Share

2. Endorse

Penulis: NingrumAza
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-02 11:25:42

Ucapan Syakila menggantung, terlebih kala mendapati bosnya tersenyum. "Tahu, dong. Sang Pemimpi kan, namanya? Dongengnya bagus-bagus. Ibu suka nonton sama cucu Ibu."

Seketika wajah Syakila memerah karena malu.

Ternyata selama ini bos-nya diam-diam mengikuti kegiatan barunya.

"Hehehe, saya cuma iseng aja, Bu. Daripada gak ngapa-ngapain," terang Syakila kikuk.

"Udah ada endorse masuk belum?"

"Endorse apaan, Bu? Orang cuma live begituan siapa yang mau pake."

"Ya udah. Kalau gitu, Ibu orang pertama yang akan pake jasa kamu. Mulai malam nanti, kamu live baju-baju dagangan Ibu, ya."

Mata Syakila sedikit terbelalak. Bukan ia tak mau membantu bosnya itu, tetapi ia takut baju-baju yang ia pasarkan di platform itu tidak laku.

Intinya ia takut gagal!

"Tapi saya belum tahu caranya gimana, Bu. Kalau ada yang pesen bagaimana?"

Itu hanya alasan saja. Sejauh ini Syakila sudah cukup mengerti perdagangan online. Akan tetapi, ia pura-pura gaptek, agar bosnya itu berpikir ulang.

"Udah, coba aja dulu. Nanti Ibu bantu. Tenang aja, Ibu kasih persenan khusus buat gadis patah hati biar gak galau melulu."

Blush!

Syakila benar-benar hilang muka di hadapan Bu Sukoco. Padahal ia sudah berusaha keras untuk menutupi kesedihannya saat bekerja. 'Apakah wajahku terlihat menyedihkan ya?' pikir Syakila.

"Siapa yang patah hati, Bu?" Syakila berkelit. Siapa tahu Bu Sukoco hanya iseng menebak.

"Ibu sudah tahu semuanya, Sya. Wong, Ibu hadir di acara tunangannya Kamil dan Dela, kok. Ibu kenal sama mamanya Kamil," terang Bu Sukoco, sukses membuat Syakila kembali terkejut.

"Kok Ibu gak bilang apa-apa sama Syakila?" tanya wanita yang gemar memakai jilbab maroon itu pada Bu Sukoco.

Ia sedikit heran, sebab bosnya itu tidak pernah menyinggung apa pun tentang dirinya yang pernah dipermalukan oleh keluarga mantan kekasihnya.

"Buat apa? Ibu malah seneng kamu gak sampe nikah sama si Kamil itu."

"Alasannya?"

"Dia itu mokondo. Kamu aja yang terlalu polos. Mau-maunya dikadalin sama laki-laki model begitu. Utangnya udah kamu tagih belum? Kalau ditotal udah banyak itu. Bisa buat beli HP baru."

Syakila hanya menggelengkan kepalanya.

Dia sedikit merutuki dirinya yang tak pernah memperhitungkan utang lelaki itu padanya.

Bodohnya, dirinya menganggap kalau lelaki itu akan menggantinya kelak dengan nafkah yang akan diberikan ketika berumah tangga nanti. Nyatanya, lelaki itu justru mematahkan hatinya sebelum sampai ke pelaminan.

"Kalau Ibu jadi kamu, ya. Ibu akan permalukan keluarga itu dengan mengatakan utang lelaki itu di depan umum kemarin. Kalau perlu, Ibu akan menagihnya di sana. Enak aja pakai uang orang seenak udel. Kamu yang kerja, dia yang pakai." Bu Sukoco nampak bersungut-sungut saat berucap. Orang yang sudah menganggap Syakila keluarga itu ikut geram dengan tingkah keluarga Kamil yang sudah mempermainkan Syakila.

Mendengar hal itu, Syakila justru terbahak.

"Ekspresi wajah Ibu lucu kalau lagi marah," ujar Syakila. Dia bersyukur, masih ada yang peduli dengannya. Walaupun kedua orang tuanya telah tiada beberapa tahun lalu.

"Eh, diajarin malah ketawa," sahut Bu Sukoco.

"Iya, Bu, maaf. Habisnya baru pertama kalinya saya lihat Ibu ngomel begini."

"Ya sudah, lupakan itu. Sekarang saatnya kamu harus move on. Suatu saat, kamu pasti ketemu jodoh yang terbaik yang Allah kirim. Kamu harus ingat dengan kalimat 'Jodoh cerminan diri'. Kamil bukan laki-laki yang cocok untuk wanita baik seperti kamu. Percaya sama Ibu."

Kalimat nasihat yang diberikan bosnya itu sukses membuat Syakila terharu.

Selain ibu kandungnya, baru Bu Sukoco-lah yang perhatian dengan dirinya.

Refleks Syakila menghambur memeluk Bu Sukoco dengan erat seraya berkata, "Terima kasih, Bu. Syakila sayang sama Ibu."

"Sudah, jangan cengeng begitu. Sudah mulai gelap, kemasi kiosnya. Jangan lupa ambil baju-baju yang akan dibawa live nanti malam," ujar Bu Sukoco sambil mengelus punggung Syakila.

