Share

2. Endorse

Ucapan Syakila menggantung, terlebih kala mendapati bosnya tersenyum. "Tahu, dong. Sang Pemimpi kan, namanya? Dongengnya bagus-bagus. Ibu suka nonton sama cucu Ibu."

Seketika wajah Syakila memerah karena malu.

Ternyata selama ini bos-nya diam-diam mengikuti kegiatan barunya.

"Hehehe, saya cuma iseng aja, Bu. Daripada gak ngapa-ngapain," terang Syakila kikuk.

"Udah ada endorse masuk belum?"

"Endorse apaan, Bu? Orang cuma live begituan siapa yang mau pake."

"Ya udah. Kalau gitu, Ibu orang pertama yang akan pake jasa kamu. Mulai malam nanti, kamu live baju-baju dagangan Ibu, ya."

Mata Syakila sedikit terbelalak. Bukan ia tak mau membantu bosnya itu, tetapi ia takut baju-baju yang ia pasarkan di platform itu tidak laku.

Intinya ia takut gagal!

"Tapi saya belum tahu caranya gimana, Bu. Kalau ada yang pesen bagaimana?"

Itu hanya alasan saja. Sejauh ini Syakila sudah cukup mengerti perdagangan online. Akan tetapi, ia pura-pura gaptek, agar bosnya itu berpikir ulang.

"Udah, coba aja dulu. Nanti Ibu bantu. Tenang aja, Ibu kasih persenan khusus buat gadis patah hati biar gak galau melulu."

Blush!

Syakila benar-benar hilang muka di hadapan Bu Sukoco. Padahal ia sudah berusaha keras untuk menutupi kesedihannya saat bekerja. 'Apakah wajahku terlihat menyedihkan ya?' pikir Syakila.

"Siapa yang patah hati, Bu?" Syakila berkelit. Siapa tahu Bu Sukoco hanya iseng menebak.

"Ibu sudah tahu semuanya, Sya. Wong, Ibu hadir di acara tunangannya Kamil dan Dela, kok. Ibu kenal sama mamanya Kamil," terang Bu Sukoco, sukses membuat Syakila kembali terkejut.

"Kok Ibu gak bilang apa-apa sama Syakila?" tanya wanita yang gemar memakai jilbab maroon itu pada Bu Sukoco.

Ia sedikit heran, sebab bosnya itu tidak pernah menyinggung apa pun tentang dirinya yang pernah dipermalukan oleh keluarga mantan kekasihnya.

"Buat apa? Ibu malah seneng kamu gak sampe nikah sama si Kamil itu."

"Alasannya?"

"Dia itu mokondo. Kamu aja yang terlalu polos. Mau-maunya dikadalin sama laki-laki model begitu. Utangnya udah kamu tagih belum? Kalau ditotal udah banyak itu. Bisa buat beli HP baru."

Syakila hanya menggelengkan kepalanya.

Dia sedikit merutuki dirinya yang tak pernah memperhitungkan utang lelaki itu padanya.

Bodohnya, dirinya menganggap kalau lelaki itu akan menggantinya kelak dengan nafkah yang akan diberikan ketika berumah tangga nanti. Nyatanya, lelaki itu justru mematahkan hatinya sebelum sampai ke pelaminan.

"Kalau Ibu jadi kamu, ya. Ibu akan permalukan keluarga itu dengan mengatakan utang lelaki itu di depan umum kemarin. Kalau perlu, Ibu akan menagihnya di sana. Enak aja pakai uang orang seenak udel. Kamu yang kerja, dia yang pakai." Bu Sukoco nampak bersungut-sungut saat berucap. Orang yang sudah menganggap Syakila keluarga itu ikut geram dengan tingkah keluarga Kamil yang sudah mempermainkan Syakila.

Mendengar hal itu, Syakila justru terbahak.

"Ekspresi wajah Ibu lucu kalau lagi marah," ujar Syakila. Dia bersyukur, masih ada yang peduli dengannya. Walaupun kedua orang tuanya telah tiada beberapa tahun lalu.

"Eh, diajarin malah ketawa," sahut Bu Sukoco.

"Iya, Bu, maaf. Habisnya baru pertama kalinya saya lihat Ibu ngomel begini."

"Ya sudah, lupakan itu. Sekarang saatnya kamu harus move on. Suatu saat, kamu pasti ketemu jodoh yang terbaik yang Allah kirim. Kamu harus ingat dengan kalimat 'Jodoh cerminan diri'. Kamil bukan laki-laki yang cocok untuk wanita baik seperti kamu. Percaya sama Ibu."

Kalimat nasihat yang diberikan bosnya itu sukses membuat Syakila terharu.

Selain ibu kandungnya, baru Bu Sukoco-lah yang perhatian dengan dirinya.

Refleks Syakila menghambur memeluk Bu Sukoco dengan erat seraya berkata, "Terima kasih, Bu. Syakila sayang sama Ibu."

"Sudah, jangan cengeng begitu. Sudah mulai gelap, kemasi kiosnya. Jangan lupa ambil baju-baju yang akan dibawa live nanti malam," ujar Bu Sukoco sambil mengelus punggung Syakila.

Syakila mengurai pelukan, mengelap jejak embun di matanya, lalu memilih beberapa baju anak, kemudian mengemasi kios sebelum tutup karena waktu hampir Maghrib.

***

Sementara itu di rumah Kamil ....

Pria itu tampak berteriak seraya berjalan cepat mencari mamanya.

"Ma ... Kamil naik jabatan, Ma!"

Lelaki yang membohongi Syakila itu tengah berbahagia karena dirinya kini dijadikan karyawan tetap di perusahaan ternama setelah pengangguran bertahun-tahun lamanya.

"Iya, Sayang. Mama di dapur ini!" sahut Bu Sundari–mamanya Kamil.

Tak lama, Kamil muncul dari ruang tengah menemui mamanya yang sedang mencuci piring, dengan binar bahagia.

"Kamil naik jabatan, Ma," ulang Kamil sekali lagi.

"Benarkah? Jabatan apa, Mil? Manager?" sahut Bu Sundari antusias.

Ia meninggalkan cucian piringnya begitu saja di wastafel dan mendekati putranya yang sudah duduk di kursi meja makan.

"Bukan, sih, Ma. Masih di bawah manager. Tapi Kamil yakin, kalau Kamil sudah menikah dengan Dela, Kamil pasti bisa jadi manager!" ujar Kamil percaya diri. Pasalnya, tunangannya itu adalah anak dari manager di perusahaan tempat Kamil bekerja.

Dari Dela-lah Kamil akhirnya diterima di perusahaan yang bergerak di bidang fashion itu.

"Kamu benar, Mil. Untung kamu tunangannya sama Dela, bukan sama cewek kampung itu yang sekolahnya saja pasti cuma lulusan SMP. Hiih, gak bisa Mama bayangkan kalau kamu nikah sama si kampungan, Syakila itu."

Bu Sundari sampai bergidik ketika menyebut nama gadis yang telah disakitinya beberapa bulan lalu.

Kamil mengangguk."Iya, Ma. Mana mungkin Kamil memilih batu kali daripada berlian. Pasti Kamil akan memilih Dela, dong. Syakila cuma Kamil manfaatkan saja, Ma. Lumayan, buat modal kencan sama Dela."

"Pintar kamu. Mama bangga sama kamu!"

Bukannya menasehati, orang tua dari Kamil itu justru bangga pada putranya telah berhasil mempermainkan gadis tak berdosa itu.

Mereka seolah melupakan tentang hukum tabur tuai dan roda yang akan selalu berputar!

Bukankah sang Pencipta mampu dengan mudahnya meninggikan derajat orang yang dikasihinya, termasuk… Syakila?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Khusnul Tikwati
kamu harus bangkit syakila
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status