“Kamu jahat! Aku benci kamu, Dylan!”Air mata Vina berderai membasahi pipi. Dylan tetap memeluk Vina meski ia mendapat pukulan bertubi-tubi dari sang istri.Sakit tubuhnya tidak seberapa dibanding melihat kerapuhan Vina. Air mata dan isakannya yang membuat Dylan sangat terluka.“Kenapaa kamu ajak aku ke sini? Karena kamu sekalian mau bertemu dengan wanita itu? Kamu punya anak dari dia.... ““Tidak, Chagiya.” Dylan memotong cepat ucapan Vina.Tapi, Vina menggeleng keras. “Dia pasti sakit hati karena ternyata kamu sudah menikah. Ketika tidak berhasil membunuhku, ia memilih bunuh diri. Persis seperti yang aku kira saat pertemuan pertama kita. Kamu penjahat!”Vina mendorong keras dada Dylan. Saking kerasnya, Dylan pun tersentak ke belakang. Tapi, kemudian Vina merasakan perutnya kram.Tangan Vina menyangga perutnya. Ia berusaha mengatur napas. Dylan kembali mendekatinya.“Chagiya, sini, duduk dulu.” Dylan membimbing tubuh VIna, namun sekali lagi istrinya menolak dengan menepis tangan Dyla
“Bunuh diri?” Dylan mengulang ucapan pengawal yang langsung mengangguk.Sambil menggertakkan gigi, ia mendengar pengawalnya bercerita. Sejak semalam, Sabine sudah melakukan percobaan untuk menghilangkan nyawanya. Ia menuntut untuk bertemu dengan Dylan.Para pengawal yang mengawasi Sabine tidak berkutik. Mereka tetap menggeleng tegas pada permintaan Sabine, meski terus diancam.Hingga akhirnya, dini hari tadi, terdengar teriakan tertahan. Saat pintu dibuka, Sabine sudah kehilangan nyawa.“Di mana dia dimakamkan?”“Pemakaman umum penduduk, Tuan.”“Aku mau lihat langsung mayatnya dikubur.” Dylan berkata dengan nada dingin.“Baik, Tuan. Kami akan segera mengkondisikan area pemakaman untuk.... ““Apa? Siapa yang meninggal?”Cepat, Dylan menoleh. Jantungnya langsung berdegup kencang melihat Vina berdiri di depannya dengan wajah khawatir. Dylan segera menghampiri istri-nya.“Chagiya, kenapa di sini? Aku memintamu menunggu....”“Kenapa? Biar aku nggak denger apa yang terjadi di villa ini? Buk
"Chagiya." Dylan mendesah seraya membelai bagian tubuh istrinya yang ia sukai."Dokter bilang jangan terlalu sering. Semalam sudah dua kali." Vina menjawab pelan, lalu meraih lengan Dylan dan memeluknya agar tangan Dylan tidak menjelajah kulit tubuhnya."Aku amnesia. Nggak inget dokter bilang gitu."Vina tergelak geli karena Dylan sudah menciumi lehernya. Erangan demi erangan meluncur bebas dari bibir Vina.Pagi yang diawali oleh rayuan maut Dylan akhirnya berakhir dengan pelepasan yang membuat napas keduanya memburu cepat."Bergeser lah, sayang. Tubuhmu berat!" Vina menepuk punggung Dylan yang masih menindih tubuhnya.Dylan bergulir ke samping. Napasnya masih tersengal-sengal. Vina mendengus geli melihatnya."Makanya jangan berlebihan geraknya.""Kamu yang minta lebih cepat, Chagiya. Lupa?"Dengan wajah menahan malu, Vina menjawab," Aku amnesia. Nggak inget tadi bilang gitu.""Huuhhfff." Dylan mengembuskan napas panjang. "Tolong ambilkan minum, Chagiya. Tenggorokanku kering sekali."
“Kenapa harus pakai gaun?” Vina bertanya saat Dylan memintanya berdandan rapi.“Karena kita akan makan malam romantis.”Vina terkekeh. Dylan bahkan telah menyiapkan gaun malam indah yang serasi dengan jas lengkapnya. Vina lalu bermake-up elegan untuk mengimbangi penampilannya.“Aku sungguh beruntung, kamu terlihat fantastis." Dylan menghampiri Vina yang tampak sangat cantik.“Kupikir kamu akan protes, karena aku menggulung rambutku ke atas. Kamu kan lebih suka rambutku tergerai.”Dylan tersenyum. “Itu karena leher mulusmu jadi terlihat jelas. Jiwa vampireku tak kuasa untuk mengisapnya.”Vina meledakkan tawanya. “Jadi karena itu?”“Iya. Kalau hanya berdua, aku justru senang melihatmu menggunakan pakaian terbuka. Catat. Hanya berdua.”Mereka saling berpelukan dan berciuman. Beberapa saat saling memagut hingga Vina melepaskannya lebih dulu.“Kamu membuat riasanku rusak.” Vina mengelap pinggir bibirnya.“Jangan banyak alasan. Aku tau kamu pakai lipstik transfer proof.”“Heh, lelaki kok ta
"Hai, Uncle Reino."Layar ponsel Dylan kini terpampang wajah tampan Reino. Anak itu melambai dan duduk di rumput."Hai, Rein. Semalam uncle lihat lego yang kamu mau, lho. Lego kastil Harry Potter, kan?""Beneran, uncle? Kok kata mommy belum ada versi barunya?""Karena setiap negara berbeda rilis produk barunya. Uncle bisa belikan untukmu.""Wah, mauu, uncle." Kepala Reino mengangguk dengan wajah girang."Iya nanti uncle belikan sebagai oleh-oleh. Oh ya, tangan daddymu sudah nggak papa? Kudanya juga nggak papa?""Kemarin bahunya sudah dioperrasi dan dipasang pen. Kalau tangannya patah tapi cuma digips aja." Dengan santai, Reino menjawab. Saking senangnya, lupa bahwa ia dilarang bercerita karena tidak ingin membuat Dylan dan Vina khawatir.Dylan sangat terkejut. Tetapi berusaha tenang dan memgangguk-angguk seolah mengerti."Kalian pasti takut waktu kejadian itu. Pasti Clara nangis.""Clara nggak lihat, uncle. Yang nangis mommy. Waktu kudanya mau injek Clara trus dilindungi sama tubuh da
Dylan mondar-mandir di kamar menunggu kabar pengawalnya. Vina sudah tidur, tetapi ia tidak ingin meninggalkan sang istri sendirian lagi.Ponsel Dylan berdering. Lelaki itu segera menjauhi ranjang dan mengangkat teleponnya.“Bagaimana?” Dylan bertanya dengan mata tetap mengawasi Vina yang tidur.“Tidak ada yang mencurigakan, Tuan. Tidak ada residu racun seperti yang Tuan khawatirkan.”“Oke. Panggil dokter dua jam lagi.”“Baik, Tuan.”Untuk sementara, Dylan bisa bernapas lega. Meski begitu, ia tetap akan memeriksakan keadaan Vina pada dokter untuk berjaga-jaga.Seraya menemani Vina tidur, Dylan mempersiapkan kejutan nanti malam untuk sang istri. Setelah dirasa semua akan berjalan lancar, Dylan berbaring dan memeluk Vina dari belakang.Belum ada sepuluh menit, Dylan memejamkan mata, Vina menggeliat. Wanita itu memindahkan tangan Dylan.“Aku mau pipis, sayang.”“Ummm.” Dylan hanya berdehem kecil.Vina turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi. Tidak seperti biasa, air seninya agak ke