"Jangan coba-coba main-main dengan saya. Saya tidak akan segan-segan menghancurkan kamu jika itu perlu," desis Damian dengan nada mengancam.Luhan mengangkat dagunya, tidak gentar. "Lakukan saja, Damian. Tapi ingat, tanpa bukti konkret, segala tuduhanmu akan kembali padamu."Kedua pria itu berdiri dalam diam yang mencekam, mata mereka saling bertaut dalam pertarungan batin yang intens. Ruangan itu seakan dipenuhi dengan ketegangan yang bisa dipotong dengan pisau. Setiap kata yang terucap semakin memperdalam jurang pemisah di antara mereka.Merasa jika pertemuan ini tak menghasilkan, Damian memutuskan untuk pergi. Saat ini ada suatu tempat yang selalu Damian pikirkan.Di manakah tempat itu?Mobil melaju kencang menuju sebuah toko bunga. Damian segera masuk toko dan mengatakan keinginannya kepada pemilik toko yang ramah. "Aku mau buket mawar merah yang bagus.""Mawar merah untuk siapa, Nak?" tanya si pemilik sambil tersenyum. Damian hanya tersenyum malu, "Untuk seseorang yang spesial,"
"Aku sudah mengetahui dalang dibalik semua ini. Dia adalah … Luhan."“Apa?”“Luhan? Maksudmu, Ayah Luhan?”Damian menganggukan kepala, pamannya itu memang tidak tahu apa-apa.Andy, dengan keputusan dari Damian yang tegas, mengambil alih jalannya rapat. Dengan beberapa ketukan tegas di atas meja, dia mengumumkan bahwa rapat dianggap cukup dan semua bisa meninggalkan ruangan. Satu demi satu, para eksekutif berdiri dan pergi, meninggalkan ruangan yang kini hanya dihuni oleh Damian dan pamannya, Ferdy.Damian, dengan raut wajah serius dan tekad yang kuat, menoleh kepada pamannya. "Aku akan menemui Luhan hari ini," ujarnya dengan nada yang mengandung keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.Ferdy, mendengarkan dengan ekspresi yang mendukung, mengangguk perlahan. "Aku akan memberikan ultimatum padanya," lanjut Damian. "Jika dia tidak mengakui bahwa dialah yang menggunakan namaku untuk pinjaman tersebut, aku tidak akan segan-segan membawa masalah ini ke jalur hukum. Aku bahkan siap untuk me
"Katakan, siapa dalang di balik semua ini. Cepat!""Luhan! Kakek Luhan, orangnya."Damian melepas cengkraman tangan dan beralih. Tiba-tiba, dengan kekuatan penuh, Damian menghantam meja kerjanya.Blamb!Suara keras terdengar memecah keheningan ruangan itu. Lelaki yang berdiri di depannya itu, Ali, seketika menunduk, matanya tidak berani menatap Damian. "Maaf, Tuan Damian, saya tidak punya pilihan," suaranya bergetar. "Luhan mengancam akan menyakiti keluarga saya jika saya tidak membocorkan rahasia perusahaan."Damian menghela napas berat, mencoba meredakan api kemarahannya. Walaupun ia marah, ia juga tahu bahwa Ali berada dalam situasi yang sulit. "Kamu tahu ini bisa merusak segalanya. Perusahaan ini bukan hanya tentang uang, tapi juga tentang kepercayaan banyak orang yang bekerja di sini," ucap Damian dengan nada yang lebih tenang namun masih terasa tegas. Ali hanya bisa mengangguk lemah, menyesali perbuatannya. Damian melihat ke dalam mata Ali, mencoba menimbang apa yang harus dilak
"Jadi sekarang kamu memutuskan untuk memanggilku dengan gelar resmi itu lagi?"Andy hanya bisa tersenyum pahit, mengangguk perlahan, meski tahu Damian tak bisa melihatnya."Baiklah, keheninganmu cukup menjelaskan semuanya." Damian menghela nafas, suaranya menyeruak dengan kekecewaan yang nyata. "Jadi, mulai detik ini, jangan sekali-sekali kau sebut nama ku lagi, mengerti?""Ok," jawab Andy, kata-katanya tercekat, seolah setiap suku kata itu berat untuk diucapkan. Dalam hatinya, kehancuran mendalam mulai memakan hati, meninggalkan rasa hampa yang tak terukur.Setelah menutup telepon, Andy langsung menghubungi beberapa teman peretas yang dia kenal. Wajahnya tampak cemas, matanya bergerak cepat membaca pesan di layar komputer. Jam di dinding seolah bergerak lebih cepat dari biasanya, meningkatkan ketegangan dalam ruangan.Dengan bantuan peretas, informasi mulai mengalir. Layar komputer Andy dipenuhi dengan angka, grafik, dan dokumen yang terus menerus diperbarui. Dia mencatat setiap det
"Ada paket untuk Anda.""Paket?!"Wajah Yura memerah, kebingungan tergambar jelas di matanya saat ia memegang paket misterius itu. "Damian, ini kamu yang kirim?" tanyanya dengan nada suara yang penuh kecurigaan.Damian, yang duduk di sofa, langsung menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Tidak, Yura, bukan aku. Aku tidak mengirim apapun. Lagipula, aku kan selalu bersamamu, buat apa aku mengirim paket? Lebih baik aku berikan langsung." Ucapnya, matanya menatap Yura dengan serius dan penuh kelembutan.Yura menarik napas, rasa bingungnya perlahan berganti menjadi rasa terharu. Melihat Damian yang selalu logis dan dewasa dalam menjelaskan segala hal, hatinya terasa hangat. Damian selalu tahu bagaimana cara menenangkan hatinya di saat-saat seperti ini."Maaf, aku hanya... bingung," ujar Yura sambil menghela napas lega, merasa bersalah telah menuduh Damian.Damian tersenyum, berjalan dan mengulurkan tangan untuk menyentuh tangan Yura. "Tidak apa-apa, aku mengerti kok. Ayo buka paket itu bers
"Nyonya Yura, silahkan Anda maju dan beri kesaksian.""Baik."Yura berdiri di ruang sidang dengan pakaian hitamnya yang sederhana, rambutnya dikuncir rapi. Matanya sembab, menandakan berapa banyak air mata yang telah tumpah sepanjang malam sebelumnya. Dia merasa bersyukur dan bahagia ketika mengetahui bahwa Dony, tidak menghadiri sidang yang sangat penting ini. Hakim yang berwibawa dengan kacamata di ujung hidungnya melihat Yura dengan tatapan simpati sebelum memutuskan untuk menunda sidang."Kita akan menunda sidang hingga dua minggu lagi, dan saya harap Tuan Dony dapat hadir untuk mediasi," ucap hakim dengan suara tegas dan penuh pertimbangan.Yura mengangguk lemah, seraya memandang sayu seorang Damian. Suasana di ruang sidang terasa begitu berat, tekanan emosional yang dialami Yura tampak jelas. Dia merasa seperti berada di sebuah teater tragis di mana dia adalah aktor utama yang tidak pernah menginginkan peran ini.Saat berjalan meninggalkan ruang sidang, langkahnya terasa sangat