LOGINSuara mesin monitor berdentang cepat di ruang ICU memecah kesunyian yang mencekam. Lampu-lampu putih menyala terang, menyorot tubuh Nana yang terbaring pucat di atas ranjang. Selang oksigen menutupi hidungnya, dada halusnya naik turun lemah, nyaris tak berdaya.
Di layar monitor, garis-garis hijau yang menandakan denyut jantung mulai melambat. Beberapa perawat saling berpandangan, raut mereka berubah panik. “Denyut jantung menurun, Dok!” seru salah satu perawat, suaranya nyaris bergetar. “Tekanan darahnya drop lagi!” Dokter jaga yang memimpin segera maju, menatap layar dengan cepat. “Ambil defibrillator! Cepat!” suaranya tegas, namun ada nada tegang yang sulit disembunyikan. Perawat lain berlari membawa alat itu. Suara detak mesin terus berdengung, semakin lama semakin lemah. “Siapkan kejutan pertama—200 joule!” perintah dokter. “Siap, Dok!” Satu... dua... Tubuh Nana tersentak hebat saat arus listrik mengalir melalui tubuhnya. Suara mesin berbunyi panjang — “tiiiiiiiiiiittttt…” — seolah menandai waktu yang berhenti. “Masih flatline! Tidak ada respons!” teriak perawat panik. Dokter menggertakkan rahang. “Tingkatkan ke 300! Sekarang!” Kejutan kedua diberikan. Tubuh Nana kembali melenting di bawah tekanan arus listrik. Seketika ruangan itu hanya diisi dengan detik-detik yang seakan tak bergerak. Lalu—beep… beep… beep… Garis di monitor mulai bergerak lagi. Lambat, tapi pasti. Denyut jantung kembali muncul. “Denyut jantung kembali, Dok!” seru perawat dengan mata berbinar. “Tekanan darah naik perlahan!” Dokter mengangguk cepat. “Oksigen tambahan, tingkatkan 5 liter per menit! Pantau terus saturasinya!” Para perawat bergerak sigap, mengganti selang, menyesuaikan alat. Perlahan, warna pucat di wajah Nana mulai kembali, meski samar. Nafasnya mulai lebih teratur, namun matanya tetap terpejam rapat—sunyi, seolah masih berjuang di antara hidup dan mati. “Stabilkan kondisinya. Jangan lengah sedikit pun,” ujar dokter dengan nada tegas tapi lebih tenang. Ia menatap wajah Nana sejenak—lemah, namun kuat dalam diamnya. “Kalau bertahan malam ini, peluangnya untuk sadar akan jauh lebih besar.” Perawat hanya mengangguk, menatap tubuh muda yang terbujur itu dengan iba. Di luar ruangan, Hansen berdiri di balik kaca, wajahnya tegang, matanya memerah. Ia melihat monitor yang kini kembali berdetak dan berbisik lirih, suaranya serak karena terlalu banyak menahan tangis. “Bertahanlah, Nana… Kakak masih butuh kamu.” Sementara di sisi lain rumah sakit, Maudy berdiri diam di koridor gelap, mendengarkan laporan dari perawat lewat sambungan telepon kecil. Senyum licik muncul di sudut bibirnya. “Masih hidup rupanya… Tapi tak lama lagi, Kak Nana. Aku akan pastikan kau nggak pernah buka mata lagi.” Sementara suasana ruang kerja Andreas Leonard Alvaro terasa dingin dan menekan. Dominasi warna hitam dan abu-abu, kaca besar yang menampakkan langit kota, serta aroma kopi pahit yang baru diseduh—semuanya mencerminkan sosok pemiliknya: tegas, rapi, dan tak memberi ruang untuk kesalahan. Dirga berdiri di depan meja kerja itu, gelisah, sambil menyodorkan tablet. “Bos… gue udah coba semua cara. Tapi sumpah, rekaman CCTV-nya kayak dihapus sama hantu. Nggak ada jejak, nggak ada bayangan. Nihil total,” ujarnya dengan nada setengah canggung. Andreas mengangkat wajahnya perlahan, menatap tajam. Ia meraih tablet itu dengan gerakan cepat, matanya menyipit saat melihat layar yang hanya menampilkan noise hitam. “Jadi kamu mau bilang hacker sekelas mu