Mata indah ini menatap orang tuaku dan Nizar secara bergantian sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di sebelah Bunda.
“Nah, itu orangnya sudah ada. Baiknya Nak Nizar tanyakan sendiri padanya,” kata Papa tersenyum kecil ke arah Nizar, lalu melirikku sekilas.Kali ini, kulihat Nizar tampak salah tingkah begitu pandangan kami bertemu beberapa detik.Kenapa dia? Tak biasanya seperti itu.Dia yang tadinya tampak senyum-senyum ketika bersama Papa dan Bunda, seketika senyum manis itu memudar begitu ada aku.Senyum manis?Jangan berlebihan memujinya, nanti dia besar kepala.“Memang ada apa, Pa?” tanyaku dengan alis terangkat.Tak ada jawaban.Baik Papa dan Bunda hanya sama-sama tersenyum tipis.Di sofa lain, Nizar juga bergeming dengan wajah datarnya. Sebenarnya apa sih yang mereka bicarakan sebelumnya?Kenapa malah perasaanku yang tiba-tiba jadi dag dig dug ser?“Ini, Sayang....” Bunda buka suara. Tangannya bergerak mengusap pelan bahu ini. “Nak Nizar ke sini mau melamar kamu.”Deg!What the fuck?!Mata indahku melotot lebar, hampir saja lompat keluar.Tidak ada yang lebih mengangetkan selain daripada diajak menikah oleh mantan yang doyannya sama kriminal.Kenapa kubilang begitu? Karena dulu dia memutuskan hubungan kami yang konon alasannya aku terlalu baik untuknya.Artinya, dia memang doyan sama yang jahat, karena dia meninggalkan yang baik.Tapi, lihatlah sekarang... dia datang bak tak pernah terjadi apa-apa di antara kami.Dasar cicak tubin!“Jadi, apakah kamu ber—”“Ogah!” pekikku sontak berdiri.Kutatap bengis Nizar yang saat ini juga tengah menatapku.Bunda menyentuh lenganku, sebelum akhirnya suara lembutnya terdengar. “Duduk dulu, Sayang. Baru kita bicarakan baik-baik.”“Gak ada yang perlu dibicarain, Bun. Pokoknya aku gak mau, titik!” sungutku lantas berlalu. Sedikit berlari, menaiki anak tangga menuju kamar.Apa-apaan si Nizar? Ngilang 2 tahun tanpa alasan yang jelas, datang-datang mau melamar.Dipikir aku cewek apaan?Laju langkahku terhenti tepat di tangga paling atas.Aku berbalik melihat ke ruang tamu tanpa maksud dan tujuan tertentu.Kutatap emosi pria yang dulu pernah mengisi hari-hariku di bawah sana.Hingga tatapan kami bersemi di udara ketika ia juga menoleh ke arahku.Namun, acara tatap-tatapan itu tak berlangsung lama karena aku buru-buru memutuskan tali silaturahmi, eh ... memutuskan pandangan dengannya dan berlalu ke kamar.Gak lupa membanting pintu, tarik selimut, bobo manis saja.Hingga hari berganti, aku kembali pada rutinitas di kantor.Hanya saja, walau sibuk bekerja, isi kepala tetap saja kacau ... kacau ... kacau!Bukan karena ditinggal nikah, tetapi gara-gara Nizar yang tiba-tiba mengajak nikah.Aneh banget kan dia jadi cowok?Belum lagi anehnya Papa dan Bunda, sudah tahu kalau Nizar itu dalang keladi dari terpuruknya aku selama 2 tahun ini, eh... mereka malah ngasih wejangan seolah-olah aku harus memberi kesempatan kedua pada pria itu.Aneh banget kan? Kayak gak ada cowok lain aja.Padahal cowok mah banyak, yang suka yang gak ada.Ting!Sudut mata ini melihat nomor tak dikenal yang mencoba mengirim pesan padaku.Gegas, kuraih benda pipih itu karena penasaran.Terdapat gambar quote berlatar pemuda yang kukenal menatap pada langit yang bertabur bintang.“Jika kamu belum menemukan yang baru, maka bagaimana dengan yang lama?” Begitulah isi quote-nya.Ting!Pesan kembali masuk.“Maukah kamu kembali menjadi yang lama aku?”Kubiarkan saja pesan dari Nizar ini tanpa balasan.Biarin saja dia menunggu sampai lebaran idul Adha. Idul Fitri saja belum.Tak berselang lama, pesan kembali masuk.Kali ini, ia mengirim foto dirinya menggunakan kostum super hero yang menyeimbangkan gelas berisi air di atas kepalanya.“Dia apa-apaan, sih?” gerutuku hendak menyimpan kembali ponsel, tapi urung ketika pesan baru lagi-lagi masuk.“Aku tidak bisa menyelamatkan dunia tanpamu, tapi mungkin aku bisa menyelamatkan hubungan kita. Maukah kamu menikah denganku?”Jiah! Konyol banget.Ceritanya dia melamar aku pake cara aneh begitu?Dipikir aku mungkin akan luluh dengan caranya yang di luar nurul, tapi tidak akan.Kembali padanya, sama saja aku kembali menyelam di lautan luka lama.Perpisahan dengannya kala itu terlalu menyakitkan.