공유

Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan
Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan
작가: Kokoro No Tomo

Bab 1

last update 최신 업데이트: 2024-07-16 17:10:28

"Astaghfirullah! Apa yang kalian lakukan di kontrakanku ini!?" Teriakan seorang pria membangunkan Isha dan Satrio yang tertidur di ruang tamu.

"Bisa-bisanya kalian berzina di sini!" tuduh sang pemilik kontrakan sambil berkacak pinggang.

Kesadaran Isha dan Satrio langsung terkumpul begitu mendengar tuduhan tersebut. Keduanya sontak berdiri. Satrio membenarkan ikatan sarungnya yang tidak sempurna, sementara Isha mengancingkan bagian atas kemeja yang terbuka dan menutupnya dengan hijab yang tadi tersingkap.

Kedua orang itu membelalakkan mata begitu menyadari beberapa warga melihat mereka dengan sorot mata tajam dan penuh amarah. Membuat Isha jadi bergidik.

"A-apa?! Zina? Itu tidak benar, Pak! Kami sama sekali tidak melakukan apa-apa!" sahut Isha dengan panik.

“Jangan mengelak! Buktinya sudah jelas! Lihat! Kamu saja memakai baju Satrio!” Pemilik kontrakan itu menunjuk kemeja yang dikenakan Isha.

Gadis berusia 25 tahun itu melihat pakaiannya. Dia baru ingat memakai kemeja Satrio karena kemejanya basah akibat kehujanan. “I-ni tidak seperti yang Bapak-bapak pikirkan!” sanggahnya.

“Mana mungkin kalian berduaan tapi tidak melakukan apa-apa. Kalau ada pria dan wanita yang bukan mahram berduaan, pasti setan jadi orang ketiganya!” tukas pemilik kontrakan yang tetap bersikeras dengan pendapatnya.

“Astaghfirullah! Itu tidak benar, Pak! Demi Allah, kami tidak melakukan zina.” Isha kembali menyangkal tuduhan warga. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Tidak usah menyebut nama Allah! Tidak pantas pezina kalian menyebut nama-Nya!”

“Iya. Kelihatannya saja alim ternyata doyan juga tidur sama pria.”

“Jangan-jangan ini bukan pertama kali mereka begituan, tapi baru ketahuan sekarang!”

Berbagai celetukan warga yang menyudutkan Isha terdengar silih berganti hingga membuat air mata yang tadi menggenang, jatuh membasahi pipi gadis itu. Hatinya sakit sekali mendengar tuduhan warga yang sama sekali tidak benar.

“Ketahuan zina saja menangis. Lupa tadi sudah bersenang-senang dengan Satrio!” lontar seorang warga dengan sinis.

“Hapus air mata buayamu itu! Kami tidak akan terpengaruh!” hardik warga lainnya.

“Bapak-bapak, tolong jangan berkata seperti itu pada Dek Isha!” Satrio akhirnya membuka mulut karena tidak tahan melihat Isha yang menangis.

“Heh, Satrio! Kamu sok mau jadi pahlawan kesiangan? Pengangguran saja belagu!”

“Kamu itu pendatang! Bisa-bisanya malah bikin masalah dan mencoreng nama baik kampung ini!”

“Lagian Isha, mau-maunya sama pengangguran kaya Satrio. Apa yang mau dibanggakan kalau cuma bisa memberi kepuasan?!”

“Kamu memang tidak tahu diuntung, Sat. Warga sudah menerimamu tapi kamu malah berbuat zina di kampung ini. Bikin malu saja!”

Rahang Satrio mengetat, kedua tangannya pun mengepal saat mendengar berbagai hinaan warga padanya. Namun dia tetap diam. Percuma juga membela diri karena warga tak akan percaya.

"Seret saja yang sudah berbuat mesum di kampung ini!" teriak salah satu warga.

"Iya. Kita arak keliling kampung biar semua orang tahu kelakuan tidak bermoral mereka!" timpal warga yang lain.

"Iya. Betul itu! Kalau perlu diusir karena sudah mempermalukan kampung ini!" Berbagai macam kalimat dilontarkan oleh warga.

“Tenang, Bapak-bapak semua. Mari kita selesaikan ini dengan kepala dingin!" Pak RT yang baru saja datang berusaha menenangkan warga.

“Mereka harus dihukum biar jera, Pak. Jangan dilepas begitu saja!”

“Ada apa ini, Pak?” Seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam satpam mendatangi kontrakan Satrio yang dipenuhi banyak orang.

