Share

Bab 5

Mata indah ini menatap orang tuaku dan Nizar secara bergantian sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di sebelah Bunda.

“Nah, itu orangnya sudah ada. Baiknya Nak Nizar tanyakan sendiri padanya,” kata Papa tersenyum kecil ke arah Nizar, lalu melirikku sekilas.

Kali ini, kulihat Nizar tampak salah tingkah begitu pandangan kami bertemu beberapa detik.

Kenapa dia? Tak biasanya seperti itu.

Dia yang tadinya tampak senyum-senyum ketika bersama Papa dan Bunda, seketika senyum manis itu memudar begitu ada aku.

Senyum manis?

Jangan berlebihan memujinya, nanti dia besar kepala.

“Memang ada apa, Pa?” tanyaku dengan alis terangkat.

Tak ada jawaban.

Baik Papa dan Bunda hanya sama-sama tersenyum tipis.

Di sofa lain, Nizar juga bergeming dengan wajah datarnya. 

Sebenarnya apa sih yang mereka bicarakan sebelumnya?

Kenapa malah perasaanku yang tiba-tiba jadi dag dig dug ser?

“Ini, Sayang....” Bunda buka suara. Tangannya bergerak mengusap pelan bahu ini. “Nak Nizar ke sini mau melamar kamu.”

Deg!

What the fuck?!

Mata indahku melotot lebar, hampir saja lompat keluar.

Tidak ada yang lebih mengangetkan selain daripada diajak menikah oleh mantan yang doyannya sama kriminal.

Kenapa kubilang begitu? Karena dulu dia memutuskan hubungan kami yang konon alasannya aku terlalu baik untuknya.

Artinya, dia memang doyan sama yang jahat, karena dia meninggalkan yang baik.

Tapi, lihatlah sekarang... dia datang bak tak pernah terjadi apa-apa di antara kami.

Dasar cicak tubin!

“Jadi, apakah kamu ber—”

“Ogah!” pekikku sontak berdiri.

Kutatap bengis Nizar yang saat ini juga tengah menatapku.

Bunda menyentuh lenganku, sebelum akhirnya suara lembutnya terdengar. “Duduk dulu, Sayang. Baru kita bicarakan baik-baik.”

“Gak ada yang perlu dibicarain, Bun. Pokoknya aku gak mau, titik!” sungutku lantas berlalu. Sedikit berlari, menaiki anak tangga menuju kamar.

Apa-apaan si Nizar? Ngilang 2 tahun tanpa alasan yang jelas, datang-datang mau melamar.

Dipikir aku cewek apaan?

Laju langkahku terhenti tepat di tangga paling atas.

Aku berbalik melihat ke ruang tamu tanpa maksud dan tujuan tertentu.

Kutatap emosi pria yang dulu pernah mengisi hari-hariku di bawah sana.

Hingga tatapan kami bersemi di udara ketika ia juga menoleh ke arahku.

Namun, acara tatap-tatapan itu tak berlangsung lama karena aku buru-buru memutuskan tali silaturahmi, eh ... memutuskan pandangan dengannya dan berlalu ke kamar.

Gak lupa membanting pintu, tarik selimut, bobo manis saja.

Hingga hari berganti, aku kembali pada rutinitas di kantor.

Hanya saja, walau sibuk bekerja, isi kepala tetap saja kacau ... kacau ... kacau!

Bukan karena ditinggal nikah, tetapi gara-gara Nizar yang tiba-tiba mengajak nikah.

Aneh banget kan dia jadi cowok?

Belum lagi anehnya Papa dan Bunda, sudah tahu kalau Nizar itu dalang keladi dari terpuruknya aku selama 2 tahun ini, eh... mereka malah ngasih wejangan seolah-olah aku harus memberi kesempatan kedua pada pria itu.

Aneh banget kan? Kayak gak ada cowok lain aja.

Padahal cowok mah banyak, yang suka yang gak ada.

Ting!

Sudut mata ini melihat nomor tak dikenal yang mencoba mengirim pesan padaku.

Gegas, kuraih benda pipih itu karena penasaran.

Terdapat gambar quote berlatar pemuda yang kukenal menatap pada langit yang bertabur bintang.

“Jika kamu belum menemukan yang baru, maka bagaimana dengan yang lama?” Begitulah isi quote-nya.

Ting!

Pesan kembali masuk.

“Maukah kamu kembali menjadi yang lama aku?”

Kubiarkan saja pesan dari Nizar ini tanpa balasan.

Biarin saja dia menunggu sampai lebaran idul Adha. Idul Fitri saja belum.

Tak berselang lama, pesan kembali masuk.

Kali ini, ia mengirim foto dirinya menggunakan kostum super hero yang menyeimbangkan gelas berisi air di atas kepalanya.

“Dia apa-apaan, sih?” gerutuku hendak menyimpan kembali ponsel, tapi urung ketika pesan baru lagi-lagi masuk.

