“Yakin nggak mau makan?” tanya Ben seraya melihat-lihat jajaran kios penjual makanan di area food street.
Cantika berjalan mengikutinya tak acuh. “Nggak. Masih kenyang.”
“Dessert atau minum?” tawar Ben pada gadis yang masih tampak cemberut.
Gadis itu diam sebentar, tampak menimbang-nimbang. “Kenapa? Kakak mau traktir?” tanyanya gamblang. Masalah bayar membayar itu butuh kejelasan, apalagi uang tunai yang dibawanya terbatas. Lagi pula Ben yang mengajaknya, jadi tidak ada salahnya dia bertanya.
Ben kemudian mengangguk, tidak terganggu sama sekali dengan pertanyaannya. “Iya, pesan aja.”
“Aku mau jus aja kalau gitu.”
Setelah berpencar sebentar menuju kios yang menyediakan pesanan mereka, keduanya menempati salah satu meja kosong di sana. Duduk di bawah terpaan angin sore yang masih terasa hangat.
Ben memerhatikan gadis berkulit putih di depannya yang sibuk melihat-lihat sekeliling. Rambut panjangnya yang dicat tampak berkilau di bawah matahari. Bulu mata lentik hasil lashlift-nya masih rapi. Hidungnya mungil dan mancung seperti Barbie. Bibirnya? Jangan ditanya, bagian itu adalah salah satu yang paling menarik perhatian Ben sejak awal mereka bertemu.
Jika harus mendeskripsikan Cantika dalam satu kata, yang terpikirkan oleh Ben adalah Samoyed. Iya, ras anjing Samoyed yang putih, cantik, elegan, dan sulit ditaklukan.
Tetapi semakin dilihat, entah kenapa Ben justru merasa perempuan ini tampak tidak asing untuknya. Padahal Ben ingat betul pertemuan pertama mereka saat pagi kelam itu. Apakah dia pernah bertemu dengan gadis ini sebelumnya?
Ben kemudian tersadar, dia belum tahu nama gadis di depannya.
“Kok anak-anak manggil kamu ‘Kak Can’?” tanya Ben, memandangi wajah memikat itu. “Memang nama kamu siapa, sih?”
Jari Cantika yang baru saja berselancar di atas layar ponsel menjelajahi media sosial seketika berhenti. Memasang raut super jutek, dia mengangkat kepala sebentar. “Modus!”
Ben malah mendengkus geli sambil lalu bergumam, “Oke, kalau gitu biar aku tebak. Candra, Canda, Candi, Candu, Can ... tik?”
Cantika sempat membeku, tapi lanjut menggulir beranda media sosialnya.
“Kamu Cantik?” gurau Ben sembari meneliti ekspresi wajah gadis itu.
“Apa sih, maunya cowok ini?!” Cantika tidak segan-segan menunjukkan raut terganggu seperti itu. Tapi memang dasar buaya, kulitnya tebal sekali. Ben bahkan tidak peduli meski sejak tadi diabaikan. Dia tetap nyerocos.
“Wow, bener ya, kamu Cantik?”
Bola mata Cantika bergulir, melirik galak pada Ben. “Bukan!”
Obrolan mereka terpaksa harus terinterupsi karena pramusaji datang membawa pesanan. Keduanya mengucapkan terima kasih sebelum pramusaji meninggalkan meja mereka. Lalu Ben kembali mengalihkan fokus pada gadis cantik di hadapannya.
“Terus, siapa dong, nama kamu?” Ben mengambil sendok dan garpu yang dibawakan terpisah, mulai menyendok makanannya. Dia masih terus berusaha meski kemarin sempat menerima hinaan.
Jarang sekali Ben merasa setertarik ini pada seorang perempuan. Biasanya dia hanya menggoda perempuan yang sekiranya menunjukkan tanda-tanda ketertarikan padanya lebih dulu, demi menjalankan misi utama untuk memisahkan diri dari Viona. Namun dengan gadis ini, ada sesuatu yang membuatnya terus maju. Tentu saja Ben tidak memungkiri bahwa hal pertama yang dilihatnya adalah penampilan secara fisik.
