แชร์

Saat Dia Mulai Terbangun

ผู้เขียน: Senjaaaaa
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-06 19:47:18

Suara mesin monitor terdengar lembut di ruang ICU—bip... bip... bip—ritme yang selama tiga bulan menjadi satu-satunya tanda bahwa Nadira Seraphine masih bertahan di dunia. Aroma antiseptik menyelimuti udara, dingin dan steril.

Hansen duduk di kursi di sisi ranjang, kedua matanya menatap wajah adiknya yang pucat. Di balik tatapan dinginnya, ada lelah dan luka yang tak ia tunjukkan pada siapa pun. Setiap hari, tanpa absen, ia datang ke sini. Duduk diam, berbicara pelan meski Nana tak pernah menjawab.

Hari itu, seperti biasa, Hansen menggenggam tangan adiknya. “Nana…,” suaranya rendah. “Kalau kamu dengar, cepat bangun. Aku capek ngomong sendiri.”

Ia tersenyum tipis, mencoba bersikap tegar. Tapi tiba-tiba—sesuatu membuatnya membeku.

Sebuah gerakan kecil.

Halus. Pelan. Tapi nyata.

Jari Nana—bergerak.

Hansen menatap tangan itu tak percaya. “Nana?” bisiknya nyaris tak terdengar. Ia menggenggam tangan itu lebih erat. “Kamu denger aku? Hei… Nadira?”

Gerakan itu muncul lagi, kali ini lebih jelas. Jari telunjuk Nana menekan pelan jemari Hansen, seperti memberi isyarat. Mata Hansen melebar. Ia langsung berdiri, tubuhnya menegang antara cemas dan harap.

“Dokter! Suster!” serunya keras, suaranya parau. “Cepat ke sini! Dia—dia bergerak!”

Beberapa detik kemudian, dua perawat dan seorang dokter bergegas masuk. Hansen mundur sedikit, memberi ruang. Dokter muda dengan jas putih langsung menatap monitor, lalu beralih ke tubuh Nana.

“Tekanan darah meningkat sedikit. Refleks motorik mulai aktif,” gumam dokter itu sambil memeriksa mata Nana dengan senter kecil. “Respon pupil positif.”

“Dok… dia sadar?” tanya Hansen cepat, suaranya berat menahan emosi.

Dokter menoleh, tersenyum tipis. “Belum sepenuhnya, Pak Hansen. Tapi ini kemajuan besar. Kesadaran bawah sadarnya mulai merespons. Biasanya, kalau kondisinya terus stabil, pasien bisa sadar penuh dalam waktu dekat.”

Hansen menarik napas panjang, seolah baru bisa bernapas setelah tiga bulan menahan semuanya. Ia menatap wajah adiknya lama-lama—wajah yang sama, tapi tampak lebih tenang hari ini.

“Berarti… dia akan bangun?” suaranya lirih, hampir seperti doa.

Dokter mengangguk pelan. “Ya. Tapi prosesnya bertahap. Tubuhnya lemah, dan mungkin nanti kesadarannya masih kabur. Kita harus pantau terus tanda-tandanya. Jangan hentikan rangsangan suara dan sentuhan, itu membantu otaknya mengenali lingkungan.”

Hansen menunduk sedikit, lalu berucap dengan nada tenang, “Terima kasih, Dok.”

Setelah dokter dan perawat keluar, Hansen kembali duduk di sisi ranjang. Ia menatap tangan Nana yang masih dalam genggamannya.

“Lihat, Nana…” katanya pelan, suaranya menggetar untuk pertama kalinya. “Tiga bulan kamu tidur, dan dunia nggak berubah banyak. Tapi aku nunggu… tiap hari.”

Ia tersenyum samar, matanya sedikit berkaca. “Kalau kamu bisa dengar, cepat bangun. Masih banyak hal yang harus kamu marahin ke aku.”

Udara di ruangan itu terasa berbeda.

Lebih hangat. Lebih hidup.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama—ada harapan.

