Bulu kuduk Ayu meremang seketika mendengar ucapan pria di hadapannya itu. Namun, Ayu segera bersikap biasa, walaupun sebenarnya jantungnya tidak baik-baik saja.
"Maaf, apa kita saling mengenal?" tanya Ayu pura-pura tidak kenal. Sang pria yang ternyata Ashraf itu, menarik ujung bibirnya. Ia menatap Ayu penuh makna. "Kita memang tidak saling mengenal. Tapi ... apa kejadian malam itu tidak berarti di hidup Nona, sampai Nona melupakannya?" Deg! Jantung Ayu seakan berhenti berdetak. Tenggorokannya pun mendadak terasa kering, membuatnya kesulitan menelan salivanya. Namun, dengan segera Ayu menetralkan ekspresinya dan menatap pria di hadapannya dengan dingin. "Maaf, Tuan. Sepertinya, Anda sudah salah orang. Kita sama sekali belum pernah bertemu dan ini kali pertama kita bertemu." Ayu masih berusaha mengelak. Ashraf menatap Ayu dengan tatapan penuh makna. "Benarkah? Tapi, saya masih ingat betul setiap inci dari wajah dan tubuh Anda, Nona," ucapnya dengan sorot mata nakal, menatap Ayu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Wajah Ayu sontak berubah merah padam. Tangannya terkepal kuat hingga membuat buku-buku jarinya memutih. "Jangan bicara sembarangan, Tuan. Ucapan Anda bisa menimbulkan fitnah!" Senyum di bibir Ashraf semakin lebar. Ternyata sangat mudah memancing perempuan di hadapannya itu. "Saya tidak berbicara sembarangan, Nona. Saya bicara kenyataan. Jika Nona lupa, saya bisa membuat Nona ingat kembali dengan kejadian malam itu," ucapnya dengan senyum nakal. Ayu mengeraskan rahangnya, menatap Ashraf dengan tatapan penuh emosi. "Sudah saya bilang jangan bicara sembarangan! Anda itu sudah salah orang! Jadi, jangan sok kenal!" 'Ting' Bersamaan dengan itu, terdengar suara dentingan pintu lift yang terbuka, membuat Ayu menatap ke depan. Tanpa pikir panjang, Ayu segera melangkah keluar tanpa sedikit pun menoleh ke arah Ashraf. Meninggalkan Ashraf yang tengah menatap Ayu dengan tatapan penuh makna. "Kita lihat saja Ayu Cempaka, sampai kapan kamu bisa menghindar dariku." —oOo— Ayu terus melangkahkan kakinya menuju ruangannya. Ia menaruh tasnya di atas meja. Setelah itu, ia menjatuhkan tubuhnya di kursi kerjanya sambil mendesah kesal. "Sialan banget tuh orang! Bisa-bisanya dia bilang kek gitu di depan orang lain. Padahal aku 'kan udah bayar dia banyak. Masa iya masih kurang?" ucap Ayu sambil mengingat kembali nominal yang ia tinggalkan malam itu. Ayu menggelengkan kepalanya, merasa tidak yakin dengan kemungkinan itu. "Lagi pula, apa yang dilakukan seorang gigolo di sini sih? Nggak mungkin 'kan kalau dia mau bertemu seseorang di sini." Detik selanjutnya, Ayu menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan mengusapnya dengan kasar. "Aakkhh! Masa bodo sama dia! Yang penting jangan sampai dia ketemu Papa dan bilang tentang kejadian malam itu!" "Kejadian apa emang, Yu?" Jantung Ayu mendadak seakan berhenti ketika mendengar pertanyaan itu. Ia sontak menatap ke arah pintu di mana seorang perempuan cantik dengan penampilan rapi berdiri di depan pintu ruangannya. "T-tania ...." Tania yang baru masuk ke ruangan Ayu menatap Ayu dengan bingung. Ia berjalan mendekat ke arah sahabatnya dan duduk di kursi yang ada di hadapan Ayu. "Jawab aku, Ayu, kejadian apa? Kenapa kamu keliatan uring-uringan?" "Bukan apa-apa kok, bukan masalah serius," ucap Ayu berbohong. Tania menatap Ayu dengan tatapan penuh selidik. Ia lalu mengendikkan bahunya tak acuh, tidak mau memaksa sahabatnya untuk bercerita. "Oh iya, by the way dari kemarin kamu kok nggak bales chat dari