LOGINSuasana ruang tunggu rumah sakit malam itu menegang. Lampu putih pucat menyinari dinding, dan aroma obat-obatan menusuk hidung, bercampur dengan kecemasan yang menggantung di udara.
Hansen mondar-mandir di depan pintu ruang gawat darurat dengan wajah tegang, telapak tangannya berkeringat dingin. “Ya Tuhan, Nana...” bisiknya pelan. “Kenapa harus kau yang mengalami ini?” Sudah lebih dari satu jam ia menunggu tanpa kabar. Hatinya seperti digantung di tepi jurang—antara harapan dan kehilangan. Pintu ruang tunggu terbuka perlahan. Maudy melangkah masuk dengan langkah anggun namun penuh pura-pura. Wajahnya tampak cemas, tapi mata itu... mata yang terlalu tenang untuk seseorang yang sedang khawatir. “Kak Hansen...” suaranya lembut tapi datar. “Bagaimana keadaan Kak Nana? Aku dengar... dia kecelakaan?” Hansen berhenti melangkah. Tatapan dinginnya menusuk Maudy seolah bisa menembus topeng kepura-puraan di wajah gadis itu. “Kenapa kau baru datang?” suaranya pelan, tapi mengandung amarah yang tertahan. “Bukankah kau yang paling bahagia kalau dia celaka?” Maudy tersentak, tapi cepat menunduk menutupi ekspresinya. “Kak... kenapa bicara seperti itu? Aku ini adik Kak Nana juga. Aku khawatir, sungguh.” “Khawatir?” Hansen mendekat satu langkah, tatapannya tajam. “Jangan pura-pura suci di depanku, Maudy. Aku tahu siapa kau sebenarnya.” “Kau itu ular, menunggu waktu untuk mematuk.” “Kak Hansen!” suara Maudy meninggi. “Jaga ucapanmu! Aku—” Namun kalimatnya terputus ketika pintu IGD terbuka. Seorang dokter berjas putih keluar dengan wajah lelah. “Keluarga Nona Nadira Seraphine?” Hansen segera menghampiri. “Saya kakaknya, Dok. Bagaimana kondisi adik saya?” Dokter itu menarik napas panjang sebelum menjawab. “Kami sudah berusaha sebaik mungkin... tapi kondisinya sangat kritis. Nona Nadira mengalami koma.” Hansen terdiam, tubuhnya kaku. “Koma?” suaranya serak. “Apa... dia bisa sadar, Dok?” “Kami belum bisa memastikan. Dua tulang rusuknya patah, satu kakinya retak parah, dan ada pendarahan di kepala. Jika ia sadar nanti, kemungkinan besar akan kesulitan berjalan.” Kata-kata itu menusuk dada Hansen seperti bilah pisau. Ia menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Tidak... Nana pasti bisa bertahan. Dia kuat... dia selalu kuat.” Sementara itu, Maudy hanya berdiri diam di sudut, menggigit bibirnya. Wajahnya tampak sendu, tapi dalam hatinya... amarahnya mendidih. “Sial... kenapa dia nggak mati saja? Kalau dia sadar, semuanya akan hancur!” Matanya menatap kosong ke lantai, tapi pikirannya kembali ke masa beberapa hari lalu. Flashback Sebuah gudang tua di pinggiran kota. Maudy berdiri di depan seorang pria kekar dengan tato di lengannya, suaranya datar tapi menusuk. “Aku mau semuanya terlihat seperti kecelakaan.” “Tenang saja, Nona,” jawab pria itu dengan nada santai. “Semua akan seperti kecekakaan biasa. Tak akan ada yang tahu.” Maudy menyerahkan amplop tebal. “Pastikan dia tidak selamat. Aku tak mau ada saksi yang bisa menghancurkan rencanaku.” Senyum sinis muncul di wajah pria itu. “Anggap saja sudah selesai.” Kembali ke masa kini. Maudy mengepalkan tangan di balik tubuhnya. “Tidak cukup. Kalau dia hidup, aku yang akan mati. Aku harus pastikan dia tak pernah bangun.” Ia menatap pintu IGD yang baru saja tertutup kembali, matanya dingin seperti batu. “Aku akan pastikan kau tak pernah membuka mata lagi, Kak Nana...” bisiknya nyaris tanpa suara. Tak lama kemudian, langkah-langkah tergesa terdengar di lorong. Dikta muncul bersama kedua orang tuanya. Wajahnya pucat, tapi bukan karena duka—melainkan rasa bersalah yang ia sembunyikan di balik ekspresi memelasnya. “Hansen!” serunya, mendekat. “Bagaimana