“Bannya bocor??”
Satu tangan Cantika memindahkan ponsel ke telinga sebelahnya. Dia melirik ketiga bocah yang sedang duduk sambil memerhatikannya yang sedang menelepon. “Lama nggak, Pak? ... Ya udah, deh. Tolong kabarin secepatnya, ya? Sebentar lagi ‘kan udah jamnya anak-anak les. ... Oke, makasih, Pak.”
Cantika mengembuskan napas panjang setelah memutus sambungan telepon. Dilihatnya jam yang ada sudut atas ponselnya, hampir jam setengah empat.
Hari ini waktu kursus Brian, Bianca, dan Byana sama-sama pukul empat sore. Sengaja memilih waktu bersamaan karena masih satu tempat kursus. Dari mal di mana mereka berada butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai ke tempat kursus. Itu pun kalau jalanan tidak padat merayap. Kalau ada kendaraan yang geraknya lambat dan bikin macet, bisa lebih lama lagi.
Semoga saja Pak supir bisa menjemput mereka kurang dari lima belas menit.
“Kenapa Kak? Bannya bocor?” tanya Brian yang sejak tadi menyimak obrolan Cantika di telepon.
Cantika memasukkan ponselnya ke dalam tas tangan Kate Spade mini yang hanya muat ponsel dan dompet. “Iya Bri, kita tunggu dulu di sini ya.”
“Kak, Brian mau beli minum deh, haus.”
“Ya udah. Jangan kelamaan loh, cari yang nggak antri aja.”
Brian beranjak dari duduknya dan mengangkat tangan, membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Mengisyaratkan kata ‘oke’ seraya berjalan keluar food court.
***
Ben belum lama tiba di mal. Niatnya mau ke toko buku sekalian cari makan. Berhubung mal hanya berjarak kurang lebih sepuluh menit dari rumah, jalan-jalan sendiri tidak ada salahnya. Lagi pula dia tipe orang yang tidak pernah mempermasalahkan pergi keluar sendiri atau berkelompok.
Ada ‘kan, orang-orang yang merasa aneh kalau pergi ke mal sendirian, makan sendirian, atau aktivitas apa pun di luar rumah sendirian. Katanya ngenes banget. Tapi menurut Ben, biasa saja, tuh. Kenapa harus merasa ngenes kalau memang punya keperluan?
Ben baru saja turun dari eskalator ketika melihat sosok yang dikenal.
“Kak Ben.” Remaja laki-laki bertubuh besar dan berwajah imut menyapanya.
“Eh, Brian lagi di sini juga,” sahut Ben. Dia menjulurkan kepala ke kiri dan kanan. Mencari sosok lain yang datang bersama remaja di depannya. “Kamu sendirian?”
“Nggak, Kak. Ada Caca sama Byan di food court. Brian barusan beli minum aja.” Ditunjuknya segelas minuman cokelat yang dia pegang. “Kak Ben sendiri?”
“Iya, mau makan. Yuk, ke food court bareng.”
Ben terpaku saat menapakkan kaki memasuki area food court bersama Brian. Mimpi apa dia semalam? Rasanya dia seperti ketiban durian runtuh. Pelarian ke rumah Barry, kakaknya, seolah adalah pilihan tepat. Kemudian pertemuannya dengan gadis cantik yang duduk di depan sana seakan seperti takdir.
Jika sudah begini, boleh ‘kan dia mengambil langkah selanjutnya? Memang ada kebetulan yang berturut-turut seperti ini? Baginya ini semacam pertanda.
“Jadi gimana, Pak?” Suara sopran gadis cantik itu terdengar oleh Ben. Dia sedang berbicara di telepon. “Ban serepnya juga belum diperbaiki sebelumnya? ... Duh, kenapa nggak bilang dari tadi? Kalau tau ‘kan saya bisa langsung pesan taksi online. Waktu les anak-anak udah mepet banget, lagi. ... Ya udah deh, Pak. ... Iya, nggak usah ke sini. Nggak keburu juga. ... Makasih.”
Dilihatnya gadis itu kemudian menoleh, menyadari kedatangan Brian. “Bri, Pak Supir nggak bisa—” Kata-katanya terputus karena baru menyadari ada sosok lain di sebelah Brian.
