Arka hanya bisa menggelengkan kepalanya, hari ketiga mengantar bunga di tempat yang sama, Anneth hanya membuangnya ke lantai dan menginjak dengan sepatu hak tingginya, kebetulan dia akan pergi ke perusahaan untuk mengecek bisnis skincarenya. "Maaf Nona, apakah tidak ada cara lain selain membuang dan merusaknya?" tanya Arka yang awalnya menahan diri kini tak bisa berpura-pura tidak peduli. "Apa urusanmu? Kamu hanyalah kurir pengantar bunga!" balas Anneth dengan ketus, ia hendak melewati Arka, segera menuju mobil mewahnya. "Aku memang tidak tahu masalah apa yang menimpa hidupmu, tapi seorang pria bernama Dimas, setiap hari datang ke toko kami, memesan bunga agar dikirim ke alamat rumah ini, aku bisa melihat ada ekspresi sedih di wajahnya," ungkap Arka yang mencoba menyentuh hati Anneth agar lebih terbuka. "Dia hanyalah pengkhianat yang tega menipuku dan berselingkuh dengan gadis yang masih kuliah! Mendengar namanya saja aku sudah jijik, apalagi melihat bunga mawar itu!" bentak Annet
Anneth tak mampu menahan gejolak di hatinya. Perasaan yang sepi pasca dikhianati suami brondongnya, perlahan luluh akan perhatian Arka, pria yang baru saja dikenalnya beberapa hari yang lalu. Meski tak pernah sekalipun terucap kata terima kasih atas dukungan sang pria melalui kiriman bunga mawar yang di kirim setiap hari, hatinya tak bisa berbohong jika naluri akan cinta laki-laki kini bangkit kembali pasca perhatian dari pria itu."Apakah perasaanmu sudah lebih baik? Apakah kamu melihat bunga mawar tak lagi membuat hatimu kesal?" tanya Arka yang menangkap sinyal bahwa wanita itu mulai luluh hatinya."Aku hanya mencoba mencari tahu, siapakah pria yang mengirim bunga mawar padaku setiap hari, jika dulu nama Dimas membuatku muak kini nama Arka membuatku semakin penasaran," sahut Anneth mencoba berkilah, mengingkari perasaannya sendiri."Seperti yang kamu lihat, aku hanyalah seorang pria yang tinggal sendiri di kosan sempit yang jauh dari kata layak, tanpa istri atau anak. Apa sekarang k
"Mas, nilai Arini semakin turun, aku khawatir dengan kondisinya, dia menjadi sangat pendiam dan sering melamun di kelas," ujar Anna sambil mengelus-elus perutnya yang semakin membuncit. "Apa yang terjadi, Sayang? kenapa kamu baru menceritakan hal ini padaku?" sahut Adrian dengan penuh kecemasan, ia baru saja datang dari seminar yang diselenggarakan di luar negeri "Kamu sedang ada urusan di luar negeri, aku tidak ingin mengacaukan konsentrasimu," balas Anna dengan tatapan penuh kesedihan, tak sanggup lagi menahan beban yang selama ini disembunyikan. Adrian segera memeluk istrinya hendak melepas kerinduan yang selama ini terpisah jarak, sudah seminggu ia berada di luar negeri untuk mengikuti program seminar tentang perkembangan bayi tabung. Anna tinggal bersama Arini dan Ibu mertuanya yang begitu antusias dengan kehamilannya yang selama ini ditunggu-tunggu. "Mama gimana? Apakah kamu nyaman dengan keberadaannya?" tanya Adrian yang sebenarnya cemas dengan perangai sang mama yang
