Pagi itu cuaca cerah, matahari menyinari bumi memberikan kehangatan bagi siapapun yang sedang berjuang di bumi manusia, tidak terkecuali Anna. Ia telah menyempatkan waktunya untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan saran dari temannya. Sebenarnya jauh sebelum pilihannya tertuju pada promil ala dokter, ia telah mencoba cara-cara lain seperti berdiet, sering berolahraga seperti jogging, senam dan renang. Ia juga menambahkan konsumsi jamu tradisional dan vitamin seperti asam folat dan vitamin D. Namun seperti takdir tak berpihak padanya karena usahanya belum juga membuahkan hasil.
“Bund, kenapa ayah sering di rumah ya, apa ayah tidak bekerja?” Celoteh Runa, meski ia baru berusia 7 tahun dan akan segera masuk SD, ia termasuk anak yang aktif karena seringkali bertanya perihal yang mengganggu pikirannya. “Iya nak, ayah libur, nanti kalau sudah masuk pasti akan bekerja lagi.” Jawab Anna dengan senyum. Dielus-elus rambut putri kesayangannya itu. Tak mengherankan jika Runa bertanya-tanya karena telah seminggu sudah Arka dipecat. Ia lebih sering dirumah kecuali ada temannya yang mengajak nongkrong di warkop. “Runa main lagi sama Rini ya, Bunda mau ngobrol sama ayah,” ucap Anna dengan senyuman. Mendengar titah bundanya Runa hanya mengangguk sambil melanjutkan main dengan saudaranya. “Mas, aku pengen ngomong soal promil ke dokter,” ucap Anna dengan mantap. “kenapa lagi?” Tanya Arka dengan ogah-ogahan. Ia sedang asyik main game di ponsel pintarnya. Sejak ia menganggur, ia lebih sering menghabiskan waktu untuk bermain game mengatasi kebosanannya. Dengan alibi ingin beristirahat, ia nampak tidak terburu-buru untuk mencari pekerjaan lagi, terlebih ia diminta ibunya untuk segera mudik, membantu mengawasi tukang-tukang yang akan merenovasi rumahnya. “Mas, aku sudah janjian sama dokter spesialis obgyn, besok pagi jam 8 bisa kan temenin aku?” Pinta Anna terdengar memohon, ia berharap suaminya mau mengkuti kehendaknya sebab usaha ini dilakukan demi memenuhi tuntutan ibu mertuanya. “Aku sudah bilang kita tidak perlu ke dokter, lagipula aku juga belum kerja, kenapa kamu tidak paham dengan yang aku pikirkan?” ujarnya dengan penuh penekanan. Ia mulai jengah dengan sikap istrinya itu. “Mas, kalau masalah uang, aku ada tabungan, selama ini aku masih aktif cari sampingan seperti les privat dan jadi penulis lepas, mas tidak perlu khawatir, niscaya rejeki kita pasti akan dimudahkan,” jawabnya dengan lemah lembut dan meyakinkan suaminya seperti biasanya. “Aku tahu semangatmu tapi mau sampai kapan? aku juga belum tahu sampai kapan menganggur, kecuali orang tuamu mau bantu kita, sejak kita nikah sampai sekarang, mereka tidak menganggapku menantunya bikin aku kesel aja,” bantah Arka dengan penuh penekanan. Ia mulai kesal dan menganggap masalah yang ia hadapi karena kesombongan keluarga istrinya yang enggan membantunya untuk merubah nasib. “Mas, kenapa jadi menyalahkan orang tuaku? Mas tahu sendiri kan? Mama kadang masih diam-diam bantu biaya si kembar, bahkan dari sejak si kembar lahir sampai mereka akan bersekolah dasar, mama juga yang bantuin biaya, justru ibu kamu itu mas, bisanya cuman nyinyir tidak jelas, tidak pernah memberi uang sepersenpun sama si kembar, tapi kalau urusan Kak Aura dan anaknya, ibumu selalu