“Wah, Pak Baskoro. Kebetulan sekali Bapak datang. Kami sedang bermusyawarah untuk menentukan nasib Nak Satrio dan Nak Isha. Mereka kepergok berduaan di sini. Dan menurut warga yang memergoki, mereka sudah berzina,” jelas Pak RT.

“Apa? Kurang ajar!” Mata Baskoro berubah nyalang. Tanpa mengatakan apa pun dia mendekati Satrio dan memukul pemuda itu sebanyak dua kali sebelum akhirnya ditarik oleh warga.

“Pengangguran seperti kamu, berani-beraninya menodai anakku,” teriak Baskoro sambil menuding Satrio yang sedang menyeka darah di sudut bibirnya.

“Kamu benar-benar tidak tahu diri!” Baskoro kembali ingin memukul Satrio, tapi warga berhasil menahannya.

Satrio hanya diam, menunduk. Tidak membalas juga tidak berbicara untuk membela diri.

“Bapak! Sudah! Jangan pukuli Bang Satrio!” Isha berdiri di depan Satrio.

“Isha, minggir! Buat apa kamu membela pengangguran tidak berguna seperti dia! Apa kamu sudah dibutakan dengan ketampanannya?” Baskoro menatap tajam putrinya.

“Astaghfirullah! Apa yang mereka katakan tidak benar, Pak. Apa Bapak tidak percaya sama aku, anak kandung Bapak sendiri? Demi Allah, aku tidak melakukan zina, Pak!” tukas Isha. Air matanya semakin deras mengalir. Hatinya semakin sakit karena Baskoro tidak percaya padanya.

“Terus apa yang kamu lakukan di sini? Bukannya pulang ke rumah, malah berduaan sama pengangguran itu! Kalau kamu suka sama laki-laki, carilah yang masa depannya bagus. Jangan seperti dia!” Baskoro kembali menunjuk Satrio.

“Mau dikasih makan apa kamu sama anak-anakmu nanti? Batu?” sergah pria paruh baya itu.

“Pak, aku sama Bang Satrio tidak melakukan apa-apa. Tadinya aku mau pulang tapi tidak ada orang di rumah. Aku tidak bawa kunci, makanya aku nunggu Bapak di sini,” jelas Isha. Berharap dengan penjelasannya itu bapaknya bisa mengerti.

“Kamu ‘kan bisa menunggu di teras rumah. Kenapa harus di sini, Is?” tukas Baskoro.

Isha terdiam karena tidak punya alasan yang tepat. Benar apa yang dikatakan bapaknya, harusnya dia menunggu saja di teras, tidak malah ikut ajakan Satrio.

“Sudah, tidak usah banyak drama! Kita arak saja mereka keliling kampung biar jera!” lontar warga.

“Ya, benar. Ayo!”

“Bapak-bapak, saya mohon tenang! Tahan emosi dulu! Negara kita negara demokrasi, mari kita selesaikan masalah ini dengan musyawarah.” Pak RT lagi-lagi menenangkan warga. Setelah kondisi kembali kondusif, dia kembali berbicara.

“Pak Baskoro, warga kampung sini tidak bisa menerima tindakan tidak terpuji yang sudah dilakukan Nak Satrio dan Nak Isha. Mereka ingin mengarak lalu mengusir pelaku zina dari kampung sini,” ujar Pak RT.

“Siapa yang akan diusir, Pak?” Baskoro memandang Pak RT. Kepalanya berdenyut mendengar ucapan pengurus kampung itu. Pulang kerja harusnya beristirahat, malah anak dari almarhum istri pertamanya membuat masalah.

“Nak Satrio dan Nak Isha, Pak,” jawab Pak RT.

“Apa? Kami ‘kan sudah lama tinggal di sini. Masa warga sendiri mau diusir? Kalau Satrio, wajar karena dia pendatang dan belum lama tinggal di sini,” protes Baskoro, tak terima dengan keputusan warga. Emosi yang sempat turun, naik lagi.

“Warga tidak mau tahu, Pak. Mereka tidak ingin kampung ini jadi sial karena ada yang melakukan zina. Siapa pun yang berbuat zina di sini harus mendapat sanksi sosial baik warga lama maupun baru. Karena Pak Baskoro dan keluarga sudah lama menjadi warga sini, jadi satu-satunya solusi agar Nak Isha dan Nak Satrio tidak diusir, ya harus dinikahkan saat ini juga,” jelas Pak RT dengan tenang.

“Apa? Menikah?”

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 220 (TAMAT)

    “Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 219

    Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 218

    “Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 217

    Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 216

    Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 215

    “Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status