“Buat apa tau namaku?” Sementara Cantika masih fokus pada ponsel pintar di tangannya, tanpa mengacuhkan pria dewasa yang terang-terangan menatapnya.
“Yaa, aneh aja. Kita udah ketemu beberapa kali, semobil juga, bahkan pergi makan berdua begini. Tapi nggak tau nama masing-masing. Lagian sepertinya kita bakal ketemu lagi.”
“Kan Kakak yang paksa aku ikut ke sini. Hilang ingatan, ya?”
Ben terkekeh pelan mendengar kalimat sarkas gadis muda itu. “By the way, nggak usah panggil kakak-kakak. Jadi kayak pergi sama Byan.” Kemudian mengulurkan tangannya di atas meja. “Aku Ben. Kalau kamu?”
Cantika melirik enggan telapak tangan besar yang terjulur di depannya. Seketika terbayang kembali pertemuan pertama mereka saat tangan besar milik Ben membekap mulutnya.
Dingin dan halus.
Tanpa sadar, jantungnya berdegup cepat begitu saja. Berikutnya manik mata Cantika bergerak naik, beralih sekilas ke wajah yang sedang tersenyum menatapnya.
“Udah tau.” sergah Cantika datar, lalu buang muka.
“Ternyata diam-diam kamu ingetin nama aku, ya?” usil Ben sembari terkekeh. Namun yang didapatnya lagi-lagi delikan dari sang gadis.
“Jadi, nama kamu?” Ben masih belum menyerah rupanya. Tipe pria gigih yang merepotkan.
Usai menghela napas panjang-panjang, akhirnya Cantika membalas uluran tangan itu sebentar. Amat sangat sebentar, tanpa menggenggamnya. Hanya menempelkan telapak tangan selama sepersekian detik tanpa berniat menjabatnya.
“Kiara,” balas Cantika singkat.
Tentu saja sebelah alis Ben langsung terangkat tidak percaya. Dari dipanggil Can, kenapa namanya bisa jadi Kiara. “Kamu bohongin aku karena nggak mau aku tau nama kamu, atau gimana nih?”
“Terserah. Itu juga nama aku, kok. Tanya aja Brian kalau enggak percaya.” Meletakkan ponsel ke meja, Cantika lalu menyisir rambutnya yang berantakan karena belaian angin dengan jemari tangannya.
“Memang nama lengkap kamu apa?” Sambil menyantap makanannya, Ben terus mengajak ngobrol.
Rencananya Ben akan makan pelan-pelan. Mengulur waktu agar kesempatan menatap wajah cantik ini semakin lama. Kapan lagi mereka bisa berinteraksi begini? Ini kesempatannya untuk menggerakkan sedikit hati gadis itu. Dia akan mengerahkan kemampuan bersosialisasinya. Atau, sebut saja kemampuan flirting.
“Dih, udah dikasih hati minta jantung! Pake nanya-nanya nama lengkap segala.” Tangan Cantika meraih gelas jus yang belum sempat dijamahnya, menaruh sedotan ke dalamnya. Meladeni lelaki ini ternyata bikin haus.
Ben tidak menahan tawanya kali ini. Sungguh, gadis di depannya bukan hanya cantik, tapi juga sangat menggemaskan.
“Mana? Aku belum punya hatinya kamu, tuh.”
Cantika mengerjap, megap-megap buka mulut hendak mengucap sumpah serapah. Tapi tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir seksinya. Pria ini amat pandai memutar balikkan kata-kata. Bikin emosi dan berdebar di waktu yang bersamaan.
Rasanya Cantika sudah ingin cepat-cepat pulang. Kerja jantung juga ada batasnya. Kalau terus-terusan digoda begini, nanti dia masuk ke mulut buaya mangap, bagaimana? Masalahnya, dia lemah terhadap wajah tampan.
Ben yang menyaksikan raut lucu Cantika tertawa lagi. Ingin rasanya mencubit pipi mulus gadis di depannya. Tapi kalau dia nekat melakukannya, bisa-bisa gadis itu mengamuk melempar bangku ke kepalanya.