“Permisi, Bu. Saya dapat info dari resepsionis, katanya ada yang mau bertemu Ibu di lobby.”Aktivitasku seketika terhenti mendengar ucapan Risma--sekretarisku.Bingung? Tentu saja. Aku tidak ada janji hari ini.Gak tahu lagi siapa gerangan yang ingin menemuiku di hari yang sudah sore begini.Sebentar lagi kantor juga tutup.Tanpa banyak protes, segera kusambar tas lengan di meja, lalu meninggalkan ruangan.Sekalian juga langsung pulang, istirahat.Sampai di lobby, kulihat pria yang kemarin datang ke rumah untuk melamarku sedang berdiri di sana.Tangannya tenggelam pada kedua saku celana jeans-nya.Masih mencoba berpikir positif, mungkin bukan dia yang mencariku.Tapi, masalahnya di lobby cuma dia seorang.Kalaupun memang dia yang mencariku, ada perlu apa?Bukankah jelas-jelas kemarin lamarannya sudah tertolak?Semestinya, ia mundur dan menjauh saja.“Cari siapa?” tanyaku.Sedikit basa-basi, daripada disangka terlalu geer dan ujung-ujungnya malu sendiri kalau ternyata dia mencari orang lain di sini, bukan diriku.“Tadi di jalan aku tiba-tiba sesak napas, jadi mampir ke sini dulu.”Tuh kan! Tuh kan!Dia aneh banget. Gak nyambung lagi jawabannya.Ya kali sesak napas, mampirnya ke kantor agensi. Bukannya ke rumah sakit.“Harusnya Tuan Nizar ke rumah sakit, bukan malah ke kantorku,” ucapku cuek.“Bagaimana mungkin aku ke tempat lain, Nona? Sedangkan separuh napasku ada di tempat ini?” katanya santai.Deg!Aku mencoba mencerna isi kalimatnya yang terkesan nyeleneh, tapi kok nembus di hati ya?Apa sih maksudnya? Sesak napas? Separuh napas?Halah! Kapan keanehan ini cepat berlalu?“Vy... kamu mau pulang kan? Pulangnya gimana? Mobil kamu kan rusak. Aku antar, mau ya?”Lihatlah, dia masih tak meninggalkan kebiasaan lamanya.Dia menunjukkan wajah memelas, persis waktu kami masih menjalin hubungan dan saat itu ia memelas karena aku merajuk.Dulu, aku paling tidak kuat melihat ekspresinya seperti itu. Selalu membius sampe pori-pori gelisah semua.Aku tak boleh terbuai. “Kagak! Aku bisa naik taxi.” “Aku ke sini buat jemput kamu, Vy. Masa kamu nolak sih?”“Kan gak ada yang manggil kamu buat jemput juga.”Pria berjas hitam itu mengusap wajahnya frustrasi. “Haih!”Aku tak peduli kegusarannya. Lagian, dia kurang kerjaan sekali. Datang ke kantor cuma buat jemput aku.Dipikir aku gak punya kaki buat pulang sendiri apa?“Sekarang mendung, Vy. Bentar lagi hujan. Gimana kalau ada petir?” Rupanya, Nizar masih tak kehabisan akal untuk mengajakku pulang bersama.Aku melihat langit yang memang sudah sangat mendung.Tapi, mendung ini bukan alasan untukku ikut bersamanya, bukan?“Tetap kagak! Hujannya masih jauh. Aku duluan.”Dengan sedikit berlari, aku meninggalkan kantor. Berniat untuk menunggu taxi di halte depan gerbang saja.Maksudku, berlama-lama dengan Nizar membuatku puyeng rada mumet.Hanya saja, belum sampai di halte, hujan sudah mengguyur tanah air beta.Mau tidak mau, aku putar haluan dan berlari kembali ke lobby kantor.Nahasnya, karena lari sambil menunduk, kedua tangan kupakai untuk melindungi kepala dari hantaman air hujan.Sehingga aku tak memperhatikan keadaan di depan. Dan....Brak!Aku menabrak Nizar hingga nyaris tersungkur.Beruntung karena ia sigap menangkap tubuhku.Aku mendongak di saat ia juga menunduk.Tatapan kami terkunci di jarak yang cukup dekat.Tuhan, selamatkan jantungku!“Apa kamu sedang uji coba remot langit untuk menggantikan Mbak Rara jadi pawang hujan di Mandalika?”Pertanyaan Nizar membuatku buru-buru melepaskan diri dari pelukannya yang tadi menahan tubuh ini ala-ala drama bollywood. Apa-apaan sih dia meluk-meluk kayak gitu? Jangan-jangan dia sengaja lagi cari kesempatan dalam kesempitan. Dasar mantan!“Siapa juga yang mau jadi pawang hujan? Ngaco aja kalo ngomong,” sungutku.Melipat tangan di depan dada sambil mengerucutkan bibir kesal.Enggan melihat wajahnya yang sedari tadi sok manis itu. Tapi, dia emang manis sih!“Kamu tuh. Dibilangin mau hujan juga, tetap ngotot pergi. So-soan gak mau diantar,” cecar Nizar. “Sejak kapan sih kamu jadi gengsian begitu?”Aku bergeming, tak ingin menanggapi perkataannya lagi. Hingga tak lama, security kantor datang membawa payung yang kuduga itu permintaan Nizar. Dia membentangkan payung tersebut dan memaksaku ikut bersamanya. Dengan segenap rasa malas, daripada tinggal di kantor lebih lama dalam situa
