Menjadi istri seorang suami yang pengangguran memang berat bagi Rahayu. Bukan hanya biaya hidup dirinya sendiri, suami dan anak-anaknya saja yang harus ditanggung Rahayu, tetapi sekaligus biaya hidup mertua dan adik iparnya.
Meski begitu, hidup harus tetap dijalani. Tak ada waktu bagi Rahayu untuk meratapi kondisinya dan hidup dalam kesedihan. Rahayu tetap beraktivitas seperti biasanya. Ia bangun pagi untuk menyiapkan masakan bagi anak-anaknya, suami, mertua serta adik iparnya sebelum bekerja.
"Rahayu, besok-besok gak usah beli ikan lele lagi yah! Ibu sama Sarah gak suka ikan lele" Ucap Yanti pada Rahayu yang sedang menggoreng ikan lele. Yanti tentu berada di dapur, tapi bukan sedang membantu menantunya memasak, melainkan hanya mengawasi dan melihat-lihat saja apa yang di sediakan menantunya untuk dia hari itu.
"Baik Bu kalau begitu lelenya biar buat Arkana dan Athala saja, nanti Ibu bisa pake lauk tahu dan tempe" Ucap Rahayu enteng, ia masih fokus pada masakanya agar cepat selesai dan tidak sampai gosong.
"Tahu sama tempe? Kamu nyuruh ibu makan cuma sama tahu tempe?" Bu Yanti terlihat tak terima dengan jawaban Rahayu.
"Bukan hanya tahu tempe kok Bu, saya juga masak tumis kangkung dan sambal terasi!" Ucap Rahayu masih sambil melanjutkan acara memasaknya.
"Apalagi tumis kangkung dan sambal terasi, ibu gak selera sama sekali dengan masakan seperti itu Yu!" Ucap Bu Yanti. Kedua tanganya bersedekap dengan angkuhnya tanpa menyadari bahwa semua biaya untuk membeli bahan masakan ini dibeli menggunakan uang Rahayu.
Rahayu menghela nafas, sepagi ini Ibu mertuanya sudah menguji kesabaranya. Selalu ada saja hal yang salah dari apa yang dilakukan Rahayu.
"Kalo memang ibu tak mau dengan masakan yang saya sediakan ya terserah Ibu saja, saya sudah berusaha yang terbaik Bu" Ucap Rahayu berusaha memberikan pengertian pada mertuanya dengan kalimat sesopan mungkin. Sebenarnya Rahayu mulai kesal dengan ulah mertuanya, apalagi Rahayu sedang buru-buru dalam memasak karena harus segera bersiap untuk berangkat kerja.
"Baik, nanti aku bilang saja sama Sadewo bahwa kamu tidak mau melayani Ibu" Ucap Bu Yanti sebelum meninggalkan Rahayu di dapur dengan perasaan kesal. Ia merasa menantunya itu meremehkanya.
Rahayu tak terlalu mempedulikan Sikap Yanti yang menurutnya hanya mencari perhatian saja. Rahayu segera melanjutkan acara memasaknya, menyiapkan bekal untuk Arkana sekolah serta bekal untuk dirinya bekerja.
***
Sadewo tak pernah mau membantu Rahayu mengurus anak-anaknya di pagi hari, begitu juga dengan Ibu mertua dan adik iparnya. Biasanya Sadewo dan Sarah masih tidur saat Rahayu hendak berangkat kerja dan Arkana pergi ke sekolah. Sedangkan Yanti, walaupun ia selalu bangun pagi namun tak pernah mau membantu Rahayu mengurus rumah, apalagi mengurus Arkana dan Athala.
Sikap keluarganya membuat Rahayu terpaksa mengeluarkan biaya lebih untuk anak-anaknya. Rahayu mendaftarkan Arkana di sekolah dengan sistem full day school sekaligus fasilitas antar jemput karena Sadewo tak mau mengantar maupun menjemput Arkana sekolah.
"Masa harus aku yang anatr jemput sekolah? Nanti mereka pikir aku ini gak ada kerjaan, Yu!" Begitu alasan Sadewo saat Rahayu mengantar jemput Arkana sekolah demi mengurangi biaya fasilitas antar jemput yang disediakan dari pihak sekolah.
Sementara itu, Rahayu juga membayar seorang pengasuh untuk mengurus dan menjaga Athala yang baru berumbur dua tahun karena Ibu mertuanya keberatan untuk membantu mengurus cucunya.
"Assalamualaikum" Ucap seorang perempuan muda yang bernama mba Fitri, ia selalu masuk dari pintu belakang rumah Rahayu yang menuju ke dapur.
Mba Fitri adalah pengasuh Athala yang datang di pagi hari sebelum Rahayu berangkat dan akan pulang di sore atau malam hari setelah Rahayu pulang kerja. Mba Fitri adalah perempuan muda yang terlihat baik dan juga cantik, ia sudah mengurus Athala semenjak usianya satu tahun.