"Ya Tuhan, siapakah pria itu?" guman Aruna, lalu bergegas masuk ke dalam kamar. Jantungnya berdetak tidak karuan, kecemasannya selama ini kini terjawab sudah, artinya benar jika selama ini diikuti oleh pria misterius. Ia segera mengambil ponsel pemberian kakeknya, berulang kali mencoba melakukan panggilan hingga akhirnya sang kakek menjawabnya. "Ada apa, Nak? Tumben malam-malam telepon?" sapa Andrew, kakeknya. "Kek, aku mendapati seseorang yang misterius sedang berdiri di depan pintu, ia berulang kali memencet bel hingga saat ini," sahut Aruna dengan suara bergetar. "Baiklah, kakek akan menelpon pihak keamanan agar mereka segera menangkap orang misterius itu," ujar sang kakek mencoba menenangkan cucunya. Panggilan teleponpun terputus. Aruna memutuskan untuk memejamkan mata lalu menutupi tubuhnya dengan selimut, berharap teror orang misterius itu segera berakhir. Kini ia mulai menyadari bahwa tidak mudah hidup seorang diri, meski ia merasa baik-baik saja tanpa sang ayah, ny
Senja tiba di penghujung sore. Dengan langkah terburu-buru, Aruna memutuskan untuk menaiki taksi kuno. Sejak membuka pintu taksi kuno itu, harus semerbak terpancar dari dalam, memberikan efek penenang bagi siapapun yang menaikinya. "Selamat sore, kita akan pergi ke mana?" tanya sang sopir dengan ramah. "Apartemen daerah gunawangsa ya pak," sahutnya sambil tetap melihat ponselnya. "Baik, terima kasih sudah memilih taksi kami." Aruna terdiam tidak menjawab, ia menyimpan ponselnya dalam tas lalu mengambil buku pelajaran dari dalam tasnya, hendak mengerjakan PR Matematika. "Adik, rajin sekali! Mungkin baru pertama kalinya ada pelajar yang mengerjakan tugas di taksi ini," ucap sang sopir membuka percakapan. "Saya hanya mengerjakan PR saja, sudah kewajiban," sahut Aruna merendah. "Bagus sekali, berbeda dengan anakku yang mungkin seusiamu, jangankan mengerjakan PR, sekolah saja bisanya bikin ribut dengan teman sekelasnya," "Pasti paman sibuk sekali, sudah lelah cari uang mal
Arini terlihat cemas, sekolah telah dimulai tiga puluh menit yang lalu. Ia telah melakukan kesalahan besar! Harusnya ia langsung masuk gerbang setelah mencium tangan papanya. Namun, ia justru mengejar seorang perempuan yang begitu mirip dirinya. Awalnya Arini terkejut melihat gadis yang sangat mirip dengannya tengah mengendarai motor. Ia akhirnya menyetop ojek untuk mengikuti kemana gadis itu pergi. Firasatnya mengatakan bahwa dia adalah Aruna! Jantungnya berdegup kencang, mengharapkan apa yang dikira adalah sebuah kenyataan. "Pak, ke mana gadis itu?" tanya Arini pada kang ojek. Mereka kebingungan justru berada di sebuah gang sempit. "Aku juga nggak tahu Mbak, aku ikutin aja tiba-tiba ngilang gitu," jawabnya. Arini memutuskan turun, ia memilih untuk bertanya pada warga sekitar, mungkin ada yang mengenal atau tidak sengaja melihatnya. Tak lupa membayar ongkos kang ojek itu. Terlihat sebuah warung pecel lele yang berdiri di sebuah gang sempit yang hanya bisa dimasuki oleh moto
Aruna tersenyum setelah melihat deretan apartemen milik sang kakek, ia bergegas keluar saat taksi itu berhenti di pinggir jalan. Saat hendak akan membayar, gadis itu sangat terkejut dengan keberadaan taksi yang menghilang dari pandangannya. Aruna mencoba memperhatikan sepanjang jalan tapi nihil. Taksi itu seolah menghilang bak di telan bumi. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, ia bergegas memasuki apartemennya. "Aruna!" teriak sang kakek yang sangat mengkhawatirkannya. Melihat gelagat sang kakek, Aruna kebingungan. Ia kembali melihat jamnya, pukul 6 sore. dia hanya terlambat tiga puluh menit, apakah hal itu patut dikhawatirkan? "Kakek, aku hanya terlambat tiga puluh menit, kenapa kau begitu khawatir padaku?" tanyanya dengan kebingungan. "Kamu sudah pergi selama satu hari Aruna! Jika kamu hilang, aku akan merasa bersalah pada ayahmu!" tegas Andrew yang merasa gelisah karena sang cucu tak kunjung pulang. Aruna terkejut mendengar perkataan kakeknya, satu hari? Bagaimana mu
