Share

Jejak yang Terhapus

Author: Senjaaaaa
last update Last Updated: 2025-10-06 16:55:04

Cahaya matahari pagi menerobos lembut melalui celah tirai, menyinari wajah Nana yang masih terlelap di ranjang luas berseprai putih. Hangatnya sinar mentari memaksa kelopak matanya terbuka perlahan.

Sesaat, pandangannya kosong. Langit-langit kamar asing itu tak memberinya rasa nyaman sedikit pun. Aroma maskulin samar menyelimuti udara, membuatnya semakin bingung.

‘Di mana aku?’ batinnya panik.

Lalu, kilasan demi kilasan semalam menyerbu kepalanya. Musik keras, tawa, gelas-gelas beradu... dan seorang pria asing yang tatapannya membuatnya kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ciuman panas, sentuhan yang tak seharusnya, dan... semuanya kembali jelas di kepalanya.

Nana memejamkan mata, jantungnya berdebar keras. Rasa malu dan penyesalan bercampur jadi satu.

“Ya Tuhan... apa yang sudah kulakukan?” bisiknya serak.

“Bagaimana kalau orang tahu aku—” Ia menutup mulutnya sendiri, menahan sesal.

Ia menoleh pelan ke samping. Di sana, seorang pria tengah terlelap, tubuhnya setengah tertutup selimut putih. Bahunya bidang, wajahnya teduh namun berwibawa—dan bahkan saat tertidur pun, auranya seperti mendominasi seluruh ruangan.

Nana terpaku.

“Astaga…” gumamnya lirih, hampir tanpa suara. “Dia… tampan sekali.”

Ia menelan ludah, menelusuri wajah pria itu dari rahang tegas hingga bibir tipis yang sedikit terbuka. Tapi kemudian, ia menggeleng cepat.

“Stop, Nana! Kamu seharusnya menyesal, bukan malah kagum!”

Namun rasa itu sulit dibendung. Ada sesuatu pada pria itu—bukan hanya ketampanan, tapi wibawa yang membuatnya seolah tak bisa berpaling.

“Aku harus pergi,” bisiknya mantap. “Sebelum aku benar-benar kehilangan akal.”

Dengan hati-hati, Nana melepaskan pelukan tangan pria itu yang melingkar di pinggangnya. Gerakannya lembut, nyaris tanpa suara. Setiap kali tubuhnya bergeser, aroma tubuh pria itu menyeruak lagi, membuat pikirannya kacau.

Begitu berhasil bangkit, Nana merasakan tubuhnya pegal luar biasa. Ia meringis, berusaha menenangkan napasnya. Cepat-cepat ia memungut pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu memakainya dengan gugup.

Sebelum pergi, ia menatap sosok di ranjang itu sekali lagi.

“Maaf ya, Ganteng,” gumamnya lirih. “Kau mungkin pria asing yang tak akan pernah kuingat... tapi malam itu—aku tak akan lupa.”

Ia menarik napas panjang, lalu menyelinap keluar dengan langkah ringan namun tergesa.

Di luar, udara pagi menampar lembut wajahnya. Dingin, tapi menenangkan. Nana berjalan cepat ke arah mobilnya yang terparkir tak jauh dari bar itu. Begitu duduk di kursi kemudi, ia menyalakan laptop kecilnya dan mulai mengetik dengan cepat.

Jari-jarinya menari di atas keyboard, menembus sistem keamanan bar dengan kecepatan luar biasa.

“Oke, Nana... fokus. Hapus semua jejak, seperti biasa.”

Satu per satu rekaman CCTV muncul di layar. Ia melihat bayangan dirinya—mabuk, tersenyum bodoh, menggandeng pria asing itu. Nana mengerutkan kening, menatap versi dirinya di layar dengan rasa muak.

“Delete…” ujarnya pelan, menekan tombol dengan tegas. “Kau tidak pernah ada, Nana yang bodoh.”

Setelah semua rekaman hilang, ia menutup laptop dan bersandar. Sebuah senyum miring terlukis di bibirnya.

“Selesai. Tak ada bukti, tak ada masalah.”

Mobil melaju di bawah sinar matahari yang mulai meninggi. Radio memutar lagu lama, tapi pikiran Nana melayang jauh. Ia mencoba menenangkan diri, meski dadanya masih sesak.

“Dikta...” suaranya pelan, nyaris seperti gumaman. “Kau mengkhianatiku, membuatku hancur... dan aku malah menghancurkan diriku sendiri, semua karena kamu!”

Air matanya menetes tanpa sadar. Namun segera, ia menghapusnya dengan kasar.

“Tidak lagi. Aku tidak akan menangis lagi.”

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi takdir tampaknya belum selesai bermain.

Dari arah berlawanan, sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi. Klakson panjang menggema keras.

Nana menoleh — terlambat.

“Astaga—!”

BRAAAKK!!!

Suara benturan keras mengguncang jalanan. Mobil Nana terbalik beberapa kali sebelum berhenti di sisi jalan, ringsek tak berbentuk. Asap tipis keluar dari kap mobil, kaca pecah berserakan di mana-mana.

Tubuh Nana terkulai, darah menetes dari pelipisnya. Napasnya tersengal, dunia mulai gelap di matanya.

Beberapa meter dari tempat kejadian, sebuah mobil hitam berhenti tenang di balik bayangan pepohonan. Di dalamnya, seorang wanita berwajah cantik tapi dingin menatap pemandangan itu tanpa emosi.

Ia menurunkan sedikit kaca jendela, membiarkan udara bercampur bau bensin dan logam terbakar masuk.

Senyum tipis terukir di bibir merahnya.

“Akhirnya... selesai juga.”

Tatapannya menajam, penuh kebencian yang membeku.

“Selamat tinggal, Nadira Seraphine.”

Ia menaikkan kembali kaca mobil, menyalakan mesin, dan melaju pergi tanpa menoleh sedikit pun. Hanya bayangan mobil hitamnya yang tersisa, menelan sunyi di jalanan itu.

***

Asap hitam mulai membubung dari kap mobil yang ringsek. Bau bensin menyengat menusuk hidung, bercampur dengan aroma darah dan debu.

Nana membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, bercampur warna merah dan abu. Tubuhnya nyaris tak bisa digerakkan, tapi naluri bertahan hidup memaksanya untuk tetap sadar.

“Agh...” desahnya lirih.

“Sakit... Tuhan...”

Ia mencoba menarik napas, tapi paru-parunya seperti diremas. Di sudut bibirnya, darah menetes, mengalir pelan di dagu.

Kilasan wajah Dikta muncul di benaknya — senyum palsu, janji manis, dan pengkhianatan yang menghancurkan segalanya. Lalu wajah adiknya... wajah yang dulu ia percayai, kini penuh pengkhianatan yang sama kejamnya.

“Aku... nggak mau mati di sini...” suaranya pecah, nyaris tak terdengar.

“Aku masih... punya dendam...”

Air matanya bercampur darah di pipi. Ia menggenggam sabuk pengaman dengan gemetar, mencoba melepaskannya. Suara logam berdecit saat sabuk itu akhirnya terlepas.

“Dikta...” desisnya lemah. “Kau belum... bayar semuanya...”

Tangannya gemetar, berusaha meraih gagang pintu. Setiap gerakan membuat rasa sakit menembus tulang, tapi Nana tetap memaksa.

“Dan kau juga... adikku...” gumamnya getir. “Kau tikam aku... dengan cara paling kejam...”

Dengan sisa tenaga, ia menendang pintu mobil dari dalam. Sekali, dua kali — tak berhasil. Tapi pada tendangan ketiga, pintu terbuka sedikit. Asap semakin pekat, api mulai menjilat bagian depan mobil.

“Ayolah, Nana... kamu nggak boleh mati sekarang...” katanya lirih, memotivasi dirinya sendiri.

Ia menyeret tubuhnya keluar perlahan, setengah merangkak di aspal yang panas. Kulit lengannya tergores, darah mengalir di mana-mana. Setiap inci gerakannya adalah penderitaan.

Dari kejauhan, beberapa warga yang mendengar suara tabrakan mulai berlari mendekat.

“Astaga! Ada kecelakaan!”

“Cepat, bawa air! Mobilnya bisa meledak!”

Seorang pria muda berlari lebih dulu, menutupi wajahnya dari asap. Ia melihat sosok Nana yang berlumuran darah, masih berusaha merangkak menjauh dari mobil.

“Nona! Tahan! Jangan gerak dulu!” teriaknya.

“Tolong... jangan... biarkan aku mati di sini...” bisik Nana, matanya hampir terpejam.

Pria itu segera menunduk, menarik tubuh Nana dengan hati-hati. Beberapa warga lain datang membawa kain basah dan mencoba memadamkan api kecil di dekat mobil.

“Cepat! Tarik dia menjauh!”

“Bensinnya bocor, bisa meledak!”

Tubuh Nana terangkat perlahan. Darahnya menetes di jalanan, meninggalkan jejak panjang. Ia sempat menatap ke langit — samar, seperti bayangan di balik kabut.

“Aku... belum selesai...” suaranya lemah, nyaris seperti desahan terakhir. “Aku... masih ingin... hidup.”

Begitu kalimat itu meluncur dari bibirnya, suara ledakan keras memecah udara.

BROOMMM!!!

Mobil itu meledak dalam kobaran api besar, menggetarkan tanah di sekitarnya. Suhu panas menyapu wajah orang-orang yang menolongnya.

“Ya Tuhan! Mobilnya meledak!”

“Cepat bawa dia ke rumah sakit!”

Asap tebal menutupi langit. Beberapa warga menutupi wajah mereka, sementara dua pria mengangkat tubuh Nana ke dalam mobil bak terbuka.

Nana sempat membuka matanya sedikit — pandangannya kabur, tapi ada senyum samar di bibirnya.

“Aku... masih hidup... kan?” tanyanya lirih.

Pria di sebelahnya menjawab dengan panik.

“Iya, Nona! Tenang, sebentar lagi sampai rumah sakit! Bertahan, ya!”

Namun sebelum suara itu sepenuhnya sampai ke telinganya, dunia mulai memudar. Suara jeritan, deru mesin, dan bau asap perlahan menghilang.

Yang tersisa hanyalah gelap, dan suara hatinya sendiri yang berbisik lemah—

“Aku tidak akan mati... sebelum mereka membayar semuanya...”

***

Sementara itu cahaya pagi menyusup pelan lewat tirai tebal kamar Bar Pulse. Andreas Leonard Alvaro membuka mata dengan enggan; kepalanya berdenyut, rasa alkohol semalam masih menempel seperti aroma parfum yang tak mau hilang. Ia mengepalkan bibir, mencoba merangkai potongan-potongan malam yang samar di benaknya.

Kilasan pesta, lampu yang berputar, tawa yang menggema—dan seorang wanita yang bergerak seperti badai, penuh tantangan. Andreas tersenyum tipis, napasnya mengepul dingin. Di sampingnya, ranjang kosong; jejak tubuh itu sudah lenyap.

“Ada yang berani kabur setelah menikmati malamku?” gumamnya dengan nada sinis, setengah mengejek diri sendiri. Ia duduk, menyibak selimut, lalu meluruskan punggungnya dengan gaya penguasa yang tak pernah tergesa.

“Anda sudah jadi milikku semalam, nona manis,” ucapnya pelan, suaranya datar tapi sarat janji. “Cepat atau lambat, aku akan menemukanmu.” Kata-kata itu bukan ancaman kosong—itu adalah kepastian.

Ponsel di meja sampingnya bergetar. Andreas meraih alat itu tanpa mau kehilangan ritme, lalu menekan nomor yang sudah familiar.

“Dirga,” suaranya tegas ketika sambungan terhubung. Tidak ada basa-basi, tidak ada kelembutan—hanya perintah yang dibungkus sopan.

Dari seberang, suara Dirga, ringan tapi sigap, menjawab, “Ada, Bos. Mau saya atur apa hari ini?”

“Batalkan semua jadwalku. Ada urusan penting,” perintah Andreas singkat. Ia menaruh ponsel sekejap di bibirnya, menatap ke arah jendela yang menghadap kota. Cahaya kota tampak tak berdaya di hadapannya.

