Ayu melangkahkan kakinya menuju ruangan papanya dengan perasaan lebih berat dari biasanya. Perasaannya campur aduk antara penasaran, khawatir, dan sedikit curiga.
Pasalnya tidak biasanya papanya memanggil dirinya ke ruangan pagi-pagi. Ia takut ada masalah besar yang menyangkut dengan kedatangan pria malam itu. Jangan-jangan … Gigolo itu sudah berkata sesuatu ke papanya?! Ayu mempercepat langkahnya menuju ruangan papanya dengan perasaan panik. Ia berharap pemikirannya itu salah dan papanya hanya mau berdiskusi tentang pekerjaan dengannya. Sampai di depan ruangan papanya, Ayu mengetuk pintu itu. Tok tok tok! "Masuk." Ayu membuka pintu ruangan papanya dengan perlahan. Begitu pintu ruangan terbuka, Ayu mendapati sang papa sedang duduk dengan serius di meja kerjanya. "Papa memanggil Ayu?" Galih mengalihkan tatapannya pada Ayu dan tersenyum. "Iya. Masuk, Yu," ujarnya. Ayu melangkahkan kaki, masuk lebih dalam ke ruangan papanya. Tapi baru satu langkah Ayu melangkah, Ayu sudah menghentikan langkahnya dan yang membuat Ayu menghentikan langkahnya adalah sosok yang duduk di seberang meja papanya. Mata Ayu membulat. Jantungnya berdetak dua kali lipat dari biasanya. Pria gigolo itu! Apa dia sudah bilang sesuatu ke papanya?! Pria itu menyeringai ke Ayu yang berdiri kaku. Jelas sekali dia tengah mengejek Ayu karena perempuan itu benar-benar tidak bisa lepas dari sang pria setelah kejadian di lift tadi. “Masuk, Ayu,” kata Galih saat melihat Ayu menghentikan langkahnya, “Ada yang ingin Papa bicarakan.” Dengan enggan, Ayu masuk dan duduk di kursi yang masih kosong , tepat di samping pria malam itu. Suasana langsung terasa tidak nyaman. Namun, Ayu sebisa mungkin bersikap biasa saja. “Jadi, alasan Papa memanggil kamu ke ruangan Papa ….” Tubuh Ayu semakin menegang. Ia menundukkan kepala dan meremas kedua tangannya erat, takut dengan kenyataan bahwa papanya sudah mengetahui hubungannya dengan pria di sampingnya ini. "Karena ingin memperkenalkan kamu dengan seseorang," lanjut Galih menatap Ayu dengan serius. "Perkenalkan, dia Ashraf, calon suami kamu." Ayu mengerjapkan mata kemudian menoleh cepat ke arah papanya. Matanya membelalak sempurna. “Apa?!” ucapnya nyaris tidak percaya, "Papa jangan bercanda!" "Papa tidak bercanda Ayu. Dia memang calon suami kamu." Ayu menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Papa nggak bisa seenaknya seperti ini! Aku tahu kalau aku harus segera menikah, tapi bukan dengan dia juga!" ucapnya sambil menatap Ashraf dengan tatapan tidak suka. Galih menatap putrinya bingung. "Memangnya kenapa, Ayu? Apa yang salah dengan Ashraf? Ashraf pria baik, dewasa, dan bisa membimbing kamu. Dia juga memiliki pekerjaan yang bagus." Ayu menggeleng. "Aku tetap tidak mau menikah dengan dia, Pa. Aku tahu siapa dia, dia bukan pria baik." Galih mengangkat alisnya, "Kamu tahu siapa Ashraf? Apa kalian saling kenal?" Ayu menelan salivanya dengan cepat mendengar pertanyaan dari papanya. Dia keceplosan! Ia segera menundukkan pandangan dan menggigit bibirnya cemas. Ia bingung harus bagaimana, tidak mungkin jika ia mengatakan pada papanya jika Ashraf adalah seorang gigolo. Yang ada Galih akan curiga kepadanya. Sementara itu, Ashraf hanya diam sambil menatap Ayu dengan tatapan yang sulit diartikan. "Jawab Papa, Ayu! Apa kamu kenal dengan Ashraf? Kenapa kamu bisa bilang seperti itu tentang Ashraf?" "Karena dia adalah gigolo, Pa!" teriak Ayu di dalam hati. Tapi nyatanya yang keluar dari mulutnya berbeda, "Enggak, Pa. Aku nggak kenal sama dia, tapi aku tahu kalau dia bukan pria baik." "Maksud kamu apa? Kurang baik apa Ashraf? Perlu