Share

Eti yang Pongah

 

"Ah, banyak omong! Seret wanita ini keluar, tunggu apa lagi, hah?"

 

Dua orang satpam saling pandang lalu menarik tangan Maya dengan kasar. Hampir saja ponselnya terlepas dari genggaman sehingga membuat Maya naik pitam.

 

"Lepaskan!" bentak Maya geram. 

 

Bruk ...!!!

 

Maya didorong kasar oleh seseorang yang tidak lain adalah Eti. 

 

"Bikin malu tau nggak, Mbak?"

 

Dada Maya naik turun. Dia berusaha berdiri dan mengibaskan celananya yang kotor akibat terjatuh di halaman Restoran.

 

"Nih lihat, video kamu viral di Perumahan kita," ucap Eti sinis. "Makanya, jangan cari gara-gara di Restoran suamiku. Sana pergi! Suamimu pasti ada di rumah wanitanya yang lain, buktinya saja dia tidak keluar dan membelamu. Menyedihkan!"

 

Kedua tangan Maya mengepal. Belum sempat Eti berbalik, Maya dengan cepat menarik rambut tetangganya itu membuat Eti mengadu kesakitan.

 

"Aakkkhhh ... Mas, tolong ...!!!"

 

Satria berlari keluar dan berteriak, "Bantu istriku, bodoh! Kalian berdua memang satpam lamban!"

 

Dua orang satpam segera menarik tangan Maya. Semakin ditarik, maka semakin kuat pula cengkeraman tangan Maya di rambut Eti. 

 

Menyadari banyak pasang mata yang melihat, Maya mengalah daripada reputasi Restoran suaminya hancur saat itu juga. Apalagi Abian tentu tidak bisa datang hari ini karena ada urusan di luar kota.

 

"Aduh!" pekik Eti. Maya mendorong kepala wanita itu dengan keras dan berlalu begitu saja membawa segumpal perasaan kesal di dalam dada.

 

"Tetangga gila! Nggak waras! Jangan main-main kamu sama aku!" teriak Eti kalap. Ia menangis sejadi-jadinya melihat banyak sekali rambutnya yang ikut rontok di sela-sela jari Maya. "Aku nggak mau tau, Mas ... pecat suaminya!" 

 

Satria mengangguk iba. Dia mengusap kepala Eti dan membawa istrinya kembali masuk ke dalam Restoran.

 

"Sialan! Lihat aja, bakal aku buat dia malu se antero Perumahan!" ucap Eti menggebu-gebu. 

 

"Ssstt, udah! Malu di lihat banyak pengunjung," bisik Satria. Dia membawa istrinya masuk ke ruangan Abian. Ruangan yang sebenarnya hanya Abian lah yang boleh masuk ke dalam sana.

 

Sementara di tengah jalan, Maya menangis sambil mengendarai motor. Dia malu, kesal, geram tapi tidak bisa berbuat banyak karena Abian tidak mungkin bisa datang dengan segera.

 

Ia menepikan motornya di sebuah Cafe ternama yang cukup jauh dari rumahnya. Maya memilih tempat duduk paling ujung dan meluapkan tangisnya tanpa suara. 

 

Wanita cantik dengan rambut sebahu itu mengambil ponselnya yang tadi sempat menghubungi Abian melalui video call. Dan ternyata tersambung. Abian sengaja tidak memutus panggilan dari Maya karena samar-samar ia mendengar keributan dari seberang sana.

 

"Mas ...?" 

 

Maya kaget ketika mendapati wajah suaminya yang nampak panik di layar ponselnya.

 

"Kamu bikin Mas khawatir, May. Kenapa, ada apa? Mas sedikit mendengar kamu sedang ribut, iya?"

 

Maya kembali menangis. Kali ini Abian dibiarkan melihat muka istrinya yang berantakan. Kesal karena tidak bisa melawan Eti dan Satria sendirian, juga kesal ... mengapa dia harus abai pada bisnis suaminya itu. Seharusnya Maya bisa sesekali berkunjung ke Restoran agar semua pekerja bisa mengenalnya. 

 

Penyesalan hanyalah tinggal penyesalan. Maya pikir semua pekerja yang mengenalnya saat ia datang bersama Abian dulu masih ada, namun ternyata Satria mengganti semua pekerja yang ada. 

 

Hampir lima menit lamanya Abian mendengar dan melihat wanita yang begitu ia cintai menangis di sebuah Cafe sendirian. Hatinya pilu. Iba. Ia memutuskan akan pulang hari ini juga setelah Maya tenang dan menceritakan semua yang terjadi.

 

"Sudah lega?" tanya Abian lembut ketika melihat Maya mulai tenang. "Mau cerita ke Mas?"

