Tujuh jam sebelumnya...
Audrey menatap arloji ditangannya, pukul 19 malam. Dia berencana menjenguk ayahnya di rumah sakit. Sudah lima hari paska operasi Bypass*) jantung yang berjalan lancar. Tuan Abellard sudah siuman dari komanya.
“ Aku tidak lama, Yanti. Tolong jaga Ventria baik-baik ya.” Pengasuh anaknya mengangguk.
Audrey hanya mengenakan jersey dengan celana denim dan sepatu kets. Kehamilannya yang masih tiga bulan belum membuat perutnya membesar. Dia mengendarai mobil yang belum lama dibelikan Benigno, karena kendaraan yang biasa dia pergunakan telah dia iklaskan diberikan kepada Prabu.
Sejak kehancuran rumah tangga mereka, Audrey yang memiliki hak asuh atas Ventria membawa serta bik Andar dan Yanti menempati sebuah apartemen yang dibelikan Benigno. Berada disebuah kota yang agak jauh dari rumahnya dahulu. Benigno tidak ingin Prabu dan orang lain yang mengenal Audrey mengetahui keberadaan adik tirinya itu.
Rumah yang sebelumnya mereka tempati telah dibeli Benigno dengan harga lumayan tinggi. Hasil penjualannya Audrey dan Prabu bagi sama rata sebagai harta gono-gini. Audrey tidak menuntut harta selain itu. Tunjangan untuk anakpun tidak dia minta karena dia cuma ingin berpisah dari suami yang diam-diam tega mendua bahkan dengan adik iparnya. Bagi Audrey hal itu tidak bisa ditoleransi. Pelan tapi pasti Audrey yakin dia akan bisa membunuh cintanya pada pria yang telah memberinya seorang putri cantik, Ventria. Keberadaan Prabu dan Denish? Dia tidak tahu. Kabar rumah tangga Jonash dengan Denishpun tidak dia pedulikan lagi.
Audrey masih melamun sambil mengendalikan mobilnya yang berjalan tidak terlalu laju. Beberapa menit kemudian dia sudah meninggalkan jalan yang ramai dan sampai di jalan kecil yang sebelah kanan dan kirinya terhampar bentangan perbukitan yang luas. Audrey mendengar sesuatu seperti bunyi lentingan sebuah kerikil. Ditengah suasana hening, Audrey tidak mau percaya bahwa yang baru saja menembus sisi kanan kendaraannya adalah peluru. Namun kemudian dengan suara desisan yang kuat, uap air keluar dari radiatornya yang kini berlubang. Audrey kaget tentu. Dia berusaha menguasai kendaraan sambil menghentikan lajunya.
“Sial, siapa yang mencoba menembakku?” Makinya kesal. Kepanikan tidak dapat dia sembunyikan.Audrey dapat merasakan denyutan di kepalanya saat mengulurkan tangan ke laci dasboard, meraih pistol pemberian Benigno, entah kenapa laki-laki itu memberikan senjata itu dan ternyata berguna juga. Audrey keluar melihat situasi. Tiba-tiba Audrey sudah berhadap-hadapan dengan para penyergap, dua lelaki bertubuh liat dengan kulit berwarna mahoni dan sabuk peluru melintang di dada. Tampang mereka sangar dan tangan kanan mereka mengacungkan senapan buatan Rusia setinggi batas pinggang mereka, langsung tepat menuju wajah Audrey.
Audrey dengan gaya intelek mengajak berdamai.
“Apa yang kalian inginkan?” tegur Audrey. Jantung Audrey berdegup begitu kerasnya sehingga dia kwatir tidak dapat menangkap jawaban mereka.
Sesaat Audrey tercengang mendengar seorang gringo**) bicara dalam bahasa mereka. Yang lebih jangkung menatap Audrey. Sorot matanya sama sekali tidak bersahabat.
“Ayo ikut kami!” bentaknya.
“Jangan ganggu saya,” sahut Audrey tak kalah kerasnya, lalu menambahkan beberapa kata umpatan. Ucapan Audrey yang sengit kembali membuat mereka tertegun. Kemudian satu diantara penyerang itu memberi isyarat pada Audrey dengan senapannya untuk menghampirinya, Audrey bertekat bertahan meskipun Audrey tahu dia akan menarik picu senjatanya.