kamu tahu, Ayu, Ashraf adalah putra tunggal dari keluarga Zuhair. Dia itu adalah presiden direktur Zuhair Company." Ayu membelalakkan matanya. Ia seketika menoleh pada Ashraf dengan tatapan tidak percaya. "A-apa?!" —oOo— Ayu berjalan dengan langkah gontai. Ia seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia ketahui. Bagaimana mungkin jika pria yang menghabiskan malam bersamanya waktu itu adalah seorang presiden direktur di perusahaan Zuhair Company? Sekarang, Ayu bingung harus bagaimana menghadapi Ashraf. Ia sungguh takut jika sewaktu-waktu Ashraf mengatakan kejadian malam itu pada papanya. Apalagi melihat kedekatan Ashraf dengan papanya. Ayu menghela napas panjang dan masuk ke dalam ruangannya. Ia menjatuhkan tubuhnya di kursi dengan lemas. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan menatap langit-langit ruangannya. Tidak lama, pintu ruangan Ayu terbuka, terlihat Tania di sana. Sahabatnya itu mendekatinya dengan raut wajah heran. "Kamu kenapa, Yu? Apa ada masalah besar?" tanya Tania khawatir ketika melihat wajah sahabatnya yang terlihat kacau. Ayu menatap Tania sesaat dan mendesah lalu kembali menatap langit-langit, "Kamu nggak bakal percaya ...." “Percaya soal apa? Coba cerita.” Ayu menghela napas berat, “Papa manggil aku ke ruangannya hanya untuk mengenalkanku dengan calon suamiku. Laki-laki pilihan Papa yang akan menggantikan Rio." Tania membelalak, “Yang bener, Yu?! Masa Om Galih udah cari pengganti Rio aja?" "Nyatanya emang begitu. Papa udah cari pengganti Rio," jawab Ayu lemas. Tania menggeleng tidak percaya. "Terus siapa pengganti Rio? Apa dia ganteng?" tanyanya. "Kalau kamu denger siapa calon suami aku, aku yakin kamu nggak akan percaya.” ucap Ayu yang sama sekali tidak menjawab pertanyaan terakhir Tania. "Emang siapa calon suami kamu?" tanya Tania penasaran. Ayu menarik napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan, "Adam Ashraf Zuhair, pewaris tunggal dari keluarga Zuhair." Tania kembali membelalak sempurna, "Kok bisa?!” "Iya. Ternyata Papaku sahabatan sama Papanya Ashraf." Tania mengangguk mengerti. "Pantesan," gumamnya. "Terus aku harus gimana dong, Tan? Masa iya aku harus nikah sama dia." "Loh, emang apa salahnya? Dia jauh lebih segalanya dari si brengsek Rio," ucap Tania bingung. "Kamu benar, Tan. Tapi masalahnya nggak segampang itu." Tania semakin menatap Ayu dengan selidik,. "Sebenarnya ada apa sih, Yu? Kamu ada masalah sama Ashraf?" Ayu menatap Tania. Ia menghela napas panjang dan pada akhirnya ia menceritakan kejadian malam di mana ia memergoki Rio dan berakhir dengan dirinya yang tidur dengan seorang gigolo yang tidak lain adalah Ashraf. "Astaga, Ayu!" Tania sangat terkejut. Ia bahkan sampai menutup mulutnya saking terkejutnya. "Makanya itu, Tan, aku ketar ketir. Gimana kalau nanti Ashraf tiba-tiba bilang kejadian itu sama Papa, bisa-bisa aku habis sama Papa. Itu juga bisa jadi bencana buat reputasi keluarga aku.” Tania mengangguk pelan. Ia terdiam sejenak seolah sedang berpikir kemudian berkata dengan ragu, “Tapi, Yu. Kalau dia belum ngomong sampai sekarang, bisa jadi dia nggak niat buat nyebarin. Mungkin dia ... punya alasan lain.” “Alasan lain?” ulang Ayu, menoleh. Tania mengangguk lalu nyengir jahil, “Ya siapa tahu dia naksir kamu?” “Gila kamu!” Ayu langsung memukul pelan lengan sahabatnya. "Itu nggak mungkin! Bahkan kita sama sekali nggak saling kenal. Aku sama dia pertama kali ketemu di klub malam itu." "Di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin, Yu. Mungkin aja Ashraf jatuh cinta sama kamu di pandangan pertama, makanya sampai sekarang