Ini sudah yang kedua kalinya Cantika berada di dalam mobil milik Ben. Jujur saja yang pertama dia tidak terlalu ingat dengan mobilnya karena aksi mencengangkan lelaki itu. Dia juga tidak terlalu lama di dalam mobil.
Namun kali ini berbeda, karena supir mereka tidak bisa datang menjemput, Cantika terpaksa harus menempuh perjalanan beberapa menit dengannya berduaan. Duduk di sebelahnya dan sadar kalau sesekali lelaki itu meliriknya.
Iya, berdua. Brian, Bianca, dan Byana sudah diantar ke tempat les. Cantika tidak mungkin menunggu anak-anak sampai selesai kursus selama satu setengah jam. Jadi, lebih baik dia pulang.
Niatnya Cantika mau pulang dengan taksi online, tapi dasar nasib, uang cash di dompet sisa selembar dua puluh ribu dan sepuluh ribuan, uang sakunya di ATM juga sangat menipis. Sehingga keberadaan Ben sejujurnya seperti pertolongan untuknya. Kalau Cantika jadi panggil taksi online tadi, dia harus menunggu kucuran dana lebih dulu untuk ongkos anak-anak.
Waktu berangkat, Brian menempati bangku penumpang di sebelah Ben. Sedang Cantika dan bocah-bocah perempuan duduk di belakang. Setelah Cantika mengantar anak-anak itu turun, dia benar-benar enggan duduk di depan. Baru saja akan melangkah ke pintu belakang mobil lagi saat suara Ben menghentikan gerakannya.
“Kamu nggak setega itu kan, anggap aku supir?”
Gerakannya terhenti, Cantika kemudian berdecak risih. Dia terpaksa membuka pintu di bagian depan mobil, bentuk tahu diri sebagai pihak yang ditolong. Dia memutuskan untuk duduk tenang, diam, dan main ponsel saja selama perjalanan sampai dekat komples rumah mereka. Sama sekali tidak berniat terlibat dalam konversasi sekecil apa pun dengan pria bernama Ben.
Awalnya sih, niat Cantika begitu. Sebelum lelaki itu membuka percakapan.
“Apa kamu nggak pusing main HP selama di jalan?”
Pertanyaan laki-laki itu membuat Cantika mengangkat kepala. Dahinya mengernyit heran ketika melihat ke depan. Dalam hati langsung ketar-ketir menyesali kelengahannya. Harusnya sesekali Cantika lihat ke jalan, jangan hanya fokus main ponsel. Dia baru sadar kalau mereka tadi seharusnya putar balik di bawah fly over, tetapi Ben malah mengambil jalan lurus entah ke mana.
“Aku mau dibawa ke mana?” Cantika balik bertanya tanpa menggubris pertanyaan Ben.
“Akhirnya kamu ngomong juga.”
“Ini ‘kan bukan jalan pulang ke rumah kita?” Dia menatap penuh curiga pada lelaki yang berkuasa atas roda kemudi di sebelahnya. Apa lagi rencana lelaki itu sekarang?
Sudut-sudut bibir Ben terangkat dan berkata, “Rumah kita? Wah, aku nggak nyangka kalau diam-diam kamu punya cita-cita serumah sama aku. Bolehlah, diaminin.”
Kalau bukan karena bergaul dengan Olin, Cantika mungkin akan kesulitan menghadapi tipe lelaki selicin belut seperti Ben. Olin telah mengajarkan banyak hal padanya selama mereka berteman. Di saat seperti ini, Cantika seringkali mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada Olin dalam hati. Tidak peduli bagaimanapun jantungnya berdebar, dia tetap berusaha mengendalikan diri dan ekspresinya.
“Ish! Ngarang aja! Maksudnya komplek rumah kita!” sungut Cantika memutar bola matanya kesal. Lalu kembali bertanya lagi, “Kakak mau bawa aku ke mana?”
“Pergi makan,” sahut Ben ringan. Seringan bibirnya yang sering tersenyum.
Tetapi Cantika sama sekali tidak terpengaruh dengan senyum manis itu. Sebaliknya, dia malah menaruh curiga. Rasanya tidak ada yang bilang mau makan. Cantika juga tidak minta diantar pergi makan. Lantas kenapa orang ini seenak jidatnya saja tanpa bilang apa-apa?