aku? Kamu baik-baik aja 'kan?" “Aku baik-baik aja kok. Kemarin nggak balas chat dari kamu karena lagi males aja," jawab Ayu yang enggan mengatakan yang sebenarnya. "Males? Kamu males balas chat dari aku?" tanya Tania tidak percaya. Ayu segera menggelengkan kepalanya dengan cepat, “Bukan, bukan gitu maksud aku, Tania." "Terus?" Ayu menghela napas pelan. "Aku lagi nggak mood megang HP aja." Mendengar ucapan Ayu, Tania mengerutkan keningnya, merasa sangat aneh dengan sikap sahabatnya itu. Ayu yang biasanya tidak bisa lepas dari ponsel, tiba-tiba bilang jika ia sedang malas megang ponsel. Sungguh aneh bukan? "Kamu bercanda 'kan?" tanya Tania dengan raut wajah tidak percaya. Ayu menggeleng, "Enggak, aku nggak bercanda." Tania tertawa pelan. "Jangan sembunyiin sesuatu dari aku, Yu. Jujur sama aku kalau sebenarnya kamu lagi ada masalah 'kan karena itu kamu males megang ponsel." "Aku nggak ada masalah apa-apa, Tan. Aku emang lagi nggak mood aja liat semua hal di ponsel." Ayu masih saja mengelak. Tania terus menatap Ayu dengan tajam. "Kamu mau cerita atau aku telepon Rio dan nyuruh dia ke sini buat bujuk kamu, biar kamu mau jujur sama aku." Mendengar nama Rio, Ayu mengepalkan kedua telapak tangannya dengan sangat erat. "Jangan sebut-sebut nama dia di depan aku, Tan," ucap Ayu, nada bicaranya mendadak berubah dingin bak badai salju. Tania menatap Ayu dengan curiga. "Ada apa kamu sama dia? Kalian lagi ada masalah? Masalah apa?" tanyanya. "Jangan bilang Rio udah nyakitin hati kamu," tebak Tania yang 99% benar adanya. Ayu hanya diam dan hal itu membuat Tania seketika terperangah. Ia menggeram kesal. "Jawab aku, Ayu! Apa yang udah Rio lakuin sama kamu sampai kamu kayak gini?" tanya Tania, semakin menekan Ayu. Ayu menatap Tania lalu menghela napas panjang. "Rio selingkuh." Pada akhirnya Ayu menjawab dengan pelan namun tegas. Tania melongo. "Apa?! Kamu nggak bercanda 'kan, Yu?" tanya Tania, takut sudah salah dengar. Ayu menggeleng. "Gimana ceritanya?" tuntut Tania, memaksa Ayu untuk bercerita. Ayu kembali menghela napas panjang. Sesungguhnya ia sudah sangat tidak ingin mengingat-ingat kembali kejadian itu, tetapi ia tidak bisa. Ia kemudian mulai menceritakan semua kejadian malam itu pada Tania. Tania yang mendengar cerita Ayu semakin geram. Ia mengepalkan kedua telapak tangannya sangat kuat, ingin sekali memberi pukulan pada Rio yang sudah menyakiti hati sahabatnya itu. "Emang bajingan tuh cowok. Awas aja kalau aku ketemu sama dia, aku bakal buat dia babak belur!" geram Tania penuh emosi. "Udahlah, Tan, itu kejadian udah berlalu. Lupain aja." "Lupain? Nggak bisa gitu, Yu. Kamu harus balas perbuatan dia. Jangan biarin dia seneng-seneng gitu aja sama selingkuhan dia, Yu!" tuturnya penuh menggebu-gebu, ingin memberi Rio hukuman. Ayu menghela napas malas. "Aku nggak mau punya urusan sama dia lagi, Tan. Lagian Papa udah urus semuanya kok," jawabnya. Tania menatap Ayu dan mengerjapkan matanya pelan. "Papa kamu?" tanyanya yang langsung diangguki oleh Ayu. "Oh ya, terus pertunangan kalian gimana? Kamu langsung batalin 'kan?" tanya Tania cemas. Ayu mengangguk. "Iya, aku langsung batalin. Papa juga langsung mutusin segala hal yang berkaitan dengan keluarga Rio. Papa bilang, dia nggak mau berurusan lagi sama keluarga cowok nggak bener kayak Rio." "Bagus deh kalo gitu," ucap Tania lega, "Tapi bukan cuma itu aja yang buat kamu seperti ini 'kan? Aku tebak, pasti kamu ada masalah lain? Ayo cerita sama aku, apa yang udah buat sahabat aku ini lesu seperti ini?" "Aku nggak ada masalah apa-apa kok." "Jangan bohong, Yu. Lagian percuma kalau kamu bohong sama aku, nanti bakal ketebak juga." Ayu kembali menghela napas panjang. Berbicara dengan sahabatnya itu memang susah, karena ia tidak bisa membohongi cewek yang satu itu. Ayu menatap Tania dengan tatapan ragu, tetapi Tania tetap memaksa agar Ayu mau bercerita. Hingga akhirnya saat Ayu akan membuka mulutnya untuk mulai bercerita …. Tok Tok Tok Ayu dan Tania menoleh, menatap ke arah pintu. "Masuk!" ucap Ayu. Seorang karyawan masuk. "Maaf mengganggu, Bu. Tadi saya bertemu dengan Pak Arjun. Beliau berpesan pada saya jika Anda diminta ke ruangan Pak Galih," ucapnya. "Ke ruangan Papa? Ada apa?" Candra menundukkan kepalanya sedikit. "Maaf, Bu, saya juga tidak tahu." Ayu mengangguk. "Baik, terima kasih. Sekarang kamu boleh kembali bekerja." Candra mengangguk. Setelah itu, ia keluar dari ruangan Ayu dan kembali ke mejanya. Setelah Candra pergi, Tania menatap Ayu. "Tumben amat Om Galih manggil kamu, Yu? Ada masalah apa?" Ayu menggeleng. "Aku juga nggak tau. Semoga bukan masalah besar.”Hari itu, langit biru bersih tanpa awan. Angin sepoi-sepoi membawa harum bunga yang disusun rapi di taman resort pinggir pantai. Laut berkilau memantulkan cahaya matahari sore, menjadi saksi bisu sebuah kisah panjang yang akhirnya menemukan muaranya.Ayu berdiri di balik pintu kaca besar, jantungnya berdebar kencang. Gaun putih sederhana namun elegan membalut tubuhnya. Senyum gugup terukir di bibirnya, air mata menetes pelan sebelum sempat ia usap.“Cantik sekali…” bisik Sarah yang berdiri di sampingnya, kali ini tanpa kebencian. Justru ada kelegaan di matanya, seolah beban panjang sudah dilepaskan.Ayu hanya tersenyum, lalu melangkah keluar. Musik lembut mulai dimainkan. Semua tamu berdiri.Dan di ujung altar, berdiri Ashraf dengan setelan jas hitam, wajahnya penuh rasa syukur. Mata mereka bertemu, dan seolah dunia berhenti berputar.Rio, yang kini lebih tenang, berdiri di samping Ashraf, menjadi pendamping ayah tirinya. Luka batinnya belum sepenuhnya sembuh, tapi di matanya ada caha
Setelah Letusan ItuAsap mesiu masih melayang di udara. Ayu menatap Rio dengan tubuh gemetar, jantungnya berdetak tak terkendali.Rio berdiri di tengah ruangan dengan pistol masih terangkat. Darah menetes dari bahu Davin, sementara Arman mundur beberapa langkah, wajahnya tetap dingin meski pelipisnya berdarah.“Rio…” suara Ayu bergetar, penuh isak. “Lepaskan senjatamu, Nak. Kau tidak harus melanjutkan ini.”Tapi tatapan Rio kosong. Ia seperti berdiri di antara dua jurang: satu sisi adalah cinta ibunya, sisi lain adalah warisan kebencian yang ditanamkan selama ini.“Aku sudah terlalu jauh, Mama…” katanya lirih. “Aku tidak bisa kembali. Davin terhuyung, menekan luka di bahunya. “Rio… dengarkan aku. Aku ayahmu! Kau sudah memilihku. Kau tidak boleh berbalik arah sekarang.”Namun Rio menoleh dengan tatapan tajam. “Kau membohongiku. Kau memanfaatkan aku, sama seperti semua orang di ruangan ini.”Davin terdiam. Untuk pertama kalinya, kesombongan di wajahnya retak. “Aku… hanya ingin kau kuat