dia diam dan nggak bilang kejadian itu sama Om Galih," ucap Tania mengatakan kemungkinan yang ada. Ayu menghela napas. Ia memikirkan apa yang dikatakan Tania. Apa memang benar Ashraf suka padanya? Namun, ia kembali menggeleng. "Itu nggak mungkin, Tania. Aku malah yakin kalau dia menyembunyikan kejadian malam itu karena dia mau balas dendam sama aku yang secara nggak langsung udah ngehina keturunan Zuhair dengan uang yang nggak seberapa di mata dia." Tania menggelengkan kepalanya pelan, melihat sahabatnya yang overthinking. "Kamu terlalu overthinking. Yaudah, aku balik kerja dulu.” Tania berjalan keluar dari ruangan Ayu. Sementara itu, Ayu kembali bersandar di kursinya. Kepalanya pening, pikirannya penuh. Ia merasa seperti masuk ke dalam perangkap yang tak bisa ia hindari. Satu sisi, ia ingin menolak habis-habisan, tapi di sisi lain ia tahu Ashraf bukanlah pria sembarangan sehingga ia tidak bisa bergerak sembarangan.. “Kenapa harus dia, Tuhan?” gumam Ayu lirih. Ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Ayu segera mengambil ponselnya dan seketika tercekat ketika melihat pesan tersebut. “Jangan terlalu panik, Ayu. Aku tidak berniat merusak mu. Kita bicara nanti.” — AMia berdiri di pantry lantai sebelas, menggenggam secangkir kopi yang baru saja ia siapkan. Tangannya memasukkan satu tetes cairan bening dari botol kecil ke dalam cangkir—obat penenang ringan yang bekerja cepat, namun tak akan menimbulkan kecurigaan medis.Wajahnya tenang, penuh perhitungan."Aku cuma perlu satu momen... satu kesan... dan Ayu akan hancur dengan sendirinya," gumam Mia sambil mengaduk pelan kopi tersebut.Tak lama kemudian, ia turun ke lantai utama, dengan langkah percaya diri. Ia menghampiri meja Ayu.“Bu Ayu, ini kopi untuk Pak Ashraf. Katanya lagi banyak tekanan, jadi saya inisiatif buatkan,” ucap Mia dengan senyum ramah palsu.Ayu menatapnya curiga. “Kenapa kamu yang bawain?”“Saya cuma membantu, Bu. Saya tahu saya sudah bukan sekretaris lagi, tapi saya masih peduli sama performa kantor ini.”Tanpa menunggu respons Ayu, Mia langsung mengetuk pintu ruang Ashraf dan masuk.---Di dalam ruangan...Ashraf yang saat itu sedang mengecek laporan keuangan, menoleh sejenak.
Pagi ketiga Ayu sebagai sekretaris pribadi dimulai dengan suasana yang jauh berbeda.Kantor sedang dalam persiapan menyambut klien besar dari Jepang—calon investor untuk proyek ekspansi Ashraf Group di Asia Tenggara. Semua tim sibuk, termasuk Ayu, yang sejak pagi sudah diminta Arnold untuk menyusun ulang agenda meeting, menyiapkan file presentasi, dan mengecek ulang semua dokumen penting.Ashraf pun bersikap lebih serius hari ini. Tak ada godaan, tak ada pujian-pujian kecil. Ia sibuk dengan rapat internal dan panggilan konferensi.Namun, di balik semua itu, bahaya mulai mengintai.---Di Lantai SebelasMia berdiri di depan lift dengan setumpuk dokumen di tangan. Tapi di antara tumpukan itu, ada satu file yang telah ia ubah diam-diam—berkas presentasi proyek utama yang akan digunakan Ashraf dalam pertemuan dengan investor Jepang sore nanti.Ia menyelipkan versi palsu berisi data yang belum diverifikasi dan beberapa angka manipulatif. Jika dokumen itu dipresentasikan, reputasi Ashraf bi
