Share

3. Motor untuk Sarah

Penulis: Rinda
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-02 10:57:11

Promosi jabatan yang diberikan pada Rahayu membuatnya memiliki pekerjaan yang lebih banyak sehingga Rahayu harus sering pulang malam. Baginya itu tak masalah meskipun hal ini membuat Rahayu semakin kehilangan banyak waktu bersama kedua putranya. Tak ada hal lain yang dapat ia lakukan selain ikhlas dan bersabar menjalani semuanya. 

Hari ini Rahayu pulang malam, ia membuka gerbang rumahnya sebelum memasukan sepeda motor ke dalam garasi. Suara canda dan tawa suami, adik ipar serta Ibu mertuanya terdengar riang oleh Rahayu dari garasi. Ia sedikit terkejut karena ada sepeda motor baru yang bahkan belum ada plat nomornya terparkir di garasi rumahnya. "Motor siapa ini?" Rahayu bertanya dalam hati.

Rahayu memarkir sepeda motornya di samping sepeda motor baru tersebut. Pemandangan kontras pun terlihat, satu buah sepeda motor milik baru dengan model menawan dan warna cat yang masih berkilau berdampingan dengan sepeda motor usang milik Rahayu yang catnya sudah memudar.

Rahayu sebenarnya mendapatkan fasilitas mobil inventaris dari kantornya karena promosi jabatan yang dia dapatkan, namun Rahayu masih belum mau membawanya pulang dengan alasan bahwa jika menggunakan sepeda motor akan lebih cepat sampai. Selain itu, ia tak ingin terlihat seperti orang yang banyak uang di hadapan suami dan ibu mertuanya karena khawatir mereka semakin malas dan banyak permintaan. Rencananya Rahayu akan membeli motor baru jika uangnya sudah cukup untuk mengganti motor lamanya yang telah usang tersebut.

"Assalamualaikum" Ucap Rahayu saat membuka pintu rumahnya.

Suara tawa dan obrolan riang Ibu, Sadewo dan Sarah kompak berhenti. "Walaikumsalam" Jawab Sadewo dan Sarah kompak. Sementara Ibu Yanti memandangi Rahayu dengan wajah sinis yang tak mengenakan hati.

"Malam begini baru pulang?" Tanya Bu Yanti, menunjukan mimik tak suka dengan kedatangan Rahayu.

"Iya Bu, pekerjaanku sedang padat jadi sering pulang malam" Rahayu menjawab seadanya. Ia langsung mengulurkan tanganya untuk salim pada suami dan ibu mertuanya.

Ibu mertuanya mengulurkan tanganya sambil membuang muka. Meski begitu, Rahayu tetap menyalaminya dan mencium tanganya.

Tadi saat Rahayu belum memasuki rumah, mereka bercanda riang sambil tertawa-tawa, namun saat Rahayu masuk suasana berubah menjadi kaku. Hal ini membuat perasaan Rahayu sedikit tak nyaman.

"Apakah anak-anak sudah tidur?" Tanya Rahayu berbasa-basi, berusaha mencari topik pembicaraan agar suasana tak canggung.

"Sudah sayang" Jawab Sadewo.

"Kalau begitu, saya ijin bebersih diri dulu" Ucap Rahayu segera meninggalkan mereka bertiga.

Rahayu memang selalu merasa tak nyaman ketika berada di antara keluarga suaminya, padahal setiap bulan Rahayu tak pernah lupa memberikan uang bulanan untuk Ibu mertua dan adik iparnya, namun entah mengapa Bu Yanti selalu menatapnya dengan tatapan tak mengenakan.

"Rahayu tunggu dulu!" Seru Bu Yanti yang otomatis menghentikan langkah Rahayu yang hendak ke kamar mandi.

"Ada apa Bu?" 

"Ibu cuma ingin memberitahukan bahwa motor baru yang ada di garasi itu motor Sarah" Ucap Bu Yanti. 

"Motor Sarah?" Rahayu malah mengulangi ucapan mertuanya.