Sebab kesalahpahaman itu, aku dan Nizar diarak warga hingga ke rumah yang memang sudah tak begitu jauh lagi. Padahal, tadi sudah membela diri sampai memohon agar dilepaskan saja, tapi tak membuahkan hasil. Sialnya lagi, karena beberapa warga yang memergokiku sedang berduaan dengan Nizar di mobil tadi, sebagian mengenal baik keluargaku. Kalau tidak salah, ada Pak RT juga. Aku ingat wajahnya, dia beberapa kali datang ke rumah bertemu Papa. Jadi, manalah mungkin aku bisa berkilah untuk sekadar memalsukan alamat, karena mereka sudah tahu tanpa kuberi tahu sekalipun. Ini tuh semua gara-gara si Nizar, seandainya dia gak maksa-maksa aku ikut mobilnya tadi, kita gak bakal dihakimi.Dituduh mesum, padahal kami gak ngapa-ngapain juga. Hanya sebatas meluk doang, itu pun karena terpaksa. Tau begini, gak mau aku ikut pulang si Nizar. Emang dasar, dia selalu membuat hidupku runyem. “Pak Bima!” teriak Pak RT menggedor-gedor pintu rumahku.Caranya menggedor macam mau menggerebek istri sah yan
“Papa dan Bunda kenapa sih pake acara menyetujui permintaan warga? Itu konyol banget asli! Apa Papa sama Bunda udah gak percaya Divya lagi?” Nada suaraku sedikit meninggi, tapi bukan bermaksud untuk membentak dua orang tercintaku itu. Hanya saja, diri ini sudah tak bisa menahan kekesalan yang sedari tadi meluap-luap.Sehingga setelah Nizar pamit pulang, aku sengaja menemui mereka di kamarnya untuk meminta alasan kenapa menyetujui pernikahan konyol itu?Bukannya membela di depan warga, malah membiarkan terjebak dalam dilema pernikahan yang tak kuharapkan. Kini, Bunda turun dari ranjang dan menghampiriku yang tengah berdiri kaku di depan pintu. “Eh... eh, datang-datang malah nyolot. Perasaan Bunda gak pernah ngajarin Divya bicara pake nada tinggi depan orang tua.” Suara Bunda yang selembut sutera sampai dalam hati. Sukses membuatku mati kutu. “Maaf, Bun,” lirihku. Mengangkat wajah, menata
Bunyi bising masjid-masjid dari segala penjuru kota terpaksa membuatku mengerjap.Seingatku baru tidur sebentar, tapi ternyata hari sudah subuh lagi. Eh, tapi bentar... bentar deh!Ini kenapa aku tiba-tiba tidur di bantalnya Nizar? Mana aku meluk seolah-olah dia guling lagi?Sialan! Ini jadinya kayak aku yang nempel-nempel dia gak sih? Huwaa!Gak bisa! Gak bisa dibiarin ini!Amit-amit meluk cicak tubin.Aku mendongak sedikit, melihat wajahnya. Memastikan dia masih tidur.Dan syukurlah, tidurnya masih nyenyak. Gawat kalau dia bangun, mau ditaruh di mana mukaku yang cantik paripurna ini? Masa pindah ke pergelangan kaki?Aku juga gak sudi dia jadi besar kepala kalau tau insiden peluk-pelukan ini, bisa saja diungkit sampe lebaran haji dengan tujuan untuk melemahkanku di hadapannya.Detik berikutnya, aku berusaha memindahkan kaki yang menimpa kakinya dengan gerakan san
Sedikit panik, aku tak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan Sarah?Dijawab bohong, urusannya bakal panjang. Gak dijawab pun sama aja. Bakal berurusan sampe anak kucing jadi anak singa.Detik berikutnya, Nizar memecah keheningan di antara kami. “Sayang, aku pamit ya. Kamu semangat kerjanya.” Dia sambil mengedipkan sebelah matanya, membuatku mengerang sebal dalam hati. Cukup dalam hati. Gak bisa mengamuk di sini.Walaupun kesal banget dia manggil-manggil sayang, di depan Sarah lagi. Bikin malu aja.“Sarah, duluan ya!” teriak Nizar yang dibalas Sarah dengan anggukan singkat. Kulihat ibu anak 1 itu melongo sampai mobil berwarna hitam milik Nizar melewati gerbang kantor.Sesaat kemudian Sarah mengendus-endus tubuhku seakan mencium ada bau bangkai tikus.Aku sampai ikut mencium bau tubuh sendiri. Harum bau parfum.“Ngapain?”“Gue mencium aroma-aroma cinta lama belum kelar.”