Ben menyunggingkan seulas senyum kaku, berniat menyapa Cantika. Namun yang didapatnya hanyalah ekspresi tak acuh gadis itu yang kemudian membuang muka.
Wajar.
Setelah apa yang terjadi di antara mereka, amat wajar bila gadis itu bersikap begini. Malahan, aneh kalau dia terlihat baik-baik saja, balas tersenyum ramah pada Ben. Itu tandanya gadis itu masih cukup waras untuk tidak beramah tamah dengan Ben kepergok melakukan hal tak senonoh.
“Kenapa, Kak?” tanya Brian sambil asyik menyedot minumannya.
“Pak Supir nggak bisa jemput. Kita pesan taksi online aja, ya?”
Ben bisa melihat, gadis itu meliriknya lagi. Seolah mempertanyakan keberadaan Ben di sana. Tapi dia lebih memilih untuk tidak mengacuhkan Ben sama sekali.
“Keburu nggak, Kak?” tanya Brian lagi.
“Kamu les di mana memang, Bri?” sela Ben. Sebelumnya Brian sudah cerita perkara ban mobilnya yang bocor. Tapi Ben belum tahu kalau ada gadis itu juga di sini. Yang dia tahu, Brian sedang menunggu supir.
“Daerah Citra, Kak.”
“Oh, nggak jauh. Kak Ben yang antar aja gimana? Jam berapa lesnya?”
“Jam empat, Kak. Nggak pa-pa, nih? Kak Ben bukannya mau makan?” sahut Brian berusaha santun. Tidak enak kalau langsung menerima. Dia takut merepotkan.
Ben mengangguk mantap sambil menjawab, “Iya, tenang aja. Masih bisa ditunda itu, sih.”
Sementara Byana dan Bianca berseru girang. Semuanya tampak lega mendapatkan solusi. Hanya satu orang yang kelihatan cemberut menekuk wajah.
“Bri, kita pesan taksi online aja. Nggak enak ngerepotin orang lain.”
“Nggak repot, kok.” Ben menyahut cepat. “Lagian udah mepet, kan? Kalau nunggu taksi online belum tentu langsung dapat, nanti malah telat.”
Kemudian Ben kembali mengalihkan pandangan pada Brian. “Gimana, Bri?”
“Iya, tolong ya, Kak? Maaf ngerepotin.”
“Ya udah, yuk!” ajak Ben.
Bianca dan Byana bangkit dari kursi, menggendong ransel mereka di punggung. Berebut mengobrol dengan Ben. Sementara gadis cantik berambut ballayage, alias si kakak paling besar, mau tidak mau ikut beranjak dari bangkunya.
Gadis itu mengembuskan napas kasar. Dia tampak keberatan dengan gagasan dari Ben. Tapi dia juga hanya bisa pasrah. Membuat Ben mau tak mau berusaha menahan senyum sepanjang perjalanan mereka ke mobil.
Setelah mengantar anak-anak, Ben harus memastikan mereka bicara empat mata. Dia benar-benar ingin tahu tentang gadis ini. Ben tidak boleh menyia-nyiakan peluang yang datang padanya.