kalah sama ‘hantu’, Dir?” suaranya rendah tapi tajam, seperti bilah pisau yang digoreskan di permukaan kaca. Dirga tersenyum kaku, mencoba bertahan di bawah tatapan maut itu. “Ya… hantu satu ini bukan kaleng-kaleng, Bos. Kayak ninja, ngilang tanpa jejak. Beneran, ini bukan kerjaan amatir.” Andreas menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit hitamnya, menyilangkan tangan di dada. “Ninja, huh? Kalau gitu kau apa? Naruto yang gagal ujian akademi?” sindirnya datar, tapi cukup untuk membuat Dirga menelan ludah. “Waduh, tega amat. Gue tuh udah lembur dua malam, ngoprek sistem kayak orang kesurupan,” keluh Dirga sambil nyengir, berusaha mencairkan suasana. “Tapi, sumpah, ini hacker-nya bukan main. Kelas berat. Bahkan log file server lo aja bersih kayak baru diinstal.” Tatapan Andreas kembali tajam. “Berarti ada orang yang cukup pintar buat main di wilayah ku, begitu?,” ucapnya perlahan. Nada suaranya mengandung ancaman dingin yang tak butuh penegasan. Dirga mengangkat tangan sedikit, tanda menyerah. “Ya, dan kayaknya si pintar itu nggak main-main. Lo yakin mau terus nyari? Bisa-bisa malah kita yang dikejar balik.” Andreas berdiri, tubuh tegapnya memantulkan bayangan di kaca besar di belakangnya. “Nggak ada kata ‘nyerah’ dalam kamus aku, Dir. Aku pengen tahu siapa perempuan itu. Siapa pun dia—dan seberapa hebat dia bersembunyi—aku akan temukan.” Dirga mengangguk pelan. Kali ini, tanpa canda. “Baik, Bos. Tapi kalau nanti dunia maya mulai kebakar gara-gara lo, jangan salahin gue, ya.” Andreas hanya meliriknya sekilas, senyum tipis—dingin dan berbahaya—terbentuk di sudut bibirnya. “Biar aja kebakar,” katanya pelan. “Aku cuma mau tahu siapa wanita yang berani menantang Andreas Leonard Alvaro.” Dirga masih berdiri di seberang meja, memutar tablet di tangannya, ragu membuka mulut. “Bos…” ucapnya pelan, menimbang kata, “emangnya malam itu terjadi apa, sih?” Tatapan Andreas terangkat dari berkas di tangannya—dingin dan menusuk. “Banyak tanya,” ujarnya datar, “kerjakan saja tugasmu, Dir.” Dirga mengangkat kedua tangannya, setengah bercanda. “Tenang, Bos, gue cuma nanya doang. Tapi…,” ia mencondongkan badan sedikit, menurunkan suaranya, “lo beneran tidur sama cewek itu?” Andreas terdiam sejenak. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit hitam, menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Dirga…” suaranya pelan tapi tajam, “…kau ini memang nggak tahu kapan harus diam.” Dirga menggaruk belakang kepalanya, menahan tawa yang hampir lolos. “Ya ampun, gue cuma pengin tahu aja. Soalnya dari tadi lo heboh banget nyari dia. Biasanya juga lo nggak peduli sama wanita. Mungkin aja dia cuma... cewek bar yang udah biasa main gituan. Nggak usah ambil pusing, Bos.” Andreas menatapnya tajam. Pandangan matanya cukup untuk membuat siapa pun kehilangan nyali. “Aku berharap seperti itu,” ujarnya dingin. “Tapi kenyataannya... aku yang pertama.” Suasana mendadak sunyi. Jam di dinding berdetak pelan, seolah menegaskan kalimat itu. Andreas menunduk sedikit, seolah pikirannya melayang kembali ke malam itu. Ia bisa mengingat dengan jelas—aroma parfum lembut, helaan napas gugup, dan tatapan mata gadis yang tak berani menatap langsung. Setelah gadis itu pergi, Andreas sempat menyibak selimut putih dan memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai. Saat matanya menatap seprai ranjang, noda merah samar terlihat di sana. Bukti nyata bahwa malam itu adalah pertama kalinya gadis itu menyerahkan