"Walaikumsalam, masuk mbak Fitri" Ucap Rahayu, ia sudah selesai berdandan dan sedang membantu Arkana mempersiapkan diri sebelum berangkat sekolah.
"Athala masih tidur, aku minta tolong cucikan wajan bekas aku masak yah mbak" Ucap Rahayu, tanganya sibuk menyisir rambut Arkana sementara anak lelaki itu sedang sarapan roti tawar yang diisi selai coklat buatan Rahayu.
Tin,, Tin! Terdengar klakson mobil jemputan sekolah Arkana. Rahayu segera membantu putranya memakai kaos kaki. Anak lelaki berusia lima tahun itu segera meraih tas sekolahnya dan memakai sepatu lalu berlari menuju mobil yang sudah menunggunya di depan rumah.
"Baik-baik di sekolah yah sayang!" Rahayu mencium pucuk kepala putranya sebelum memasuki mobil.
"Dadah mamaah!" Teriak Arkana riang sambil melambaikan tangan ke jendela mobil sebelum mobil itu melaju pelan menuju ke sekolah Arkana.
"Daaah Arkana, have fun!" Rahayu pun tersenyum membalas lambaian tangan Arkana dan memandang mobil tersebut hingga berbelok ke gang lain.
Rahayu segera memasuki rumah untuk melanjutkan persiapanya untuk bekerja. Makanan untuk sarapan dan makan siang sudah tersedia di meja makan. Rahayu juga sudah memasukan bekal ke dalam tasnya untuk di bawa ke kantor. Ia segera menuju ke Ibu mertuanya yang sedang asyik membaca majalah fashion di teras rumah.
Ibu mertua Rahayu memang sangat menyukai fashion, terlihat dari penampilanya yang selalu modis di usianya yang sudah lebih dari setengah abad. Akibat hobi ibu mertuanya ini pula pengeluaran Rahayu menjadi bertambah, ia harus memberikan uang lebih agar Ibu mertuanya bisa membeli baju maupun tas baru setiap bulanya.
"Ibu, Rahayu berangkat kerja dulu" Rahayu mengulurkan tangan untuk salim pada mertuanya.
"Iyaa, kerja yang baik agar cepat naik jabatan! Emang gak cape dari dulu kerja gaji masih saja kecil" Ucap Bu Yanti dengan muka yang masam.
"Baik Bu, doakan Rahayu yah" Ucap Rahayu. Dia berusaha tak memasukan perkataan mertuanya tersebut ke dalam hati, padahal tanpa diketahui suami maupun mertuanya, Rahayu sedang dalam masa promosi jabatan di kantornya.
“Rahayu…” suara Ardhi terdengar tenang, tapi dalam. “Kamu telah melalui begitu banyak luka, dan tetap berdiri. Kuat, meski sendiri. Dan aku tahu… kamu gak butuh siapa pun untuk menyelamatkanmu. Tapi izinkan aku… untuk jadi orang yang berjalan bersamamu, bukan di depan, bukan di belakang. Tapi di sampingmu.”Rahayu menahan napas. Air matanya sudah menggenang.“Aku gak mau terburu-buru, tapi setidaknya kamu tahu… aku serius. Aku mencintaimu. Dan aku ingin membangun kehidupan yang sehat, jujur, dan utuh—bersama kamu.”"Will you marry me?" Rahayu menutup mulutnya dengan tangan, terkejut… terharu… nyaris tak percaya bahwa ini sungguh terjadi. Satu-satunya jawaban yang bisa ia berikan hanyalah anggukan pelan dengan air mata yang akhirnya jatuh juga.“Ya… aku bersedia.” lirih Rahayu.Ardhi tersenyum penuh lega, lalu menyematkan cincin di jari manis Rahayu. Ia berdiri, dan keduanya saling menatap lama, hangat, dan tenang.***Pernikahan Rahayu dan Ardhi digelar secara mewah namun tetap bersif
Riuh tepuk tangan menggema di seluruh ruangan, sesaat setelah Pak Darmawan memotong pita merah yang membentang di depan pintu utama, sebuah simbol resmi dibukanya cabang ke-12 Darmawan Group.Ardhi berdiri di samping ayahnya, tampak gagah dalam setelan jas abu muda. Tak jauh dari mereka, Rahayu berdiri dengan anggun di antara jajaran manajer senior dan staf utama, mengenakan blazer biru tua yang mencerminkan wibawa dan profesionalisme.Di sisi lain, para pemegang saham, mitra strategis, dan perwakilan investor turut berdiri sejajar dengan Pak Darmawan, menyambut momen penting ini dengan penuh antusias.Pak Darmawan melangkah ke podium kecil yang telah disiapkan. Dengan suara mantap dan senyum penuh keyakinan, ia menyampaikan pidato pembukaan.“Cabang ke-12 ini bukan hanya angka. Ini adalah hasil dari kerja keras, dedikasi, dan konsistensi seluruh tim Darmawan Group. Sebuah pencapaian sekaligus pengingat... bahwa untuk tetap menjadi yang terdepan, kita harus terus bertumbuh dan berinov