Rio berdiri di depan ibunya, pistol bergetar di tangannya. Wajah polos anak kecil yang dulu selalu tersenyum pada Ayu kini telah berubah dingin, matanya memantulkan kegelapan.“Mama,” katanya, suaranya tegas namun penuh luka. “Aku sudah memilih. Aku akan bersama Ayah…”Ayu terperanjat. “Ayah…?”Rio menoleh ke arah Davin. Tatapannya penuh kebanggaan.“Ya. Ayah kandungku.”Kata-kata itu menghantam Ayu seperti palu besi. Ruangan seakan berputar, suaranya teredam oleh degup jantung yang mengamuk di telinganya.“Apa…?” bisiknya lemah. “Itu tidak mungkin…”Davin tersenyum tipis, penuh kemenangan. “Sekarang kau tahu, Ayu. Rahasia yang selama ini kututup rapat.”Ashraf yang babak belur mencoba bangkit, berteriak. “Jangan percaya dia, Ayu! Itu kebohongan!”Namun Rio menatap Ashraf penuh kebencian. “Kau membohongiku! Kau membuatku percaya kalau kau ayahku… padahal kau hanya mencuri Mama dariku!”Ayu hampir terjatuh, tubuhnya lemas. Ia menatap Rio, hatinya terbelah.---Di sisi lain, Sarah melan
Ruang tahanan itu dingin, bau karat dan lembap menusuk hidung Ayu. Tangannya terikat kuat, tapi bukan itu yang membuat napasnya sesak. Kata-kata Davin masih bergema di kepalanya:> “Aku punya mata di antara kalian.”Siapa? Ashraf? Arya? Atau Sarah?Ayu memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan-bayangan yang menyesakkan. Namun ketakutan itu nyata. Seseorang yang selama ini berdiri di sisinya mungkin sementara itu, Ashraf dan Arya bersembunyi di perbukitan kecil yang menghadap markas Davin. Mereka sudah menunggu kode dari Ayu yang tak kunjung datang.“Sudah tiga malam, Ashraf. Kau masih yakin dia baik-baik saja?” Arya menatap tajam.Ashraf menghela napas berat. “Ayu bukan orang lemah. Dia pasti sedang mencari cara.”Arya mendengus pelan. “Atau mungkin dia sudah menyerah dan memilih bersama Davin. Kau terlalu percaya padanya.”Ashraf menoleh tajam. “Jangan bicara sembarangan!”Tapi jauh di dalam hatinya, keraguan kecil tumbuh. Ia tahu Ayu sedang menghadapi badai, dan jika Davin berhasil
Ledakan di pantai masih membekas di telinga Ayu. Mereka berhasil menyelamatkan diri dengan berenang menuju sisi lain pulau, meninggalkan kapal yang terbakar. Malam itu, mereka bersembunyi di hutan lebat, dingin, basah, dan penuh ketegangan.Ayu duduk bersandar pada batang pohon, tubuhnya gemetar. Bayangan wajah Rio di layar, dengan tatapan dingin yang asing, menghantui pikirannya.“Dia… bukan Rio-ku,” bisik Ayu, air matanya jatuh. “Itu bukan anakku…”Ashraf ingin meraih tangannya, tapi Ayu menarik diri. “Jangan sentuh aku.”Arya yang duduk tak jauh hanya menatap dengan tatapan penuh iba bercampur sesuatu yang lebih gelap—kepuasan terselubung.Sarah memecah kesunyian. “Kalau kita menyerang langsung, kita tidak akan selamat. Pulau ini penuh dengan jebakan. Davin sudah menyiapkan semuanya.”“Lalu apa yang kau sarankan?” tanya Ashraf, tajam.Sarah menatap Ayu. “Satu-satunya cara adalah menyusup. Dan hanya Ayu yang bisa melakukannya.”Ayu menoleh dengan kaget. “Aku?!”“Ya,” jawab Sarah man
Helikopter itu menghilang di balik kabut malam, meninggalkan suara gemuruh yang mengguncang dada Ayu. Tangannya masih terulur, seolah bisa meraih Rio yang sudah dibawa pergi. Lututnya goyah, tubuhnya jatuh berlutut di dermaga yang dingin dan basah.“Rio…” suaranya pecah, nyaris tak terdengar.Ashraf meraih bahunya, mencoba menahan gemetar tubuhnya. Tapi Ayu menepis, menoleh dengan tatapan penuh luka. “Kau bohong padaku… selama ini, kau sembunyikan semuanya!”Ashraf terdiam. Tatapannya penuh penyesalan, tapi ia tahu ini bukan saatnya membela diri.Sementara itu, Arya berdiri tak jauh, pistolnya masih di tangan. Ia menatap Ashraf dengan kebencian yang kian membara. “Aku sudah bilang, Ayu. Semua ini karena dia. Kau harus memilih siapa yang bisa kau percaya.”Namun sebelum Ayu menjawab, suara Sarah yang lemah memotong. “Tidak ada waktu berdebat. Davin sudah bawa Rio. Jika kita terlambat, kita tidak akan pernah menemukannya.”Ayu mengusap air matanya, berdiri dengan sisa tenaga. Ia menatap