Hari itu langit tampak cerah, jalanan masih tampak basah karena semalam hujan mengguyur kota metropolitan itu. Terlihat orang-orang mulai berbondong-bondong untuk memulai aktivitasnya. Tidak terkecuali Arka. Ia menuju tempat kerjanya mengendarai motor butut warisan orang tuanya. Hari itu jalanan nampak padat merayap, terlihat kendaraan mulai perlahan berjalan pasca lampu merah di pertigaan itu. Jarak tempuh dari kontrakan menuju toko florist tidaklah jauh, sekitar 15 menit saja.
Sesampainya di toko, Arka memarkirkan motornya. Hari itu sama sekali tak ada firasat buruk dalam benaknya, dengan langkah penuh semangat, ia berjalan menuju tokonya tanpa melihat tulisan dipintu tertera “close”. Toko terlihat sepi padahal sudah pkl 08.00 wib, biasanya sudah mulai ada aktivitas namun tidak di hari itu. Terlihat bos toko dengan wajah sayu tanpa semangat bahkan ia tak menyadari kalau Arka telah tiba. “Pagi bos, tumben pagi-pagi sudah di toko, biasanya siang baru nongol,” tanya Arka dengan senyum khasnya. “Iya, maaf. Sepertinya kamu nggak bisa kerja disini lagi,” ujar lelaki yang terlihat berusia 50 tahun itu, kulitnya putih dengan sedikit kerutan di wajahnya. Bos toko itu keturunan cina-jawa. “Kenapa bisa tutup, bos? Padahal kemarin-kemarin toko baik-baik saja, orderan ramai seperti biasa, apa karena saya ijin tidak masuk dua hari maka bos memecat saya ?” Tanya Arka dengan suara perlahan seperti sulit untuk dikelurkan karena peristiwa ini tentu membuatnya shock. merasa di PHK sepihak. “Bukan karena itu tapi terjadi kesalahan dalam pengelolaan keuangan toko sehingga saya harus menjual toko ini, nanti kamu ambil uang pesangon di Erina, sekarang dia lagi ke toilet.” Ucap Bos tanpa ragu kemudian ia mulai melangkahkan kakinya keluar dari toko. Kabar mengejutkan ini tentunya mengguncang pikiran Arka. Bagaimana nanti biaya si kembar? Bagaimana dengan desakan promil dari istrinya? Bagaimana reaksi ibunya nanti? Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang dalam pikirannya ibarat potongan-potongan film pendek. “Hei, melamun pagi-pagi, kesambet nanti, kaget ya sama ucapan si bos?” Celetuk Erina yang sanggup membuyarkan lamunan Arka. “Iya nih, kenapa kok mendadak ditutup, perasaan kemarin masih baik-baik aja?” Tanya Arka dengan ekspresi penuh tanda tanya. “Bos ketipu karena dia terhasut temannya untuk ikut investasi bodong. Akhirnya toko ini dijual untuk menutupi hutang-hutangnya dan untungnya laku. Tiga hari lagi si pemilik toko baru akan launching dan teman-teman lain sudah ambil uang pesangon kecuali kamu.” Ucap Erin sambil memainkan rambutnya dengan ekspresi heran, mengapa hanya Arka yang tidak tahu apapun perihal toko florist ini. Mendengar pernyataan itu, Arka mulai memahami kondisinya meski ia heran mengapa teman-temannya tidak ada yang mengabarinya. Ia tidak menyadari bahwa teman-temannya cukup kesal dengan sikapnya yang sering hutang tapi tidak membayar, ia kerapkali beralasan jika uangnya habis untuk biaya si kembar sedangkan teman sesama kurirnya belum menikah menunjukkan sikap peduli pada kondisinya. Awalnya mereka simpati tapi karena terlalu sering dan susah ditagih, akhirnya mereka mulai menjauh. Padahal uang itu selama ini ia gunakan untuk top up game online. Usai menerima uang pesangon itu Arka mulai melajukan motor bututnya ke rumah tantenya, satu-satunya keluarga dari ibunya yang tinggal di kota. Berbeda dengan sang ibu yang masih menetap di desa untuk membantu mengelola sawah warisan bersama saudara-saudaranya yang