“Apa? Menikah?” teriak Isha dan Baskoro bersamaan.
Satrio sebenarnya juga sangat terkejut, tapi dia tetap terlihat tenang. Pria berambut ikal hanya melirik Isha dan Baskoro tanpa bersuara.
“Iya, Nak Isha dan Nak Satrio harus menikah sekarang. Kalau tidak kalian harus pergi dari sini,” sahut Pak RT.
Isha menggeleng berulang kali. “Aku tidak mau menikah, Pak,” ucapnya pada Baskoro.
“Pak RT dengar sendiri apa yang dikatakan anak saya! Dia tidak mau menikah. Saya juga tidak setuju Isha menikah dengan pengangguran seperti Satrio,” timpal Baskoro seraya menunjuk pemuda berambut ikal itu dengan dagunya.
“Kalau begitu Nak Isha dan Nak Satrio akan diarak dan diusir dari kampung ini,” sahut Pak RT.
“Harusnya Satrio saja yang diarak dan diusir! Selama ini anak saya baik-baik saja dan tidak pernah macam-macam. Kalau tidak karena pengangguran itu, mana mungkin anak saya seperti ini.” Baskoro membela anaknya.
“Tetap saja Isha melakukannya dengan Satrio. Tidak adil kalau Satrio saja yang dihukum. Mereka berdua harus sama-sama mendapat hukuman,” cetus seorang warga.
“Ya, benar. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Dua-duanya harus dihukum.”
“Pak Baskoro, dengar sendiri ‘kan apa yang diinginkan warga? Saya tidak bisa apa-apa kalau warga sudah sepakat. Menurut saya, menikahkan mereka adalah jalan terbaik. Sudah banyak pasangan zina di luar sana yang langsung dinikahkan saat itu juga setelah kepergok,” ujar Pak RT.
“Coba Pak Baskoro pikirkan, bagaimana kalau nanti Nak Isha sampai hamil? Siapa yang akan bertanggung jawab kalau tidak punya suami?” imbuh ketua Rukun Tetangga itu.
Kepala Baskoro semakin berdenyut. Di satu sisi, dia tidak rela putrinya menikah dengan orang yang tidak jelas masa depannya. Namun di sisi lainnya, dia juga tidak mau putrinya diusir apalagi sampai hamil tanpa suami.
“Pak, aku tidak mau menikah. Aku juga tidak akan hamil karena aku dan Bang Satrio tidak melakukan seperti yang dituduhkan mereka.” Isha kembali berbicara pada Baskoro.
“Yakin sekali tidak akan hamil, pasti tadi kalian pakai pengaman ya!” celetuk salah satu warga.
“Pak, lebih baik aku pergi dari sini daripada menikah.” Isha tidak menghiraukan celetukan warga.
“Mau tinggal di mana kalau kamu pergi, Is? Kita tidak punya saudara di dekat sini.” Baskoro memandang putri sulungnya.
“Aku bisa kos, Pak,” timpal gadis berusia 25 tahun itu.
Baskoro menggeleng. “Tidak! Bapak tidak mengizinkan kamu keluar dari rumah ini kecuali dengan suamimu. Kamu itu anak perempuan, tidak boleh tinggal jauh dari orang tua.”
“Saya akan menikahi Dek Isha, Pak.” Satrio tiba-tiba menyela pembicaraan bapak dan anak tersebut.
Sontak Isha dan Baskoro menoleh pada pria berambut ikal sebahu itu. Mereka memandang Satrio dengan tatapan berbeda.
“Kamu serius mau menikahi anak saya?” Baskoro memandang Satrio dengan tatapan meremehkan.
Pria yang mengenakan singlet putih dan sarung motif kotak-kotak itu, mengangguk. “Iya, Pak. Saya serius,” jawabnya dengan yakin.
Isha mengernyit. Memandang pria yang tadi mengajaknya pulang bersama itu dengan tatapan tak percaya.
“Bang, jangan bercanda! Kita tidak salah! Kalau kita menikah berarti kita mengakui kalau sudah ....” Gadis itu tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Sesak dan nyeri rasanya kalau mengingat tuduhan para warga. Mereka sama sekali tidak mau mendengarkan penjelasannya.
“Abang tidak bercanda. Abang akan bertanggung jawab karena sudah mengajak Dek Isha ke kontrakan dan membuat orang jadi salah paham pada kita,” tegas Satrio dengan mimik serius.
“Tapi, Bang—” Isha belum selesai bicara sudah dipotong oleh bapaknya.