“Dan cari tahu siapa gadis semalam. Semua data—nama, alamat, koneksi—aku mau semuanya dalam waktu sesingkat-singkatnya.” Nada suaranya menandakan ia tak memberi ruang untuk kegagalan.

“Baik, Bos. Akan saya urus,” balas Dirga, nada profesional yang tak pernah melepas sentuhan setia.

Andreas meletakkan ponsel, tersenyum tipis—bukan karena ramah, melainkan karena permainan dimulai. Di matanya, kota itu kini menjadi papan catur, dan dia, tentu saja, sudah tahu langkah pertama yang harus diambil.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dikhianati Suami Payah, Dicintai Pria Berkuasa   Amarah dari Negeri Kyar

    Langit sore kota Andara diselimuti awan kelabu ketika mobil hitam berpelat luar negeri berhenti perlahan di depan rumah mewah milik keluarga Dikta. Dari dalam mobil itu, keluar sosok pria tinggi dengan jas abu gelap dan tatapan setajam belati. Wajahnya tampan, tetapi tanpa sedikit pun emosi — kaku, dingin, mematikan. Sepasang mata kelam itu menyapu halaman rumah seperti menilai medan perang sebelum eksekusi.Hansen Alphine.Nama yang membuat para pebisnis di Andara dan Kyar menunduk dalam diam. Pria yang dikenal sebagai raja bisnis, dingin, kejam, dan berkuasa. Ia tak perlu meninggikan suara untuk menebar ancaman; cukup dengan satu lirikan dan satu senyum tipisnya — senyum maut, begitu orang-orang menyebutnya — seseorang biasanya menghilang tanpa jejak.Dan kini, alasan kembalinya ke Andara bukan urusan bisnis.Melainkan Nadira Seraphine — adiknya, satu-satunya keluarga yang tersisa.Sudah beberapa hari Hansen tak mendapat kabar darinya. Telepon ta

  • Dikhianati Suami Payah, Dicintai Pria Berkuasa   Dosa Pertama Andreas

    Mentari pagi menyelinap malu-malu di antara celah tirai, menari lembut di wajah Alina yang masih terlelap di sisi Andreas. Cahaya hangat itu seolah bersekongkol dengan waktu untuk menyingkap rahasia yang tersimpan di balik wajah damai sang perempuan. Dalam keheningan kamar, hanya napas lembut Alina yang terdengar — dan di balik ketenangan itu, badai berputar di benak Andreas.Kenangan malam pertemuan pertama mereka menyeruak lagi, bagai film tua yang tak kunjung berhenti diputar dalam pikirannya.Andreas masih ingat betul malam itu — malam di kota Andara, kota yang tak pernah benar-benar tidur. Malam yang berawal dari urusan bisnis yang melelahkan, namun berakhir dengan sesuatu yang jauh lebih mengguncang.Di tengah riuhnya musik, gelak tawa, dan kilau lampu neon yang menari di dinding bar mewah itu, Andreas duduk sendiri. Sosoknya mencolok — jas hitam, tatapan tajam, aura yang membuat orang lain memilih memberi jarak. Ia tampak seperti seorang raja di ten

  • Dikhianati Suami Payah, Dicintai Pria Berkuasa   Dalam Pelukan Andreas

    "Kamu gila? Aku sama sekali nggak nyentuh Nana. Yang nabrak dia bukan aku!” Maudy menjerit, suaranya penuh ledakan kemarahan yang dibuat-buat. Matanya menatap tajam ke arah Dikta, mencari celah untuk manipulasi berikutnya.Dikta sudah kehilangan akal. Ia melompat, meraih kerah Maudy seperti orang yang hanya punya satu jalan keluar: menuntut pertanggungjawaban. “Tapi kamu bersamaku! Kamu juga harus tanggung jawab. Kalau Hansen bunuh aku, kamu juga harus mati!” Napasnya terengah, nada suaranya penuh kepanikan yang membuatnya terdengar hampir konyol.Maudy tertawa, nada datar dan dingin. “Kalau kamu mati, ya mati aja. Jangan ajak-ajak aku.” Kata-kata itu seperti pisau halus—mencari titik lemah dan menelannya dengan pura-pura acuh.Mendengar itu, Dikta meledak. Tangannya mencengkeram leher Maudy sampai wanita itu meraung kesakitan. Maudy meronta, kedua tangannya memegang lengan Dikta, matanya menatap panik namun tetap mencari kata-kata yang bisa membalikkan suasana. “Lepas! Lepas, Dikta—s