tanggap,” Anna mulai terpancing emosinya, ia akan mulai meledak jika Arka mulai menyinggung restu orang tuanya. “Udahlah aku capek, besok aku mau pulang ke rumah ibu, ibu mau renovasi rumah karena udah banyak yang bocor dan hasil panen kemarin lumayan bagus,” cecar Arka tanpa menoleh pada Anna. Anna hanya terdiam mulai memikirkan kembali omongan Arka, terlihat suaminya tidak ingin pergi ke dokter, tapi Anna seolah-olah tidak punya pilihan lain, kecuali terus berusaha karena ia sendiri sudah lelah dengan desakan mertuanya. Malam itu mungkin akan menjadi malam terakhir bagi sepasang suami istri itu tidur seranjang, karena keesokan harinya Arka akan pulang kampung. Waktu menunjukkan Pkl 23.00 tapi kedua insan itu belum juga terlelap, Anna mulai ragu-ragu dengan pilihannya untuk program ke dokter karena suaminya seperti tidak mendukungnya. Arka mulai memejamkan matanya meski susah untuk terlelap karena pikirannya terus berputar-putar, ia merutuki nasibnya yang tidak sesuai harapannya. Berharap menikahi perempuan kaya sehingga ia tanpa perlu susah payah, nyatanya Anna cuman guru honorer yang dibuang orang tuanya. Pagi hari yang sedikit mendung, Arka mulai bersiap-siap untuk berangkat mudik. Ia mulai memasukkan beberapa helai pakaiannya. Setelah semua selesai, ia mulai melangkahkan kakinya keluar kamar. “Aku pergi dulu ya,” ucap Arka dengan mimik wajah santainya. “Sarapan dulu mas, ini aku sudah masak nasi goreng dan telur dadar kesukaanmu,” jawab Anna dengan senyum seperti biasanya. “Ayah mau kemana, kok bawa tas seperti mau pergi?” Tanya Runa dengan wajah polosnya. Ia heran mengapa ayahnya berpamitan dengan membawa tas besar, seolah akan pergi jauh. “Iya nak, ayah mau ke rumah nenek, ayah mau bantu-bantu nenek yang lagi renovasi rumah,” Jawab Arka dengan penuh kesabaran, ia bisa begitu berbeda jika berhadapan dengan anak-anaknya seolah dia adalah dua orang yang berbeda. “Kalau begitu Runa ikut ya yah, sekolah masih kurang 2 minggu lagi, masih ada waktu buat Runa untuk liburan,” rengek Aruna dengan manjanya, jarang-jarang anak ini manja pada ayahnya, dia nampak lebih dewasa dibanding anak seusianya atau Arini, kembarannya. anak kecil itu berencana mengikuti ayahnya, ia memiliki semacam firasat buruk tentang kepergiannya itu. ia merasa ayahnya menyimpan sesuatu yang tidak boleh diketahui siapapun. mungkin ini yang dinamakan ikatan ayah dan anak. Runa memang lebih sering bermain dengan ayahnya daripada Rini, saudara kembarnya. “Kalau bunda ngijinin maka ayah tidak masalah, ayah senang aja ada anak ayah yang menemani,” senyum Arka pada anaknya sambil menoleh pada Anna. Melihat Runa yang memelas Anna tak tega lalu menganggukkan kepala. Anna berpikir jika ada Runa, Arka pasti tidak akan berlama-lama karena Runa akan segera masuk sekolah. Dengan sigap Anna mulai mengemasi barang keperluan Runa selama di rumah neneknya, ia juga menyelipkan beberapa lembar uang untuk jajan anak kesayangannya itu karena ia tahu, ibu mertuanya amat pelit pada cucu-cucunya. “Rini, aku pergi dulu ya, kamu sama bunda di rumah aja, aku mau pergi sama ayah,” pamitnya pada saudara kembarnya. Rini terlihat sedih dan seolah ingin ikut tapi ia urungkan saat bundanya menggelengkan kepala yang artinya tidak mengijinkan. Terlihat Arka mulai mengendarai motornya secara perlahan, di sepanjang jalan pikirannya melayang kemana-mana. Tentang Anna yang terus mendesakknya untuk promil dan ibunya yang menginginkannya untuk menikah lagi. Ia sendiri masih bingung dengan pilihan yang harus diambilnya dalam kondisi ini. Namun hatinya cenderung mengikuti keinginan ibunya karena ia merasa sulit untuk bertahan dengan Anna karena istrinyapun tak bisa menuruti keinginan ibunya untuk punya anak laki-laki, selain itu sikap dari orang tua Anna juga menjadikannya ragu untuk bertahan. Ia merasa kurang dihargai sebagai menantu.Beberapa hari kemudian ... Kematian Andrew, kakeknya menjadi luka mendalam bagi Aruna. Gadis remaja itu menangis tenggelam dalam duka karena sosok orang tua yang menjadi panutan kini telah tiada. Tak banyak pelayat di rumahnya, hanya Arka, istri dan ibunya yang datang. Tak ada raut kesedihan dalam diri mereka kecuali hanya rasa kasihan pada Aruna, gadis yang selama ini merawatnya. "Nak, ayo pulang, mau sampai kapan kamu berada di sini?" Arka mengajak Aruna untuk bangkit dari pusara kakeknya. Gadis remaja yang tak punya siapa-siapa kecuali ayahnya akhirnya mengikuti apa yang diperintahkan padanya. Ningsih terlihat sangat senang dengan kehadiran Aruna, ia telah lama menginginkan anak perempuan justru bersemangat dengan kehadiran anak tirinya. Namun, rona kelabu tak juga berakhir dari hidupnya, ia dihadapkan dengan pandangan kakek tiri yang tak ramah. "Siapa gadis ini? Kalian kira rumahku tempat penampungan?" bentak Ayah Ningsih yang tak menyukai kehadiran Aruna. "Ayah, d
"Papa, maafkan aku semua kesalahanku," tutur Arka yang tak mampu lagi berucap, melihat ayah kandungnya yang nyaris sekarat membuat segala kebencian masa lalunya sirna. Bukan tanpa alasan, Arka tahu ayah kandungnya setelah bercerai dengan Anna. Sang ibu sengaja merahasiakannya karena malu telah berselingkuh dari suaminya. Ayah biologis Arka adalah dokter muda yang kala itu bertugas di desa yang menghantarkan dalam romansa kelam dengan sang ibu. Kedua insan muda kala itu terjerat asmara terlarang hingga lahirnya Arka. Papa Arka pergi begitu saja tanpa kabar saat dia dipindahkan ke kota dan kembali pada pelukan istri dan kedua anaknya. Perselingkuhan masa lalu terbongkar di masa senja keduanya yang berunjung pada penelantaran yang dilakukan oleh mereka, hanya Aruna atau anak Arka yang mau menjaganya. Kini mereka bertiga duduk di sebuah ruang tamu yang hanya beralaskan tikar, sang papa yang lumpuh hanya mampu duduk di atas kursi rodanya. "Papa, kemana Aruna? Apa dia mengajarkan le
Arka, pria yang telah lama tak dijamah wanita kini seperti terlahir kembali dari tidur panjangnya. Persetubuan pasca pernikahan siri dengan Ningsih bagai memberi kebahagiaan tak terkira di malam yang dingin. "Ning, kamu tidak berubah, tetap cantik dan mempesona," bisik Arka diiringi desahan kenikmatan. Ningsih, gadis desa yang telah kehilangan keperawanannya oleh Arka kala itu hanya bisa menggeliat pasrah saat tubuhnya terus menerus dijamah dan dinikmati oleh suaminya yang tak lain adalah Arka. Ibarat jodoh takkan kemana, mereka kini dipertemukan lagi dalam pernikahan siri yang serba dadakan. Daripada malu diomongin tetangga akibat tinggal bersama tapi belum nikah, baiknya nikah duluan meski hanya siri. Namun, Arka yang pada dasarnya buaya tentu takkan puas bercinta dengan gadis desa yang pasif. Tiba-tiba ia kembali teringat pada sosok Aneta, wanita kembaran mantan istrinya yang sangat seksi dan menggoda hingga membuatnya ketagihan untuk terus menerus bercinta dengannya. Kee