dirinya—padanya. Dirga menelan ludah pelan, wajahnya berubah serius. Ia tidak bodoh; tahu kapan bercanda dan kapan harus diam. Tapi tetap saja, sisi jenakanya tak sepenuhnya hilang. “Ya ampun, Bos…” ujarnya akhirnya, pelan tapi masih dengan nada khasnya. “Lo sadar nggak, kalimat barusan tuh bisa bikin satu kantor pingsan kalau kedengeran?” Andreas menatapnya tanpa ekspresi. “Kalau ada yang dengar, suruh mereka siap-siap kuburan.” Dirga langsung tegap, tangannya terangkat memberi hormat. “Siap, Jenderal. Mulai hari ini, topik malam berdarah itu resmi dikubur bersama rahasia negara.” Andreas hanya menatapnya datar, lalu berbalik menghadap jendela besar di belakangnya. “Cari dia, Dir. Aku ingin tahu siapa dia… dan kenapa aku merasa kehilangan sesuatu yang bahkan belum aku miliki.” Dirga mengangguk pelan, kali ini tanpa gurauan. “Baik, Bos.” Ia tahu betul, jika Andreas sudah bicara dengan nada seperti itu, maka yang mereka hadapi bukan sekadar wanita misterius—melainkan badai yang sebentar lagi datang.Langit sore kota Andara diselimuti awan kelabu ketika mobil hitam berpelat luar negeri berhenti perlahan di depan rumah mewah milik keluarga Dikta. Dari dalam mobil itu, keluar sosok pria tinggi dengan jas abu gelap dan tatapan setajam belati. Wajahnya tampan, tetapi tanpa sedikit pun emosi — kaku, dingin, mematikan. Sepasang mata kelam itu menyapu halaman rumah seperti menilai medan perang sebelum eksekusi.Hansen Alphine.Nama yang membuat para pebisnis di Andara dan Kyar menunduk dalam diam. Pria yang dikenal sebagai raja bisnis, dingin, kejam, dan berkuasa. Ia tak perlu meninggikan suara untuk menebar ancaman; cukup dengan satu lirikan dan satu senyum tipisnya — senyum maut, begitu orang-orang menyebutnya — seseorang biasanya menghilang tanpa jejak.Dan kini, alasan kembalinya ke Andara bukan urusan bisnis.Melainkan Nadira Seraphine — adiknya, satu-satunya keluarga yang tersisa.Sudah beberapa hari Hansen tak mendapat kabar darinya. Telepon ta
Mentari pagi menyelinap malu-malu di antara celah tirai, menari lembut di wajah Alina yang masih terlelap di sisi Andreas. Cahaya hangat itu seolah bersekongkol dengan waktu untuk menyingkap rahasia yang tersimpan di balik wajah damai sang perempuan. Dalam keheningan kamar, hanya napas lembut Alina yang terdengar — dan di balik ketenangan itu, badai berputar di benak Andreas.Kenangan malam pertemuan pertama mereka menyeruak lagi, bagai film tua yang tak kunjung berhenti diputar dalam pikirannya.Andreas masih ingat betul malam itu — malam di kota Andara, kota yang tak pernah benar-benar tidur. Malam yang berawal dari urusan bisnis yang melelahkan, namun berakhir dengan sesuatu yang jauh lebih mengguncang.Di tengah riuhnya musik, gelak tawa, dan kilau lampu neon yang menari di dinding bar mewah itu, Andreas duduk sendiri. Sosoknya mencolok — jas hitam, tatapan tajam, aura yang membuat orang lain memilih memberi jarak. Ia tampak seperti seorang raja di ten
"Kamu gila? Aku sama sekali nggak nyentuh Nana. Yang nabrak dia bukan aku!” Maudy menjerit, suaranya penuh ledakan kemarahan yang dibuat-buat. Matanya menatap tajam ke arah Dikta, mencari celah untuk manipulasi berikutnya.Dikta sudah kehilangan akal. Ia melompat, meraih kerah Maudy seperti orang yang hanya punya satu jalan keluar: menuntut pertanggungjawaban. “Tapi kamu bersamaku! Kamu juga harus tanggung jawab. Kalau Hansen bunuh aku, kamu juga harus mati!” Napasnya terengah, nada suaranya penuh kepanikan yang membuatnya terdengar hampir konyol.Maudy tertawa, nada datar dan dingin. “Kalau kamu mati, ya mati aja. Jangan ajak-ajak aku.” Kata-kata itu seperti pisau halus—mencari titik lemah dan menelannya dengan pura-pura acuh.Mendengar itu, Dikta meledak. Tangannya mencengkeram leher Maudy sampai wanita itu meraung kesakitan. Maudy meronta, kedua tangannya memegang lengan Dikta, matanya menatap panik namun tetap mencari kata-kata yang bisa membalikkan suasana. “Lepas! Lepas, Dikta—s