Beberapa hari setelah penangkapan Sadewo, kehidupan Rahayu mulai berangsur tenang. Meski luka dan letih masih terasa, ia bisa bernapas lebih lega. Tak ada lagi pesan ancaman. Tak ada ketakutan untuk membuka ponsel, atau khawatir anak-anak dibawa pergi tanpa izin.Pada suatu sore, setelah jam kantor selesai dan mereka juga baru selesai melakukan meeting, Ardhi mendatangi Rahayu yang sedang merapikan dokumen dengan dua cup es krim stroberi dan cokelat. “Lelah hari ini?” tanyanya santai, menyerahkan satu cup es krim coklat ke Rahayu.Rahayu tersenyum tipis. “Lumayan. Tapi es krim ini bisa sedikit memperbaikinya.”Rahayu akhirnya memilih duduk di sofa kecil yag tersedia di ruangan meeting, Ardhi mengikutinya. Mereka berbagi cerita ringan, tanpa membahas pekerjaan dan tanpa tekanan. Hanya tawa kecil yang perlahan mengisi ruang di antara mereka. Seorang office girl yang membersihkan ruang meeting hanya tersenyum mengangguk, lalu kembali fokus pada pekerjaanya.“Arkana dan Athala sehat?” t
Hingga malam menjelang, Rahayu tetap tak menggubris pesan apa pun dari Sadewo. Beberapa kali ia melihat ponselnya bergetar, nama Sadewo muncul berkali-kali di layar, namun ia tak pernah menyentuh tombol hijau itu. Ia hanya menatap layar yang menyala, lalu membiarkannya padam kembali, tanpa ekspresi.Di tempat lain, Sadewo mulai gelisah. Nafasnya memburu, dadanya naik turun penuh amarah yang menumpuk.“Kurang ajar! Perempuan itu benar-benar keras kepala!” gerutunya, membanting ponsel ke meja usang yang dipenuhi abu rokok dan gelas kopi kosong.Ia kembali menyentuh layar, menekan nama Rahayu sekali lagi. Menunggu. Berharap. Mungkin kali ini Rahayu akan mengangkat, akan ketakutan, dan akan memohon padanya agar tak menyebarkan apa pun ke publik. Tapi hasilnya tetap nihil.Nada sambung... ...lalu mati dengan sendirinya. Dihubungi berkali-kali, namun tetap tak digubris.“Baik!” gumam Sadewo, matanya menyipit penuh dendam. Tangannya bergerak cepat menulis pesan terakhir, pesan yang dia kira
Rahayu membuka pesan itu.Dan dadanya kembali sesak."Rahayu, aku tak main-main. Kutunggu kabar uang 150 juta itu. Atau... ku hancurkan kariermu!"Tangannya mencengkeram ponsel erat-erat, rahangnya mengeras. Ardhi yang duduk di sebelah langsung menoleh, menangkap perubahan ekspresi di wajah Rahayu.“Pesan dari dia lagi?” tanyanya pelan.Rahayu tidak langsung menjawab. Matanya masih terpaku pada layar ponsel.Bibirnya terkatup rapat. Tapi di matanya, tak ada lagi ketakutan yang ada hanya amarah dan tekad untuk melawan mantan suaminya.Rahayu menunjukkan ponselnya pada Ardhi, matanya menatap lurus penuh tekanan yang tertahan.“Sadewo mengirim pesan ancaman lagi,” ucapnya pelan, tapi jelas.Ardhi membaca sekilas isi pesan itu, lalu menoleh padanya dengan ekspresi tenang namun tegas.“Bagus,” katanya. “Simpan semua pesan itu. Jika dia benar-benar melakukannya, kita akan lebih mudah menjeratnya dengan pasal UU ITE, seperti yang dikatakan Pak Fadly.”Rahayu mengangguk. Ada sesuatu dalam nad
Pagi itu, kantor berjalan seperti biasa. Deretan meja dipenuhi tumpukan dokumen dan suara keyboard yang tak henti mengetik. Namun, bagi Rahayu, hari ini terasa berbeda. Perutnya terasa mual bukan karena lapar, tapi karena tekanan yang membayangi pikirannya sejak semalam.Menjelang jam makan siang, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari Ardhi:"Jam 12.30 kita keluar sebentar ya. Aku udah atur pertemuan dengan pengacara itu. Kita makan siang sekalian."Rahayu menatap pesan itu sejenak, lalu membalas singkat:"Baik, terima kasih Ardhi."Tepat pukul 12.30, Ardhi sudah menunggu di lobi kantor. Mengenakan kemeja biru muda dan jaket semi-formal, ia tampak lebih tenang dari biasanya, tapi sorot matanya jelas menunjukkan bahwa ini bukan sekadar makan siang biasa."Siap?" tanyanya lembut saat Rahayu menghampirinya.Rahayu mengangguk, meski hatinya berdebar kencang.Mereka naik ke mobil dan melaju ke sebuah restoran tenang di kawasan Senopati. Tempat yang tak terlalu ramai, tapi cuku