Pernyataan Ibu mertuanya berhasil membayar rasa penasaran yang tadi sempat menghinggapi hati Rahayu, namun justru kini membuat Rahayu heran. Dari mana Sarah mendapatkan uang untuk membeli motor?

"Iya, Sadewo yang membelikanya untuk Sarah" Ucap Bu Yanti

"Mas Sadewo membelikan motor untuk Sarah?" Tanya Rahayu menuntut penjelasan pada suaminya sembari mengernyitkan dahinya karena heran.

Apakah suaminya punya uang untuk membelikan motor baru sebagus itu untuk Sarah? Sedangkan suaminya sudah berbulan-bulan tak berpenghasilan karena menganggur. Seandainya suaminya punya uangpun, tidak seharusnya ia gunakan untuk membelikan motor untuk Sarah melainkan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari yang selalu Rahayu tanggung.

"I,, iya sayang, Mas yang belikan motor untuk Sarah, kasian dia harus naik kendaraan umum ke kampus" Ucap Sadewo dengan nada lembut yang seolah dibuat-buat.

"Mas punya uang?" Tanya Rahayu ingin tahu

"Jadi, kebetulan tadi sedang ada promo DP nol persen dengan cicilan bulanan yang sangat terjangkau jadi yasudah Mas memutuskan untuk ambil saja. Nanti tolong dibantu cicilan setiap bulanya ya sayang" Sadewo berkata seolah tak ada beban.

"Cicilan? Terjangkau?" Ucap Rahayu seolah tak paham dengan apa yang diucapkan oleh suaminya. Tiba-tiba ia bertingkah seperti orang bodoh yang terbengong-bengong keheranan dengan sikap suaminya itu.

Dari mana suaminya bisa menilai bahwa itu terjangkau? Lalu mengapa suaminya berani membeli motor secara kredit tanpa persetujuan Rahayu dan dengan seenaknya meminta Rahayu untuk membayarkan cicilanya setiap bulan.

"Iya ini cukup terjangkau Yu dan kamu tenang saja, kamu tak harus membayar cicilan pertamanya sekarang juga kok! Nanti akhir bulan ketika kamu gajian baru kamu membayarnya" Ucap Sadewo berusaha meyakinkan istrinya.

Sadewo bangkit dari sofa sambil membawa dokumen perjanjian pembelian motor kredit menghampiri Rahayu yang masih berdiri terbengong-bengong mendengar penjelasan suaminya. Sadewo menyerahkan dokumen tersebut ke tangan Rahayu.

"Ini dokumen pembelianya Yu, kamu baca semua keterangan ada di sini. Aku benar-benar beruntung mendapatkan kredit motor tanpa DP dengan bunga rendah" Ucap Sadewo.

Rahayu menatap nanar dokumen yang diserahkan suaminya. Baru saja ia mendapatkan promosi dan kenaikan gaji mulai akhir bulan ini, sudah ada lagi tambahan cicilan yang harus Rahayu tanggung. Padahal Rahayu sendiri mempunyai keinginan yang ingin dia penuhi.

"Sudah gak usah bengong, Ibu tau kamu akhir-akhir ini lembur terus kok! Sudah pasti uangmu banyak kan Yu, jangan pelit sama keluarga sendiri, dosa!" Ibu Yanti yang sedari tadi diam kembali bersuara.

Keluarga, Rahayu yang Yatim Piatu memang belum pernah merasakan memiliki keluarga sebelumnya. Tetapi, beginikah rasanya mempunyai keluarga? Mengapa rasanya sangat berat beban yang harus Rahayu tanggung untuk keluarganya?

Rahayu hanya bisa meremas dokumen pembelian motor kredit itu. Perasaan kecewa, marah, sedih bercampur dalam hatinya namun Rahayu tak kuasa menolak keinginan suami, ibu mertua dan adik iparnya. Sudah pasti mereka tak menerima penolakan apapun dari Rahayu. Mereka bertiga sedangkan Rahayu seorang diri.

Lihatlah kondisi motor Rahayu saja terlihat tak layak untuk seorang karyawan seperti Rahayu. Tetapi bukanya membeli motor untuk dirinya sendiri, Rahayu malah dipaksa untuk membayar cicilan motor adik iparnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dikhianati Suami Pengangguran, Dinikahi CEO   52. Will you marry me?