“Pergi dari hadapanku!” teriak Audrey sekerasnya. Meski Audrey tahu mereka jauh dari pemukiman warga, dia berharap seseorang mendengar dan dapat membantunya.
Teriakan Audrey membuat mata laki-laki itu memancarkan amarah dan jelas-jelas ia berniat mencelakai Audrey. Dia mendekati Audrey yang mundur tertahan didepan kendaraannya.
Plakkk
Suara tamparan keras, telapak tangan laki-laki jangkung bernama Pete membuka, memukul keras pipi Audrey. Yang ditampar tidak tinggal diam begitu saja. Audrey mengacungkan pistolnya hendak mengancam, tapi dengan cepat dari belakang Audrey, Mark, laki-laki lain yang bertubuh pendek menelikung dengan posisi mengunci tangan Audrey tanpa memberi kesempatan wanita itu menarik pelatuk pistol pemberian calon suaminya, dan dalam sekejap senjata Audrey sudah berada ditangan Mark. Ketika itulah Audrey bergerak dengan instingnya, seperti binatang yang ingin mempertahankan diri dari musuh.
“ Kurang ajar, kalian. Mengeroyok seorang wanita. Dasar kalian tidak tahu malu!” gusar Audrey marah.
Mark, meskipun lebih pendek dari Audrey, tenaganya lebih kuat, dengan posisi tangannya yang masih mengunci siku Audrey kemudian menyeretnya kearah sebuah mobil hitam yang berhenti tidak jauh dari situ. Dari dalam mobil mewah jenis roll royce itu keluarlah seorang wanita pemberi perintah yang sejak tadi mengawasi mereka. Sangat cantik dan kelihatan berkelas. Mengenakan setelan jas hitam yang terlihat mahal. Didalam keremangan cahaya bulan, Audrey dapat melihat kulit putih wanita itu. Kiara, berwajah khas Italy, dengan rambut pendek berponi yang manis. Wanita itu menatap Audrey dengan pandangan kebencian.
“ Selera Benigno bagus juga. Kau Audrey Abellard?!” berkata wanita itu dengan matanya yang menatap tajam ke Audrey. Tinggi mereka hampir sejajar, mungkin 170 centi, sementara Audrey 2 centi lebih tinggi darinya.
“ Kau siapa!? Mereka laki-laki kurang ajar itu, mereka suruhanmu?! Kenapa kau mengikuti dan suruh mereka memukulku!?" pertanyaan beruntun Audrey yang tidak mengerti kenapa diperlakukan begitu.
“ Kau! Tidak perlu tahu siapa aku!” Sergah wanita itu.
Mungkin Tuhan menjawab doa Audrey, dari kejauhan sebuah mobil sepertinya akan melintasi jalan sepi itu. Dengan sigap Pete mendorong paksa wanita itu masuk kedalam mobil.
Seorang lelaki pengendara mobil itu menatap sekilas pada lajur kanan terdapat mobil mewah Kiara terparkir. Dia merasa terdapat keanehan disana. Tidak lama, hanya sekitar tiga puluh meter melaju, pengendara itu menghentikan mobilnya seperti tersadar akan sesuatu dan ingin memastikan tidak ada hal yang mungkin membahayakan orang lain. Dia memutar balik mobilnya dan berhenti tepat dilajur mobil Kiara yang dikendarai Mark, berusaha menghentikan kendaraan mewah itu.
“ Sial! Orang itu cari gara-gara!” Omel Kiara sarkas.
“ Berhenti!” teriak laki-laki itu yang sudah berdiri didepan mobil Kiara. Ternyata tangannya telah mengacung sebuah senjata laras pendek.
Audrey yang duduk disamping kanan Kiara dibagian kursi penumpang menatap ingin tahu siapa laki-laki baik yang telah Tuhan kirim untuk menyelamatkannya.