“Makasih, tapi aku udah makan, masih kenyang. Jadi mendingan antar aku pulang aja.”
“Tapi aku belum makan,” jawab Ben yang membuat Cantika memutar bola matanya sebal. Bagaimanapun caranya, Ben merasa perlu mengubah situasi di antara mereka. Setidaknya membuat gadis itu sedikit lebih memercayainya.
“Ya ... urusan Kakak itu sih.” Tegas, lugas, judes, Cantika merespons.
“Rencananya tadi aku mau makan di mal, tapi ada anak-anak memelas yang nggak dijemput supirnya.” Ben melirik Cantika sekilas sebelum melanjutkan, “Karena aku murah hati, aku bela-belain tunda makan siangku yang udah ngaret jadi tambah sore begini. Kalau aku antar kamu dulu, nanti aku malah nggak fokus nyetir di jalan gara-gara kelaparan terus kita malah kenapa-kenapa, gimana?”
“Aku yang nyetir aja sini!” sungut Cantika jengkel. Bukannya kepedean, Cantika itu sadar betul kalau orang-orang bilang dia cantik. Banyak pria yang sering jelalatan padanya. Dia sekarang tidak tahu mau dibawa ke mana. Kalau pria ini berniat menculiknya, terus dia diserang, bagaimana?
“Tapi kalau pulangnya aku pingsan kurang gizi, kamu mau tangung jawab? Kan sama aja nanti kamu yang repot.”
Cantika melotot sebal ke arahnya. Mengamati lengan kekar berotot, badan segar bugar, dan wajah cerah itu. Badan sixpack begini bagian mana yang bakal kekurangan gizi, sih?! rutuknya dalam hati.
Tapi karena merasa berutang, akhirnya dia mendesah kasar, tidak bisa menolaknya. “Ya udah, ya udah! Fine! Dasar bawel! Aku ikut dulu. Tapi, ini mau makan di mana? Dekat tempat kursus tadi ‘kan ada tukang makanan, arah pulang juga ada. Kenapa lewatin jalan yang nggak searah?”
“Ke PIK. Mumpung ada yang nemenin, yang jauh dikit.”
“Tadi katanya lapar? Ngapain jauh-jauh??” Cantika benar-benar heran dengan pria itu. Padahal bilang lapar, kenapa juga dia memillih lokasi tempat makan yang bahkan tidak sejalan dengan arah pulang mereka?
“Tiba-tiba pingin aja makan di sana. Kalau nggak di sana, nanti pulangnya malah aku bakal kepikiran terus kayak orang ngidam. Nanti tiba-tiba datang ke rumah kamu minta temenin kamu makan, memang mau?”
Sumpah, orang ini bikin kepala Cantika berdenyut-denyut. Kalau dia lanjut meladeni omongannya sebentar lagi, agaknya Cantika bakalan cepat kena darah tinggi. Lebih baik dia memutuskan untuk menghentikan obrolan itu sepihak dan fokus pada jalanan. Cantika tidak mau kecolongan lagi.
“Astaga, jadi orang banyak alasan! Terserah, deh, capek ngomong sama Kakak!”
Tanpa dia sadari, pria yang duduk di balik kemudi menyunggingkan senyum penuh makna.