lain. “Assalamualaikum tante, ini Arka, ” ucapnya sambil mengintip di jendela yang tidak tertutup gorden itu, ia berharap melihat ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. “Waalaikumsalam, masuk nggak dikunci.” Teriak Tante Amara. Arka langsung masuk dan duduk di ruang tamunya. Ia memilih untuk tidak pulang karena tahu Anna pasti belum pulang dari kerjanya. “Tumben ke rumah tante siang hari begini, kamu tidak kerja?” ujar Tante Amara sambil membawa kopi kesukaan keponakannya. “Aku dipecat dari pekerjaanku Tan, gimana ini? Pusing kepalaku,” jawab Arka dengan lemas. Ia menyandarkan kepalanya di sofa yang terlihat nyaman itu. “Dulu ibumu sudah bilang tidak usah dilanjutkan hubunganmu dengan Anna, kalian itu tidak jodoh, kalau dilanjutkan akan sial terus,” ujar Tante Amara dengan penuh penekanan. “Aku juga tidak tahu, aku mengira orang tua Anna bakal bantu kita atau memberiku pekerjaanlah, PNS pasti banyak kenalannya tapi kita malah diasingkan. Bahkan sampai saat ini mereka masih tidak bisa menerima aku, apalagi tahu aku dipecat mungkin mereka menyuruh kami cerai,” tutur Arka berharap mendapatkan saran terbaik untuk masalahnya. “Kalau begitu ceraikan saja Anna, nikah lagi sama perempuan kaya biar kamu tidak usah capek-capek kerja. Guru honorer seperti dia gajinya tidak seberapa.” Tutur wanita paruh baya itu tanpa keragu-raguan sedikitpun. Arka terlihat mulai terpengaruh dengan ucapan tantenya. Ia mulai merasa omongan itu mungkin benar. Mungkin sudah cukup kesabarannya selama ini, mertua yang diharapkan memberikan perubahan pada hidupnya tak kunjung memberikan restu yang berdampak pada kesulitan ekonomi ini. Hari menjelang sore, ia memutuskan untuk pulang meski sebenarnya malas untuk melangkahkan kakinya, khawatir dengan reaksi Anna nanti. Setibanya di rumah, Arka melihat sang istri tengah menyapu halaman, ia sebenarnya mulai bingung dengan perasaanya, ia takut menyakiti si kembar jika berpisah dengan istrinya, padahal dalam lubuk hatinya ia mulai merasa ragu-ragu. Melihat kedatangan suaminya, Anna tersenyum sebagai bentuk sapaam khas pada suaminya yang baru saja tiba. Meski ia terlihat lemas dan duduk dengan ekpresi tak berdaya di ruang tamu mereka. Wanita itu beranjak menuju dapur untuk membuatkan kopi kesukaan suaminya. Kemudian mengantarkan kopi itu sambil menunggu suaminya bicara. Arka duduk sambil memijat kepalanya perlahan, ia mulai merasa lelah dan pusing. Melihat istrinya membawakan kopi kesukaannya, perasaannya sedikit lega, ia berharap kopi itu bisa sedikit meringankan beban pikirannya. Setelah ia menyeruput kopinya, ia mulai bercerita tentang PHK yang disebabkan oleh si bos yang tertipu investasi bodong. Anna mendengarkan keluh kesah suaminya dengan penuh perhatian, meski hanya bisa tersenyum dan menguatkan hatinya. Sang istri tetap bersikukuh untuk program hamil anak laki-laki. Mendengar penuturan itu, ia hanya terdiam seolah-olah setuju dengan pilihan istrinya, padahal dalam hati sebenarnya menolak karena ia merasa tak sanggup jika harus menambah biaya untuk promil disaat ekonomi keluarga tidak baik-baik saja. Keesokan harinya terlihat ekspresi Arka terlihat kebingungan. Ia mulai memikirkan bagaimana caranya memperoleh pekerjaan secepatnya. Dipandanginya si kembar yang sedang bermain dihalaman rumah mereka. Ia merasa si kembar adalah salah satu alasannya tidak bisa melepaskan istrinya, padahal pikirannya sudah mulai terpengaruh oleh ibu dan budenya. Melihat suaminya sedang duduk melamun diteras, Anna menyapa suaminya