Share

#7 Dibawa Ke Mana?

Ini sudah yang kedua kalinya Cantika berada di dalam mobil milik Ben. Jujur saja yang pertama dia tidak terlalu ingat dengan mobilnya karena aksi mencengangkan lelaki itu. Dia juga tidak terlalu lama di dalam mobil.

Namun kali ini berbeda, karena supir mereka tidak bisa datang menjemput, Cantika terpaksa harus menempuh perjalanan beberapa menit dengannya berduaan. Duduk di sebelahnya dan sadar kalau sesekali lelaki itu meliriknya.

Iya, berdua. Brian, Bianca, dan Byana sudah diantar ke tempat les. Cantika tidak mungkin menunggu anak-anak sampai selesai kursus selama satu setengah jam. Jadi, lebih baik dia pulang.

Niatnya Cantika mau pulang dengan taksi online, tapi dasar nasib, uang cash di dompet sisa selembar dua puluh ribu dan sepuluh ribuan, uang sakunya di ATM juga sangat menipis. Sehingga keberadaan Ben sejujurnya seperti pertolongan untuknya. Kalau Cantika jadi panggil taksi online tadi, dia harus menunggu kucuran dana lebih dulu untuk ongkos anak-anak.

Waktu berangkat, Brian menempati bangku penumpang di sebelah Ben. Sedang Cantika dan bocah-bocah perempuan duduk di belakang. Setelah Cantika mengantar anak-anak itu turun, dia benar-benar enggan duduk di depan. Baru saja akan melangkah ke pintu belakang mobil lagi saat suara Ben menghentikan gerakannya.

“Kamu nggak setega itu kan, anggap aku supir?”

Gerakannya terhenti, Cantika kemudian berdecak risih. Dia terpaksa membuka pintu di bagian depan mobil, bentuk tahu diri sebagai pihak yang ditolong. Dia memutuskan untuk duduk tenang, diam, dan main ponsel saja selama perjalanan sampai dekat komples rumah mereka. Sama sekali tidak berniat terlibat dalam konversasi sekecil apa pun dengan pria bernama Ben.

Awalnya sih, niat Cantika begitu. Sebelum lelaki itu membuka percakapan.

“Apa kamu nggak pusing main HP selama di jalan?”

Pertanyaan laki-laki itu membuat Cantika mengangkat kepala. Dahinya mengernyit heran ketika melihat ke depan. Dalam hati langsung ketar-ketir menyesali kelengahannya. Harusnya sesekali Cantika lihat ke jalan, jangan hanya fokus main ponsel. Dia baru sadar kalau mereka tadi seharusnya putar balik di bawah fly over, tetapi Ben malah mengambil jalan lurus entah ke mana.

“Aku mau dibawa ke mana?” Cantika balik bertanya tanpa menggubris pertanyaan Ben.

“Akhirnya kamu ngomong juga.”

 “Ini ‘kan bukan jalan pulang ke rumah kita?” Dia menatap penuh curiga pada lelaki yang berkuasa atas roda kemudi di sebelahnya. Apa lagi rencana lelaki itu sekarang?

Sudut-sudut bibir Ben terangkat dan berkata, “Rumah kita? Wah, aku nggak nyangka kalau diam-diam kamu punya cita-cita serumah sama aku. Bolehlah, diaminin.”

Kalau bukan karena bergaul dengan Olin, Cantika mungkin akan kesulitan menghadapi tipe lelaki selicin belut seperti Ben. Olin telah mengajarkan banyak hal padanya selama mereka berteman. Di saat seperti ini, Cantika seringkali mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada Olin dalam hati. Tidak peduli bagaimanapun jantungnya berdebar, dia tetap berusaha mengendalikan diri dan ekspresinya.

 “Ish! Ngarang aja! Maksudnya komplek rumah kita!” sungut Cantika memutar bola matanya kesal. Lalu kembali bertanya lagi, “Kakak mau bawa aku ke mana?”

“Pergi makan,” sahut Ben ringan. Seringan bibirnya yang sering tersenyum.

Tetapi Cantika sama sekali tidak terpengaruh dengan senyum manis itu. Sebaliknya, dia malah menaruh curiga. Rasanya tidak ada yang bilang mau makan. Cantika juga tidak minta diantar pergi makan. Lantas kenapa orang ini seenak jidatnya saja tanpa bilang apa-apa?

“Makasih, tapi aku udah makan, masih kenyang. Jadi mendingan antar aku pulang aja.”

“Tapi aku belum makan,” jawab Ben yang membuat Cantika memutar bola matanya sebal. Bagaimanapun caranya, Ben merasa perlu mengubah situasi di antara mereka. Setidaknya membuat gadis itu sedikit lebih memercayainya.

“Ya ... urusan Kakak itu sih.” Tegas, lugas, judes, Cantika merespons.

“Rencananya tadi aku mau makan di mal, tapi ada anak-anak memelas yang nggak dijemput supirnya.” Ben melirik Cantika sekilas sebelum melanjutkan, “Karena aku murah hati, aku bela-belain tunda makan siangku yang udah ngaret jadi tambah sore begini. Kalau aku antar kamu dulu, nanti aku malah nggak fokus nyetir di jalan gara-gara kelaparan terus kita malah kenapa-kenapa, gimana?”

“Aku yang nyetir aja sini!” sungut Cantika jengkel. Bukannya kepedean, Cantika itu sadar betul kalau orang-orang bilang dia cantik. Banyak pria yang sering jelalatan padanya. Dia sekarang tidak tahu mau dibawa ke mana. Kalau pria ini berniat menculiknya, terus dia diserang, bagaimana?

“Tapi kalau pulangnya aku pingsan kurang gizi, kamu mau tangung jawab? Kan sama aja nanti kamu yang repot.”

Cantika melotot sebal ke arahnya. Mengamati lengan kekar berotot, badan segar bugar, dan wajah cerah itu. Badan sixpack begini bagian mana yang bakal kekurangan gizi, sih?! rutuknya dalam hati.

Tapi karena merasa berutang, akhirnya dia mendesah kasar, tidak bisa menolaknya. “Ya udah, ya udah! Fine! Dasar bawel! Aku ikut dulu. Tapi, ini mau makan di mana? Dekat tempat kursus tadi ‘kan ada tukang makanan, arah pulang juga ada. Kenapa lewatin jalan yang nggak searah?”

“Ke PIK. Mumpung ada yang nemenin, yang jauh dikit.”

“Tadi katanya lapar? Ngapain jauh-jauh??” Cantika benar-benar heran dengan pria itu. Padahal bilang lapar, kenapa juga dia memillih lokasi tempat makan yang bahkan tidak sejalan dengan arah pulang mereka?

“Tiba-tiba pingin aja makan di sana. Kalau nggak di sana, nanti pulangnya malah aku bakal kepikiran terus kayak orang ngidam. Nanti tiba-tiba datang ke rumah kamu minta temenin kamu makan, memang mau?”

Sumpah, orang ini bikin kepala Cantika berdenyut-denyut. Kalau dia lanjut meladeni omongannya sebentar lagi, agaknya Cantika bakalan cepat kena darah tinggi. Lebih baik dia memutuskan untuk menghentikan obrolan itu sepihak dan fokus pada jalanan. Cantika tidak mau kecolongan lagi.

“Astaga, jadi orang banyak alasan! Terserah, deh, capek ngomong sama Kakak!”

Tanpa dia sadari, pria yang duduk di balik kemudi menyunggingkan senyum penuh makna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status