Pagi berlalu dengan atmosfer tegang di kantor Ashraf. Beberapa karyawan yang mengetahui perubahan posisi Ayu hanya bisa saling bertukar pandang, membicarakannya dalam bisik-bisik di balik meja kerja. Mereka tak menyangka Ayu, yang sebelumnya menjabat sebagai kepala divisi pemasaran, kini duduk tepat di depan ruangan Ashraf sebagai sekretaris pribadi.Namun, Ayu bersikap profesional. Ia membuka laptop, mencatat agenda rapat Ashraf hari itu, dan mulai membaca kembali beberapa dokumen penting yang diberikan oleh Arnold. Tak ada senyum, tak ada gumaman—hanya keseriusan yang terpancar dari wajahnya.Di dalam ruangan, Ashraf sesekali mencuri pandang ke arah Ayu dari balik kaca ruangan yang sedikit terbuka. Ada rasa bersalah yang sulit dihapuskan dari hatinya. Ia tahu Ayu merasa dipaksa, tapi ini satu-satunya cara untuk membuat istrinya tetap berada dalam jangkauannya.Ashraf menekan interkom.“Bisa masuk sebentar?”Ayu mengangguk dan berdiri, masuk ke dalam ruang kerja Ashraf.“Ya, ada yang
Keesokan harinya, Ayu mulai bersiap-siap untuk berangkat kerja. Namun, pagi ini tidak sesemangat biasanya. Pagi ini Ayu dengan malas bersiap-siap. Kalian sudah tahu alasannya. Ya, alasannya karena ia harus menjadi sekretaris pribadi suaminya. Ceklek!Pintu kamar mandi terbuka, membuat Ayu menatap ke arah cermin besar di depannya dan melihat keberadaan Ashraf yang baru saja keluar dari dalam sana. Begitu pula dengan Ashraf, ia menatap Ayu yang tengah bersiap-siap. Tatapan mereka berdua bertemu, membuat Ayu dan Ashraf saling tatap untuk beberapa saat sampai akhirnya Ayu memalingkan wajahnya, mengambil anting-anting dan memakainya. Ashraf hendak mendekat ke arah Ayu, tapi terhenti ketika ia mendengar suara pintu kamarnya dan Ayu diketuk. Tok ... Tok ... Tok ... "Ada apa?" tanya Ashraf ketika pintu mobil terbuka dan melihat dara di sekitar gedung kantor Ashraf terasa berbeda bagi Ayu. Tidak seperti biasanya, kali ini ia melangkah dengan hati yang berat menuju kantor sang suami. Mesk
Ayu menghentikan mobilnya ketika sudah sampai di perusahaan papanya. Ia memarkirkan mobil di basement tempat biasa ia memarkirkan mobilnya. Dengan waspada Ayu keluar dari mobil, melihat ke sekeliling takut jika di sana sudah ada dua bodyguard yang ditugaskan Ashar. Namun, ia bisa bernapas lega ketika tidak ada tanda-tanda dari kedua bodyguard itu. Ayu masuk ke lobby. Sesekali ia tersenyum dan membalas sapaan dari beberapa karyawan papanya. "Selamat pagi, Bu Ayu.""Pagi," jawab Ayu sembari tersenyum ramah. Di sisi lain, Nathan yang sedang berbicara dengan rekan kerjanya menoleh saat mendengar suara Ayu. Ia tersenyum ketika melihat wajah Ayu yang mengukir senyum ramah pada setiap orang. Dengan segera, ia berpamitan pada rekan kerjanya dan berjalan menyusul Ayu yang sudah berdiri di depan pintu lift yang masih tertutup. "Selamat pagi, Ayu." Sapaan dari arah belakang membuat Ayu yang sedang menunggu pintu lift terbuka menoleh dan melihat Nathan yang sedang berjalan ke arahnya dengan s
Ayu berhasil sampai ke pintu darurat yang mengarah ke parkiran basement. Napasnya nyaris habis, keringat membasahi pelipisnya. Dengan panik, ia menoleh ke kanan dan kiri, mencari celah untuk kabur. Matanya menangkap sebuah pintu keluar kecil di sisi kiri.“Semoga saja…” gumamnya sambil berlari ke arah pintu itu.Tangannya gemetar saat menarik handle pintu. Namun sebelum sempat membukanya sepenuhnya, sebuah tangan besar menarik lengannya dengan keras, membuat tubuhnya terhentak ke belakang.“Aaah!” jerit Ayu, tubuhnya berbalik paksa dan menabrak dada bidang seseorang yang begitu familiar.Ashraf.Napasnya memburu, rahang mengeras, dan matanya penuh amarah yang berusaha ia kendalikan. Wajahnya begitu dekat dengan Ayu hingga ia bisa merasakan hembusan napasnya.“Kenapa lari, Ayu?!” suaranya berat, tertahan, namun jelas dipenuhi emosi.“Aku… aku harus pulang!” Ayu mencoba meronta, menarik lengannya yang digenggam kuat. “Lepaskan, Ashraf!”Namun genggamannya semakin kuat. Dengan satu gerak