***

Suara langkah sepatu terdengar menggema di koridor rumah sakit yang sepi. Jam dinding menunjukkan hampir pukul sembilan malam ketika Dikta muncul, membawa setangkai mawar merah di tangannya—wangi, tapi dingin, seperti niatnya.

Ia berhenti di depan ruang ICU, menarik napas seolah menyiapkan wajah terbaiknya. Setelah menata ekspresi sedih di wajah, ia masuk perlahan.

Hansen duduk di kursi seperti biasa, pandangannya tak lepas dari adiknya yang masih terbaring lemah. Suara monitor jantung menjadi satu-satunya yang memecah keheningan. Ketika pintu terbuka, Hansen menoleh sekilas.

Begitu melihat siapa yang datang, ekspresinya langsung mengeras.

“Tumben,” ucap Hansen datar, suaranya dingin tanpa intonasi emosi.

Dikta tersenyum tipis, mencoba terdengar tulus. “Aku baru selesai rapat, langsung ke sini. Aku nggak tenang kalau belum lihat Nana.” Ia meletakkan bunga itu di meja kecil di samping ranjang. “Aku cuma ingin pastikan dia baik-baik saja.”

Hansen tertawa kecil—dingin, sarkastik. “Baik-baik saja? Kau sadar nggak, dia masih koma, Dikta.”

Dikta menghela napas berat, menunduk dengan ekspresi pura-pura bersalah. “Aku tahu, Han… tapi aku nggak pernah berhenti berdoa buat dia—”

“Sudahlah,” potong Hansen cepat, nada suaranya tegas. “Kau nggak perlu bersandiwara di depan aku. Aku udah cukup kenyang lihat orang munafik.”

Dikta menatap Hansen, matanya sedikit membulat tapi cepat mengembalikan ekspresi sedihnya. “Aku nggak pura-pura, Han. Aku dan Nana saling mencintai. Apa salah kalau aku peduli sama dia?”

Hansen menyipitkan mata. Tatapannya tajam, menembus seperti pisau dingin. “Peduli?” Ia mendengus pelan. “Lucu. Kalau benar peduli, dia nggak akan hancur seperti ini. Kau datang tiap malam, bawa bunga, duduk lima belas menit, lalu pergi lagi seolah itu cukup.”

Dikta terdiam. Ia mencoba tersenyum, tapi goyah. “Aku cuma... nggak tahu harus gimana lagi. Aku juga hancur ngelihat dia begini.”

Hansen berdiri, langkahnya tenang namun penuh wibawa. “Jangan berpura-pura di depan aku, Dikta. Aku tahu bedanya orang yang benar-benar menyesal dan orang yang cuma takut kelihatan jahat.”

Suara Hansen menurun, tapi nada dinginnya justru lebih menusuk. “Kau datang bukan karena hati. Kau datang karena citra. Karena kau ingin orang-orang lihat kau masih pria baik, tunangan setia yang selalu ada.”

Dikta terdiam lama. Ia tidak berani menatap Hansen. Tatapannya malah jatuh pada tubuh Nana yang masih diam di balik tabung oksigen.

“Aku sayang dia, Hansen. Dari dulu sampai sekarang.”

Hansen mendengus kecil, lalu menatap adiknya yang tak bergerak. Dalam hati ia bergumam—

Ya, aku tahu. Sayangnya… hanya Nana yang benar-benar mencintaimu, bodoh.

Hansen berbalik, menatap Dikta datar. “Kau boleh terus datang kalau mau. Tapi jangan harap aku percaya dengan semua omong kosongmu.”

Tanpa menunggu balasan, Hansen kembali duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Nana pelan. “Pergilah. Dia butuh ketenangan, bukan kebohonganmu.”

Dikta hanya terdiam. Tatapan matanya seolah lembut, tapi di baliknya ada rasa tidak nyaman—bukan karena bersalah, melainkan karena merasa dikalahkan.

Ia menunduk sedikit, lalu berbalik meninggalkan ruangan, langkahnya bergaung panjang di koridor.

