LOGINDi lantai atas gedung pencakar langit Alvaro Corporation, suasana kontras.
Ruang kerja itu luas dan dingin—dinding kaca tinggi, interior serba hitam abu, dan aroma kopi pahit yang mulai mendingin di atas meja kerja. Andreas Leonard Alvaro duduk di balik meja besar dari marmer hitam, wajahnya tanpa ekspresi. Kemeja putihnya terlipat rapi, dasinya longgar, namun aura wibawanya terlalu kuat untuk diabaikan. Tangannya mengetuk meja berulang, iramanya pelan tapi tajam—tanda ia sedang menahan amarah. “Sudah tiga bulan,” ucap Andreas datar, tanpa menatap siapa pun. “Dan kau masih belum bisa menemukan satu gadis?” Dirga yang berdiri di depan meja hanya bisa nyengir kaku. “Eh, jadi gini, Bos—eh maksud gue, Andre—gue udah cari ke mana-mana, bahkan CCTV bar di seluruh pusat kota gue sikat satu-satu. Tapi hasilnya… nihil.” Andreas mengangkat pandangan, tatapan matanya dingin seperti baja. “Nihil?” Dirga langsung menelan ludah. “Iya. Nihil banget.” “Luar biasa,” ujar Andreas sarkastis sambil bersandar ke kursi, menatap Dirga seolah melihat kesalahan hidupnya sendiri. “Aku menggajimu lebih mahal dari direktur marketing, tapi yang kau bawa hanya laporan kosong?” “Kalau begitu, mungkin saya harus minta naik gaji biar semangatnya dobel, Bos,” seloroh Dirga, mencoba mencairkan suasana. Tatapan Andreas menusuknya. Dingin. Mematikan. Dirga langsung terbatuk, “Hehe… bercanda. Cuma bercanda, Bos.” Andreas berdiri perlahan. Suara sepatunya berat saat melangkah mendekati jendela besar. Ia menatap ke luar, menatap gedung-gedung tinggi yang berdiri seperti barisan prajurit tanpa jiwa. “Dia bukan sembarang gadis, Dirga,” ucapnya rendah, nyaris seperti gumaman, tapi penuh tekanan. “Dia… sesuatu yang berbeda.” Dirga menatap punggung sahabat sekaligus bosnya itu. Meski sudah lama mengenal Andreas, ia tahu, ada batas yang tak boleh dilewati ketika pria itu bicara seperti ini. “Lo yakin gadis itu nyata, Ndre?” tanya Dirga pelan, setengah bercanda. “Jangan-jangan cuma bayangan di antara mabuk lo malam itu?” Andreas berbalik dengan tatapan tajam. “Aku tidak pernah salah mengenali seseorang.” Senyum Dirga langsung lenyap. “Oke, oke. Gue percaya. Tapi kalau gadis itu sampai bisa bikin lo kehilangan fokus selama tiga bulan, berarti dia bukan gadis biasa.” Andreas kembali duduk, nada suaranya berat. “Cari dia, Dirga. Aku tak peduli berapa banyak uang yang kau bakar. Temukan dia.” Dirga menghela napas panjang. “Baik, Bos. Tapi kalau nanti ternyata dia udah nikah, gue nggak tanggung jawab kalau lo patah hati, ya?” Andreas melirik sekilas, bibirnya terangkat setipis silet. “Dirga…” “Iya?” “Kalau kau bicara lagi seperti itu, aku potong gajimu tiga bulan ke depan.” Dirga mengangkat tangan menyerah. “Baiklah, Bos. Mulai sekarang mode serius aktif.” Andreas hanya menatap kosong ke arah jendela lagi, pikirannya melayang ke wajah samar gadis yang terus menghantuinya malam demi malam. Dia tahu, gadis itu bukan sekadar kenangan mabuk. Dia adalah luka… dan obsesi. Dan Andreas Leonard Alvaro tidak pernah berhenti sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya. *** Hujan turun rintik-rintik, membasahi tanah merah di pemakaman keluarga Phine. Hansen berdiri di depan dua nisan yang berjejer rapi—milik ayah dan ibunya. Tangannya gemetar saat menyentuh batu nisan yang lembap. Udara dingin, tapi dada Hansen terasa jauh