Share

#8 Taruhan

“Yakin nggak mau makan?” tanya Ben seraya melihat-lihat jajaran kios penjual makanan di area food street.

Cantika berjalan mengikutinya tak acuh. “Nggak. Masih kenyang.”

Dessert atau minum?” tawar Ben pada gadis yang masih tampak cemberut.

Gadis itu diam sebentar, tampak menimbang-nimbang. “Kenapa? Kakak mau traktir?” tanyanya gamblang. Masalah bayar membayar itu butuh kejelasan, apalagi uang tunai yang dibawanya terbatas. Lagi pula Ben yang mengajaknya, jadi tidak ada salahnya dia bertanya.

Ben kemudian mengangguk, tidak terganggu sama sekali dengan pertanyaannya. “Iya, pesan aja.”

“Aku mau jus aja kalau gitu.”

Setelah berpencar sebentar menuju kios yang menyediakan pesanan mereka, keduanya menempati salah satu meja kosong di sana. Duduk di bawah terpaan angin sore yang masih terasa hangat.

Ben memerhatikan gadis berkulit putih di depannya yang sibuk melihat-lihat sekeliling. Rambut panjangnya yang dicat tampak berkilau di bawah matahari. Bulu mata lentik hasil lashlift-nya masih rapi. Hidungnya mungil dan mancung seperti Barbie. Bibirnya? Jangan ditanya, bagian itu adalah salah satu yang paling menarik perhatian Ben sejak awal mereka bertemu.

Jika harus mendeskripsikan Cantika dalam satu kata, yang terpikirkan oleh Ben adalah Samoyed. Iya, ras anjing Samoyed yang putih, cantik, elegan, dan sulit ditaklukan.

Tetapi semakin dilihat, entah kenapa Ben justru merasa perempuan ini tampak tidak asing untuknya. Padahal Ben ingat betul pertemuan pertama mereka saat pagi kelam itu. Apakah dia pernah bertemu dengan gadis ini sebelumnya?

Ben kemudian tersadar, dia belum tahu nama gadis di depannya.

“Kok anak-anak manggil kamu ‘Kak Can’?” tanya Ben, memandangi wajah memikat itu. “Memang nama kamu siapa, sih?”

Jari Cantika yang baru saja berselancar di atas layar ponsel menjelajahi media sosial seketika berhenti. Memasang raut super jutek, dia mengangkat kepala sebentar. “Modus!”

Ben malah mendengkus geli sambil lalu bergumam, “Oke, kalau gitu biar aku tebak. Candra, Canda, Candi, Candu, Can ... tik?”

Cantika sempat membeku, tapi lanjut menggulir beranda media sosialnya.

“Kamu Cantik?” gurau Ben sembari meneliti ekspresi wajah gadis itu.

“Apa sih, maunya cowok ini?!” Cantika tidak segan-segan menunjukkan raut terganggu seperti itu. Tapi memang dasar buaya, kulitnya tebal sekali. Ben bahkan tidak peduli meski sejak tadi diabaikan. Dia tetap nyerocos.

“Wow, bener ya, kamu Cantik?”

Bola mata Cantika bergulir, melirik galak pada Ben. “Bukan!”

Obrolan mereka terpaksa harus terinterupsi karena pramusaji datang membawa pesanan. Keduanya mengucapkan terima kasih sebelum pramusaji meninggalkan meja mereka. Lalu Ben kembali mengalihkan fokus pada gadis cantik di hadapannya.

“Terus, siapa dong, nama kamu?” Ben mengambil sendok dan garpu yang dibawakan terpisah, mulai menyendok makanannya. Dia masih terus berusaha meski kemarin sempat menerima hinaan.

Jarang sekali Ben merasa setertarik ini pada seorang perempuan. Biasanya dia hanya menggoda perempuan yang sekiranya menunjukkan tanda-tanda ketertarikan padanya lebih dulu, demi menjalankan misi utama untuk memisahkan diri dari Viona. Namun dengan gadis ini, ada sesuatu yang membuatnya terus maju. Tentu saja Ben tidak memungkiri bahwa hal pertama yang dilihatnya adalah penampilan secara fisik.

“Buat apa tau namaku?” Sementara Cantika masih fokus pada ponsel pintar di tangannya, tanpa mengacuhkan pria dewasa yang terang-terangan menatapnya.

“Yaa, aneh aja. Kita udah ketemu beberapa kali, semobil juga, bahkan pergi makan berdua begini. Tapi nggak tau nama masing-masing. Lagian sepertinya kita bakal ketemu lagi.”

“Kan Kakak yang paksa aku ikut ke sini. Hilang ingatan, ya?”

Ben terkekeh pelan mendengar kalimat sarkas gadis muda itu. “By the way, nggak usah panggil kakak-kakak. Jadi kayak pergi sama Byan.” Kemudian mengulurkan tangannya di atas meja. “Aku Ben. Kalau kamu?”

Cantika melirik enggan telapak tangan besar yang terjulur di depannya. Seketika terbayang kembali pertemuan pertama mereka saat tangan besar milik Ben membekap mulutnya.

Dingin dan halus.

Tanpa sadar, jantungnya berdegup cepat begitu saja. Berikutnya manik mata Cantika bergerak naik, beralih sekilas ke wajah yang sedang tersenyum menatapnya.

“Udah tau.” sergah Cantika datar, lalu buang muka.