  • Dikhianati Suami Payah, Dicintai Pria Berkuasa   Alina Vaughn

    Alina Vaughan.Ya, mulai detik ini, nama itu yang akan disandang oleh Agnetha Seraphine.Tidak ada lagi luka, tidak ada lagi tangis. Yang tersisa hanyalah kebahagiaan, kemewahan, dan kehidupan baru sebagai Nyonya Vaughan.Itulah janji Andreas—pria dingin berwibawa yang kini berdiri di sisinya dengan tatapan lembut yang tak bisa dijelaskan oleh logika.Alina menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti kebingungan.“Kamu... suamiku?” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.Andreas mengangguk perlahan.Wajahnya tetap tenang, namun di balik sorot matanya tersimpan badai yang tak bisa ditebak.“Aku... aku nggak ingat apa pun,” ucap Alina lirih, menunduk, seolah takut pada kenyataan yang tak bisa dipegang.Andreas menarik napas panjang, lalu berkata pelan, “Maafkan aku... karena telah lalai menjagamu. Karena kelalaianku, kamu harus mengalami kondisi seperti ini. Tapi percayalah, masa lalu itu tak seindah masa depan yang akan kita jalani bersama.”Alina menatapnya lama. Jema

  • Dikhianati Suami Payah, Dicintai Pria Berkuasa   Pencarian yang Didorong Ketakutan

    Mentari siang membakar kulit, tapi Dikta tak merasakannya. Ia berlari menyusuri jalanan sepi itu, kembali ke tempat di mana hidupnya berubah menjadi neraka. Lokasi kecelakaan itu kini tampak seperti altar pengorbanan, mengingatkannya akan hukuman yang menantinya. "Sial! Sial!" umpat Dikta, suaranya penuh amarah dan ketakutan. Ia menyusuri setiap jengkal tanah, matanya liar mencari Nana, bukan karena peduli, tapi karena nyawanya sendiri yang terancam. Ia menghampiri setiap orang yang lewat, wajahnya memelas dan penuh kepanikan. "Hei, kau! Apa kau melihat seorang wanita muda lewat sini? Tubuhnya mungil, rambutnya panjang cokelat, matanya cokelat, kulitnya putih..." Dikta membentak seorang ibu yang sedang menggendong anaknya, tidak peduli dengan tatapan terkejut ibu itu. Ibu itu menggelengkan kepala dengan ketakutan. "Tidak, Tuan. Saya tidak melihat siapa-siapa." Dikta beralih ke seorang bapak yang sedang berjalan santai, menarik kerah bajunya dengan kasar. "Kau! Jawab yang benar! A

  • Dikhianati Suami Payah, Dicintai Pria Berkuasa   Pertarungan Melawan Waktu

    Di dalam ruang operasi yang serba putih dan dingin, Dokter Bram dan tim medisnya bekerja dengan cekatan dan penuh konsentrasi. Lampu operasi yang terang benderang menyoroti tubuh Nana yang terbaring lemah di atas meja operasi.Dokter Bram mengenakan masker dan sarung tangan steril, tatapannya fokus pada monitor yang menampilkan detak jantung dan tekanan darah Nana. Ia memeriksa kembali peralatan medis dan memastikan semuanya siap digunakan."Tekanan darah menurun, Dokter," ujar seorang perawat dengan nada khawatir."Siapkan epinefrin," perintah Dokter Bram dengan nada tenang, namun tegas.Seorang perawat segera menyuntikkan epinefrin ke dalam infus Nana. Detak jantung Nana mulai stabil, namun kondisinya masih sangat kritis."Kita harus bertindak cepat. Waktu kita tidak banyak," ujar Dokter Bram dengan nada mendesak.Ia mengambil pisau bedah dan mulai membuat sayatan di perut Nana dengan hati-hati. Asistennya membantu membuka lebar luka sayatan, memperlihatkan rahim Nana yang membengka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status