“Yakin nggak mau makan?” tanya Ben seraya melihat-lihat jajaran kios penjual makanan di area food street. Cantika berjalan mengikutinya tak acuh. “Nggak. Masih kenyang.” “Dessert atau minum?” tawar Ben pada gadis yang masih tampak cemberut. Gadis itu diam sebentar, tampak menimbang-nimbang. “Kenapa? Kakak mau traktir?” tanyanya gamblang. Masalah bayar membayar itu butuh kejelasan, apalagi uang tunai yang dibawanya terbatas. Lagi pula Ben yang mengajaknya, jadi tidak ada salahnya dia bertanya. Ben kemudian mengangguk, tidak terganggu sama sekali dengan pertanyaannya. “Iya, pesan aja.” “Aku mau jus aja kalau gitu.” Setelah berpencar sebentar menuju kios yang menyediakan pesanan mereka, keduanya menempati salah satu meja kosong di sana. Duduk di bawah terpaan angin sore yang masih terasa hangat. Ben memerhatikan gadis berkulit putih di depannya yang sibuk melihat-lihat sekeliling. Rambut panjangnya yang dicat tampak berkilau di bawah matahari. Bulu mata lentik hasil lashlift-nya ma
Ben pulang dengan suasana hati yang baik dan senyum merekah di wajah. Dia kira waktu cutinya ini hanya akan dihabiskan untuk sendirian, melanjutkan pekerjaan lain di rumah, atau ngalor-ngidul tidak jelas. Tetapi ternyata hal menarik ditemukannya sepanjang ia cuti. Kiara, gadis cantik yang masih kuliah, sepuluh tahun lebih muda darinya. Selama mengobrol, bibir penuh bergaris belah dan leher ramping gadis itu tidak luput dari pandangannya. Benar-benar membuatnya bergairah. Gadis itu memang bukan gadis cantik pertama yang dijumpai Ben. Tetapi daya tariknya amat kuat. Ben menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia membuka aplikasi media sosial dan mengetik nama Kiara pada kolom pencarian. Satu per satu foto profil ditelitinya. Terlalu banyak perempuan bernama Kiara. Sayang sekali dia tidak mendapatkan nama lengkap gadis itu. Ben lalu menghela napas kasar dan melempar pelan ponselnya ke meja sesaat sebelum benda pipih itu berbunyi. Dia sudah
“Lo masih ketemu om-om itu, Lin?” Pertanyaan sensitif dari Cantika mengundang helaan napas lolos dari mulut Olin. Wanita yang pernah tidak naik kelas dua kali akibat daftar kehadirannya di sekolah, mengepalkan sebelah tangan erat. Sangat kontras dengan senyum di wajahnya. “Menurut lo, dari mana gue bisa dapat ini semua kalau bukan dari dia?” ungkap Olin mengangkat sebelah tangannya dengan telapak terbuka. Atmosfir di ruangan Olin seketika berubah pekat. Cantika kira, dengan kesibukan Olin sekarang, dia sudah tidak menemui pria berumur itu lagi. Masalah Olin memang bukan urusan Cantika. Tetapi di lubuk hatinya, dia ingin Olin menjalani hubungan yang normal. Secara fisik, tidak ada yang kurang dari sahabatnya itu. Olin memiliki wajah manis khas Melayu. Kulitnya yang coklat eksotis dan tubuh berisinya membuat gadis itu kelihatan seksi. Meski tidak setinggi Cantika, tetapi Olin tidak tergolong pendek. Secara fisik penampilannya menarik. Secara kepribadian, dia wanita yang menyenangkan
“Jangan,” ujar Miko setelah mendengarkan cerita tentang Cantika. “Kamu masih belum pengalaman menghadapi cowok umur segitu. Menurutku Cantika nggak perlu ikutin kemauannya. Apalagi dengar pertemuan awal kalian yang ... ehem,” Miko berdeham sebelum melanjutkan dengan suaara lembutnya, “anti mainstream.” Garis bibir Cantika melengkung ke bawah, dia tidak begitu suka dianggap belum dewasa. Tapi apa yang dikatakan Miko juga tidak salah. Dia belum pernah berkencan dengan laki-laki yang jauh lebih dewasa darinya. Paling jauh hanya terpaut tiga tahun di atasnya. Cantika menopang wajah dengan sebelah tangan dan berkata, “Kalau aku betulan nggak sengaja ketemu sama cowok itu lagi, gimana? Aku harus bilang apa buat nolak taruhannya?” “Memang kamu berharap ketemu dia lagi?” tanya pria gagah berkulit putih yang sejak tadi mengundang beberapa pasang mata memandangi tubuh atletisnya. Tubuh kekar yang dibalut kaus hitam body fit begitu menggiurkan para kaum hawa. Kalau kalian pernah lihat koko-ko