Begitu pintu menutup, Hansen menarik napas panjang. “Orang sepertimu, Dikta… cepat atau lambat akan menampakkan warna aslimu,” gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam di antara bunyi bip... bip... yang terus berdetak setia di samping adiknya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Dikhianati Suami Payah, Dicintai Pria Berkuasa   Amarah dari Negeri Kyar

    Langit sore kota Andara diselimuti awan kelabu ketika mobil hitam berpelat luar negeri berhenti perlahan di depan rumah mewah milik keluarga Dikta. Dari dalam mobil itu, keluar sosok pria tinggi dengan jas abu gelap dan tatapan setajam belati. Wajahnya tampan, tetapi tanpa sedikit pun emosi — kaku, dingin, mematikan. Sepasang mata kelam itu menyapu halaman rumah seperti menilai medan perang sebelum eksekusi.Hansen Alphine.Nama yang membuat para pebisnis di Andara dan Kyar menunduk dalam diam. Pria yang dikenal sebagai raja bisnis, dingin, kejam, dan berkuasa. Ia tak perlu meninggikan suara untuk menebar ancaman; cukup dengan satu lirikan dan satu senyum tipisnya — senyum maut, begitu orang-orang menyebutnya — seseorang biasanya menghilang tanpa jejak.Dan kini, alasan kembalinya ke Andara bukan urusan bisnis.Melainkan Nadira Seraphine — adiknya, satu-satunya keluarga yang tersisa.Sudah beberapa hari Hansen tak mendapat kabar darinya. Telepon ta

  • Dikhianati Suami Payah, Dicintai Pria Berkuasa   Dosa Pertama Andreas

    Mentari pagi menyelinap malu-malu di antara celah tirai, menari lembut di wajah Alina yang masih terlelap di sisi Andreas. Cahaya hangat itu seolah bersekongkol dengan waktu untuk menyingkap rahasia yang tersimpan di balik wajah damai sang perempuan. Dalam keheningan kamar, hanya napas lembut Alina yang terdengar — dan di balik ketenangan itu, badai berputar di benak Andreas.Kenangan malam pertemuan pertama mereka menyeruak lagi, bagai film tua yang tak kunjung berhenti diputar dalam pikirannya.Andreas masih ingat betul malam itu — malam di kota Andara, kota yang tak pernah benar-benar tidur. Malam yang berawal dari urusan bisnis yang melelahkan, namun berakhir dengan sesuatu yang jauh lebih mengguncang.Di tengah riuhnya musik, gelak tawa, dan kilau lampu neon yang menari di dinding bar mewah itu, Andreas duduk sendiri. Sosoknya mencolok — jas hitam, tatapan tajam, aura yang membuat orang lain memilih memberi jarak. Ia tampak seperti seorang raja di ten

  • Dikhianati Suami Payah, Dicintai Pria Berkuasa   Dalam Pelukan Andreas

    "Kamu gila? Aku sama sekali nggak nyentuh Nana. Yang nabrak dia bukan aku!” Maudy menjerit, suaranya penuh ledakan kemarahan yang dibuat-buat. Matanya menatap tajam ke arah Dikta, mencari celah untuk manipulasi berikutnya.Dikta sudah kehilangan akal. Ia melompat, meraih kerah Maudy seperti orang yang hanya punya satu jalan keluar: menuntut pertanggungjawaban. “Tapi kamu bersamaku! Kamu juga harus tanggung jawab. Kalau Hansen bunuh aku, kamu juga harus mati!” Napasnya terengah, nada suaranya penuh kepanikan yang membuatnya terdengar hampir konyol.Maudy tertawa, nada datar dan dingin. “Kalau kamu mati, ya mati aja. Jangan ajak-ajak aku.” Kata-kata itu seperti pisau halus—mencari titik lemah dan menelannya dengan pura-pura acuh.Mendengar itu, Dikta meledak. Tangannya mencengkeram leher Maudy sampai wanita itu meraung kesakitan. Maudy meronta, kedua tangannya memegang lengan Dikta, matanya menatap panik namun tetap mencari kata-kata yang bisa membalikkan suasana. “Lepas! Lepas, Dikta—s