lebih dingin dari itu. Ia berjongkok perlahan, menatap nama kedua orangtuanya dengan mata sembab. Sudah lama ia tidak menangis, tapi hari ini tangisnya pecah tanpa bisa ditahan. “Ma ... Pa... kalau saja kalian masih di sini,” suaranya parau, hampir tak terdengar di antara rinai hujan. “Mungkin semua ini nggak akan terjadi. Nana nggak akan setengah mati berjuang di rumah sakit...” Air mata jatuh, bercampur dengan air hujan di pipinya. Tangannya mengepal di atas tanah basah itu. “Aku udah berusaha jadi kakak yang kuat, seperti yang Ayah mau. Tapi jujur, aku capek. Setiap hari lihat Nana terbaring tanpa sadar... rasanya aku juga ikut mati perlahan.” Hansen menarik napas panjang, menatap langit kelabu. “Tapi... ada harapan kecil, Ma... Pa... Jari Nana sempat bergerak kemarin. Dokter bilang itu tanda bagus. Aku yakin dia akan sadar.” Senyumnya samar, getir, tapi hangat. “Kalian dengar, kan? Adik kecil kita berjuang keras buat hidup.” Hening sejenak. Hanya suara hujan yang menjawab. Hansen berdiri perlahan, mengusap air mata dengan punggung tangannya. Saat ia hendak pergi, ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan baru masuk. Dari Andreas Leonard Alvaro. “Aku kembali ke Selvara. Kalau ada apa-apa, kamu tahu harus cari siapa.” Hansen menatap pesan itu lama, lalu tersenyum kecil. Andreas memang bukan tipe orang yang banyak bicara, tapi setiap kalimatnya punya makna dalam. Selama tiga bulan terakhir, pria itu sering datang ke rumah sakit, menemani Hansen melewati malam-malam panjang di bangku ruang tunggu. Diam, tapi kehadirannya selalu memberi tenang. Namun satu hal aneh—Andreas tak pernah benar-benar melihat wajah adiknya. Ia tahu nama “Nadira Seraphine,” tapi Hansen selalu memanggilnya Nana, dan Andreas tak pernah mengira gadis itu adalah gadis yang ia cari selama ini. Baginya, Nana adik Hansen adalah gadis lembut dan pemalu. Sementara gadis di malam itu— adalah badai yang berani menantang langit. Andreas berpikir, itu tak mungkin orang yang sama. Langit sore tampak muram, seakan ikut menahan kepergian. Mobil hitam meluncur menuju bandara, meninggalkan kota yang penuh kenangan. Di kursi depan, Dirga menyetir sambil melirik bosnya lewat kaca spion. “Bos,” katanya santai, tapi ragu. “Yakin banget nih mau balik ke Selvara?” Andreas duduk tenang di kursi belakang, menatap keluar jendela. Matanya dingin, tapi ada sesuatu yang samar di balik tatapan itu. “Ya,” jawabnya singkat, suaranya dalam dan mantap. “Sudah saatnya aku kembali.” Dirga mendengus pelan. “Padahal baru tadi pagi, lo masih nyuruh gue cari tuh cewek misterius. Sekarang malah ninggalin semua?” Andreas menoleh sedikit, sudut bibirnya terangkat tipis. “Kalau memang takdir mengizinkan, aku akan bertemu lagi dengannya,” katanya pelan tapi pasti. Dirga mendecak kecil. “Halah, ngomongnya kayak di drama Korea. Tapi serius, Bos, udah tiga bulan lo bolos dari kantor di Selvara. Kayaknya saham lo udah kangen.” Andreas menatap Dirga dengan ekspresi datar, tapi matanya tajam seperti biasa. “Saham tidak akan ke mana, Dir. Tapi waktu, kalau sudah lewat, tidak bisa diulang.” Dirga mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. “Oke deh, Bos. Tapi kalau nanti gadis itu nongol tiba-tiba dan lo lagi di Selvara, jangan nyesel gue nggak kasih tahu.” Andreas hanya menghela napas panjang. “Kalau dia benar-benar untukku, dunia sekecil