Arka melangkahkan kakinya yang terasa berat. Digendongnya anak laki-laki yang selama ini diharapkan hadir oleh ibunya, Ayu. Namun, rasa puas itu tak muncul dalam benaknya, kegelisahan justru membayangi dan menjadi luka dalam hati."Mas, kamu ke mana aja?" Ningsih menyapa dengan celemek lusuh yang dikenakan setelah memasak makan malam.Arka tak menjawab, hanya tersenyum kecil lalu meletakkan anak laki-lakinya tidur di kamar. Tak ada napsu makan yang membayang sebab tamparan kenyataan membuatnya merasa kenyang."Mas, makanlah! Aku dan ayah sudah makan! Besok penghulu akan datang atas permintaan ayah," ujar Ningsih sambil tetap duduk di kursi makan untuk menemani kekasih hati yang telah lama menghilang.Dengan tangan gemetar, Arka mulai menyendok nasi goreng yang telah dingin meski tak sedingin hati yang hampa sebab ketiadaan cinta dari istri dan anaknya. Penolakan Aruna, anak yang begitu dirindukan seolah menjadi peluru tajam yang menembus jantungnya."Mas kenapa nangis?" Ningsih terlih
"Sebenarnya aku ke sini hanya ingin meminta maaf pada Bapak, Ningsih dan anak yang telah aku tinggalkan. Saat itu aku memang egois, memikirkan kesenanganku sendiri, aku sungguh menyesal." Arka mengatakan semua yang dirasakan dengan mata berkaca-kaca. Ia kembali menatap anak laki-laki tampan dan lucu yang kini duduk di pangkuannya. Mereka baru pertama ketemu tapi sudah seperti mengenal cukup lama. "Aku mungkin bisa memaafkan tapi tidak melupakan. Jika hanya itu yang ingin kau katakan, pergilah!" Ayah Ningsih sengaja mengusirnya, bahkan bangkit dari duduknya hendak membuka pintu. "Ayah! Tunggu! Jangan usir Mas Arka! Dia kini hidup sendirian! Aku menemukannya di pasar, sedang bekerja mengangkat beras! Kenapa kita tidak memperkerjakan dia, bukankah kita membutuhkan orang?" Ningsih mencoba membujuk ayahnya kembali, keinginannya untuk hidup bersama Arka masih begitu kuat terlebih buah hatinya terlihat nyaman dengan kehadirannya. "Ning! Cukup! Pria ini adalah orang yang memperko
Arka mulai nampak kelelahan, sesekali mengusap keringat yang membasahi pelipisnya. Di tatapnya jam dinding di dalam gudang sembako yang bertengger di sudut ruang, tepat pukul 10 pagi, artinya jam kerjanya masih kurang beberapa jam lagi. "Mas, kamu pucat, istrihatlah," ujar salah satu teman kulinya. Arka yang merasa pusing, memutuskan untuk rehat sejenak, mungkin dirinya terlalu bekerja keras. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekatinya. Kini seorang wanita berdiri di hadapannya. "Mas, Arka?" Arka menatap wanita itu dengan memincingkan matanya, cantik dan terasa tidak asing, seperti pernah mengenalnya. "Mas, ini aku Ningsih, kamu kemana saja, Mas? Anak kita sudah lahir, laki-laki tampan." Arka mengernyitkan dahinya, Ningsih? Anak laki-laki? Seketika itu dia teringat pada kesalahan masa lalunya. Di saat proses cerai dengan Anna dan kumpul kebo dengan Clara, dia justru berselingkuh dengan Asih dan Ningsih. Debaran jantung tak terbendung, rasa sesak di dada mulai menyelimu