Share

#4 Ulet Keket

Sumpah, dia merasa risih!

Setelah ikut terseret ke halaman rumahnya, Cantika langsung memasang benteng pertahanan penuh. Mengawasi Bianca dan Byana yang sedang bermain di halaman rumah pria asing dengan ekstra ketat supaya lelaki yang dipanggil Ben itu tidak berbuat macam-macam pada mereka.

Setelah apa yang ia lihat pagi itu, bisa saja lelaki bernama Ben ini juga seorang ped*fil. Jangan sampai dia tertipu oleh wajah tampan dan suara merdu lelaki itu. Jangan.

Byana dan Bianca betah mengelus makhluk berbulu lebat yang terikat. Tampaknya kedua anjing tersebut memang benar jinak. Mereka hanya duduk, menempel-nempel manja, dan menggoyangkan ekor saat Byana bermain-main dengan telinganya.

Tiba-tiba saja Cantika merasakan sesuatu. Sejak menjemput anak-anak tadi, dia sempat ingin ke toilet. Tapi harus menundanya karena takut Brian menunggu lama. Waktu pulang, dia malah lupa ke toilet dulu sebelum jalan-jalan dengan Byana dan Bianca. Akibatnya, sekarang dia malah kebelet!

‘Ya ampun, Cantika. Bisa-bisanya kebelet sekarang.’ batin gadis itu mengernyit tak nyaman. Meski jarak rumahnya dekat, dia tidak mungkin meninggalkan Byana dan Bianca di sini. Tidak dengan lelaki asing yang dicapnya sebagai orang maniak itu.

“Caca, Byan, pulang yuk!” ajak Cantika pada kedua bocah perempuan yang tengah asyik dengan mainan mereka.

“Pulang?” Bianca kemudian mendongak, melihat langit masih terang-benderang. Gadis  kecil yang rambutnya sebatas pundak itu mengajukan protes halus. “Kan baru sebentar mainnya, Kak. Katanya boleh keluar sampai setengah enam?”

“Udah mau setengah enam,” dusta Cantika.

Saat itu rupanya Bianca masih memakai jam pintar. Dia melirik benda yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya dan berceletuk, “Belum, Kak Can. Masih jam lima.”

Sedangkan si pemilik rumah mendengus geli menahan senyum. Langsung dibalas lirikan tajam oleh Cantika.

“Kak Can.” Byana memanggil pelan. “Kak Can lebih suka yang mana? Yang kecil atau yang besar?” Kali ini Byana bertukar dengan Bianca mengelus Kenzo, anjing besar yang menyerupai serigala.

Tanpa banyak berpikir Cantika segera berceletuk, “Yang besar.”

Namun, sejurus kemudian menyadari pertanyaan itu seperti jebakan ketika Cantika melihat Ben melipat bibir dengan wajah memerah. Ingin rasanya Cantika mengobras bibir seksi yang mengerut itu supaya tidak bisa menertawakannya lagi. Tetapi panggilan alamnya sudah di ujung.

“Pulang dulu yuk, nanti kita keluar lagi ke lapangan. Kak Can kebelet,” bisik Cantika, masih cukup bisa didengar.

Ben mengusap hidungnya dengan pungung jari telunjuk, menutupi kerutan di bibirnya yang dengan lancangnya masih menyimpan seringai. Entah kenapa perilakunya membuat Cantika jengkel.

Menyadari raut penuh kobaran api yang dilemparkan Cantika, Ben lalu mencoba memperbaiki suasana. Laki-laki itu berdeham dan berkata, “Kalau mau, bisa ke toilet di dalam.”

“Iya, Kak Can sana ke toilet aja dulu!” seru Bianca mendukung usulan dari Ben.

Cantika ternganga tidak percaya, merasa seolah dikhianati. Bukannya membantu kakaknya, Bianca malah memihak orang lain.

“Byan masih mau main,” tukas Byana ikut menimpali.

Semakin terdesaklah Cantika. Dia melirik Ben ragu-ragu. Takut meninggalkan anak-anak dengan pria yang memiliki reputasi buruk di matanya. Tetapi Ben yang mengerti tatapan jutek Cantika, segera berinisiatif.

“Ayo, saya unjukin toiletnya,” ajak pria itu ramah.

Mau tidak mau, Cantika mengikuti Ben masuk ke area garasi. Menaiki tangga menuju lantai dua. Sepertinya bagian utama rumah itu terletak di lantai dua, sama seperti rumah Bianca dan Byana. Sebab Cantika langsung dapat melihat ruang tamu ketika tungkainya menapak anak tangga terakhir.

Ben membawanya melewati ruang tamu, terus berjalan melintasi mini bar, hingga membawanya ke lorong dengan dinding kaca yang berbatasan dengan taman hijau yang tampak asri.

Lelaki itu berhenti melangkah tepat di ujung ruangan, sebelum melewati undakan dua anak tangga menuju ruangan lain. Tiba-tiba Ben berbalik menghadap Cantika. “Kamu yang kemarin pagi, kan?”

Cantika mendadak ikut menghentikan langkah. Tidak menjawab, dia malah menatap sengit pada Ben. “Awas ya, jangan ngapa-ngapain adik saya waktu saya ke toilet!”