 

"Tadi di Restoran ...."

 

 Maya menceritakan semua yang terjadi di Restoran. Bagaimana Satria dan istrinya yang ternyata adalah tetangga mereka mempermalukan Maya bahkan sebelum istri Abian itu mengatakan siapa dirinya.

 

"Kurang a j a r sekali dia!" geram Abian. Maya mengangguk membenarkan dengan sisa-sisa sesenggukan akibat menangis terlalu lama. "Aku harus bagaimana, Mas? Kembali ke sana dan mengatakan jika aku adalah istrimu tentu saja mereka tidak percaya. Bahkan ... tadi aku menekan panggilan video Mas agar mereka bisa melihat wajahmu dan mereka tau siapa aku. Tapi ... Satria lebih dulu mengusirku dengan tidak hormat. Dia tidak memberiku kesempatan untuk mengatakan siapa aku," papar Maya sedih.

 

Wajah Abian memerah. Satria adalah kepala pelayan baru yang direkrut Abian dengan grusa-grusu karena kepala pelayan yang lama mendadak resign.

 

"Aku bisa saja bikin keributan yang lebih heboh, Mas. Tapi, aku tidak mau membuat reputasi Restoran kamu memburuk karena ulahku. Ya ... meskipun tadi aku sempat ...."

 

"Dek, dengarkan Mas!" Maya menatap wajah Abian di depan layar. "Sekarang pulang lah, hari mulai sore. Malam ini juga Mas akan pulang dan kita selesaikan masalah ini bersama. Mas curiga jika satu bulan belakangan Satria mencurangi pendapatan Restoran."

 

"Jangan takut! Sudah saatnya memang kamu menunjukkan siapa diri kamu, Sayang. Kamu istri Abian, pengusaha sukses. Kamu harus percaya diri akan itu."

 

Maya mengangguk ragu. "Maafkan aku."

 

"Kamu sudah melakukan hal yang benar, hanya saja setelah Mas pulang nanti ... Mas ingin melihat kamu berubah menjadi wanita yang tegas dan pemberani. Oke?"

 

Lagi-lagi Maya hanya bisa mengangguk. Setelah berbagi perasaan kesal yang bercokol sejak pulang dari Restoran tadi, kini Maya sedikit lebih tenang karena malam ini juga Abian akan pulang.

 

***

 

Maya keluar dari dalam Cafe tanpa memperdulikan notifikasi di ponselnya yang menjerit-jerit. Ia tahu, pasti berita tentangnya datang ke Restoran tadi sudah menyebar ke grup penghuni Perumahan Citra Kencana. 

 

"Tagih uangmu, Lia! Jangan sampai dia memutar balikkan fakta dan mengatakan kalau kamu yang berhutang," sindir Bu Sur sarkas. "Berani-beraninya orang baru di Perumahan ini bikin kerusuhan. Kasihan sekali, Eti. Kalau aku jadi dia, sudah aku jambak balik tadi."

 

"Tagih uangmu, Lia!" seru Bu Hanum. "Ngakunya banyak tabungan berupa emas, nyatanya ... halu!"

 

Maya turun dari motor dan berjalan mendekati tiga wanita beda usia yang sedang duduk di depan rumah Dahlia. Perasaan janggal yang ia terima sebab ucapan Bu Joko tadi kini benar-benar Maya rasakan kebenarannya. 

 

"Lagi ngomongin saya?"

 

"Sukur kalau merasa," sahut Bu Sur ketus. "Nggak tau malu, orang baru udah berani berhutang." Bu Sur berbicara sambil sesekali mencebik.

 

"Mana berani sekali bikin keributan di Restoran suami Eti," sambung Bu Hanum. "Untung saja nggak dilaporkan kamu, Mbak Maya. Lagipula malu-maluin banget nyamperin suami di tempat kerja. Eh, nggak taunya suaminya entah kemana."

 

Dahlia sedikit merasa lega karena dua wanita di depannya mengalihkan pembicaraan perihal hutang.

 

Maya menarik napas dalam dan meredam emosinya perihal kejadian di Restoran. Yang perlu ia atasi saat ini adalah sikap dan ucapan Dahlia yang sudah membuat citranya hancur di Perumahan ini.

 

"Jadi Mbak Dahlia bilang ke orang-orang kalau saya meminjam uang?" tanya Maya. Wajah Dahlia memucat. "Bukannya tadi kamu yang pinjam uang ke saya gara-gara ditagih siapa tadi ... ehm ... Bu Joko ya? Dia bilang Mbak Dahlia macet bayar cicilan emas. Begitu kan?"

 

 

Bersambung 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rahmat Wahyono
cerita awal yg berbulet² n membosankan....mau nerusin kok males...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status