Syakila mengurai pelukan, mengelap jejak embun di matanya, lalu memilih beberapa baju anak, kemudian mengemasi kios sebelum tutup karena waktu hampir Maghrib.

***

Sementara itu di rumah Kamil ....

Pria itu tampak berteriak seraya berjalan cepat mencari mamanya.

"Ma ... Kamil naik jabatan, Ma!"

Lelaki yang membohongi Syakila itu tengah berbahagia karena dirinya kini dijadikan karyawan tetap di perusahaan ternama setelah pengangguran bertahun-tahun lamanya.

"Iya, Sayang. Mama di dapur ini!" sahut Bu Sundari–mamanya Kamil.

Tak lama, Kamil muncul dari ruang tengah menemui mamanya yang sedang mencuci piring, dengan binar bahagia.

"Kamil naik jabatan, Ma," ulang Kamil sekali lagi.

"Benarkah? Jabatan apa, Mil? Manager?" sahut Bu Sundari antusias.

Ia meninggalkan cucian piringnya begitu saja di wastafel dan mendekati putranya yang sudah duduk di kursi meja makan.

"Bukan, sih, Ma. Masih di bawah manager. Tapi Kamil yakin, kalau Kamil sudah menikah dengan Dela, Kamil pasti bisa jadi manager!" ujar Kamil percaya diri. Pasalnya, tunangannya itu adalah anak dari manager di perusahaan tempat Kamil bekerja.

Dari Dela-lah Kamil akhirnya diterima di perusahaan yang bergerak di bidang fashion itu.

"Kamu benar, Mil. Untung kamu tunangannya sama Dela, bukan sama cewek kampung itu yang sekolahnya saja pasti cuma lulusan SMP. Hiih, gak bisa Mama bayangkan kalau kamu nikah sama si kampungan, Syakila itu."

Bu Sundari sampai bergidik ketika menyebut nama gadis yang telah disakitinya beberapa bulan lalu.

Kamil mengangguk."Iya, Ma. Mana mungkin Kamil memilih batu kali daripada berlian. Pasti Kamil akan memilih Dela, dong. Syakila cuma Kamil manfaatkan saja, Ma. Lumayan, buat modal kencan sama Dela."

"Pintar kamu. Mama bangga sama kamu!"

Bukannya menasehati, orang tua dari Kamil itu justru bangga pada putranya telah berhasil mempermainkan gadis tak berdosa itu.

Mereka seolah melupakan tentang hukum tabur tuai dan roda yang akan selalu berputar!

Bukankah sang Pencipta mampu dengan mudahnya meninggikan derajat orang yang dikasihinya, termasuk… Syakila?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
waaaaw Ibu hebat deh ngajak anak masuk jurang terima LAKNAT
goodnovel comment avatar
Naura
orang tuanya salah mendidik anak..syakila harus bangkit tunjukkan pada mereka kami bisa
goodnovel comment avatar
Desi Solo
parah anaknya berbuat gk baik mlah didukung
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   229

    Bamantara segera memanggil dokter. Sementara Sukoco, Amber dan Devan berdiri di sisi ranjang persalinan Syakila."Silakan menunggu di luar. Kami akan segera melakukan tindakan. Cukup suaminya saja yang berada di sini," ucap dokter sesaat setelah ia memeriksa pembukaan Syakila yang sudah genap."Baik, Dok." Mereka semua keluar, menyisakan Devan yang gemetar menemani Syakila.Dibantu beberapa perawat, dokter perempuan spesialis kandungan mengarahkan Syakila untuk mengatur napas.Suara erangan Syakila terus menggema di ruang bersalin. Devan tidak melepaskan genggaman tangannya, matanya memerah, dan hatinya penuh doa yang tak putus. Keringat deras membasahi dahi Syakila, tetapi semangatnya tak tergoyahkan."Sayang, kamu kuat. Sebentar lagi selesai," bisik Devan, suaranya bergetar menahan rasa cemas yang menyelubungi hatinya.Dokter memberi isyarat kepada Syakila untuk kembali mendorong dengan tenaga terakhir. "Ayo, Bu, sekali lagi! Tarik napas dalam dan dorong sekuat tenaga!"Dengan satu

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   228

    Mendengar teriakkan Renata, seketika membuat Devan dan ibunya panik. Sementara dokter segera mengambil tindakan dengan memberikan obat penenang. Terpaksa hal itu harus dilakukan kembali karena keadaan Renata yang belum bisa stabil mengontrol dirinya.Perlahan tapi pasti, teriakan Renata melemah dan akhirnya dia terbaring dengan mata terpejam di tempat tidur."Kira-kira, apa Renata bisa sembuh, Dok?" tanya Sukoco setelah mereka berada di luar ruangan."Semua kemungkinan tetap ada, Bu. Kita hanya bisa berusaha, selebihnya Tuhan yang akan menentukan," sahut dokter."Lakukan yang terbaik untuk Renata, Dok. Saya serahkan pada tim dokter di sini sembari membantu dengan doa," timpal Devan."Tentu, kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.""Terima kasih. Kalau begitu, kami pamit dulu, Dok. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya.""Baik, Pak Devan. Terima kasih kembali."Kemudian mereka berpisah di lorong yang berbeda tujuan. Devan dan Sukoco berjalan pulang, sementara