“Kenapa sih, harus ketemu kamu lagi?” keluh Cantika, mulai menyeruput jusnya perlahan. “Padahal ini weekday, memangnya kamu pengangguran, ya? Ada di mana-mana.”
Di samping jutek, gadis itu cukup blak-blakan. Entah hanya padanya atau tidak. Ben malah suka sikapnya yang seperti itu. Dia lalu mengambil kesempatan ini demi memenuhi rasa penasarannya.
“Pertanyaan yang juga buat kamu. Kamu sendiri, apa masih sekolah?”
“Kepo!”
Ben menyilangkan kedua lengannya di atas meja, tersenyum usil menatap Cantika. “Ya udah, aku nggak jawab juga.”
Sebal sih, tapi Cantika sendiri orang yang mudah penasaran. Jadi dia terpancing untuk menjawab pertanyaan Ben kalau dia ingin tahu tentang laki-laki itu. Entah kenapa dia sendiri jadi tergelitik untuk bertanya lebih banyak. Aneh.
“Aku kuliah, tapi kalau kamu kayaknya nggak mungkin masih kuliah, kan? Kamu umur berapa, sih? Kamu kayaknya lebih cocok dipanggil ‘Om’ sama Byan.”
“Aku nggak kerja karena lagi cuti,” sahut Ben menghabiskan suapan terakhirnya. “Tebak umur berapa?”
“Oh, berapa ya? Dua lapan? Dua sembilan? Apa udah tiga puluhan?” Tanpa sadar Cantika malah jadi mengikuti alur pria ini. Menyingkirkan perisai pertahanannya perlahan. Sikap jutek dan galaknya yang sejak tadi dipasang sedikit demi sedikit runtuh karena topik ringan yang dibawakan Ben.
“Tiga satu.”
“Wah, jauh bedanya.” Sesekali jarinya mengaduk-aduk jus dengan sedotan sebelum meminumnya. “Sepuluh tahun.”
“By the way, kita udah tiga kali ketemu secara kebetulan. Jangan-jangan kita jodoh.”
“Hiih, muka bule percaya takhayul!” Cantika mencibir pernyataan Ben barusan.
“Siapa tau aja kita bakal ketemu lagi dalam waktu dekat.”
“Sok tau!”
Ben mencondongkan badannya ke depan hingga dada bidangnya menempel pada pinggiran meja. Ditatapnya lekat manik mata di depannya. “Gimana kalau kita taruhan?”
“Taruhan?”
“Kalau kita nggak sengaja ketemu lagi dalam pekan ini, itu tandanya kita harus jalan bareng.”
Ben pulang dengan suasana hati yang baik dan senyum merekah di wajah. Dia kira waktu cutinya ini hanya akan dihabiskan untuk sendirian, melanjutkan pekerjaan lain di rumah, atau ngalor-ngidul tidak jelas. Tetapi ternyata hal menarik ditemukannya sepanjang ia cuti. Kiara, gadis cantik yang masih kuliah, sepuluh tahun lebih muda darinya. Selama mengobrol, bibir penuh bergaris belah dan leher ramping gadis itu tidak luput dari pandangannya. Benar-benar membuatnya bergairah. Gadis itu memang bukan gadis cantik pertama yang dijumpai Ben. Tetapi daya tariknya amat kuat. Ben menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia membuka aplikasi media sosial dan mengetik nama Kiara pada kolom pencarian. Satu per satu foto profil ditelitinya. Terlalu banyak perempuan bernama Kiara. Sayang sekali dia tidak mendapatkan nama lengkap gadis itu. Ben lalu menghela napas kasar dan melempar pelan ponselnya ke meja sesaat sebelum benda pipih itu berbunyi. Dia sudah
“Lo masih ketemu om-om itu, Lin?” Pertanyaan sensitif dari Cantika mengundang helaan napas lolos dari mulut Olin. Wanita yang pernah tidak naik kelas dua kali akibat daftar kehadirannya di sekolah, mengepalkan sebelah tangan erat. Sangat kontras dengan senyum di wajahnya. “Menurut lo, dari mana gue bisa dapat ini semua kalau bukan dari dia?” ungkap Olin mengangkat sebelah tangannya dengan telapak terbuka. Atmosfir di ruangan Olin seketika berubah pekat. Cantika kira, dengan kesibukan Olin sekarang, dia sudah tidak menemui pria berumur itu lagi. Masalah Olin memang bukan urusan Cantika. Tetapi di lubuk hatinya, dia ingin Olin menjalani hubungan yang normal. Secara fisik, tidak ada yang kurang dari sahabatnya itu. Olin memiliki wajah manis khas Melayu. Kulitnya yang coklat eksotis dan tubuh berisinya membuat gadis itu kelihatan seksi. Meski tidak setinggi Cantika, tetapi Olin tidak tergolong pendek. Secara fisik penampilannya menarik. Secara kepribadian, dia wanita yang menyenangkan