"Arka, apa kamu yakin ingin resign dari pekerjaan ini, bukankah kamu sedang kesulitan ekonomi?" tanya sang bos yang heran dengan sikapnya. "Iya Bos, saya mendapat tawaran sopir pribadi seorang wanita cantik," sahut Arka dengan tersipu malu. Pak bos hanya tersenyum mendengar pernyataan anak buahnya. Ia memberikan sejumlah uang sebagai gaji terakhirnya. Arka menerimanya dengan senyum penuh kebahagiaan. Langkah kakinya terasa ringan meski hati terus menerus dilanda kesepian. Pernikahannya dengan tiga wanita hancur berantakan. Namun, penyesalan terbesarnya adalah Anna, wanita yang begitu baik tapi berakhir dikhianatinya. Pikirannya jauh melayang, memikirkan seandainya ia bertahan dari desakan ibu dan godaan Clara, mungkin ia akan hidup bahagia bersamanya. Terdengar klakson mobil seperti hendak menegurnya. Arka membalikkan badan melihat siapakah pengemudi di balik mobil mewah itu. "Anneth?" ujarnya terkejut melihat sosok di balik mobil itu. "Ayolah, aku ke mari untuk menjemput
"Ayah, haruskah kita bertemu majikanmu? Aku takut dia tidak menyukaiku," ujar Aruna yang gelisah. Aruna terus memperhatikan sekitar, jantungnya berdegup kencang. Terngiang perilaku kejam ibu tiri yang sering menyiksanya. "Tenanglah, dia hanya ingin mengenalmu dan berniat memberimu beasiswa, bukankah ini langkah yang tepat?" sahut Arka dengan senyum sumringahnya. Datanglah seorang wanita memakai gaun merah yang terkesan glamor dan berkelas. Anneth sengaja memakai pakaian terbaiknya untuk memikat Arka. "Apakah ini anak yang kamu ceritakan?" tanya Anneth yang terkejut melihat sosok Aruna yang sangat mirip dengan Arini, ponakan yang sangat menyebalkan. Arka mengangguk lalu menyuruh Aruna untuk mencium tangan Anneth. "Sangat sopan, berbeda sekali dengan yang kutemui di butik kemarin," ucapnya sambil tersenyum palsu. Anneth memang tidak tulus menyayangi Aruna, dia hanya mencintai ayahnya, Arka. Aruna mampu menangkap senyum ketidaktulusan, berharap wanita licik ini tidak menik
"Non, apa tidak masalah saya ikut ke masuk? Saya hanya sopir pribadi bukan siapa-siapa," ujar Arka tampak ragu. Ia menatap rumah yang terlihat sangat luas dan mewah, sebuah perumahan elit yang terletak di pusat kota. "Jangan panggil aku "Non", panggil Anneth dan kamu harus tersenyum dan berkata iya jika aku berbicara," pinta Anneth sambil menggandeng tangan Arka. Arka nampak tak seperti biasa, balutan jas membuatnya terlihat sangat tampan dan mempesona. Anneth memang tak pernah gagal mendandani Arka hingga mirip seorang CEO tampan. Teman-temannya sangat takjub melihat Anneth yang menggandeng pria tampan meski nampak jarak usia di antara keduanya. "Wah, kamu dapat pria darimana? Tampan sekali sangat mirip adikmu," sapa wanita yang memakai gaun putih, dia adalah teman akrab Anneth. "Aku memang selalu pandai memilih pria meski aku seorang janda," sahutnya dengan masih menggandeng tangan Arka. Keduanya segera menyapa yang lain, terlihat Anneth sangat bangga membawa Arka di