    “Rahayu…” suara Ardhi terdengar tenang, tapi dalam. “Kamu telah melalui begitu banyak luka, dan tetap berdiri. Kuat, meski sendiri. Dan aku tahu… kamu gak butuh siapa pun untuk menyelamatkanmu. Tapi izinkan aku… untuk jadi orang yang berjalan bersamamu, bukan di depan, bukan di belakang. Tapi di sampingmu.”Rahayu menahan napas. Air matanya sudah menggenang.“Aku gak mau terburu-buru, tapi setidaknya kamu tahu… aku serius. Aku mencintaimu. Dan aku ingin membangun kehidupan yang sehat, jujur, dan utuh—bersama kamu.”"Will you marry me?" Rahayu menutup mulutnya dengan tangan, terkejut… terharu… nyaris tak percaya bahwa ini sungguh terjadi. Satu-satunya jawaban yang bisa ia berikan hanyalah anggukan pelan dengan air mata yang akhirnya jatuh juga.“Ya… aku bersedia.” lirih Rahayu.Ardhi tersenyum penuh lega, lalu menyematkan cincin di jari manis Rahayu. Ia berdiri, dan keduanya saling menatap lama, hangat, dan tenang.***Pernikahan Rahayu dan Ardhi digelar secara mewah namun tetap bersif

  • Dikhianati Suami Pengangguran, Dinikahi CEO   51. Cabang baru Darmawan Group

    Riuh tepuk tangan menggema di seluruh ruangan, sesaat setelah Pak Darmawan memotong pita merah yang membentang di depan pintu utama, sebuah simbol resmi dibukanya cabang ke-12 Darmawan Group.Ardhi berdiri di samping ayahnya, tampak gagah dalam setelan jas abu muda. Tak jauh dari mereka, Rahayu berdiri dengan anggun di antara jajaran manajer senior dan staf utama, mengenakan blazer biru tua yang mencerminkan wibawa dan profesionalisme.Di sisi lain, para pemegang saham, mitra strategis, dan perwakilan investor turut berdiri sejajar dengan Pak Darmawan, menyambut momen penting ini dengan penuh antusias.Pak Darmawan melangkah ke podium kecil yang telah disiapkan. Dengan suara mantap dan senyum penuh keyakinan, ia menyampaikan pidato pembukaan.“Cabang ke-12 ini bukan hanya angka. Ini adalah hasil dari kerja keras, dedikasi, dan konsistensi seluruh tim Darmawan Group. Sebuah pencapaian sekaligus pengingat... bahwa untuk tetap menjadi yang terdepan, kita harus terus bertumbuh dan berinov

  • Dikhianati Suami Pengangguran, Dinikahi CEO   50. Secercah kebahagiaan

    Beberapa hari setelah penangkapan Sadewo, kehidupan Rahayu mulai berangsur tenang. Meski luka dan letih masih terasa, ia bisa bernapas lebih lega. Tak ada lagi pesan ancaman. Tak ada ketakutan untuk membuka ponsel, atau khawatir anak-anak dibawa pergi tanpa izin.Pada suatu sore, setelah jam kantor selesai dan mereka juga baru selesai melakukan meeting, Ardhi mendatangi Rahayu yang sedang merapikan dokumen dengan dua cup es krim stroberi dan cokelat. “Lelah hari ini?” tanyanya santai, menyerahkan satu cup es krim coklat ke Rahayu.Rahayu tersenyum tipis. “Lumayan. Tapi es krim ini bisa sedikit memperbaikinya.”Rahayu akhirnya memilih duduk di sofa kecil yag tersedia di ruangan meeting, Ardhi mengikutinya. Mereka berbagi cerita ringan, tanpa membahas pekerjaan dan tanpa tekanan. Hanya tawa kecil yang perlahan mengisi ruang di antara mereka. Seorang office girl yang membersihkan ruang meeting hanya tersenyum mengangguk, lalu kembali fokus pada pekerjaanya.“Arkana dan Athala sehat?” t