story by @lunetha_lu
Ini sudah yang kedua kalinya Cantika berada di dalam mobil milik Ben. Jujur saja yang pertama dia tidak terlalu ingat dengan mobilnya karena aksi mencengangkan lelaki itu. Dia juga tidak terlalu lama di dalam mobil. Namun kali ini berbeda, karena supir mereka tidak bisa datang menjemput, Cantika terpaksa harus menempuh perjalanan beberapa menit dengannya berduaan. Duduk di sebelahnya dan sadar kalau sesekali lelaki itu meliriknya. Iya, berdua. Brian, Bianca, dan Byana sudah diantar ke tempat les. Cantika tidak mungkin menunggu anak-anak sampai selesai kursus selama satu setengah jam. Jadi, lebih baik dia pulang. Niatnya Cantika mau pulang dengan taksi online, tapi dasar nasib, uang cash di dompet sisa selembar dua puluh ribu dan sepuluh ribuan, uang sakunya di ATM juga sangat menipis. Sehingga keberadaan Ben sejujurnya seperti pertolongan untuknya. Kalau Cantika jadi panggil taksi online tadi, dia harus menunggu kucuran dana lebih dulu untuk ongkos anak-anak. Waktu berangkat, Brian
“Yakin nggak mau makan?” tanya Ben seraya melihat-lihat jajaran kios penjual makanan di area food street. Cantika berjalan mengikutinya tak acuh. “Nggak. Masih kenyang.” “Dessert atau minum?” tawar Ben pada gadis yang masih tampak cemberut. Gadis itu diam sebentar, tampak menimbang-nimbang. “Kenapa? Kakak mau traktir?” tanyanya gamblang. Masalah bayar membayar itu butuh kejelasan, apalagi uang tunai yang dibawanya terbatas. Lagi pula Ben yang mengajaknya, jadi tidak ada salahnya dia bertanya. Ben kemudian mengangguk, tidak terganggu sama sekali dengan pertanyaannya. “Iya, pesan aja.” “Aku mau jus aja kalau gitu.” Setelah berpencar sebentar menuju kios yang menyediakan pesanan mereka, keduanya menempati salah satu meja kosong di sana. Duduk di bawah terpaan angin sore yang masih terasa hangat. Ben memerhatikan gadis berkulit putih di depannya yang sibuk melihat-lihat sekeliling. Rambut panjangnya yang dicat tampak berkilau di bawah matahari. Bulu mata lentik hasil lashlift-nya ma
Ben pulang dengan suasana hati yang baik dan senyum merekah di wajah. Dia kira waktu cutinya ini hanya akan dihabiskan untuk sendirian, melanjutkan pekerjaan lain di rumah, atau ngalor-ngidul tidak jelas. Tetapi ternyata hal menarik ditemukannya sepanjang ia cuti. Kiara, gadis cantik yang masih kuliah, sepuluh tahun lebih muda darinya. Selama mengobrol, bibir penuh bergaris belah dan leher ramping gadis itu tidak luput dari pandangannya. Benar-benar membuatnya bergairah. Gadis itu memang bukan gadis cantik pertama yang dijumpai Ben. Tetapi daya tariknya amat kuat. Ben menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia membuka aplikasi media sosial dan mengetik nama Kiara pada kolom pencarian. Satu per satu foto profil ditelitinya. Terlalu banyak perempuan bernama Kiara. Sayang sekali dia tidak mendapatkan nama lengkap gadis itu. Ben lalu menghela napas kasar dan melempar pelan ponselnya ke meja sesaat sebelum benda pipih itu berbunyi. Dia sudah
“Lo masih ketemu om-om itu, Lin?” Pertanyaan sensitif dari Cantika mengundang helaan napas lolos dari mulut Olin. Wanita yang pernah tidak naik kelas dua kali akibat daftar kehadirannya di sekolah, mengepalkan sebelah tangan erat. Sangat kontras dengan senyum di wajahnya. “Menurut lo, dari mana gue bisa dapat ini semua kalau bukan dari dia?” ungkap Olin mengangkat sebelah tangannya dengan telapak terbuka. Atmosfir di ruangan Olin seketika berubah pekat. Cantika kira, dengan kesibukan Olin sekarang, dia sudah tidak menemui pria berumur itu lagi. Masalah Olin memang bukan urusan Cantika. Tetapi di lubuk hatinya, dia ingin Olin menjalani hubungan yang normal. Secara fisik, tidak ada yang kurang dari sahabatnya itu. Olin memiliki wajah manis khas Melayu. Kulitnya yang coklat eksotis dan tubuh berisinya membuat gadis itu kelihatan seksi. Meski tidak setinggi Cantika, tetapi Olin tidak tergolong pendek. Secara fisik penampilannya menarik. Secara kepribadian, dia wanita yang menyenangkan