  • Dikhianati Suami Payah, Dicintai Pria Berkuasa   Alina Vaughn

    Alina Vaughan.Ya, mulai detik ini, nama itu yang akan disandang oleh Agnetha Seraphine.Tidak ada lagi luka, tidak ada lagi tangis. Yang tersisa hanyalah kebahagiaan, kemewahan, dan kehidupan baru sebagai Nyonya Vaughan.Itulah janji Andreas—pria dingin berwibawa yang kini berdiri di sisinya dengan tatapan lembut yang tak bisa dijelaskan oleh logika.Alina menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti kebingungan.“Kamu... suamiku?” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.Andreas mengangguk perlahan.Wajahnya tetap tenang, namun di balik sorot matanya tersimpan badai yang tak bisa ditebak.“Aku... aku nggak ingat apa pun,” ucap Alina lirih, menunduk, seolah takut pada kenyataan yang tak bisa dipegang.Andreas menarik napas panjang, lalu berkata pelan, “Maafkan aku... karena telah lalai menjagamu. Karena kelalaianku, kamu harus mengalami kondisi seperti ini. Tapi percayalah, masa lalu itu tak seindah masa depan yang akan kita jalani bersama.”Alina menatapnya lama. Jema

  • Dikhianati Suami Payah, Dicintai Pria Berkuasa   Pencarian yang Didorong Ketakutan

    Mentari siang membakar kulit, tapi Dikta tak merasakannya. Ia berlari menyusuri jalanan sepi itu, kembali ke tempat di mana hidupnya berubah menjadi neraka. Lokasi kecelakaan itu kini tampak seperti altar pengorbanan, mengingatkannya akan hukuman yang menantinya. "Sial! Sial!" umpat Dikta, suaranya penuh amarah dan ketakutan. Ia menyusuri setiap jengkal tanah, matanya liar mencari Nana, bukan karena peduli, tapi karena nyawanya sendiri yang terancam. Ia menghampiri setiap orang yang lewat, wajahnya memelas dan penuh kepanikan. "Hei, kau! Apa kau melihat seorang wanita muda lewat sini? Tubuhnya mungil, rambutnya panjang cokelat, matanya cokelat, kulitnya putih..." Dikta membentak seorang ibu yang sedang menggendong anaknya, tidak peduli dengan tatapan terkejut ibu itu. Ibu itu menggelengkan kepala dengan ketakutan. "Tidak, Tuan. Saya tidak melihat siapa-siapa." Dikta beralih ke seorang bapak yang sedang berjalan santai, menarik kerah bajunya dengan kasar. "Kau! Jawab yang benar! A

  • Dikhianati Suami Payah, Dicintai Pria Berkuasa   Pertarungan Melawan Waktu

    Di dalam ruang operasi yang serba putih dan dingin, Dokter Bram dan tim medisnya bekerja dengan cekatan dan penuh konsentrasi. Lampu operasi yang terang benderang menyoroti tubuh Nana yang terbaring lemah di atas meja operasi.Dokter Bram mengenakan masker dan sarung tangan steril, tatapannya fokus pada monitor yang menampilkan detak jantung dan tekanan darah Nana. Ia memeriksa kembali peralatan medis dan memastikan semuanya siap digunakan."Tekanan darah menurun, Dokter," ujar seorang perawat dengan nada khawatir."Siapkan epinefrin," perintah Dokter Bram dengan nada tenang, namun tegas.Seorang perawat segera menyuntikkan epinefrin ke dalam infus Nana. Detak jantung Nana mulai stabil, namun kondisinya masih sangat kritis."Kita harus bertindak cepat. Waktu kita tidak banyak," ujar Dokter Bram dengan nada mendesak.Ia mengambil pisau bedah dan mulai membuat sayatan di perut Nana dengan hati-hati. Asistennya membantu membuka lebar luka sayatan, memperlihatkan rahim Nana yang membengka

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status