"Lihatlah Andy, Luhan menghubungiku," ucap Damian saat melihat ponselnya bergetar.Damian menghentakkan kakinya ke lantai, dengan napas berat, ia menjawab telepon dan menekan tombol pengeras suara. "Halo?"Dari seberang sana, suara kakek Luhan yang tenang dan dingin terdengar, "Damian, kita perlu bicara tentang Dony." Mendengar nama itu, urat di leher Damian menegang, matanya menyala dengan kemarahan yang tak terbendung. "Aku akan membunuhmu, Luhan! Dan Dony juga!" teriaknya dengan amarah yang meledak-ledak. "Aku tahu, kamu yang telah menyembunyikan Dony." "Ha haha." Tertawa ringan, Luhan menjawab, "Tenang, lebih baik kita bertemu dan bicara seperti orang dewasa." "Brengsekh kamu, Pak Tua!"Tanpa berpikir panjang, Damian melempar ponselnya pada Andy, dan bergegas mengambil kunci mobilnya. Ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menembus jalanan yang sepi menuju kediaman Luhan. Setiap detik dalam perjalanan itu, pikirannya dipenuhi dengan bayangan mengenai apa yang akan ia la
"Aku takut Yah," bisiknya di antara isakan, "Aku takut kehilangan Ayah ... Aku tidak tahu harus apa kalau Ayah benar benar pergi." Ia menggigit bibir, mencoba menahan suara isaknya agar tak menggema di ruangan kosong itu, tapi gagal.Damian datang mengunjungi ruangan dimana Yura berada.“Damian.”Yura terpaku seketika, matanya membelalak tak percaya saat melihat Damian berjalan menghampirinya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Damian langsung melingkarkan lengannya mengelilingi Yura dengan hangatnya, seolah bisa merasakan getir kesedihan yang mendera hati wanita yang dicintainya itu. Sebuah isyarat bahwa ia hadir sebagai pelindung yang akan mengusir segala kelam dari hidup Yura.“Bagaimana kondisi ayahmu?” tanya Damian, duduk di samping ranjang rumah sakit.“Syukurlah, kondisi ayah sudah stabil. Semua ini berkat Tuan Damian, terima kasih ya?”Damian tersenyum sekilas. “Kamu ini bicara apa? Aku tak hanya merebutnya dari Dony.”Yura memandang sayu pada lelaki yang kini menggaruk tengk
“Benarkah Damian? Apakah dia benar-benar aman?” tanya Yura, memastikan.“Ya, Yura. Percayalah padaku, ayahmu baik-baik saja,” jawab Damian, mencoba meyakinkan.Yura menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar kencang. Rasa cemas perlahan menguap, digantikan oleh rasa syukur yang mendalam. Wajahnya yang semula tegang, kini mulai diliputi oleh senyuman lega.“Syukurlah! Berikan aku lokasinya dan aku segera ke sana.”“Tidak perlu. Tunggu saja di sana, aku akan menyuruh Andy menjemputmu.”“Baiklah! Terima kasih ya, Damian.”Yura menutup panggilan itu, terharu dan bersyukur memiliki sesorang seperti Damian yang selalu ada untuknya di saat-saat tergelap seperti ini. Hatinya mulai tenang seketika saat mengetahui ayahnya telah berhasil diselamatkan oleh Damian."Terima kasih, Tuhan, karena telah menjaga ayahku," gumam Yura dalam hati, seraya merasa lega sekaligus gembira.Yura merenung sejenak, melintasi hatinya sebuah doa agar ia segera bisa dipertemukan
"John, injak gasnya! Kejar kematian, pacu mobil ini sampai batasnya!" teriak Damian, kepanikan memecah keheningannya. Jawaban yang datang hanya singkat,"Siap, Tuan," jawab John, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan.Sesampainya di rumah sakit, ayah Yura dengan segera dilarikan ke IGD, darah yang bercucuran semakin memburu detik-detik kritis. Tanpa henti, dokter dan perawat bergerak cekatan, seolah tiap tarikan nafas ayah Yura adalah sebuah pertarungan melawan waktu. Di luar ruangan, Damian berdiri termangu, tubuhnya basah oleh keringat dingin, perasaan cemas dan ketakutan menyergap jantungnya, memompa adrenalin yang menyisakan getar di setiap hujung nadinya.Jam demi jam berlalu, tiap detik terasa begitu berat bagi Damian. Ia berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, mencoba mengumpulkan doa dalam hatinya agar ayah Yura bisa selamat. Sementara Andy hanya dapat memandang dari kejauhan, tubuhnya kaku dan mata yang waspada, melihat ruangan tertutup yang berisikan ayah Yura bersa
“Mengapa Luhan membawa ayah Yura ke sana? Apakah mereka hendak membunuhnya?” pikir Andy, segera menggeleng tegas, menepis ketakutan di hatinya. “Tidak, tidak. Ini tidak boleh terjadi.”Gedung terbengkalai.Dony telah sampai di lokasi, turun dari mobil dengan tergesa, ingin memastikan semua sesuai rencananya. “Bagaimana kondisinya?”“Kondisi pria tua ini stabil, Bos. Kami menunggu perintah Anda!”"Tidak ada waktu lagi untuk ragu, bunuh saja lelaki tua itu. Begitu nyawanya melayang, Yura akan diberi pelajaran yang tak terlupakan oleh Sherly!""Tetapi, apa yang akan terjadi jika Nyonya Yura memutuskan untuk membenci dan meninggalkan Anda karena ini?" tanya pengawal itu, suaranya gemetar, mencoba menyadarkan Dony."Biarkan saja!" seru Dony dengan mata yang menyala, tidak peduli dengan akibat yang akan terjadi. "Yura perlu merasakan penderitaan yang sama seperti yang telah dia lemparkan kepadaku! Biar dia tahu, mengabaikan ancamanku adalah kesalahannya yang fatal!"Pengawal Dony menganggu