apa pun akan mempertemukan kami lagi.” Dirga tersenyum kecil, menatap ke depan. “Lo romantis juga ya ternyata. Kirain hati lo udah beku kayak lemari es kantor.” Andreas menatap lurus, wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Kadang... yang tampak beku justru menyimpan api paling panas.” Dirga terkekeh. “Nah, itu dia! Mulai puitis! Gue catet, nanti gue jadiin status W******p.” Andreas hanya menggeleng, tapi ada senyum tipis yang muncul di bibirnya—senyum langka yang hanya muncul di hadapan Dirga. Mobil mereka melaju pelan ke arah bandara. Sementara di sisi lain kota, di ruang ICU, jari Nadira Seraphine kembali bergerak pelan. Seolah alam sedang menulis takdir baru untuk mempertemukan dua jiwa yang pernah bersinggungan di malam tanpa nama.Langit sore kota Andara diselimuti awan kelabu ketika mobil hitam berpelat luar negeri berhenti perlahan di depan rumah mewah milik keluarga Dikta. Dari dalam mobil itu, keluar sosok pria tinggi dengan jas abu gelap dan tatapan setajam belati. Wajahnya tampan, tetapi tanpa sedikit pun emosi — kaku, dingin, mematikan. Sepasang mata kelam itu menyapu halaman rumah seperti menilai medan perang sebelum eksekusi.Hansen Alphine.Nama yang membuat para pebisnis di Andara dan Kyar menunduk dalam diam. Pria yang dikenal sebagai raja bisnis, dingin, kejam, dan berkuasa. Ia tak perlu meninggikan suara untuk menebar ancaman; cukup dengan satu lirikan dan satu senyum tipisnya — senyum maut, begitu orang-orang menyebutnya — seseorang biasanya menghilang tanpa jejak.Dan kini, alasan kembalinya ke Andara bukan urusan bisnis.Melainkan Nadira Seraphine — adiknya, satu-satunya keluarga yang tersisa.Sudah beberapa hari Hansen tak mendapat kabar darinya. Telepon ta
Mentari pagi menyelinap malu-malu di antara celah tirai, menari lembut di wajah Alina yang masih terlelap di sisi Andreas. Cahaya hangat itu seolah bersekongkol dengan waktu untuk menyingkap rahasia yang tersimpan di balik wajah damai sang perempuan. Dalam keheningan kamar, hanya napas lembut Alina yang terdengar — dan di balik ketenangan itu, badai berputar di benak Andreas.Kenangan malam pertemuan pertama mereka menyeruak lagi, bagai film tua yang tak kunjung berhenti diputar dalam pikirannya.Andreas masih ingat betul malam itu — malam di kota Andara, kota yang tak pernah benar-benar tidur. Malam yang berawal dari urusan bisnis yang melelahkan, namun berakhir dengan sesuatu yang jauh lebih mengguncang.Di tengah riuhnya musik, gelak tawa, dan kilau lampu neon yang menari di dinding bar mewah itu, Andreas duduk sendiri. Sosoknya mencolok — jas hitam, tatapan tajam, aura yang membuat orang lain memilih memberi jarak. Ia tampak seperti seorang raja di ten
"Kamu gila? Aku sama sekali nggak nyentuh Nana. Yang nabrak dia bukan aku!” Maudy menjerit, suaranya penuh ledakan kemarahan yang dibuat-buat. Matanya menatap tajam ke arah Dikta, mencari celah untuk manipulasi berikutnya.Dikta sudah kehilangan akal. Ia melompat, meraih kerah Maudy seperti orang yang hanya punya satu jalan keluar: menuntut pertanggungjawaban. “Tapi kamu bersamaku! Kamu juga harus tanggung jawab. Kalau Hansen bunuh aku, kamu juga harus mati!” Napasnya terengah, nada suaranya penuh kepanikan yang membuatnya terdengar hampir konyol.Maudy tertawa, nada datar dan dingin. “Kalau kamu mati, ya mati aja. Jangan ajak-ajak aku.” Kata-kata itu seperti pisau halus—mencari titik lemah dan menelannya dengan pura-pura acuh.Mendengar itu, Dikta meledak. Tangannya mencengkeram leher Maudy sampai wanita itu meraung kesakitan. Maudy meronta, kedua tangannya memegang lengan Dikta, matanya menatap panik namun tetap mencari kata-kata yang bisa membalikkan suasana. “Lepas! Lepas, Dikta—s