keadaan Nana? Aku... aku khawatir sekali.” Hansen memutar tubuhnya dan tanpa peringatan, menarik kerah baju Dikta dengan kasar. “Khawatir?” raungnya. “Kau yang seharusnya menjaganya, Bajingan! Di mana kau saat dia hampir mati?!” “Hansen, hentikan!” Ratih, ibu Dikta, menahan Hansen. “Ini bukan salah Dikta, Nak! Itu kecelakaan!” “Benar,” sambung ayahnya, Cahyo. “Dikta juga terpukul, Hansen. Tolong mengertilah—” “Cukup!” bentak Hansen, matanya memerah. “Jangan bela dia di depanku! Kalian semua sama saja... semuanya munafik!” Maudy, yang sedari tadi diam, berpura-pura menenangkan. “Kak Hansen... sudahlah, jangan marah terus. Kita semua sedih...” “Diam, Maudy!” Hansen menepis tangannya kasar. “Aku muak dengan kepura-puraanmu!” “Tapi aku juga keluarga ini!” teriak Maudy, air mata mulai mengalir. Hansen menatapnya dengan jijik. “Keluarga? Kau cuma noda yang menempel di nama keluarga ini. Anak haram yang hidupnya cuma bawa sial!” Ucapan itu menghantam Maudy seperti cambuk. Ruangan mendadak hening. Ratih dan Cahyo hanya memalingkan wajah, seolah mengiyakan. Maudy menoleh ke arah Dikta dengan pandangan penuh luka. “Kak Dikta... bilang sesuatu... bela aku...” Dikta menatapnya singkat, lalu berucap dingin. “Aku nggak mau ikut campur, Maudy. Jangan drama di sini.” Hati Maudy remuk. Air matanya jatuh tanpa suara. Ia berbalik dan berlari keluar ruang tunggu, meninggalkan semua hinaan di belakangnya. Namun dalam hatinya, lahirlah sesuatu yang jauh lebih gelap dari rasa sakit—dendam. “Baik. Kalian semua akan kubuat berlutut. Satu per satu.” Beberapa jam kemudian, seorang perawat menghampiri Hansen. “Pak Hansen, dokter Bram ingin berbicara dengan Anda di ruangannya.” Hansen mengangguk lemah dan mengikuti perawat itu. Di dalam ruang dokter, aroma antiseptik terasa menusuk. Dr. Bram menatapnya dengan ekspresi serius. “Silakan duduk, Pak Hansen.” Ia menyalakan layar monitor, menampilkan hasil rontgen tubuh Nana. “Tulang rusuk patah di dua tempat, kaki kanan retak, dan...” ia berhenti sejenak, menatap Hansen penuh empati. “Cedera otak yang cukup berat. Ada pendarahan kecil di otak bagian kiri.” Hansen menelan ludah, tangannya mengepal. “Apa dia akan... kehilangan ingatan, Dok?” “Kemungkinannya ada. Tapi kami belum bisa memastikan sebelum pembengkakan di otaknya mereda.” “Kalau dia sampai lupa segalanya...” Hansen menunduk, suaranya bergetar. “Apa dia masih bisa hidup seperti dulu?” “Kami akan berusaha semampu kami, Pak. Tapi... keajaiban mungkin satu-satunya yang bisa kita harapkan sekarang.” Hansen menatap layar itu lama, sebelum akhirnya berbisik lirih, suaranya nyaris patah. “Kuatlah, Nana... .” *** Ruang tunggu rumah sakit kembali diselimuti keheningan. Suara detik jam di dinding terasa begitu lambat dan menyiksa. Bau antiseptik menusuk hidung, mencampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Hansen duduk di bangku panjang, kedua sikunya bertumpu pada lutut, wajahnya tertunduk lesu. Di depan matanya, seolah masih tergambar jelas tubuh adiknya yang penuh luka, terbaring tak sadarkan diri di ruang ICU. Langkah kaki seseorang terdengar mendekat. Dikta muncul dari arah koridor, wajahnya dibuat seolah-olah muram dan terkejut. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Hansen. “Hansen… gimana keadaan Nana?” suaranya serak, dibuat seolah menahan tangis. Hansen perlahan menegakkan tubuhnya. Tatapan matanya dingin—bukan hanya karena duka, tapi juga karena amarah yang telah menumpuk terlalu lama. “Kau masih punya muka buat nanya?” suaranya datar tapi tajam. “Nana sekarang di ruang ICU, antara hidup dan mati. Tulang rusuknya patah, kakinya remuk, dan kepalanya cedera parah.” Dikta memejamkan matanya, mencoba menampilkan ekspresi sedih yang meyakinkan. Ia menjatuhkan diri di kursi seberang Hansen, kedua tangannya menutup wajah. “Ya Tuhan… kenapa bisa begini…” gumamnya pelan, pura-pura sesenggukan. “Aku sayang sama Nana, Hansen. Aku bener-bener hancur dengar ini…” Hansen mendengus pelan, sudut bibirnya menegang menahan emosi. “Cukup, Dikta. Kau nggak perlu main drama di depanku. Aku muak lihat kepura-puraanmu.” Dikta mengangkat kepalanya, matanya merah dibuat-buat. “Aku nggak pura-pura! Aku dan Nana saling mencintai, kau tahu itu!” serunya, nada suaranya meninggi seolah benar-benar tersakiti. Hansen terdiam lama, menatap pria itu seperti sedang menatap makhluk menjijikkan. Di dalam hatinya, suara lirih bergema—suara yang ia benci karena begitu menyedihkan. “Nana… kau memang terlalu mencintai pria bodoh ini. Kau buta karena cinta, sampai tak bisa melihat betapa busuknya dia.” Ia menatap Dikta sekali lagi, kali ini dengan pandangan penuh iba sekaligus benci. “Cinta?” ujarnya pelan, namun nadanya dingin menusuk. “Kalau itu cinta, maka aku tak mau tahu bagaimana rupa kebencian.” Dikta hanya terdiam, berpura-pura menunduk dalam duka, sementara di balik ekspresi palsunya, ia justru menyeringai dalam hati. Bagi Hansen, semuanya jelas—Dikta hanyalah aktor murahan dalam tragedi yang mencabik hidup adiknya.Langit sore kota Andara diselimuti awan kelabu ketika mobil hitam berpelat luar negeri berhenti perlahan di depan rumah mewah milik keluarga Dikta. Dari dalam mobil itu, keluar sosok pria tinggi dengan jas abu gelap dan tatapan setajam belati. Wajahnya tampan, tetapi tanpa sedikit pun emosi — kaku, dingin, mematikan. Sepasang mata kelam itu menyapu halaman rumah seperti menilai medan perang sebelum eksekusi.Hansen Alphine.Nama yang membuat para pebisnis di Andara dan Kyar menunduk dalam diam. Pria yang dikenal sebagai raja bisnis, dingin, kejam, dan berkuasa. Ia tak perlu meninggikan suara untuk menebar ancaman; cukup dengan satu lirikan dan satu senyum tipisnya — senyum maut, begitu orang-orang menyebutnya — seseorang biasanya menghilang tanpa jejak.Dan kini, alasan kembalinya ke Andara bukan urusan bisnis.Melainkan Nadira Seraphine — adiknya, satu-satunya keluarga yang tersisa.Sudah beberapa hari Hansen tak mendapat kabar darinya. Telepon ta
Mentari pagi menyelinap malu-malu di antara celah tirai, menari lembut di wajah Alina yang masih terlelap di sisi Andreas. Cahaya hangat itu seolah bersekongkol dengan waktu untuk menyingkap rahasia yang tersimpan di balik wajah damai sang perempuan. Dalam keheningan kamar, hanya napas lembut Alina yang terdengar — dan di balik ketenangan itu, badai berputar di benak Andreas.Kenangan malam pertemuan pertama mereka menyeruak lagi, bagai film tua yang tak kunjung berhenti diputar dalam pikirannya.Andreas masih ingat betul malam itu — malam di kota Andara, kota yang tak pernah benar-benar tidur. Malam yang berawal dari urusan bisnis yang melelahkan, namun berakhir dengan sesuatu yang jauh lebih mengguncang.Di tengah riuhnya musik, gelak tawa, dan kilau lampu neon yang menari di dinding bar mewah itu, Andreas duduk sendiri. Sosoknya mencolok — jas hitam, tatapan tajam, aura yang membuat orang lain memilih memberi jarak. Ia tampak seperti seorang raja di ten