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   227

    Suasana mendadak sunyi seakan menunggu jawaban Devan. Entah karena memang ingin mengetahui kabar Renata, atau karena bingung dengan reaksi Devan yang berubah mimik ketika ibunya bertanya, semua yang duduk lesehan di ruang tengah menatapnya.Menghembuskan napas panjang, Devan pun akhirnya menjawab setelah beberapa saat terdiam, "Renata sekarang berada di rumah sakit, Bu. Keadaannya tidak baik-baik saja.""Innalillahi ... Apa dia sakit di penjara?" Dengan keterkejutan yang tak dapat disembunyikan, Sukoco kembali bertanya."Devan juga kurang tahu, Bu. Rencananya besok Devan akan menjenguk untuk melihat keadaannya. Semoga dia baik-baik saja.""Kasihan sekali dia. Lalu, apakah Rosa tahu kalau Renata sakit?""Sepertinya belum, karena Tante Rosa sudah lama pindah dan Devan tidak tahu tempat tinggalnya yang baru."Sukoco mendesah pelan. Rasa iba seketika menghinggapi mengingat Renata pernah tinggal bersamanya. Meskipun akhir-akhir ini sikap gadis itu melewati batas, tetapi Sukoco tahu bahwa s

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   226

    "Maafkan aku, Veen. Aku gak tega menyembunyikan dari mereka, terlebih kamu harus melewatinya hanya bersama Mas Devan. Ya, meskipun aku tahu, kalian pasti bisa melewati semuanya," terang Nita menyela ucapan Syakila.Sahabatnya itu benar-benar tak tega saat menjenguknya beberapa waktu lalu di rumah sakit, sehingga keceplosan bilang pada Bamantara saat bertemu di butik. Nita pikir, dengan adanya do'a dari keluarganya, mungkin bisa mengurangi rasa sakit Syakila."Jangan salahkan Nita, Nak. Kita yang memaksanya untuk bicara," timpal Bamantara, memandang cucu angkatnya dengan sendu. Rasanya tak tega melihat wanita itu diuji terus menerus sejak dulu. Walaupun cuma cucu angkat, tapi Bamantara benar-benar menyayanginya."Lagian, kenapa kamu menyembunyikannya dari kami, hem?" tanya Amber sembari mengusap kepala Syakila.Istri dari Devan itu hanya menunduk. "Kila hanya tidak ingin terus menerus menambah beban pikiran kalian," lirihnya."Apa yang kamu katakan, Sayang. Kamu ini bukan beban, tapi k

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   225

    Devan meletakkan ponselnya di meja dengan tangan bergetar. Napasnya terasa berat, dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang membingungkan. Wajahnya pucat, membuat Syakila semakin cemas.“Mas, apa yang mereka katakan?” tanyanya dengan nada panik.Devan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Polisi bilang... Renata dalam kondisi buruk di penjara. Dia sering membuat keributan, dan itu membuat dia harus ditempatkan di ruang isolasi dan kemungkinan akan dipindahkan ke tahanan rumah sakit kejiwaan. Mereka minta aku datang.”“Astaghfirullah. Kenapa bisa begitu, Mas?" ucap Syakila tak kalah terkejut."Mas juga gak tahu, Sayang. Mas akan telepon Pak Herman saja untuk mengurusnya."Syakila tertegun sejenak. Ia tak tega melihat suaminya dilanda banyak masalah dan tanggung jawab. Andai bisa, ia ingin sekali membantu, tetapi kondisinya yang lemah mungkin hanya akan memperburuk keadaan. Untuk itu Syakila ingin mengurangi beban pikiran suaminya dengan pulang dan istirahat di Jakarta saja supaya l

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   224

    Renata duduk di sudut ruangan. Tubuhnya yang dulu anggun kini hanya menyisakan bayang-bayang kesengsaraan dengan rambutnya yang kusut."Mas Devan... tolong aku," lirihnya, hampir tak terdengar. Namun, suara itu terus diulang-ulang, seolah menjadi satu-satunya pegangan di tengah kegelapan.Para narapidana lain di sel besar itu menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang iba, tapi lebih banyak yang mencemooh. Salah satu dari mereka, wanita bertubuh kekar dengan tato di lehernya, mendekat sambil menyeringai."Kau pikir orang yang kau sebut namanya itu akan menyelamatkanmu? Hah! Kau ini cuma boneka yang sudah dibuang. Lihat dirimu sekarang!" Wanita itu meludahi tanah, matanya memandang Renata dengan jijik.Renata memejamkan matanya, mencoba mengabaikan ejekan itu. Tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang ingatan tentang Devan. Pria itu—satu-satunya yang dia anggap mampu menyelamatkannya dari tempat ini."Mas Devan pasti akan datang," gumam Renata. Suaranya nyaris tak terdengar, t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status