***
Sementara di tempat lain ....
"Mas Tomi akan kembali pulang ke kampung, Bu," ujar Astri. "Apa aku dan Tirta datang saja ke rumah Bu Leha. Siapa tau dia mencari kami.""Untuk apa lagi, As? Dia bukan suamimu, Tirta juga bukan anaknya. Jadi jangan merasa kalau kalian berdua itu orang-orang penting dalam hidup Tomi," sahut Ibunya tegas. "Cobalah untuk membuka hati. Biarkan Tomi bahagia dengan hidupnya saat ini. Jika memang dia menaruh iba pada Tirta, itu hanya sekedar iba pada anak kecil, bukan pada darah dagingnya sendiri."Air mata Astri menggenang di pelupuk mata. Teringat masa-masa dimana hidup tanpa kekurangan karena Tomi cukup bertanggung jawab selama menjadi seorang suami. Belum lagi saat dirinya kekeuh ingin menguasai uang kiriman Halimah dulu, Tomi selalu mengalah dengan keinginan Astri meskipun tau Bapak dan Ibunya pun serba kekurangan."Tapi siapa tau Mas Tomi ....""Cukup, Astri. Cukup!***"Mau kemana, Mas?" Vano mencegat Tomi di depan pintu kamar saat dia melihat betapa terburu-buru Tomi dalam melangkah."Aku harus pergi, Van.""Kemana? Apa ada masalah?"Mendengar Kakak dan suaminya berbicara, Halimah keluar dari dalam kamar dan menimpali, "Ada apa, Mas?""Entahlah. Mas Tomi sepertinya terburu-buru.""Aku ... aku minta maaf, Mas. Tapi jangan pergi dari sini ...."Tomi mendesah kuat. Dia mengusap pucuk kepala adik perempuannya dengan lembut. Bagaimanapun seorang kakak laki-laki tidak bisa menyakiti wanita di dalam keluarganya, baik Ibu maupun Halimah. Tomi begitu mencintai keduanya hingga mengesampingkan luka yang sejenak dia rasakan tadi."Mas sudah memaafkan kamu, Hal. Mana ada seorang kakak yang bisa marah pada adik sebaik kamu?"Mata Halimah berkaca-kaca. Dia memeluk Tomi dengan erat selayaknya seorang adik kecil yang sedang merajuk. Mel
***Halimah terlihat gugup. "Maksudku, jangan mencoba menghubungi nomor Mbak Gina. Kita tidak tau apa yang sedang dia rencanakan, bukan? Bagaimana jika Mas Kus tau kalau Mbak Gina sudah menghubungi Mas Tomi sebelumnya dan dia memutar rencana?"Tomi berdecak kesal. Apa yang Halimah katakan memang benar. Tapi menunggu sampai ke Jalan Ganggang dan menanti panggilan dari Gina sepertinya bukan pilihan yang benar."Tapi Mas sudah nggak sabar, Hal ....""Tenangkan dirimu, Tom!" tegur Karim tegas. "Jagan gegabah dalam mengambil tindakan atau apa yang kamu lakukan hanya akan merugikan orang lain.""Pak ... bagaimana jika Gina sudah ....""Buang pikiran buruk! Berdoa saja semoga Gina bisa menyelamatkan diri sebelum kita sampai disana."Mendengar Karim yang berbicara dengan tegas membuat Tomi seketika mengangguk patuh. Halimah menggenggam jemari Ibunya dengan perasaan takut. Tidak ada yang tau ap
***Halimah tersentak mendapat bentakan dari Vano. Melihat kedua mertuanya yang sejak tadi diam, seketika Vano meredam emosinya dan memilih untuk ikut diam sementara Tomi berkali-kali mencoba memanggil nomor Gina. Sudah banya dering yang dia dengarkan, tapi panggilannya tidak kunjung mendapat jawaban."Apa aku salah lagi, Mas?" tanya Halimah parau. "Mbak Gina sudah keterlaluan. Dan kalian masih saja membelanya?"Mereka tidak ada yang menjawab, sampai semuanya masuk ke dalam mobil, Vano mulai mencecar istrinya meskipun dengan nada lembut, tetap saja bagi Halimah terasa menyakitkan."Apa Mas pernah mengajarimu mengumpat, Dek?""Kamu secara tidak langsung sudah membuat harga diri Mas hancur. Di depan Bapak dan Ibu kamu berani berkata yang tidak pantas. Apa kamu tidak berpikir bagaimana pandangan orang lain kepadamu? Tidakkah mereka akan menganggap aku sebagai suami yang tidak becus mengurus dan membimbing istri?"