“Jangan,” ujar Miko setelah mendengarkan cerita tentang Cantika. “Kamu masih belum pengalaman menghadapi cowok umur segitu. Menurutku Cantika nggak perlu ikutin kemauannya. Apalagi dengar pertemuan awal kalian yang ... ehem,” Miko berdeham sebelum melanjutkan dengan suaara lembutnya, “anti mainstream.” Garis bibir Cantika melengkung ke bawah, dia tidak begitu suka dianggap belum dewasa. Tapi apa yang dikatakan Miko juga tidak salah. Dia belum pernah berkencan dengan laki-laki yang jauh lebih dewasa darinya. Paling jauh hanya terpaut tiga tahun di atasnya. Cantika menopang wajah dengan sebelah tangan dan berkata, “Kalau aku betulan nggak sengaja ketemu sama cowok itu lagi, gimana? Aku harus bilang apa buat nolak taruhannya?” “Memang kamu berharap ketemu dia lagi?” tanya pria gagah berkulit putih yang sejak tadi mengundang beberapa pasang mata memandangi tubuh atletisnya. Tubuh kekar yang dibalut kaus hitam body fit begitu menggiurkan para kaum hawa. Kalau kalian pernah lihat koko-ko
Cantika melihat lampu di halaman rumahnya sudah terang. Dia terdiam sejenak saat tiba di depan pintu, mengatur napas sebelum meraih gagang pintu. Masuk rumah sama gugupnya dengan masuk ruang interview.“Dari mana aja kamu?” Suara dingin dan ketus segera menyambut kedatangannya.“Mama tumben udah pulang.” Cantika tidak menjawab pertanyaan ibunya, hendak melangkah ke kamar.“Kamu yang pulang kemalaman. Nggak ada di rumah, nggak jemput Caca, kamu ngelayap ke mana?” tuding Arita, sang ibu.Gadis cantik itu menghentikan langkah dan menjawab, “Cuma ketemu Olin sebentar.”“Ada atau nggak ada tugas kuliah, kamu wajib ke rumah Om Dany dan Tante Grace. Bantu mereka sebisa kamu. Ingat, kuliah kamu dibayarin.”“Kata Tante Grace lagi ada supir, aku enggak perlu jemput anak-anak hari ini. Jadi aku ke tempat Olin sebentar, apa salahnya? Lagian dari Olin kadang aku dapat kerjaan. Rambutku dicat begini juga dibayar, bukan cuma gaya-gayaan.”Cantika tidak bohong. Olin mengenalkannya pada salah satu tem
“Astaga! Apa itu?!” Cantika terkejut ketika bumper mobil bagian belakangnya membentur sesuatu. Dengan panik dia menoleh ke kaca spion di depan. Cantika pikir siang itu jalanan kompleks sepi. Tapi saat dia mundur untuk putar balik di tikungan, rupanya ada mobil lain yang melaju di belakangnya. Karena terburu-buru, Cantika tidak memerhatikan sekeliling. Akibatnya, dia malah menabrak mobil orang. “Aduh, gimana ini?! Nggak sadar ada mobil di belakang, malah nabrak.” Dengan panik, dia menengok ke belakang dari bangkunya. “BMW pula! Kena dimaki nih, bisa-bisa.” Mobil itu bukan BMW seharga ratusan juta yang bisa dibeli sejuta umat. Melainkan jenis BMW kelas atas yang harganya menyentuh bilangan miliar. Bagaimana Cantika tidak ketar-ketir? Ketika menyadari mobil tersebut adalah sedan yang di kenalnya, Cantika merasa secuil bebannya terangkat. Paling tidak dia bisa menunduk minta maaf dan bernegosiasi. Gadis itu kemudian memberanikan diri turun dari mobil, menghampiri mobil di belakangnya.