"Arka, apa kamu yakin ingin resign dari pekerjaan ini, bukankah kamu sedang kesulitan ekonomi?" tanya sang bos yang heran dengan sikapnya. "Iya Bos, saya mendapat tawaran sopir pribadi seorang wanita cantik," sahut Arka dengan tersipu malu. Pak bos hanya tersenyum mendengar pernyataan anak buahnya. Ia memberikan sejumlah uang sebagai gaji terakhirnya. Arka menerimanya dengan senyum penuh kebahagiaan. Langkah kakinya terasa ringan meski hati terus menerus dilanda kesepian. Pernikahannya dengan tiga wanita hancur berantakan. Namun, penyesalan terbesarnya adalah Anna, wanita yang begitu baik tapi berakhir dikhianatinya. Pikirannya jauh melayang, memikirkan seandainya ia bertahan dari desakan ibu dan godaan Clara, mungkin ia akan hidup bahagia bersamanya. Terdengar klakson mobil seperti hendak menegurnya. Arka membalikkan badan melihat siapakah pengemudi di balik mobil mewah itu. "Anneth?" ujarnya terkejut melihat sosok di balik mobil itu. "Ayolah, aku ke mari untuk menjemput
Aruna tersenyum setelah melihat deretan apartemen milik sang kakek, ia bergegas keluar saat taksi itu berhenti di pinggir jalan. Saat hendak akan membayar, gadis itu sangat terkejut dengan keberadaan taksi yang menghilang dari pandangannya. Aruna mencoba memperhatikan sepanjang jalan tapi nihil. Taksi itu seolah menghilang bak di telan bumi. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, ia bergegas memasuki apartemennya. "Aruna!" teriak sang kakek yang sangat mengkhawatirkannya. Melihat gelagat sang kakek, Aruna kebingungan. Ia kembali melihat jamnya, pukul 6 sore. dia hanya terlambat tiga puluh menit, apakah hal itu patut dikhawatirkan? "Kakek, aku hanya terlambat tiga puluh menit, kenapa kau begitu khawatir padaku?" tanyanya dengan kebingungan. "Kamu sudah pergi selama satu hari Aruna! Jika kamu hilang, aku akan merasa bersalah pada ayahmu!" tegas Andrew yang merasa gelisah karena sang cucu tak kunjung pulang. Aruna terkejut mendengar perkataan kakeknya, satu hari? Bagaimana mu
Arini terlihat cemas, sekolah telah dimulai tiga puluh menit yang lalu. Ia telah melakukan kesalahan besar! Harusnya ia langsung masuk gerbang setelah mencium tangan papanya. Namun, ia justru mengejar seorang perempuan yang begitu mirip dirinya. Awalnya Arini terkejut melihat gadis yang sangat mirip dengannya tengah mengendarai motor. Ia akhirnya menyetop ojek untuk mengikuti kemana gadis itu pergi. Firasatnya mengatakan bahwa dia adalah Aruna! Jantungnya berdegup kencang, mengharapkan apa yang dikira adalah sebuah kenyataan. "Pak, ke mana gadis itu?" tanya Arini pada kang ojek. Mereka kebingungan justru berada di sebuah gang sempit. "Aku juga nggak tahu Mbak, aku ikutin aja tiba-tiba ngilang gitu," jawabnya. Arini memutuskan turun, ia memilih untuk bertanya pada warga sekitar, mungkin ada yang mengenal atau tidak sengaja melihatnya. Tak lupa membayar ongkos kang ojek itu. Terlihat sebuah warung pecel lele yang berdiri di sebuah gang sempit yang hanya bisa dimasuki oleh moto
Senja tiba di penghujung sore. Dengan langkah terburu-buru, Aruna memutuskan untuk menaiki taksi kuno. Sejak membuka pintu taksi kuno itu, harus semerbak terpancar dari dalam, memberikan efek penenang bagi siapapun yang menaikinya. "Selamat sore, kita akan pergi ke mana?" tanya sang sopir dengan ramah. "Apartemen daerah gunawangsa ya pak," sahutnya sambil tetap melihat ponselnya. "Baik, terima kasih sudah memilih taksi kami." Aruna terdiam tidak menjawab, ia menyimpan ponselnya dalam tas lalu mengambil buku pelajaran dari dalam tasnya, hendak mengerjakan PR Matematika. "Adik, rajin sekali! Mungkin baru pertama kalinya ada pelajar yang mengerjakan tugas di taksi ini," ucap sang sopir membuka percakapan. "Saya hanya mengerjakan PR saja, sudah kewajiban," sahut Aruna merendah. "Bagus sekali, berbeda dengan anakku yang mungkin seusiamu, jangankan mengerjakan PR, sekolah saja bisanya bikin ribut dengan teman sekelasnya," "Pasti paman sibuk sekali, sudah lelah cari uang mal