"Kamu gila? Aku sama sekali nggak nyentuh Nana. Yang nabrak dia bukan aku!” Maudy menjerit, suaranya penuh ledakan kemarahan yang dibuat-buat. Matanya menatap tajam ke arah Dikta, mencari celah untuk manipulasi berikutnya.Dikta sudah kehilangan akal. Ia melompat, meraih kerah Maudy seperti orang yang hanya punya satu jalan keluar: menuntut pertanggungjawaban. “Tapi kamu bersamaku! Kamu juga harus tanggung jawab. Kalau Hansen bunuh aku, kamu juga harus mati!” Napasnya terengah, nada suaranya penuh kepanikan yang membuatnya terdengar hampir konyol.Maudy tertawa, nada datar dan dingin. “Kalau kamu mati, ya mati aja. Jangan ajak-ajak aku.” Kata-kata itu seperti pisau halus—mencari titik lemah dan menelannya dengan pura-pura acuh.Mendengar itu, Dikta meledak. Tangannya mencengkeram leher Maudy sampai wanita itu meraung kesakitan. Maudy meronta, kedua tangannya memegang lengan Dikta, matanya menatap panik namun tetap mencari kata-kata yang bisa membalikkan suasana. “Lepas! Lepas, Dikta—s
Alina Vaughan.Ya, mulai detik ini, nama itu yang akan disandang oleh Agnetha Seraphine.Tidak ada lagi luka, tidak ada lagi tangis. Yang tersisa hanyalah kebahagiaan, kemewahan, dan kehidupan baru sebagai Nyonya Vaughan.Itulah janji Andreas—pria dingin berwibawa yang kini berdiri di sisinya dengan tatapan lembut yang tak bisa dijelaskan oleh logika.Alina menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti kebingungan.“Kamu... suamiku?” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.Andreas mengangguk perlahan.Wajahnya tetap tenang, namun di balik sorot matanya tersimpan badai yang tak bisa ditebak.“Aku... aku nggak ingat apa pun,” ucap Alina lirih, menunduk, seolah takut pada kenyataan yang tak bisa dipegang.Andreas menarik napas panjang, lalu berkata pelan, “Maafkan aku... karena telah lalai menjagamu. Karena kelalaianku, kamu harus mengalami kondisi seperti ini. Tapi percayalah, masa lalu itu tak seindah masa depan yang akan kita jalani bersama.”Alina menatapnya lama. Jema
Mentari siang membakar kulit, tapi Dikta tak merasakannya. Ia berlari menyusuri jalanan sepi itu, kembali ke tempat di mana hidupnya berubah menjadi neraka. Lokasi kecelakaan itu kini tampak seperti altar pengorbanan, mengingatkannya akan hukuman yang menantinya. "Sial! Sial!" umpat Dikta, suaranya penuh amarah dan ketakutan. Ia menyusuri setiap jengkal tanah, matanya liar mencari Nana, bukan karena peduli, tapi karena nyawanya sendiri yang terancam. Ia menghampiri setiap orang yang lewat, wajahnya memelas dan penuh kepanikan. "Hei, kau! Apa kau melihat seorang wanita muda lewat sini? Tubuhnya mungil, rambutnya panjang cokelat, matanya cokelat, kulitnya putih..." Dikta membentak seorang ibu yang sedang menggendong anaknya, tidak peduli dengan tatapan terkejut ibu itu. Ibu itu menggelengkan kepala dengan ketakutan. "Tidak, Tuan. Saya tidak melihat siapa-siapa." Dikta beralih ke seorang bapak yang sedang berjalan santai, menarik kerah bajunya dengan kasar. "Kau! Jawab yang benar! A
Di dalam ruang operasi yang serba putih dan dingin, Dokter Bram dan tim medisnya bekerja dengan cekatan dan penuh konsentrasi. Lampu operasi yang terang benderang menyoroti tubuh Nana yang terbaring lemah di atas meja operasi.Dokter Bram mengenakan masker dan sarung tangan steril, tatapannya fokus pada monitor yang menampilkan detak jantung dan tekanan darah Nana. Ia memeriksa kembali peralatan medis dan memastikan semuanya siap digunakan."Tekanan darah menurun, Dokter," ujar seorang perawat dengan nada khawatir."Siapkan epinefrin," perintah Dokter Bram dengan nada tenang, namun tegas.Seorang perawat segera menyuntikkan epinefrin ke dalam infus Nana. Detak jantung Nana mulai stabil, namun kondisinya masih sangat kritis."Kita harus bertindak cepat. Waktu kita tidak banyak," ujar Dokter Bram dengan nada mendesak.Ia mengambil pisau bedah dan mulai membuat sayatan di perut Nana dengan hati-hati. Asistennya membantu membuka lebar luka sayatan, memperlihatkan rahim Nana yang membengka