Mark terpaksa menghentikan mobilnya tepat lima meter didepan pria itu berdiri. Kiara yang marah dengan wajah masam keluar hendak memberi pelajaran pada lelaki yang telah berani mengganggu perjalanan mereka. Audrey yang melihat situasi segera berpikir cepat. Ini adalah sebuah kesempatan. Pintu yang dibuka Kiara karena terburu hawa nafsu meluapkan amarahnya dimanfaatkan Audrey untuk keluar dan berlari cepat memasuki kegelapan hutan sekencangnya untuk menghindar. Pokoknya dia harus meninggalkan mereka sekuat tenaga melangkahkan kaki seribu, sejauh mungkin.
Note :
*) operasi bypass adalah tindakan operasi untuk mengobati jantung koroner
**)gringo adalah istilah yang digunakan di Amerika Latin atau Spanyol untuk merujuk pada orang asing, khususnya orang Amerika atau Inggris.
Ceritakan tentang anakku.” Audrey bertanya saat mereka duduk di teras kecil itu.Audrey tiba-tiba bertanya kepada Nathan.“Beberapa kali kau mengatakan kata ‘anakku’, itu menyiratkan kalau anakku bukan anak kandungmu karena kau bilang kau suamiku.”Sungguh Nathan merasa ini episode tersulit yang harus ia dan istrinya lalui.Lelaki itu menatap ke arah cangkir kopinya yang telah kosong.Audrey tahu, sesuatu yang ia lupakan dan masih menjadi misteri itu bukan suatu kabar baik.“Kau pernah menikah dengan seseorang sebelum aku nikahi.” Akhirnya kata itu keluar dari bibirnya.“Apakah dia, Benigno yang aku cari?” Audrey menatap Nathan dengan ekspresi dalam, rasa ingin tahunya terlihat jelas.“Bukan.”“Lantas?”“Baiklah, aku akan membuka semua identitasmu.”Audrey memposisikan dirinya pada pose senyaman mungkin. Ia telah siap mendengarkan cerita Nathan.“Aku masih berkabung atas berpulangnya sahabatku, rekan kerjaku pada perusahaan yang kami berdua jalankan, ketika seminggu setelah pemakamanny
Sinar matahari menyinari kamar tidur nyaman ini. Kehangatan lembut meresap pada permukaan kulitnya.Pernahkah ia merasa lebih aman dan bahagia? Audrey sulit menjawab karena ingatannya hampir tak ada.Tapi ia tak bisa membayangkan merasa lebih aman daripada yang ia rasa sekarang ini.Kemarin, setelah singgah di sebuah desa terdapat sebuah toko bahan pangan, Ia melihat Nathan mengisi dua troli besar dengan sejumlah bahan makanan. Mereka berkendara selama berkilo-kilometer, jauh memasuki daerah pegunungan. Saat kemudian Nathan memasuki jalan berkerikil di puncak bukit, napas Audrey terasa terhenti, ia mengira dirinya telah melihat surga dalam perjalanan tadi, tapi itu hanya awalnya saja.Rumah kayu dua lantai milik Nathan terletak di puncak bukit menjulang. Terdapat teras kecil, di kedua lantai. Mereka menghadap lembah memikat dipenuhi pepohonan hijau menyejukkan. Tinggi dan masiv, pegunungan menjulang di kejauhan, menambah keindahan yang menakjubkan. Ia keluar dari mobil begitu Nathan be
"Enak saja. Jangan berani-beraninya kau menyalahkan dirimu. Ini semua salah Benigno. Sejak dulu bahkan sebelum aku mengenalmu, aku tahu siapa dia.”“Ceritakan bagaimana dia versimu.”Angin lembut menggerakkan rambut sebahu Audrey yang berwarna merah berpadu coklat yang keemasan, tampak kontras dengan pipinya yang bersih tanpa cela yang kini tidak pucat lagi, rona kemerahan telah tampak di situ.Begaimanapun saat ini adalah hari dimana ia merasa usahanya perlahan mulai menampakkan berita baik. Nathan akan menunda dulu cerita mengenai saudara tirinya itu agar tidak merusak suasana hati wanita ini.“Suatu saat aku akan menceritakan semua yang ingin kau katahui, ini hanya masalah waktu, SayangPanggilan itu sekali lagi membuat desir di hati Audrey tak tertahankan. Ia bisa menebak, lelaki di sampingnya tidak ingin suasana hatinya berubah karena mendengar sesuatu yang akan membuat ia tidak suka.Mungkin Nathan benar. Tapi ia tidak dapat mengenyahkan kenyataan bahwa jika ia tak pergi sendiri