***"Ahahaha ... Iya, Mas. Ini Kusaini, kebetulan Gina sedang sama saya. Kami sedang ... emh ... ya begitulah, Mas," papar Kusaini malu-malu.Wajah Tomi memerah. Kini dia memahami apa yang sedang Halimah khawatirkan. Ternyata Gina memang bukan wanita baik-baik."Bisa aku bicara dengan Gina, Kus?""Aduh, maaf sekali Mas Tomi. Dia sedang tidur, sepertinya lelah sekali karena maklum saja ini adalah pertemuan pertama kita setelah berpisah hampir satu tahun."Suasana di dalam mobil mendadak panas dan hening. Halimah melengos saat melihat rahang Tomi mengatup keras. Kebencian yang hampir saja menguap, kini memanas lagi setelah Kusaini menelpon kakaknya."Maaf karena Gina mengirim pesan seperti tadi, Mas. Dia iseng saja, sebenarnya saya juga tidak enak mengatakan ini ...."Mereka saling berpandangan. Kebetulan Tomi memang tengah meloud speaker panggilannya kali ini."Tida
Sesampainya di rumah ...."Istirahat saja kalian, besok kita pergi pagi, Van. Biar tidak terjebak macet," kata Karim.Ketiganya mengangguk patuh, lalu masuk ke dalam kamar masing-masing dan memilih untuk merebahkan diri.Halimah dan Vano terlibat obrolan serius seputar bisnis mereka yang akan dirintis dari kampung. Keduanya merasa tidak lagi perlu membahas masalah Gina karena perkataan Kusaini tadi sudah cukup jelas bagi keduanya.Sementara Tomi ....|Kamu yakin baik-baik saja, Gin?|Terkirim.Dia nekad mengirim pesan pada Gina meskipun sudah mendapat telepon tadi. Hatinya masih ingin menyangkal apa yang sudah dia dengarkan barusan.Ting ....Dengan cepat dia membuka pesan saat tau bahwa nama Gina yang terpampang di layarnya.|Tidak perlu khawatir, Mas Tomi. Gina baik-baik saja dalam pelukan saya|Tidak lama, sebuah foto terkirim setelah pesa
***"Wah, ada orang kota datang nih. Kok nggak kabar-kabar sih, Bu Leha?"Keluarga Leha yang baru saja turun dari mobil seketika mendapat sambutan dari Diah, teman ghibah Eni di masa lalu. Mendengar suara Diah yang lebih mirip teriakan itu membuat para tetangga berhamburan keluar dan menjabat tangan satu per satu keluarga Halimah."Iya nih, Bu Leha. Tiba-tiba pulang tanpa kabar aja. Baik-baik semua kan ini?" tanya Nur yang tiba-tiba sudah mendekat ke arah Halimah.Leha tersenyum tipis mendapat cercaan dari pada tetangganya. "Saya sudah ngabarin Bu Gun, sama Bu RT juga. Kebetulan bulan kemarin kan yang menyewa rumah kami sudah selesai masa kontrak. Jadi ada baiknya kami kembali lagi ke kampung. Lebih enak hidup disini, banyak tetangga," sahut Leha datar.Halimah membantu Vano menurunkan barang bawaan sementara Tomi dan Karim bersama-sama membawa koper dan tas masuk ke dalam rumah.Meskipun cukup
***"Tirta," gumam Leha lirih.Tirta berlari dan memeluk Leha dengan erat. Persis seperti seorang cucu yang sedang memeluk neneknya karena rindu. Tangis Tirta pecah saat melihat keluarga Tomi datang. Pasalnya, dulu Tomi pernah berjanji akan sesekali membawa Tirta ke kota, tapi janji hanyalah tinggal janji. Tirta tidak sekalipun bisa bertemu Tomi melainkan hanya dari sambungan telepon. Kesibukan di bengkel membuat Tomi sejenak melupakan keberadaan mantan anak tirinya itu."Nenek ... Tirta kangen," rengeknya manja. Leha hanya mampu mengelus pucuk kepala bocah itu dengan perasaan haru. "Tirta kangen sama Nenek."Leha mengulas senyum tipis. Dia memeluk tubuh Tirta yang kini terlihat semakin berisi. Bocah yang saat ini duduk di kelas 2 SD itu terlihat sehat daripada dulu."Nenek juga kangen. Makanya pulang, Nenek sama Kakek kangen kamu," ujar Leha membual. "Ayo masuk, ada Ayah sama Tante Halimah di dalam."
***"Ba-- Baik, Hal. Kami baik-baik saja," jawab Astri ragu."Halo anak baik, kangen nggak sama Tante?"Tirta melepaskan pelukan Tomi, dia menoleh ke arah dimana Halimah berdiri. Sejurus kemudian senyum sumringah terpancar di wajah Tirta. Bocah itu mengangguk dan berlari memeluk tubuh Halimah dengan erat. "Kangen banget, Tante," serunya.Halimah mengusap pucuk kepala Tirta dengan lembut. "Masa sih kangen, tapi kenapa nggak pernah telepon Tante ya?" godanya.Tirta mendongak, hingga sepersekian detik kepalanya memutar menatap Astri yang tetiba menunduk malu."Kata Mama, Tante sibuk sekali disana. Jadi Tirta nggak boleh ganggu."Halimah termenung. "Ah, pintar sekali. Terima kasih karena sudah memahami kesibukan Tante ya."Tirta tersenyum dan mengangguk. Dia memegang jemari Halimah dan memilih duduk di depan TV menyaksikan Tomi yang sedang membongkar tas mereka.