“Aku tidak bisa menyelamatkan dunia tanpamu, tapi mungkin aku bisa menyelamatkan hubungan kita. Maukah kamu menikah denganku?”

Jiah! Konyol banget.

Ceritanya dia melamar aku pake cara aneh begitu?

Dipikir aku mungkin akan luluh dengan caranya yang di luar nurul, tapi tidak akan.

Kembali padanya, sama saja aku kembali menyelam di lautan luka lama.

Perpisahan dengannya kala itu terlalu menyakitkan.

“Permisi, Bu. Saya dapat info dari resepsionis, katanya ada yang mau bertemu Ibu di lobby.”

Aktivitasku seketika terhenti mendengar ucapan Risma--sekretarisku.

Bingung? Tentu saja. Aku tidak ada janji hari ini.

Gak tahu lagi siapa gerangan yang ingin menemuiku di hari yang sudah sore begini.

Sebentar lagi kantor juga tutup.

Tanpa banyak protes, segera kusambar tas lengan di meja, lalu meninggalkan ruangan.

Sekalian juga langsung pulang, istirahat.

Sampai di lobby, kulihat pria yang kemarin datang ke rumah untuk melamarku sedang berdiri di sana.

Tangannya tenggelam pada kedua saku celana jeans-nya.

Masih mencoba berpikir positif, mungkin bukan dia yang mencariku.

Tapi, masalahnya di lobby cuma dia seorang.

Kalaupun memang dia yang mencariku, ada perlu apa?

Bukankah jelas-jelas kemarin lamarannya sudah tertolak?

Semestinya, ia mundur dan menjauh saja.

“Cari siapa?” tanyaku.

Sedikit basa-basi, daripada disangka terlalu geer dan ujung-ujungnya malu sendiri kalau ternyata dia mencari orang lain di sini, bukan diriku.

“Tadi di jalan aku tiba-tiba sesak napas, jadi mampir ke sini dulu.”

Tuh kan! Tuh kan!

Dia aneh banget. Gak nyambung lagi jawabannya.

Ya kali sesak napas, mampirnya ke kantor agensi. Bukannya ke rumah sakit.

“Harusnya Tuan Nizar ke rumah sakit, bukan malah ke kantorku,” ucapku cuek.

“Bagaimana mungkin aku ke tempat lain, Nona? Sedangkan separuh napasku ada di tempat ini?” katanya santai.

Deg!

Aku mencoba mencerna isi kalimatnya yang terkesan nyeleneh, tapi kok nembus di hati ya?

Apa sih maksudnya? Sesak napas? Separuh napas?

Halah! Kapan keanehan ini cepat berlalu?

“Vy... kamu mau pulang kan? Pulangnya gimana? Mobil kamu kan rusak. Aku antar, mau ya?”

Lihatlah, dia masih tak meninggalkan kebiasaan lamanya.

Dia menunjukkan wajah memelas, persis waktu kami masih menjalin hubungan dan saat itu ia memelas karena aku merajuk.

Dulu, aku paling tidak kuat melihat ekspresinya seperti itu. Selalu membius sampe pori-pori gelisah semua.

Aku tak boleh terbuai. “Kagak! Aku bisa naik taxi.” 

“Aku ke sini buat jemput kamu, Vy. Masa kamu nolak sih?”

“Kan gak ada yang manggil kamu buat jemput juga.”

Pria berjas hitam itu mengusap wajahnya frustrasi. “Haih!”

Aku tak peduli kegusarannya. Lagian, dia kurang kerjaan sekali. Datang ke kantor cuma buat jemput aku.

Dipikir aku gak punya kaki buat pulang sendiri apa?

“Sekarang mendung, Vy. Bentar lagi hujan. Gimana kalau ada petir?” Rupanya, Nizar masih tak kehabisan akal untuk mengajakku pulang bersama.

Aku melihat langit yang memang sudah sangat mendung.

Tapi, mendung ini bukan alasan untukku ikut bersamanya, bukan?

“Tetap kagak! Hujannya masih jauh. Aku duluan.”

Dengan sedikit berlari, aku meninggalkan kantor. Berniat untuk menunggu taxi di halte depan gerbang saja.

Maksudku, berlama-lama dengan Nizar membuatku puyeng rada mumet.

Hanya saja, belum sampai di halte, hujan sudah mengguyur tanah air beta.

Mau tidak mau, aku putar haluan dan berlari kembali ke lobby kantor.

Nahasnya, karena lari sambil menunduk, kedua tangan kupakai untuk melindungi kepala dari hantaman air hujan.

Sehingga aku tak memperhatikan keadaan di depan. Dan....

Brak!

Aku menabrak Nizar hingga nyaris tersungkur.

Beruntung karena ia sigap menangkap tubuhku.

Aku mendongak di saat ia juga menunduk.

Tatapan kami terkunci di jarak yang cukup dekat.

Tuhan, selamatkan jantungku!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status