Alina Vaughan.Ya, mulai detik ini, nama itu yang akan disandang oleh Agnetha Seraphine.Tidak ada lagi luka, tidak ada lagi tangis. Yang tersisa hanyalah kebahagiaan, kemewahan, dan kehidupan baru sebagai Nyonya Vaughan.Itulah janji Andreas—pria dingin berwibawa yang kini berdiri di sisinya dengan tatapan lembut yang tak bisa dijelaskan oleh logika.Alina menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti kebingungan.“Kamu... suamiku?” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.Andreas mengangguk perlahan.Wajahnya tetap tenang, namun di balik sorot matanya tersimpan badai yang tak bisa ditebak.“Aku... aku nggak ingat apa pun,” ucap Alina lirih, menunduk, seolah takut pada kenyataan yang tak bisa dipegang.Andreas menarik napas panjang, lalu berkata pelan, “Maafkan aku... karena telah lalai menjagamu. Karena kelalaianku, kamu harus mengalami kondisi seperti ini. Tapi percayalah, masa lalu itu tak seindah masa depan yang akan kita jalani bersama.”Alina menatapnya lama. Jema
Mentari siang membakar kulit, tapi Dikta tak merasakannya. Ia berlari menyusuri jalanan sepi itu, kembali ke tempat di mana hidupnya berubah menjadi neraka. Lokasi kecelakaan itu kini tampak seperti altar pengorbanan, mengingatkannya akan hukuman yang menantinya. "Sial! Sial!" umpat Dikta, suaranya penuh amarah dan ketakutan. Ia menyusuri setiap jengkal tanah, matanya liar mencari Nana, bukan karena peduli, tapi karena nyawanya sendiri yang terancam. Ia menghampiri setiap orang yang lewat, wajahnya memelas dan penuh kepanikan. "Hei, kau! Apa kau melihat seorang wanita muda lewat sini? Tubuhnya mungil, rambutnya panjang cokelat, matanya cokelat, kulitnya putih..." Dikta membentak seorang ibu yang sedang menggendong anaknya, tidak peduli dengan tatapan terkejut ibu itu. Ibu itu menggelengkan kepala dengan ketakutan. "Tidak, Tuan. Saya tidak melihat siapa-siapa." Dikta beralih ke seorang bapak yang sedang berjalan santai, menarik kerah bajunya dengan kasar. "Kau! Jawab yang benar! A
Di dalam ruang operasi yang serba putih dan dingin, Dokter Bram dan tim medisnya bekerja dengan cekatan dan penuh konsentrasi. Lampu operasi yang terang benderang menyoroti tubuh Nana yang terbaring lemah di atas meja operasi.Dokter Bram mengenakan masker dan sarung tangan steril, tatapannya fokus pada monitor yang menampilkan detak jantung dan tekanan darah Nana. Ia memeriksa kembali peralatan medis dan memastikan semuanya siap digunakan."Tekanan darah menurun, Dokter," ujar seorang perawat dengan nada khawatir."Siapkan epinefrin," perintah Dokter Bram dengan nada tenang, namun tegas.Seorang perawat segera menyuntikkan epinefrin ke dalam infus Nana. Detak jantung Nana mulai stabil, namun kondisinya masih sangat kritis."Kita harus bertindak cepat. Waktu kita tidak banyak," ujar Dokter Bram dengan nada mendesak.Ia mengambil pisau bedah dan mulai membuat sayatan di perut Nana dengan hati-hati. Asistennya membantu membuka lebar luka sayatan, memperlihatkan rahim Nana yang membengka