Kau telah banyak membantu menguak tabir ini, Audrey,” ujar Patrick. “Berdasarkan informasi yang kau berikan dari sesi hipnotismu dua hari lalu, kami punya gambaran yang lebih jelas tentang keadaan fasilitas itu. Sepertinya dia punya banyak orang yang di rekrut untuk membantunya. Masalahnya, mereka itu siapa dan darimana asalnya?”“Mereka gelandangan.”“Apa?” Lima orang bertanya sekaligus.“Saat aku melatih, aku mendengar salah seorang pemuda menangis, mengatakan kalau dia ingin pulang. Pria yang memimpin latihan menghardiknya dan berkata, “Kau lupa? Kau tak punya rumah, layaknya idiot-idiot lain di sini. Kami memberi kalian para idiot gelandangan kesempatan tapi kalian bahkan tidak merasa beruntung.”“Itu masuk akal. Begitu banyak anak-anak jalanan sehingga tak ada yang kehilangan mereka saat mereka tak nampak.”Patrick berdiri, menandakan pertemuan hari ini akan usai. “Kau telah memberikan pemahaman baru bagi kami yang bahkan belum pernah kami pertimbangkan. Kerja yang bagus, Audrey.
Audrey mengedarkan pandangannya ke orang-orang dalam ruangan.“Suara lembut, jahat, melengking tapi maskulin, mengatakan padaku...” Audrey menelah ludah. “Dia akan menikmati saat menjinakkanku.”Nathan menahan perutnya yang bergolak, giginya gemeretak. Tapi ia berusaha menyembunyikan reaksi itu.Setelah menghembuskan napas panjang, Audrey berkata pelan. “Aku ingat rasa sakit...siksaan. Dia sangat menikmatinya.” Ia memejamkan mata, menahan gejolak di dadanya. “Aku mendengar tawa melengking...nyaris seperti memekik. Dia menertawakanku. Kurasa dia merancang siksaan berdasarkan yang menurutnya paling merendahkan dan sungguh menyakitkan.”Ketika Audrey membuka mata, Nathan yang memandangnya tidak berkedip, ingin melolong, ikut merasakan penderitaan nyata yang dipantulkan mata itu. Penderitaan dan rasa sakit tak terperi yang ia rasakan.“Aku digantung terbalik dalam kondisi telanjang...dan disirami air dingin. Kemudian dia menyuruh mereka meninggalkanku terbaring di satu tangan dan kakiku y
Troy Ferguson melangkahkan kaki ke dalam rumah utama, ia dilanda kebimbangan. Ia bertugas sebagai seorang eksekutor. Kali ini ia harus melakukan tugas itu lagi.Diketuknya pintu lab utama. Pemimpin membentak, “Masuk.”Dua pria berdiri di samping “Pemimpin”, mereka memegangi seorang wanita paruh baya, berambut gelap diantara mereka.Wanita itu telanjang. Tubuhnya lebam-lebam dan berdarah karena telah dipukuli. Penciumannya membawa aroma amis. Anak buah pemimpin sudah memakainya sebagai pelampiasan syahwat... wanita itu telah dihukum. Sungguh suatu pemandangan menyayat hati. Ia tak tahu alasannya, ia pun tak berani bertanya, karena kalau pemimpin sudah berkehendak, tiada yang boleh menghalangi. Jika pemimpin memilih untuk menghukum, itu haknya. Tidak ada yang boleh bertanya apalagi membangkang. Mata wanita itu bengkak dari pukulan bertubi-tubi yang telah ia terima. Dia mendongak, memandangnya dan sesuatu dalam dirinya tersentak, menusuk kebingungan tersebut. Wanita itu tersiksa, terluk