Kupejamkan mata sebentar, sembari menelan ludah yang terasa getir.Memang, aku tak sempat mengabari Sarah tentang pernikahan ini, bukan gak mau? Tapi tadi malam, buat bernapas aja susah. Yang kurasakan cuma sesak dan hampa.“Gue gak kepikiran sampe sana,” lirihku menggeleng pelan.Membuang napas kasar. Lantas, beranjak. Duduk di sofa, diikuti Sarah. Aku menceritakan awal mula kenapa bisa menikah dengan mantan kekasihku yang sudah putus selama 2 tahun itu? Dimulai dari Nizar yang sebelumnya memang sempat datang ke rumah untuk melamar, tapi aku tolak matang-matang.Berlanjut pada ajakan pulang bareng yang ternyata menyisakan masalah serumit memecahkan sandi rumput.Sampai akhirnya, menikah, di atas label kepergok mesum di tempat umum. Sialnya, karena bukannya prihatin mendengar ceritaku, Sarah malah tertawa terbahak-bahak. Seolah melupakan rasa ibanya tadi.Seakan apa yang telah kusampaikan i
“Bagus gimana, njir?! Malu-maluin aja itu kalau dipake. Lu niat gak sih ngasih hadiah? Ya kali ngasih baju tipis banget, menerawang lagi.” Aku ngedumel, menyampaikan isi hati. Seandainya Sarah ada di sini, kutimpuk wajahnya pake baju tipis ini. Serius!Tapi, kalau sama Sarah memang sudah terbiasa blak-blakan dan buka-bukaan. Bisa dibilang, tidak ada rahasia di antara kita. Bukannya merasa bersalah dengan kado pemberiannya, kudengar Sarah malah tertawa terbahak-bahak. Tuh kan, tuh kan! Dia kalau ketawa, Mbak Kunti pun jadi insecure. “Itu baju mahal, njir!” “Mahal dari mana kurang bahan begini? Yang ada gue kena siraman rohani 7 tanjakan, 7 turunan, 7 tikungan dari Bunda kalo nekat pake baju dari lu. Gak ada bagus-bagusnya!” semburku. “Kayak jaring ikan tau gak sih?”“Woylah, Burung Pipit!” Sarah tertawa lagi.Lucunya di mana sih?“Lu polos banget sih, njir! Yang ada gue malah kas
“Mau jalan-jalan dulu gak?” tanya Nizar memecahkan keheningan saat kami berada dalam perjalanan ke rumahnya. Aku yang bersandar dengan pandangan lurus ke depan, menoleh sebentar ke arahnya.“Ke mana?” tanyaku.“Ke hatimu.”Sialan!Ini sama saja membangunkan singa yang lagi tidur. Padahal, tadi aku sudah lembut banget bertanya padanya. Gak ada nada ketus-ketus lagi. Namun, dia sepertinya sengaja memancing perdebatan. Dasar laki-laki. Gak tenang hidupnya kalau melihat perempuan tak mengomel dalam sehari saja.Aku membuang pandangan ke luar jendela. Kesal banget sama si Nizar. Sumpah!“Ke mana aja yang kamu mau.”Gak ada! Gak mood ke mana-mana lagi sekarang. Padahal tadi mau-mau aja diajak ke manapun untuk melepaskan kesedihan karena pisah sama Papa dan Bunda.“Gak usah!” ketusku. “Langsung ke rumah aja. Tapi, mampir beli martabak dulu ya. Mau beliin buat Ibu.”Tidak lucu juga kalau per