Share

#6 Pertolongan Kecil

“Bannya bocor??”

Satu tangan Cantika memindahkan ponsel ke telinga sebelahnya. Dia melirik ketiga bocah yang sedang duduk sambil memerhatikannya yang sedang menelepon. “Lama nggak, Pak? ... Ya udah, deh. Tolong kabarin secepatnya, ya? Sebentar lagi ‘kan udah jamnya anak-anak les. ... Oke, makasih, Pak.”

Cantika mengembuskan napas panjang setelah memutus sambungan telepon. Dilihatnya jam yang ada sudut atas ponselnya, hampir jam setengah empat.

Hari ini waktu kursus Brian, Bianca, dan Byana sama-sama pukul empat sore. Sengaja memilih waktu bersamaan karena masih satu tempat kursus. Dari mal di mana mereka berada butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai ke tempat kursus. Itu pun kalau jalanan tidak padat merayap. Kalau ada kendaraan yang geraknya lambat dan bikin macet, bisa lebih lama lagi.

Semoga saja Pak supir bisa menjemput mereka kurang dari lima belas menit.

“Kenapa Kak? Bannya bocor?” tanya Brian yang sejak tadi menyimak obrolan Cantika di telepon.

Cantika memasukkan ponselnya ke dalam tas tangan Kate Spade mini yang hanya muat ponsel dan dompet. “Iya Bri, kita tunggu dulu di sini ya.”

“Kak, Brian mau beli minum deh, haus.”

“Ya udah. Jangan kelamaan loh, cari yang nggak antri aja.”

Brian beranjak dari duduknya dan mengangkat tangan, membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Mengisyaratkan kata ‘oke’ seraya berjalan keluar food court.

***

Ben belum lama tiba di mal. Niatnya mau ke toko buku sekalian cari makan. Berhubung mal hanya berjarak kurang lebih sepuluh menit dari rumah, jalan-jalan sendiri tidak ada salahnya. Lagi pula dia tipe orang yang tidak pernah mempermasalahkan pergi keluar sendiri atau berkelompok.

Ada ‘kan, orang-orang yang merasa aneh kalau pergi ke mal sendirian, makan sendirian, atau aktivitas apa pun di luar rumah sendirian. Katanya ngenes banget. Tapi menurut Ben, biasa saja, tuh. Kenapa harus merasa ngenes kalau memang punya keperluan?

Ben baru saja turun dari eskalator ketika melihat sosok yang dikenal.

“Kak Ben.” Remaja laki-laki bertubuh besar dan berwajah imut menyapanya.

“Eh, Brian lagi di sini juga,” sahut Ben. Dia menjulurkan kepala ke kiri dan kanan. Mencari sosok lain yang datang bersama remaja di depannya. “Kamu sendirian?”

“Nggak, Kak. Ada Caca sama Byan di food court. Brian barusan beli minum aja.” Ditunjuknya segelas minuman cokelat yang dia pegang. “Kak Ben sendiri?”

“Iya, mau makan. Yuk, ke food court bareng.”

Ben terpaku saat menapakkan kaki memasuki area food court bersama Brian. Mimpi apa dia semalam? Rasanya dia seperti ketiban durian runtuh. Pelarian ke rumah Barry, kakaknya, seolah adalah pilihan tepat. Kemudian pertemuannya dengan gadis cantik yang duduk di depan sana seakan seperti takdir.

Jika sudah begini, boleh ‘kan dia mengambil langkah selanjutnya? Memang ada kebetulan yang berturut-turut seperti ini? Baginya ini semacam pertanda.

“Jadi gimana, Pak?” Suara sopran gadis cantik itu terdengar oleh Ben. Dia sedang berbicara di telepon. “Ban serepnya juga belum diperbaiki sebelumnya? ... Duh, kenapa nggak bilang dari tadi? Kalau tau ‘kan saya bisa langsung pesan taksi online. Waktu les anak-anak udah mepet banget, lagi. ... Ya udah deh, Pak. ... Iya, nggak usah ke sini. Nggak keburu juga. ... Makasih.”

Dilihatnya gadis itu kemudian menoleh, menyadari kedatangan Brian. “Bri, Pak Supir nggak bisa—” Kata-katanya terputus karena baru menyadari ada sosok lain di sebelah Brian.

Ben menyunggingkan seulas senyum kaku, berniat menyapa Cantika. Namun yang didapatnya hanyalah ekspresi tak acuh gadis itu yang kemudian membuang muka.

Wajar.

Setelah apa yang terjadi di antara mereka, amat wajar bila gadis itu bersikap begini. Malahan, aneh kalau dia terlihat baik-baik saja, balas tersenyum ramah pada Ben. Itu tandanya gadis itu masih cukup waras untuk tidak beramah tamah dengan Ben kepergok melakukan hal tak senonoh.

“Kenapa, Kak?” tanya Brian sambil asyik menyedot minumannya.

“Pak Supir nggak bisa jemput. Kita pesan taksi online aja, ya?”

Ben bisa melihat, gadis itu meliriknya lagi. Seolah mempertanyakan keberadaan Ben di sana. Tapi dia lebih memilih untuk tidak mengacuhkan Ben sama sekali.

“Keburu nggak, Kak?” tanya Brian lagi.

“Kamu les di mana memang, Bri?” sela Ben. Sebelumnya Brian sudah cerita perkara ban mobilnya yang bocor. Tapi Ben belum tahu kalau ada gadis itu juga di sini. Yang dia tahu, Brian sedang menunggu supir.

“Daerah Citra, Kak.”

“Oh, nggak jauh. Kak Ben yang antar aja gimana? Jam berapa lesnya?”

“Jam empat, Kak. Nggak pa-pa, nih? Kak Ben bukannya mau makan?” sahut Brian berusaha santun. Tidak enak kalau langsung menerima. Dia takut merepotkan.

Ben mengangguk mantap sambil menjawab, “Iya, tenang aja. Masih bisa ditunda itu, sih.”

Sementara Byana dan Bianca berseru girang. Semuanya tampak lega mendapatkan solusi. Hanya satu orang yang kelihatan cemberut menekuk wajah.

“Bri, kita pesan taksi online aja. Nggak enak ngerepotin orang lain.”

“Nggak repot, kok.” Ben menyahut cepat. “Lagian udah mepet, kan? Kalau nunggu taksi online belum tentu langsung dapat, nanti malah telat.”

Kemudian Ben kembali mengalihkan pandangan pada Brian. “Gimana, Bri?”

“Iya, tolong ya, Kak? Maaf ngerepotin.”

“Ya udah, yuk!” ajak Ben.

Bianca dan Byana bangkit dari kursi, menggendong ransel mereka di punggung. Berebut mengobrol dengan Ben. Sementara gadis cantik berambut ballayage, alias si kakak paling besar, mau tidak mau ikut beranjak dari bangkunya.

Gadis itu mengembuskan napas kasar. Dia tampak keberatan dengan gagasan dari Ben. Tapi dia juga hanya bisa pasrah. Membuat Ben mau tak mau berusaha menahan senyum sepanjang perjalanan mereka ke mobil.

Setelah mengantar anak-anak, Ben harus memastikan mereka bicara empat mata. Dia benar-benar ingin tahu tentang gadis ini. Ben tidak boleh menyia-nyiakan peluang yang datang padanya.

Lunetha Lu

story by @lunetha_lu

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status