vina atau Linda yang sedang hamil.“Kenapa kamu tidak memberikan pengumuman resmi, Lano?” Linda bertanya pada adik iparnya.Dylan menoleh menatap Vina. “Terserah Vina. Kalau Vina oke, yaa... akan aku umumkan.”“Sebenarnya kabar bahagia itu harus disebarkan.” Mika pun memberi pendapat.“Disebarkan kok. Pada keluarga dan kerabat dekat saja. Menurutku, kebahagiaan kita belum tentu menjadi kabar baik bagi semua orang. Lagipula tanpa kabar resmi lama-kelamaan akan ketauan seiring perutku membesar.” Vina berkata dengan nada pelan.Mika menatap Vina, lalu mengelus lengan atasnya. “Kamu masih takut ada yang tidak suka karena kamu istri Lano, ya?”Vina memaksakan senyumnya. “Kalau itu, aku sudah pasrah kok.”“Ya ampun. Pasrah sama takdir menikah den
Esok paginya, Dylan bangun lebih dulu. Ia memeluk Vina yang semalaman memunggunginya.“Chagiya, mau sarapan?”Vina mendesah pelan mendengar bisikan di telinganya. Ia menunggu alarm ponselnya berbunyi dan tidak merespon pertanyaan Dylan.“Chagiya, semalam aku nggak bisa tidur. Rasanya masih mual sedikit. Jadi, aku cuma duduk bersandar saja.” Dylan bicara pada punggung Vina.“Sepertinya kebiasaan kita tertukar. Kamu jadi bisa tidur di mana saja. Persis seperti aku dulu. Tapi, nggak papa. Aku rela kok. Dari pada kamu yang menderita,” imbuh Dylan lagi.Sambil menunggu Vina bangun, Dylan meraih ponselnya. Satu tangannya sibuk membelai rambut Vina, sementara tangan lain menggulir media sosial.Semalam, Dylan melakukan live selama dua jam. Sebenarnya ia sangat ingin mengabari Goldies bahwa istrinya sedang hamil anak kedua. Tetapi, ia mengurungkan niat tersebut karena belum izin pada Vina.Dylan menoleh ke arah pintu saat terdengar ketukan. Ia mencium kepala Vina sebelum turun dari ranjang da
Dylan berlari ke kamar mandi. Vina mengikuti dengan langkah cepat. Begitu sampai di wastafel, Dylan muntah-muntah.Vina mengusap pelan punggung Dylan. Namun, Dylan menolak dan mendorong istrinya keluar.“Kamu jangan di sini, Chagiya. Bau muntah,” ucap Dylan.“Aku nggak papa.”Karena Vina dengan keras kepala tetap menemani, dengan cepat Dylan membilas wastafel dan menyemprotkan pewangi ruangan di dalam kamar mandi.Begitu keluar dari kamar mandi, Dylan berteriak kencang. “Juannn!”Tergopoh, Juan datang menghampiri. Lelaki kekar itu menunduk dan terlihat bingung karena sudah lama sekali Dylan tidak tampak marah-marah.“Ada apa, Tuan?”“Tahan chef. Periksa makanan dan minuman di meja. Aku keracunan.”Dengan kening berkerut dalam, Juan menundk dan berbalik badan. Vina yang melihat menggeleng samar lalu mencoba menenangkan Dylan.“Tidak mungkin chef meracuni makanan dan minuman, sayang. Jangan asal menuduh. Tidak baik.” Vina meminta Dylan duduk santai.“Aku muntah-muntah pasti karena ada s
Dokter Femmy mengangguk-angguk sembari menggerakkan sebuah alat di perut bagian bawah Vina. Clara yang berada di pangkuan Dylan ikut menatap layar di samping mereka.“Mana adik Ara, dokter?” Clara memicingkan mata pada layar.“Ini.” Dokter menunjuk satu bulatan di layar. “Masih sangat kecil jadi belum terlihat bentuh tubuhnya.”Clara turun dari pangkuan Dylan dan menghampiri layar lalu menggeleng. “Masa itu adik Ara?”“Iya. Masih keciil.” Dokter Femmy mengelus kepala Clara lalu menoleh pada Vina dan Dylan. “Selamat. Bayi kedua kalian untuk saat ini aman.”Dokter Femmy mencuci tangan lalu mengetik berbagai catatan pada komputer di mejanya. Ia membiarkan Vina, Dylan dan Clara berbincang di samping layar USG.Dylan yang paling tidak bisa mengalihkan tatapannya pada layar. Clara yang mulai bosan beralih ke meja dokter dan banyak bertanya tentang gambar-gambar yang dipajang di dinding ruangan tersebut.Vina menyentuh lengan Dylan. “Sudah, yuk. Kamu kan dapat print USG itu.”Dylan menatap k
“Istriku hamil!”Bukannya menyambut jeritan senang Dylan, ketiga orang di layar ponsel malah mengerutkan kening. Mereka gagal fokus karena Dylan memegang banyak benda pipih di tangannya.“Apa itu di tanganmu?” Marcel tampak mendekatkan wajahnya ke layar.“Ini?” Dylan menunjukkan alat-alat tes ke depan kamera. “Alat tes kehamilan Vina. Semuanya garis dua.”“Hah?” Tamara, Marcel dan Rere serentak melongo menatap layar.Dylan mengangguk dengan perasaan bangga. Satu persatu alat tes malah ia perlihatkan ke depan kamera, membuat ketiga orang di layar menggeleng-geleng.“Ngapain tes sebanyak itu, sih?” Marcel yang lebih dulu bertanya heran.“Aku senang melihat alat tes ini berangsur menampakkan garis dua.” Dylan terkekeh. “Jadi, satu box aku pakai semua.”Detik berikutnya terdengar ketiga orang yang ditelepon Dylan berucap berbarengan. "Astagaa!"Dylan hanya menyeringai melihat Tamara, Marcel dan Rere menggeleng.“Selamat ya, Kak. Akhirnya.” Rere mengangkat jari jempolnya ke kamera. “Kak Vi
"Kenapa kamu jadi marah?" Vina membalas sewot. "Aku sedang menyampaikan kabar bahagia yang kamu tunggu-tunggu sejak lama, lho."Melihat istrinya kesal, Dylan segera memeluk Vina. Wanita itu meronta sedikit, namun Dylan hanya mengeratkan pelukan tanpa berkata apa-apa.Lalu, Vina mendengar Dylan terisak pelan. Ia melepaskan pelukan dan menatap mata Dylan telah berair membuat Vina bingung."Kamu jahat, Chagiya. Aku menunggu saat-saat di mana aku merasa berdebar saat mengecek kehamilanmu. Tapi kamu melakukannya sendiri tanpaku."Kini, Vina yang gelagapan. "Eh, itu... tadi bangun tidur aku mau pipis. Dan spontan menampung air seni karena akhir-akhir ini.... ""Stop!" Dylan mencegah Vina melanjutkan kalimatnya. "Kita ulang lagi. Berdua! Anggap aku belum tau!""Ulang? Gimana?" Vina menggeleng dengan raut kebingungan.Dylan menarik pelan tangan Vina ke kamar mereka. Tepatnya ke kamar mandi. Lelaki itu menarik sebuah laci dan mengeluarkan satu box kecil alat tes kehamilan."Ayo, pipis lagi. Ak