“Kamu yang memulai semuanya, Dony. Jika di malam sakral pernikahan kita, kau tidak berselingkuh dengan Sindy, noda ini tak kan pernah terukir!" teriak Yura dengan mata berkobar.“Jadi, kau menyalahkanku?!” suara Dony bergema, menembus setiap sudut rumah mewah mereka, seolah mendobrak tembok keheningan yang ada. "Kamu ingin menuding jari ke arahku setelah segala pengkhianatanmu terhadap kita?"Dalam diam, segala kebencian dan rasa terkhianati bergelora di dalam dada. Kekecewaan yang mendalam merobek hati yang tadinya dipenuhi cinta. Air matanya adalah saksi bisu atas rasa sakit yang kini membekas. "Kamu memberikanku kepercayaan, Yura. Aku memberikanmu tempat dan perlindungan, tapi ini yang kudapatkan?" lanjut Dony, suaranya terdengar serak karena emosi. Yura menggigit bibirnya, mencoba menahan derasnya air mata yang ingin jatuh."Dony, aku—" Yura mencoba bicara, tapi Dony mengibaskan tangannya, menandakan dia tidak ingin mendengar penjelasan apapun."Jangan! Jangan coba-coba kau bersih
"Damian, aku... aku masih istri Dony," bisik Yura, suaranya bergetar, berharap Damian mengerti posisinya.Damian menarik napas dalam-dalam, matanya tidak bergeming dari wajah Yura. "Aku tahu, tapi dengar, Yura. Aku tidak memintamu untuk membuat keputusan sekarang juga. Hanya saja, pikirkanlah tentang ini. Ikut aku, dan biarkan aku tunjukkan bagaimana hidup bisa lebih bahagia," rayunya, mencoba meyakinkan Yura dengan setiap kata.“Satu hal lagi, aku sudah mengatakan semuanya pada Dony.”“Apa?”Yura tercengang, bagaimana bisa Damian melakukannya dengan santai. Bahkan tanpa menanyakan padanya terlebih dahulu.“Iya, kamu tenang saja. Bahkan ibumu, Sherly akan mendukung pernikahan kita. Semua cukup mudah bagiku.”Yura melupakan watak keras seorang Damian. Kini, dia sungguh takut akan keselamatan ayahnya. Di saat seperti ini, tak ada yang lebih penting selain kesembuhan ayahnya. Yura terlihat gelisah, tangannya memilin dress yang dipakai, tatapan juga menghindari Damian. Hal itu membuat Dam
"Bagaimana semua ini bisa terjadi? Mengapa ini harus terjadi padaku?" bisik Dony dalam kesunyian. Kesesakan emosi mendorongnya untuk menemukan jawaban, tapi semakin dicari, semakin ia tersesat dalam liku-liku kebingungan dan rasa takut akan masa depan yang tak pasti. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, Dony bertanya kepada dirinya sendiri dalam putus asa, "Apa yang harus kulakukan sekarang?"Semua masalah menuntut jawaban dan kepastian. Begitu pula masalah yang dihadapi Dony saat ini. Dia merasakan kepedihan di hatinya saat mengingat malam itu, saat Damian dan Yura datang bersamaan. Saat itu dia sudah merasa curiga pada mereka berdua. Namun, dia berusaha menepis rasa curiga itu, mengingat wewenang Damian yang cukup besar di keluarga ini.Kini, Dony diberikan pada pilihan yang jelas di mana Damian begitu menginginkan miliknya. Sama seperti dahulu, saat Damian menginginkan miliknya, Dony harus memberikannya. Ya, posisi Dony tak lebih seperti waktu itu. Dia tahu ini adalah keputusan yan
"Apa?" seru Dony tak percaya, suaranya serak karena kebingungan dan ketakutan yang mendadak mendera."Kamu harus membuat keputusan, Dony," Damian melanjutkan, suaranya rendah namun memaksa."Ini atau itu. Bisnis tanah yang dapat mengubah hidupmu, atau cintamu pada Yura. Pilih." Dalam keheningan yang menyusul, Dony merasakan bobot dari pilihan yang dibebankan kepadanya. Pilihan yang bukan hanya menentukan masa depannya, tapi juga menentukan nasib hatinya, "ucap Damian dengan suara yang terdengar seperti tidak memberikan ruang untuk negosiasi."Antara Yura atau tanah di Dubai. Keduanya tidak bisa kamu miliki, harus ada yang kamu relakan."Hati Dony mulai dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan yang muncul begitu saja dalam pikirannya. Semakin ia mencoba mencari jawaban, semakin keras hatinya bergemuruh. "Bagaimana bisa Damian tega meminta Yura sebagai ganti tanah Dubay?" gumamnya dalam hati, bingung dan tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja ia dengar.Dony mencoba membaca isi hati D