“Jangan,” ujar Miko setelah mendengarkan cerita tentang Cantika. “Kamu masih belum pengalaman menghadapi cowok umur segitu. Menurutku Cantika nggak perlu ikutin kemauannya. Apalagi dengar pertemuan awal kalian yang ... ehem,” Miko berdeham sebelum melanjutkan dengan suaara lembutnya, “anti mainstream.” Garis bibir Cantika melengkung ke bawah, dia tidak begitu suka dianggap belum dewasa. Tapi apa yang dikatakan Miko juga tidak salah. Dia belum pernah berkencan dengan laki-laki yang jauh lebih dewasa darinya. Paling jauh hanya terpaut tiga tahun di atasnya. Cantika menopang wajah dengan sebelah tangan dan berkata, “Kalau aku betulan nggak sengaja ketemu sama cowok itu lagi, gimana? Aku harus bilang apa buat nolak taruhannya?” “Memang kamu berharap ketemu dia lagi?” tanya pria gagah berkulit putih yang sejak tadi mengundang beberapa pasang mata memandangi tubuh atletisnya. Tubuh kekar yang dibalut kaus hitam body fit begitu menggiurkan para kaum hawa. Kalau kalian pernah lihat koko-ko
Cantika melihat lampu di halaman rumahnya sudah terang. Dia terdiam sejenak saat tiba di depan pintu, mengatur napas sebelum meraih gagang pintu. Masuk rumah sama gugupnya dengan masuk ruang interview.“Dari mana aja kamu?” Suara dingin dan ketus segera menyambut kedatangannya.“Mama tumben udah pulang.” Cantika tidak menjawab pertanyaan ibunya, hendak melangkah ke kamar.“Kamu yang pulang kemalaman. Nggak ada di rumah, nggak jemput Caca, kamu ngelayap ke mana?” tuding Arita, sang ibu.Gadis cantik itu menghentikan langkah dan menjawab, “Cuma ketemu Olin sebentar.”“Ada atau nggak ada tugas kuliah, kamu wajib ke rumah Om Dany dan Tante Grace. Bantu mereka sebisa kamu. Ingat, kuliah kamu dibayarin.”“Kata Tante Grace lagi ada supir, aku enggak perlu jemput anak-anak hari ini. Jadi aku ke tempat Olin sebentar, apa salahnya? Lagian dari Olin kadang aku dapat kerjaan. Rambutku dicat begini juga dibayar, bukan cuma gaya-gayaan.”Cantika tidak bohong. Olin mengenalkannya pada salah satu tem
“Astaga! Apa itu?!” Cantika terkejut ketika bumper mobil bagian belakangnya membentur sesuatu. Dengan panik dia menoleh ke kaca spion di depan. Cantika pikir siang itu jalanan kompleks sepi. Tapi saat dia mundur untuk putar balik di tikungan, rupanya ada mobil lain yang melaju di belakangnya. Karena terburu-buru, Cantika tidak memerhatikan sekeliling. Akibatnya, dia malah menabrak mobil orang. “Aduh, gimana ini?! Nggak sadar ada mobil di belakang, malah nabrak.” Dengan panik, dia menengok ke belakang dari bangkunya. “BMW pula! Kena dimaki nih, bisa-bisa.” Mobil itu bukan BMW seharga ratusan juta yang bisa dibeli sejuta umat. Melainkan jenis BMW kelas atas yang harganya menyentuh bilangan miliar. Bagaimana Cantika tidak ketar-ketir? Ketika menyadari mobil tersebut adalah sedan yang di kenalnya, Cantika merasa secuil bebannya terangkat. Paling tidak dia bisa menunduk minta maaf dan bernegosiasi. Gadis itu kemudian memberanikan diri turun dari mobil, menghampiri mobil di belakangnya.
Namanya Cantika, Ben baru mengetahuinya kemarin saat datang ke rumah Grace, istri dari salah satu mantan kliennya. “Oh, jadi yang tabrakan sama Cantika itu mobil kamu, Ben? Astaga, maaf banget, ya?” “Nggak pa-pa, Bu Grace. Sebetulnya itu salah saya yang nggak perhatikan jalan karena masih dalam kompleks.” Keluarga Pak Dany sudah cukup mengenalnya, sehingga mereka bicara lebih kasual satu sama lain. Ben juga mendengar Cantika memanggil Grace dengan sebutan ‘Tante’. Berdasarkan yang dia lihat, terkadang gadis itu menemani Byana dan Bianca bermain. Mengantar jemput dua bocah perempuan itu beserta Brian, kakaknya. Kabar lain yang ditangkap dari obrolan mereka, Cantika tidak tinggal di sana. Sebab waktu dia bilang akan menjemputnya, gadis itu menolak. Memilih bertemu di tempat janjian atau datang ke rumah Ben. Apa hubungan Cantika dengan keluarga Pak Dany dan Bu Grace, Ben sendiri belum tahu. Sewaktu mengobrol di sana, sama sekali tidak disinggung apakah mereka keluarga atau bukan. P