dengan senyum khasnya “Mas, aku berangkat dulu ya, titip anak-anak,” ucap Anna. Lelaki itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepala tanda ia akan menuruti keinginan istrinya. “Mas, minggu depan kita mulai ke dokter ya, aku sudah dapat masukan dari temanku kalau ada dokter yang bagus di kota ini, dia hanya datang berapa kali sudah berhasil hamil anak laki-laki,” tutur Anna penuh semangat. Melihat ekspresinya istrinya yang bercerita dengan riang gembiranya ternyata tak mampu menularkan energi positif itu pada dirinya. Ia semakin bingung karena sebenarnya tidak setuju dengan pilihan itu namun ia juga belum bisa menolak keinginan ibunya, hatinya sendiri sedang dilanda dilematis yang tak berkesudahan. Ia sebenarnya ingin memberi tahu istrinya jika semalam Ibu telah menelponnya. Ibu mengabari bahwa rumahnya akan segera di renovasi sehingga membutuhkannya untuk mengawasi, namun ia tidak tahu bahwa sebenarnya sang ibu mencoba mendekatkannya dengan anak salah satu pengusaha terpandang di desa itu.Kala itu mentari bersinar cerah, menerangi bumi. Keluarga Anna tengah asyik menikmati sinarnya yang menimbulkan rasa hangat dalam jiwa. Di tepi pantai yang tersapu desiran ombak, Arini tengah bermain dengan adik kembarnya, Raka dan Raki yang terlihat sangat bersemangat. Anna dan kedua orang tuanya tengah duduk santai di tikar yang mereka bawa dari rumah. Tersaji berbagi makanan ringan untuk menikmati piknik tipis-tipis mereka, roti, gorengan, buah-buahan dan jus. Namun, tatapan Anna tak bisa lepas dari ketiga anaknya yang tengah asik bermain. "Na, bagaimana rencanamu selanjutnya? Apakah kamu sudah yakin berpisah dengan Adrian?" "Bu, aku sudah mendaftarkan gugatan ceraiku di pengadilan, pekan depan sidang akan dimulai." Anna mulai berkaca-kaca, tak mudah untuk berpisah dari suami yang begitu dicintainya. Adrian menghilang pasca putusan sidang Aneta yang dinyatakan terbukti bersalah, namun gangguan jiwa yang diidapnya membuat dia berada di rumah sakit jiwa dengan pemantauan piha
Enam bulan kemudian ... Anna terlihat lincah memotong sayuran yang nampak masih segar, wortel, kentang, kubis dan buncis. Ia hendak membuat sup ayam kesukaan anaknya, Arini yang tengah bermain dengan adik kembarnya, Raka dan Raki yang sudah lancar berbicara. "Bunda, aromanya membuatku lapar!" teriak Arini dari ruang tengah yang terdengar sampai ke dapur. Anna tersenyum mendengar sambutan anaknya, semakin mempercepat proses memasakknya, tak lupa ikan laut dan tempe goreng disuguhkan untuk menciptakan rasa yang memanjakan lidah. Kini Anna dan Arini beserta si kembar kecil tengah duduk di meja makan, tapi Anna memutuskan untuk memanggil ibunya terlebih dahulu. Di luar dugaan, ibunya justru hendak bersiap-siap akan pergi. "Ibu mau ke mana? Ayo sarapan dulu," ajak Anna sambil menarik tangan sang ibu tapi perlahan ditepis. "Makanlah, Ibu akan menjenguk saudarimu, sudah seminggu aku tidak ke sana." DEGH! Jantung Anna berdegup kencang, hatinya yang masih terluka seolah disir