Cantika melihat lampu di halaman rumahnya sudah terang. Dia terdiam sejenak saat tiba di depan pintu, mengatur napas sebelum meraih gagang pintu. Masuk rumah sama gugupnya dengan masuk ruang interview.“Dari mana aja kamu?” Suara dingin dan ketus segera menyambut kedatangannya.“Mama tumben udah pulang.” Cantika tidak menjawab pertanyaan ibunya, hendak melangkah ke kamar.“Kamu yang pulang kemalaman. Nggak ada di rumah, nggak jemput Caca, kamu ngelayap ke mana?” tuding Arita, sang ibu.Gadis cantik itu menghentikan langkah dan menjawab, “Cuma ketemu Olin sebentar.”“Ada atau nggak ada tugas kuliah, kamu wajib ke rumah Om Dany dan Tante Grace. Bantu mereka sebisa kamu. Ingat, kuliah kamu dibayarin.”“Kata Tante Grace lagi ada supir, aku enggak perlu jemput anak-anak hari ini. Jadi aku ke tempat Olin sebentar, apa salahnya? Lagian dari Olin kadang aku dapat kerjaan. Rambutku dicat begini juga dibayar, bukan cuma gaya-gayaan.”Cantika tidak bohong. Olin mengenalkannya pada salah satu tem
“Astaga! Apa itu?!” Cantika terkejut ketika bumper mobil bagian belakangnya membentur sesuatu. Dengan panik dia menoleh ke kaca spion di depan. Cantika pikir siang itu jalanan kompleks sepi. Tapi saat dia mundur untuk putar balik di tikungan, rupanya ada mobil lain yang melaju di belakangnya. Karena terburu-buru, Cantika tidak memerhatikan sekeliling. Akibatnya, dia malah menabrak mobil orang. “Aduh, gimana ini?! Nggak sadar ada mobil di belakang, malah nabrak.” Dengan panik, dia menengok ke belakang dari bangkunya. “BMW pula! Kena dimaki nih, bisa-bisa.” Mobil itu bukan BMW seharga ratusan juta yang bisa dibeli sejuta umat. Melainkan jenis BMW kelas atas yang harganya menyentuh bilangan miliar. Bagaimana Cantika tidak ketar-ketir? Ketika menyadari mobil tersebut adalah sedan yang di kenalnya, Cantika merasa secuil bebannya terangkat. Paling tidak dia bisa menunduk minta maaf dan bernegosiasi. Gadis itu kemudian memberanikan diri turun dari mobil, menghampiri mobil di belakangnya.
Namanya Cantika, Ben baru mengetahuinya kemarin saat datang ke rumah Grace, istri dari salah satu mantan kliennya. “Oh, jadi yang tabrakan sama Cantika itu mobil kamu, Ben? Astaga, maaf banget, ya?” “Nggak pa-pa, Bu Grace. Sebetulnya itu salah saya yang nggak perhatikan jalan karena masih dalam kompleks.” Keluarga Pak Dany sudah cukup mengenalnya, sehingga mereka bicara lebih kasual satu sama lain. Ben juga mendengar Cantika memanggil Grace dengan sebutan ‘Tante’. Berdasarkan yang dia lihat, terkadang gadis itu menemani Byana dan Bianca bermain. Mengantar jemput dua bocah perempuan itu beserta Brian, kakaknya. Kabar lain yang ditangkap dari obrolan mereka, Cantika tidak tinggal di sana. Sebab waktu dia bilang akan menjemputnya, gadis itu menolak. Memilih bertemu di tempat janjian atau datang ke rumah Ben. Apa hubungan Cantika dengan keluarga Pak Dany dan Bu Grace, Ben sendiri belum tahu. Sewaktu mengobrol di sana, sama sekali tidak disinggung apakah mereka keluarga atau bukan. P
“Kalau gitu, jadi pacar aku aja biar kita bisa jalan berdua di akhir pekan.”Cantika menghentikan gerakannya dan menoleh. Bola matanya berputar jengah. “Bisaan banget, ya!”Ben menyunggingkan senyum, mencondongkan tubuh ke arah Cantika. Gadis itu sempat terlonjak, berjengit kaget ketika Ben berada dekat di sebelahnya. Jarak yang cukup dekat di antara mereka membuat indra penciuman Cantika dimanjakan oleh aroma citrus segar dari pria itu.Bunyi ‘klik’ pengunci sabuk pengaman selanjutnya menjemput kesadaran Cantika kembali. Pundaknya merosot turun, lega, saat Ben hanya mengambil alih sabuk pengaman dan memasangnya.“Bisalah, namanya juga usaha,” ujar Ben yang belum melepas senyum di wajah.Tubuh Cantika mengkeret, mundur merapat pada sandaran jok. Pikirannya sudah ke mana-mana tadi. Dia kira Ben akan berbuat aneh padanya sehingga dia kembali memasang pertahanan. “Jangan lupa, reputasi kamu di mata aku baru naik sedikiiit banget. Kesan pertama masih membekas.”“Nggak masalah, yang pentin