“Kamu kira saya pedo?” Tuduhan Cantika tidak membuat Ben tersinggung. Ben malah menatap dalam-dalam wajah manis yang ada di depannya. Menikmati setiap keindahan yang melekat di sana. Menurut Ben, sama sekali tidak ada bagian yang membosankan dari wajah itu.

Meski manik matanya memandang tak bersahabat, namun tetap tidak mampu menanggalkan aura memikat gadis itu. Terutama belah bibirnya yang menawan. Ben merasa amat beruntung pulang di saat yang tepat. Dia jadi bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Baru hitungan hari, harapannya sudah terkabul.

Sorot penuh curiga dan ekspresi mengernyit Cantika selanjutnya memberi jawaban yang amat transparan atas pertanyaan yang baru dilayangkan oleh Ben.

“Whoaa, mata kamu jujur banget!” seru Ben. Lebih ke arah takjub pada Cantika yang sama sekali tidak menyembunyikan isi kepalanya.

Untuk beberapa saat, keduanya terdiam. Lagi-lagi tanpa sengaja Cantika tergiur untuk memandang iris biru milik Ben yang jernih. Hanyut dan tenggelam ke dasarnya.

Ben tiba-tiba kembali menapakkan kaki, maju mendekatinya. Bersamaan Ben yang terus maju mendekat, Cantika refleks melangkah mundur tanpa melepas tatapannya.

“Mau apa?!” Bola mata Cantika bergerak gelisah, melirik ke segala arah. Dia panik bukan main, takut kalau pria ini melakukan sesuatu padanya. Mana rumahnya sangat luas, kalau teriak sepertinya sulit terdengar keluar. Di dalam rumah pun tampak tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain mereka berdua.

Pria itu menarik senyum tipis, balas menatap manik mata Cantika beberapa saat sebelum bertanya, “Jadi, kamu lebih suka yang besar?”

“A-apa?!” Cantika yang meringis mundur, mulai merasakan punggungnya membentur sesuatu yang keras. Tidak kalah keras dengan suara detak jantungnya.

“Kalau menurut kamu, punya saya besar?” tanya Ben dengan sepasang alis terangkat. Dia menghentikan langkahnya ketika mereka berada dalam jarak dekat. Tidak terlalu dekat, namun Cantika masih bisa menghirup aroma segar dari tubuh laki-laki itu. Meski bibirnya tidak menunjukkannya, tapi sorot mata dan air muka lelaki itu tampak sedang tersenyum.

“Hah?!” Wajah Cantika merah bukan main. Panas mulai merambat naik dari kerongkongan ke pipinya. Otaknya mendadak kosong tidak dapat memikirkan apa-apa.

“Kamu ‘kan udah lihat.”

“Li-lihat apa?!” jerit Cantika gugup. Menoleh sekilas ke dinding di belakangnya. Dia tidak siap jika harus dihadapkan pada peristiwa aneh saat ini. Ada hal lebih penting yang sedang ditahannya.

“Lihat punya saya.”

“Gila, ya?! Siapa yang—”

“Kenzo,” potong Ben kemudian. “Kamu udah lihat Kenzo sama Lulu. Jadi, kamu lebih suka Kenzo?”

Beberapa detik membatu untuk mencerna apa yang baru dikatakan pria bernama Ben. Cantika rasanya ingin berteriak. Raut wajahnya sudah diwarnai berbagai perasaan saking kesal dan malunya. Lelaki itu sepertinya sengaja mengerjai Cantika.

“Memang kamu kira apa?” tanya Ben. Kali ini bibirnya sungguh-sungguh menunjukkan seringai geli dan nakal.

Sedangkan Cantika, jadi terbakar emosi karena harus meladeni kelakarnya. Jelas-jelas pria itu tahu Cantika punya urusan genting yang membuatnya terpaksa masuk ke dalam rumah ini. Tapi lelaki itu malah mempermainkannya. Keterlaluan.

Lihat saja, Cantika berencana membalasnya.

Gadis yang tingginya hampir mencapai seratus tujuh puluh senti itu menegakkan badan, mengangkat dagu tinggi-tinggi, dan kembali melempar tatapan sengit.

“Begini ya, Tuan, Mas, Pak, Om, Mister.” Cantika memberi jeda sebelum melajutkan. “Kalau mau tanya pendapat, nggak usah muter-muter. Iya, saya suka yang besar, terus kenapa?”

Kali ini Ben tidak bereaksi. Ekspresi dari keterdiamannya tidak terbaca. Cantika juga tidak mau repot-repot menafsirkan apa yang ada di kepala pria itu. Dia hanya ingin cepat ke toilet!

”Tapi maaf, menurut saya, punya Anda memang nggak ada apa-apanya. Jadi, lebih baik minggir!” Dengan satu sentakan, Cantika mendorong tubuh atletis di depannya. “Di mana toiletnya?!”

“... Pintu sebelah kamu,” sahut Ben mendadak kalem.

Cantika memutar tubuhnya meraih gagang pintu yang tidak jauh dari sisi kirinya. Dia berdesis tepat sebelum masuk. “Dasar! Ulet keket aja bangga!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status