  • Dikhianati Suami Pengangguran, Dinikahi CEO   49. Lubang yang digali sendiri

    Hingga malam menjelang, Rahayu tetap tak menggubris pesan apa pun dari Sadewo. Beberapa kali ia melihat ponselnya bergetar, nama Sadewo muncul berkali-kali di layar, namun ia tak pernah menyentuh tombol hijau itu. Ia hanya menatap layar yang menyala, lalu membiarkannya padam kembali, tanpa ekspresi.Di tempat lain, Sadewo mulai gelisah. Nafasnya memburu, dadanya naik turun penuh amarah yang menumpuk.“Kurang ajar! Perempuan itu benar-benar keras kepala!” gerutunya, membanting ponsel ke meja usang yang dipenuhi abu rokok dan gelas kopi kosong.Ia kembali menyentuh layar, menekan nama Rahayu sekali lagi. Menunggu. Berharap. Mungkin kali ini Rahayu akan mengangkat, akan ketakutan, dan akan memohon padanya agar tak menyebarkan apa pun ke publik. Tapi hasilnya tetap nihil.Nada sambung... ...lalu mati dengan sendirinya. Dihubungi berkali-kali, namun tetap tak digubris.“Baik!” gumam Sadewo, matanya menyipit penuh dendam. Tangannya bergerak cepat menulis pesan terakhir, pesan yang dia kira

  • Dikhianati Suami Pengangguran, Dinikahi CEO   48. Hati yang mulai menghangat

    Rahayu membuka pesan itu.Dan dadanya kembali sesak."Rahayu, aku tak main-main. Kutunggu kabar uang 150 juta itu. Atau... ku hancurkan kariermu!"Tangannya mencengkeram ponsel erat-erat, rahangnya mengeras. Ardhi yang duduk di sebelah langsung menoleh, menangkap perubahan ekspresi di wajah Rahayu.“Pesan dari dia lagi?” tanyanya pelan.Rahayu tidak langsung menjawab. Matanya masih terpaku pada layar ponsel.Bibirnya terkatup rapat. Tapi di matanya, tak ada lagi ketakutan yang ada hanya amarah dan tekad untuk melawan mantan suaminya.Rahayu menunjukkan ponselnya pada Ardhi, matanya menatap lurus penuh tekanan yang tertahan.“Sadewo mengirim pesan ancaman lagi,” ucapnya pelan, tapi jelas.Ardhi membaca sekilas isi pesan itu, lalu menoleh padanya dengan ekspresi tenang namun tegas.“Bagus,” katanya. “Simpan semua pesan itu. Jika dia benar-benar melakukannya, kita akan lebih mudah menjeratnya dengan pasal UU ITE, seperti yang dikatakan Pak Fadly.”Rahayu mengangguk. Ada sesuatu dalam nad

  • Dikhianati Suami Pengangguran, Dinikahi CEO   47. Menyewa pengacara

    Pagi itu, kantor berjalan seperti biasa. Deretan meja dipenuhi tumpukan dokumen dan suara keyboard yang tak henti mengetik. Namun, bagi Rahayu, hari ini terasa berbeda. Perutnya terasa mual bukan karena lapar, tapi karena tekanan yang membayangi pikirannya sejak semalam.Menjelang jam makan siang, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari Ardhi:"Jam 12.30 kita keluar sebentar ya. Aku udah atur pertemuan dengan pengacara itu. Kita makan siang sekalian."Rahayu menatap pesan itu sejenak, lalu membalas singkat:"Baik, terima kasih Ardhi."Tepat pukul 12.30, Ardhi sudah menunggu di lobi kantor. Mengenakan kemeja biru muda dan jaket semi-formal, ia tampak lebih tenang dari biasanya, tapi sorot matanya jelas menunjukkan bahwa ini bukan sekadar makan siang biasa."Siap?" tanyanya lembut saat Rahayu menghampirinya.Rahayu mengangguk, meski hatinya berdebar kencang.Mereka naik ke mobil dan melaju ke sebuah restoran tenang di kawasan Senopati. Tempat yang tak terlalu ramai, tapi cuku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status