Alina Vaughan.Ya, mulai detik ini, nama itu yang akan disandang oleh Agnetha Seraphine.Tidak ada lagi luka, tidak ada lagi tangis. Yang tersisa hanyalah kebahagiaan, kemewahan, dan kehidupan baru sebagai Nyonya Vaughan.Itulah janji Andreas—pria dingin berwibawa yang kini berdiri di sisinya dengan tatapan lembut yang tak bisa dijelaskan oleh logika.Alina menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti kebingungan.“Kamu... suamiku?” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.Andreas mengangguk perlahan.Wajahnya tetap tenang, namun di balik sorot matanya tersimpan badai yang tak bisa ditebak.“Aku... aku nggak ingat apa pun,” ucap Alina lirih, menunduk, seolah takut pada kenyataan yang tak bisa dipegang.Andreas menarik napas panjang, lalu berkata pelan, “Maafkan aku... karena telah lalai menjagamu. Karena kelalaianku, kamu harus mengalami kondisi seperti ini. Tapi percayalah, masa lalu itu tak seindah masa depan yang akan kita jalani bersama.”Alina menatapnya lama. Jema
Mentari siang membakar kulit, tapi Dikta tak merasakannya. Ia berlari menyusuri jalanan sepi itu, kembali ke tempat di mana hidupnya berubah menjadi neraka. Lokasi kecelakaan itu kini tampak seperti altar pengorbanan, mengingatkannya akan hukuman yang menantinya. "Sial! Sial!" umpat Dikta, suaranya penuh amarah dan ketakutan. Ia menyusuri setiap jengkal tanah, matanya liar mencari Nana, bukan karena peduli, tapi karena nyawanya sendiri yang terancam. Ia menghampiri setiap orang yang lewat, wajahnya memelas dan penuh kepanikan. "Hei, kau! Apa kau melihat seorang wanita muda lewat sini? Tubuhnya mungil, rambutnya panjang cokelat, matanya cokelat, kulitnya putih..." Dikta membentak seorang ibu yang sedang menggendong anaknya, tidak peduli dengan tatapan terkejut ibu itu. Ibu itu menggelengkan kepala dengan ketakutan. "Tidak, Tuan. Saya tidak melihat siapa-siapa." Dikta beralih ke seorang bapak yang sedang berjalan santai, menarik kerah bajunya dengan kasar. "Kau! Jawab yang benar! A
Di dalam ruang operasi yang serba putih dan dingin, Dokter Bram dan tim medisnya bekerja dengan cekatan dan penuh konsentrasi. Lampu operasi yang terang benderang menyoroti tubuh Nana yang terbaring lemah di atas meja operasi.Dokter Bram mengenakan masker dan sarung tangan steril, tatapannya fokus pada monitor yang menampilkan detak jantung dan tekanan darah Nana. Ia memeriksa kembali peralatan medis dan memastikan semuanya siap digunakan."Tekanan darah menurun, Dokter," ujar seorang perawat dengan nada khawatir."Siapkan epinefrin," perintah Dokter Bram dengan nada tenang, namun tegas.Seorang perawat segera menyuntikkan epinefrin ke dalam infus Nana. Detak jantung Nana mulai stabil, namun kondisinya masih sangat kritis."Kita harus bertindak cepat. Waktu kita tidak banyak," ujar Dokter Bram dengan nada mendesak.Ia mengambil pisau bedah dan mulai membuat sayatan di perut Nana dengan hati-hati. Asistennya membantu membuka lebar luka sayatan, memperlihatkan rahim Nana yang membengka