“Ternyata diam-diam kamu ingetin nama aku, ya?” usil Ben sembari terkekeh. Namun yang didapatnya lagi-lagi delikan dari sang gadis.

“Jadi, nama kamu?” Ben masih belum menyerah rupanya. Tipe pria gigih yang merepotkan.

Usai menghela napas panjang-panjang, akhirnya Cantika membalas uluran tangan itu sebentar. Amat sangat sebentar, tanpa menggenggamnya. Hanya menempelkan telapak tangan selama sepersekian detik tanpa berniat menjabatnya.

“Kiara,” balas Cantika singkat.

Tentu saja sebelah alis Ben langsung terangkat tidak percaya. Dari dipanggil Can, kenapa namanya bisa jadi Kiara. “Kamu bohongin aku karena nggak mau aku tau nama kamu, atau gimana nih?”

“Terserah. Itu juga nama aku, kok. Tanya aja Brian kalau enggak percaya.” Meletakkan ponsel ke meja, Cantika lalu menyisir rambutnya yang berantakan karena belaian angin dengan jemari tangannya.

“Memang nama lengkap kamu apa?” Sambil menyantap makanannya, Ben terus mengajak ngobrol.

Rencananya Ben akan makan pelan-pelan. Mengulur waktu agar kesempatan menatap wajah cantik ini semakin lama. Kapan lagi mereka bisa berinteraksi begini? Ini kesempatannya untuk menggerakkan sedikit hati gadis itu. Dia akan mengerahkan kemampuan bersosialisasinya. Atau, sebut saja kemampuan flirting.

“Dih, udah dikasih hati minta jantung! Pake nanya-nanya nama lengkap segala.” Tangan Cantika meraih gelas jus yang belum sempat dijamahnya, menaruh sedotan ke dalamnya. Meladeni lelaki ini ternyata bikin haus.

Ben tidak menahan tawanya kali ini. Sungguh, gadis di depannya bukan hanya cantik, tapi juga sangat menggemaskan.

“Mana? Aku belum punya hatinya kamu, tuh.”

Cantika mengerjap, megap-megap buka mulut hendak mengucap sumpah serapah. Tapi tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir seksinya. Pria ini amat pandai memutar balikkan kata-kata. Bikin emosi dan berdebar di waktu yang bersamaan.

Rasanya Cantika sudah ingin cepat-cepat pulang. Kerja jantung juga ada batasnya. Kalau terus-terusan digoda begini, nanti dia masuk ke mulut buaya mangap, bagaimana? Masalahnya, dia lemah terhadap wajah tampan.

Ben yang menyaksikan raut lucu Cantika tertawa lagi. Ingin rasanya mencubit pipi mulus gadis di depannya. Tapi kalau dia nekat melakukannya, bisa-bisa gadis itu mengamuk melempar bangku ke kepalanya.

“Kenapa sih, harus ketemu kamu lagi?” keluh Cantika, mulai menyeruput jusnya perlahan. “Padahal ini weekday, memangnya kamu pengangguran, ya? Ada di mana-mana.”

Di samping jutek, gadis itu cukup blak-blakan. Entah hanya padanya atau tidak. Ben malah suka sikapnya yang seperti itu. Dia lalu mengambil kesempatan ini demi memenuhi rasa penasarannya.

“Pertanyaan yang juga buat kamu. Kamu sendiri, apa masih sekolah?”

“Kepo!”

Ben menyilangkan kedua lengannya di atas meja, tersenyum usil menatap Cantika. “Ya udah, aku nggak jawab juga.”

Sebal sih, tapi Cantika sendiri orang yang mudah penasaran. Jadi dia terpancing untuk menjawab pertanyaan Ben kalau dia ingin tahu tentang laki-laki itu. Entah kenapa dia sendiri jadi tergelitik untuk bertanya lebih banyak. Aneh.

“Aku kuliah, tapi kalau kamu kayaknya nggak mungkin masih kuliah, kan? Kamu umur berapa, sih? Kamu kayaknya lebih cocok dipanggil ‘Om’ sama Byan.”

“Aku nggak kerja karena lagi cuti,” sahut Ben menghabiskan suapan terakhirnya. “Tebak umur berapa?”

“Oh, berapa ya? Dua lapan? Dua sembilan? Apa udah tiga puluhan?” Tanpa sadar Cantika malah jadi mengikuti alur pria ini. Menyingkirkan perisai pertahanannya perlahan. Sikap jutek dan galaknya yang sejak tadi dipasang sedikit demi sedikit runtuh karena topik ringan yang dibawakan Ben.

“Tiga satu.”

“Wah, jauh bedanya.” Sesekali jarinya mengaduk-aduk jus dengan sedotan sebelum meminumnya. “Sepuluh tahun.”

By the way, kita udah tiga kali ketemu secara kebetulan. Jangan-jangan kita jodoh.”

“Hiih, muka bule percaya takhayul!” Cantika mencibir pernyataan Ben barusan.

“Siapa tau aja kita bakal ketemu lagi dalam waktu dekat.”

“Sok tau!”

Ben mencondongkan badannya ke depan hingga dada bidangnya menempel pada pinggiran meja. Ditatapnya lekat manik mata di depannya. “Gimana kalau kita taruhan?”

“Taruhan?”

“Kalau kita nggak sengaja ketemu lagi dalam pekan ini, itu tandanya kita harus jalan bareng.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status