Anna berjalan beriringan bersama kedua orang tuanya serta Adrian dan Arini yang mengikutinya dari belakang, menuju ruang penghakiman Aneta. Hari itu mungkin akan menjadi hari bersejarah bagi Anna, terpaksa menghadiri pengadilan orang yang paling dibencinya tapi sangat dicintai ibunya. Anna tak punya pilihan, dia hanya ingin menjadi anak berbakti, berempati pada saudara kembarnya meski hatinya remuk redam akibat kekacauan yang ditimbulkannya. Tak ada senyum, sapa, kata di antara keluarga yang telah tercerai berai oleh takdir. Mereka hanya insan biasa yang mengikuti kehendak semesta, walau hati porak poranda, langkah kaki mereka menunjukkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, sebuah optimisme kehidupan. Kini mereka berlima duduk beriringan di bangku paling depan, menatap punggung Aneta yang terlihat menyedihkan meski rambut panjangnya terlihat begitu indah, fatamorgana, duduk di atas kursi pesakitan. "Apakah Anda sengaja menyuruh orang untuk menyabotase kendaraan saudara Adrian, sua
"Ayah, kenapa kita harus berpisah dengan Bunda?" Aruna tak bisa menutupi kesedihannya, bagaimana tidak, waktunya bersama Bunda Anna tak begitu banyak. Gadis remaja itu tak mampu lagi menyembunyikan rasa kecewanya, tangisan sedih terus membanjiri pipi mulusnya. Hembusan napasnya berat sambil sesekali menahan sesak dalam dada. "Aruna, Bunda dan Ayah sudah lama berpisah, kita akan pulang ke rumah Ibu Ningsih, dia akan menyayangimu seperti Bunda Anna." Mata Aruna melotot, ia menepis pelukan Ayah Arka yang tak lagi terasa hangat. Dia hanya memliki seorang Bunda tidak untuk digantikan oleh siapapun. "Ayah jahat! Kenapa berpisah dari Bunda Anna? Aku benci ayah!" teriak Aruna yang membuat hati Arka teriris pedih, kebencian anak ibarat tembakan peluru yang menghujam relung hati. Arka terdiam membisu, tak mungkin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia telah lama berpisah dengan Anna bahkan telah menikah yang ketiga kalinya. Kini ia menyadari bahwa pilihan hidupnya kala itu t
Anna kembali menangis hiteris, fakta bahwa Aruna takkan berada di sisinya telah menorehkan luka yang semakin dalam dan tak berujung.Adrian yang baru saja tiba dari kantor polisi, dikejutkan dengan Anna yang sedang duduk di lantai, ditemani Arini yang semakin panik."Apa yang terjadi dengan Bundamu, Nak?"Arini menggelengkan kepala, segera melihat surat dan dari sang pengirim amplop misterius yang ternyata dari ayahnya, Arka.Adrian segera menggendong istri kesayangannya yang melemah akibat shock setelah membaca surat pembawa luka. Direbahkannya tubuh sang istri di ranjang lalu menggengam tangannya."Ann, apa yang terjadi? Katakan padaku semuanya." Adrian mencoba masuk dalam kegelisahan sang istri yang coba ditutupi.Anna masih menangis histeris, detak jantung berdegup kencang, keringat dingin membasahi keningnya."Mas, Aruna dibawa Mas Arka, pria itu membawa anakku, Mas." Anna berteriak menumpahkan kekesalannya lalu Adrian memeluknya."Tenanglah, Ann. Kita pasti bisa menemukan Aruna,
"Arka ..." ucap Aneta yang tak sanggup lagi menahan hasrat dalam jiwa, wanita itu benar-benar telah tergila-gila pada mantan suami kembarannya, Anna. Arka dalam gairah membara bermonolog dalam hatinya,"Aneta, cintaku memang hanya untuk Anna tapi gairahku sepertinya hanya untukmu. Aku suka semua tentangmu, tubuhmu, wangimu, suaramu membuatku semakin ingin menenggelamkan diri dalam jerat hasrat terliarmu." Tubuh keduanya saling berpacu dalam gejolak membara, bermandi peluh dalam hasrat jiwa, asmara darah dan dendam. Suara desahan yang semakin membuncah jiwa perlahan menyisakan sedikit luka dan dilema dalam dada. Hasrat terliar dua insan tanpa ikatan cinta atau janji suci, berhasil memporak porandakan apartemen yang awalnya baik-baik saja. Nampak taplak meja yang yang berserakan, bantal-bantal sofa yang bertebaran di mana-mana hingga seprei yang keluar dari kasur. Mereka berdua memilih untuk melepaskan belenggu moralitas dalam dekapan penuh cinta yang tak nyata, haus akan nafsu ya