Namanya Cantika, Ben baru mengetahuinya kemarin saat datang ke rumah Grace, istri dari salah satu mantan kliennya. “Oh, jadi yang tabrakan sama Cantika itu mobil kamu, Ben? Astaga, maaf banget, ya?” “Nggak pa-pa, Bu Grace. Sebetulnya itu salah saya yang nggak perhatikan jalan karena masih dalam kompleks.” Keluarga Pak Dany sudah cukup mengenalnya, sehingga mereka bicara lebih kasual satu sama lain. Ben juga mendengar Cantika memanggil Grace dengan sebutan ‘Tante’. Berdasarkan yang dia lihat, terkadang gadis itu menemani Byana dan Bianca bermain. Mengantar jemput dua bocah perempuan itu beserta Brian, kakaknya. Kabar lain yang ditangkap dari obrolan mereka, Cantika tidak tinggal di sana. Sebab waktu dia bilang akan menjemputnya, gadis itu menolak. Memilih bertemu di tempat janjian atau datang ke rumah Ben. Apa hubungan Cantika dengan keluarga Pak Dany dan Bu Grace, Ben sendiri belum tahu. Sewaktu mengobrol di sana, sama sekali tidak disinggung apakah mereka keluarga atau bukan. P
“Kalau gitu, jadi pacar aku aja biar kita bisa jalan berdua di akhir pekan.”Cantika menghentikan gerakannya dan menoleh. Bola matanya berputar jengah. “Bisaan banget, ya!”Ben menyunggingkan senyum, mencondongkan tubuh ke arah Cantika. Gadis itu sempat terlonjak, berjengit kaget ketika Ben berada dekat di sebelahnya. Jarak yang cukup dekat di antara mereka membuat indra penciuman Cantika dimanjakan oleh aroma citrus segar dari pria itu.Bunyi ‘klik’ pengunci sabuk pengaman selanjutnya menjemput kesadaran Cantika kembali. Pundaknya merosot turun, lega, saat Ben hanya mengambil alih sabuk pengaman dan memasangnya.“Bisalah, namanya juga usaha,” ujar Ben yang belum melepas senyum di wajah.Tubuh Cantika mengkeret, mundur merapat pada sandaran jok. Pikirannya sudah ke mana-mana tadi. Dia kira Ben akan berbuat aneh padanya sehingga dia kembali memasang pertahanan. “Jangan lupa, reputasi kamu di mata aku baru naik sedikiiit banget. Kesan pertama masih membekas.”“Nggak masalah, yang pentin
“Eh, Dek Cantika baru pulang? Jarang banget kelihatan?” sapa Bu Dwi, tetangganya, ketika Cantika memutar kunci.Ada beberapa ibu-ibu lainnya yang sedang berdiri di sana, terlihat kepo mendengarkan percakapan.“Iya, Bu, sibuk sama tugas kuliah. Lebih sering di rumah saudara juga,” jawab Cantika sopan.“Ohh, memang sudah semester berapa?”Cantika terdiam sejenak, merasa tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut. “Semeter delapan. Saya pamit masuk dulu ya, Bu. Ada yang harus dikerjakan.” Diiringi senyum yang dipasang seramah mungkin, dia melangkah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Tak lama, senyumnya langsung lenyap begitu saja. Kemudian samar-samar masih bisa terdengar ghibah para tetangganya.“Sombong banget mentang-mentang cantik, jadi nggak level ngobrol sama tetangga di sini. Enggak pernah mau bergaul, setiap kali diajak ngobrol langsung pergi.”Meski ucapan mereka bukan dalam artian yang baik, dalam hati Cantika merasa tersanjung mendapati pujian di sela-sela cercaan. Dia lebih