"Ya Tuhan, siapakah pria itu?" guman Aruna, lalu bergegas masuk ke dalam kamar. Jantungnya berdetak tidak karuan, kecemasannya selama ini kini terjawab sudah, artinya benar jika selama ini diikuti oleh pria misterius. Ia segera mengambil ponsel pemberian kakeknya, berulang kali mencoba melakukan panggilan hingga akhirnya sang kakek menjawabnya. "Ada apa, Nak? Tumben malam-malam telepon?" sapa Andrew, kakeknya. "Kek, aku mendapati seseorang yang misterius sedang berdiri di depan pintu, ia berulang kali memencet bel hingga saat ini," sahut Aruna dengan suara bergetar. "Baiklah, kakek akan menelpon pihak keamanan agar mereka segera menangkap orang misterius itu," ujar sang kakek mencoba menenangkan cucunya. Panggilan teleponpun terputus. Aruna memutuskan untuk memejamkan mata lalu menutupi tubuhnya dengan selimut, berharap teror orang misterius itu segera berakhir. Kini ia mulai menyadari bahwa tidak mudah hidup seorang diri, meski ia merasa baik-baik saja tanpa sang ayah, ny
"Mas, nilai Arini semakin turun, aku khawatir dengan kondisinya, dia menjadi sangat pendiam dan sering melamun di kelas," ujar Anna sambil mengelus-elus perutnya yang semakin membuncit. "Apa yang terjadi, Sayang? kenapa kamu baru menceritakan hal ini padaku?" sahut Adrian dengan penuh kecemasan, ia baru saja datang dari seminar yang diselenggarakan di luar negeri "Kamu sedang ada urusan di luar negeri, aku tidak ingin mengacaukan konsentrasimu," balas Anna dengan tatapan penuh kesedihan, tak sanggup lagi menahan beban yang selama ini disembunyikan. Adrian segera memeluk istrinya hendak melepas kerinduan yang selama ini terpisah jarak, sudah seminggu ia berada di luar negeri untuk mengikuti program seminar tentang perkembangan bayi tabung. Anna tinggal bersama Arini dan Ibu mertuanya yang begitu antusias dengan kehamilannya yang selama ini ditunggu-tunggu. "Mama gimana? Apakah kamu nyaman dengan keberadaannya?" tanya Adrian yang sebenarnya cemas dengan perangai sang mama yang
Anneth tak mampu menahan gejolak di hatinya. Perasaan yang sepi pasca dikhianati suami brondongnya, perlahan luluh akan perhatian Arka, pria yang baru saja dikenalnya beberapa hari yang lalu. Meski tak pernah sekalipun terucap kata terima kasih atas dukungan sang pria melalui kiriman bunga mawar yang di kirim setiap hari, hatinya tak bisa berbohong jika naluri akan cinta laki-laki kini bangkit kembali pasca perhatian dari pria itu."Apakah perasaanmu sudah lebih baik? Apakah kamu melihat bunga mawar tak lagi membuat hatimu kesal?" tanya Arka yang menangkap sinyal bahwa wanita itu mulai luluh hatinya."Aku hanya mencoba mencari tahu, siapakah pria yang mengirim bunga mawar padaku setiap hari, jika dulu nama Dimas membuatku muak kini nama Arka membuatku semakin penasaran," sahut Anneth mencoba berkilah, mengingkari perasaannya sendiri."Seperti yang kamu lihat, aku hanyalah seorang pria yang tinggal sendiri di kosan sempit yang jauh dari kata layak, tanpa istri atau anak. Apa sekarang k