“Tidak ada tapi-tapian, Is. Bapak setuju kamu menikah dengan Satrio daripada kalian diusir dari sini. Meskipun sebenarnya Bapak juga tidak ingin punya menantu seperti dia,” putus Baskoro.
Pria paruh baya itu terpaksa setuju setelah memikirkan reputasi dan masa depan putrinya. Selamanya Isha akan dicap pezina, tidak akan mudah bagi pria untuk bisa menerima masa lalunya. Lebih baik dinikahkan dengan Satrio saja yang jelas mau menikahi putrinya daripada nanti Isha susah mendapatkan jodoh.
“Kalau begitu saya akan panggilkan Pak Ustaz,” lontar salah satu warga yang langsung beranjak pergi tanpa menunggu tanggapan dari yang lain.
“Saya ingin akad nikahnya di rumah saya saja,” pinta Baskoro pada Pak RT.
“Ya, tidak apa-apa, Pak. Biasanya juga kalau menikah di rumah mempelai wanita.” Pak RT kemudian meminta warga yang berkumpul di depan kontrakan untuk bubar. Namun bukannya pulang ke rumah masing-masing, para warga malah berpindah ke rumah Baskoro yang ada di samping kontrakan tersebut.
“Is, sebaiknya kamu ganti bajumu dengan yang lebih pantas. Bapak juga akan ganti baju.” Baskoro bicara pada putrinya setelah masuk ke rumah dan mempersilakan Pak RT serta pemilik kontrakan untuk duduk di ruang tamu.
Isha menurut meskipun terpaksa. Gadis itu lantas masuk ke kamar dan mengganti kemeja milik Satrio dengan gamis terbaik yang dia punya. Wajahnya dipoles dengan bedak tipis, bibirnya pun diberi sedikit lipstik agar tidak terlihat pucat. Tak lupa Isha mengenakan jilbab yang warnanya senada dengan gamisnya.
Isha keluar kamar setelah dipanggil oleh Baskoro. Gadis itu diminta duduk di samping Satrio yang penampilannya jauh lebih rapi dari tadi. Pria itu mengenakan baju koko putih, celana bahan hitam, dan peci yang juga berwarna hitam.
“Nak Satrio mau memberi mahar apa pada Nak Isha?” tanya ustaz yang sudah datang dan duduk di salah satu kursi.
Satrio meraih dompet di saku belakang celana lalu mengambil uang yang jadi satu-satunya penghuni di sana. “Saya hanya punya uang seratus ribu. Apa Dek Isha ikhlas Abang beri mahar segitu?” Pria itu bertanya pada Isha seraya menunjukan selembar uang berwarna merah tersebut.
Gadis itu mengangguk. Mau minta banyak atau yang lain juga tidak mungkin, jadi lebih baik menerimanya saja daripada semakin lama dan panjang urusannya. “Seadanya Bang Satrio saja,” jawabnya kemudian.
“Alhamdulillah.” Satrio menghela napas lega, begitu juga yang lain.
Sang ustaz kemudian mempersilakan Baskoro untuk menikahkan putri sulungnya dengan Satrio.
“Saya terima nikah dan kawinnya Isha Umarani binti Baskoro dengan mas kawin uang seratus ribu rupiah, dibayar tunai,” ucap Satrio dengan lantang dan dalam sekali tarikan napas sambil menjabat tangan Baskoro.
“Bagaimana Bapak-bapak?” tanya sang ustaz.
“Sah,” jawab Pak RT dan pemilik kontrakan yang bertindak sebagai saksi.
“Alhamdulillah,” ucap Satrio dan Baskoro bersamaan.
Ustaz kemudian mendoakan Satrio dan Isha sekaligus memberikan beberapa nasihat pernikahan.
“Sekarang Nak Satrio dan Nak Isha sudah resmi menjadi suami istri secara agama, berarti sudah ada hak dan kewajiban suami istri yang harus kalian penuhi. Untuk pernikahan secara negara, sebaiknya segera diurus ke KUA ya. Kalau bisa jangan terlalu lama,” tandas sang ustaz.
Setelah akad nikah Satrio dan Isha selesai, satu per satu warga meninggalkan rumah Baskoro. Hanya tertinggal Pak RT dan pemilik kontrakan.
“Satrio, kemasi barang-barangmu di kontrakan! Aku tidak mau kamu tinggal di sana lagi!” perintah pemilik kontrakan.
“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan