Share

#8 Taruhan

Penulis: Lunetha Lu
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-25 13:05:41

“Yakin nggak mau makan?” tanya Ben seraya melihat-lihat jajaran kios penjual makanan di area food street.

Cantika berjalan mengikutinya tak acuh. “Nggak. Masih kenyang.”

Dessert atau minum?” tawar Ben pada gadis yang masih tampak cemberut.

Gadis itu diam sebentar, tampak menimbang-nimbang. “Kenapa? Kakak mau traktir?” tanyanya gamblang. Masalah bayar membayar itu butuh kejelasan, apalagi uang tunai yang dibawanya terbatas. Lagi pula Ben yang mengajaknya, jadi tidak ada salahnya dia bertanya.

Ben kemudian mengangguk, tidak terganggu sama sekali dengan pertanyaannya. “Iya, pesan aja.”

“Aku mau jus aja kalau gitu.”

Setelah berpencar sebentar menuju kios yang menyediakan pesanan mereka, keduanya menempati salah satu meja kosong di sana. Duduk di bawah terpaan angin sore yang masih terasa hangat.

Ben memerhatikan gadis berkulit putih di depannya yang sibuk melihat-lihat sekeliling. Rambut panjangnya yang dicat tampak berkilau di bawah matahari. Bulu mata lentik hasil lashlift-nya masih rapi. Hidungnya mungil dan mancung seperti Barbie. Bibirnya? Jangan ditanya, bagian itu adalah salah satu yang paling menarik perhatian Ben sejak awal mereka bertemu.

Jika harus mendeskripsikan Cantika dalam satu kata, yang terpikirkan oleh Ben adalah Samoyed. Iya, ras anjing Samoyed yang putih, cantik, elegan, dan sulit ditaklukan.

Tetapi semakin dilihat, entah kenapa Ben justru merasa perempuan ini tampak tidak asing untuknya. Padahal Ben ingat betul pertemuan pertama mereka saat pagi kelam itu. Apakah dia pernah bertemu dengan gadis ini sebelumnya?

Ben kemudian tersadar, dia belum tahu nama gadis di depannya.

“Kok anak-anak manggil kamu ‘Kak Can’?” tanya Ben, memandangi wajah memikat itu. “Memang nama kamu siapa, sih?”

Jari Cantika yang baru saja berselancar di atas layar ponsel menjelajahi media sosial seketika berhenti. Memasang raut super jutek, dia mengangkat kepala sebentar. “Modus!”

Ben malah mendengkus geli sambil lalu bergumam, “Oke, kalau gitu biar aku tebak. Candra, Canda, Candi, Candu, Can ... tik?”

Cantika sempat membeku, tapi lanjut menggulir beranda media sosialnya.

“Kamu Cantik?” gurau Ben sembari meneliti ekspresi wajah gadis itu.

“Apa sih, maunya cowok ini?!” Cantika tidak segan-segan menunjukkan raut terganggu seperti itu. Tapi memang dasar buaya, kulitnya tebal sekali. Ben bahkan tidak peduli meski sejak tadi diabaikan. Dia tetap nyerocos.

“Wow, bener ya, kamu Cantik?”

Bola mata Cantika bergulir, melirik galak pada Ben. “Bukan!”

Obrolan mereka terpaksa harus terinterupsi karena pramusaji datang membawa pesanan. Keduanya mengucapkan terima kasih sebelum pramusaji meninggalkan meja mereka. Lalu Ben kembali mengalihkan fokus pada gadis cantik di hadapannya.

“Terus, siapa dong, nama kamu?” Ben mengambil sendok dan garpu yang dibawakan terpisah, mulai menyendok makanannya. Dia masih terus berusaha meski kemarin sempat menerima hinaan.

Jarang sekali Ben merasa setertarik ini pada seorang perempuan. Biasanya dia hanya menggoda perempuan yang sekiranya menunjukkan tanda-tanda ketertarikan padanya lebih dulu, demi menjalankan misi utama untuk memisahkan diri dari Viona. Namun dengan gadis ini, ada sesuatu yang membuatnya terus maju. Tentu saja Ben tidak memungkiri bahwa hal pertama yang dilihatnya adalah penampilan secara fisik.

“Buat apa tau namaku?” Sementara Cantika masih fokus pada ponsel pintar di tangannya, tanpa mengacuhkan pria dewasa yang terang-terangan menatapnya.

“Yaa, aneh aja. Kita udah ketemu beberapa kali, semobil juga, bahkan pergi makan berdua begini. Tapi nggak tau nama masing-masing. Lagian sepertinya kita bakal ketemu lagi.”

“Kan Kakak yang paksa aku ikut ke sini. Hilang ingatan, ya?”

Ben terkekeh pelan mendengar kalimat sarkas gadis muda itu. “By the way, nggak usah panggil kakak-kakak. Jadi kayak pergi sama Byan.” Kemudian mengulurkan tangannya di atas meja. “Aku Ben. Kalau kamu?”

Cantika melirik enggan telapak tangan besar yang terjulur di depannya. Seketika terbayang kembali pertemuan pertama mereka saat tangan besar milik Ben membekap mulutnya.

Dingin dan halus.

Tanpa sadar, jantungnya berdegup cepat begitu saja. Berikutnya manik mata Cantika bergerak naik, beralih sekilas ke wajah yang sedang tersenyum menatapnya.

“Udah tau.” sergah Cantika datar, lalu buang muka.

“Ternyata diam-diam kamu ingetin nama aku, ya?” usil Ben sembari terkekeh. Namun yang didapatnya lagi-lagi delikan dari sang gadis.

“Jadi, nama kamu?” Ben masih belum menyerah rupanya. Tipe pria gigih yang merepotkan.

Usai menghela napas panjang-panjang, akhirnya Cantika membalas uluran tangan itu sebentar. Amat sangat sebentar, tanpa menggenggamnya. Hanya menempelkan telapak tangan selama sepersekian detik tanpa berniat menjabatnya.

“Kiara,” balas Cantika singkat.

Tentu saja sebelah alis Ben langsung terangkat tidak percaya. Dari dipanggil Can, kenapa namanya bisa jadi Kiara. “Kamu bohongin aku karena nggak mau aku tau nama kamu, atau gimana nih?”

“Terserah. Itu juga nama aku, kok. Tanya aja Brian kalau enggak percaya.” Meletakkan ponsel ke meja, Cantika lalu menyisir rambutnya yang berantakan karena belaian angin dengan jemari tangannya.

“Memang nama lengkap kamu apa?” Sambil menyantap makanannya, Ben terus mengajak ngobrol.

Rencananya Ben akan makan pelan-pelan. Mengulur waktu agar kesempatan menatap wajah cantik ini semakin lama. Kapan lagi mereka bisa berinteraksi begini? Ini kesempatannya untuk menggerakkan sedikit hati gadis itu. Dia akan mengerahkan kemampuan bersosialisasinya. Atau, sebut saja kemampuan flirting.

“Dih, udah dikasih hati minta jantung! Pake nanya-nanya nama lengkap segala.” Tangan Cantika meraih gelas jus yang belum sempat dijamahnya, menaruh sedotan ke dalamnya. Meladeni lelaki ini ternyata bikin haus.

Ben tidak menahan tawanya kali ini. Sungguh, gadis di depannya bukan hanya cantik, tapi juga sangat menggemaskan.

“Mana? Aku belum punya hatinya kamu, tuh.”

Cantika mengerjap, megap-megap buka mulut hendak mengucap sumpah serapah. Tapi tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir seksinya. Pria ini amat pandai memutar balikkan kata-kata. Bikin emosi dan berdebar di waktu yang bersamaan.

Rasanya Cantika sudah ingin cepat-cepat pulang. Kerja jantung juga ada batasnya. Kalau terus-terusan digoda begini, nanti dia masuk ke mulut buaya mangap, bagaimana? Masalahnya, dia lemah terhadap wajah tampan.

Ben yang menyaksikan raut lucu Cantika tertawa lagi. Ingin rasanya mencubit pipi mulus gadis di depannya. Tapi kalau dia nekat melakukannya, bisa-bisa gadis itu mengamuk melempar bangku ke kepalanya.

“Kenapa sih, harus ketemu kamu lagi?” keluh Cantika, mulai menyeruput jusnya perlahan. “Padahal ini weekday, memangnya kamu pengangguran, ya? Ada di mana-mana.”

Di samping jutek, gadis itu cukup blak-blakan. Entah hanya padanya atau tidak. Ben malah suka sikapnya yang seperti itu. Dia lalu mengambil kesempatan ini demi memenuhi rasa penasarannya.

“Pertanyaan yang juga buat kamu. Kamu sendiri, apa masih sekolah?”

“Kepo!”

Ben menyilangkan kedua lengannya di atas meja, tersenyum usil menatap Cantika. “Ya udah, aku nggak jawab juga.”

Sebal sih, tapi Cantika sendiri orang yang mudah penasaran. Jadi dia terpancing untuk menjawab pertanyaan Ben kalau dia ingin tahu tentang laki-laki itu. Entah kenapa dia sendiri jadi tergelitik untuk bertanya lebih banyak. Aneh.

“Aku kuliah, tapi kalau kamu kayaknya nggak mungkin masih kuliah, kan? Kamu umur berapa, sih? Kamu kayaknya lebih cocok dipanggil ‘Om’ sama Byan.”

“Aku nggak kerja karena lagi cuti,” sahut Ben menghabiskan suapan terakhirnya. “Tebak umur berapa?”

“Oh, berapa ya? Dua lapan? Dua sembilan? Apa udah tiga puluhan?” Tanpa sadar Cantika malah jadi mengikuti alur pria ini. Menyingkirkan perisai pertahanannya perlahan. Sikap jutek dan galaknya yang sejak tadi dipasang sedikit demi sedikit runtuh karena topik ringan yang dibawakan Ben.

“Tiga satu.”

“Wah, jauh bedanya.” Sesekali jarinya mengaduk-aduk jus dengan sedotan sebelum meminumnya. “Sepuluh tahun.”

By the way, kita udah tiga kali ketemu secara kebetulan. Jangan-jangan kita jodoh.”

“Hiih, muka bule percaya takhayul!” Cantika mencibir pernyataan Ben barusan.

“Siapa tau aja kita bakal ketemu lagi dalam waktu dekat.”

“Sok tau!”

Ben mencondongkan badannya ke depan hingga dada bidangnya menempel pada pinggiran meja. Ditatapnya lekat manik mata di depannya. “Gimana kalau kita taruhan?”

“Taruhan?”

“Kalau kita nggak sengaja ketemu lagi dalam pekan ini, itu tandanya kita harus jalan bareng.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   139 Komitmen (END)

    “Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   138 Rahasia Terakhir

    “Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   137 Restart

    Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   136 Akhir Penyesalan

    “Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   135 Lima Menit Terakhir

    “Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka

  • Dikira Konglomerat, Rupanya Melarat   134 Too Late

    Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status