Share

Bab 8

Penulis: Kokoro No Tomo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-28 23:41:03

Satrio membalikkan badan lantas berjalan ke tempat tidur. Dia duduk di sana kemudian menepuk tempat kosong di sampingnya. Memberi tanda agar sang istri duduk di sisinya.

Isha pun menurut meski belum mendapat jawaban dari suaminya. Satrio kemudian mengubah posisi duduknya agar menghadap istrinya.

“Apa Dek Isha ragu perhiasan yang Abang beri palsu?” tanya Satrio dengan lembut dan tenang.

Wanita yang masih mengenakan gamis dan kerudung putih itu tak bersuara. Dia sendiri bingung karena tidak tahu bagaimana membedakan perhiasan asli dan palsu sebab tak pernah memakai perhiasan selain yang diberikan oleh bapak atau ibu tirinya. Itu juga hanya anting-anting yang menghiasi telinganya waktu masih sekolah.

Melihat istrinya yang diam dan terlihat bingung, Satrio meraih tangan Isha lantas menggenggamnya. “Insya Allah semua perhiasan itu asli, Dek. Mana mungkin Abang ngasih barang palsu ke istri sendiri. Kalau Dek Isha masih tidak percaya, besok Abang mintakan nota pembeliannya. Dek Isha nanti bisa cek sendiri ke tokonya,” jelas pria berambut ikal itu.

“Apa harganya mahal, Bang?” Isha akhirnya mengeluarkan suara.

Satrio tak langsung menjawab. Dia terlebih dulu menyusun kalimat yang bisa diterima oleh istrinya. “Dek Isha, lihat sendiri saja besok di nota harganya berapa. Karena mahal atau tidak itu relatif. Standar mahal dan murah suatu barang itu berbeda setiap orang,” tuturnya bijak.

“Ibu bilang cincinku ini kaya berlian. Kalau berlian asli pasti mahal ‘kan, Bang?” Isha kembali bertanya.

Satrio mengulum senyum. “Abang cuma bisa bilang, Dek Isha pantas mendapatkan yang terbaik,” ucapnya seraya menatap lekat istrinya.

Wajah Isha jadi tersipu mendapat tatapan dan ucapan manis dari suaminya. Meskipun belum ada cinta dan masih ada keraguan di hatinya, tapi Isha sudah berusaha menerima kehadiran pria itu dalam hidupnya sebagai suami. Apalagi pernikahan mereka sekarang sudah sah secara agama dan juga negara. Membuat ikatan mereka jadi semakin kuat.

“Bang Satrio bisa saja ngomongnya,” celetuk Isha untuk menghilangkan rasa malunya.

“Aku ‘kan cuma lulusan SMA, Bang. Kerja juga cuma jadi karyawan toko. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Mana mungkin dapat yang terbaik?” kilah gadis itu.

“Dek Isha, terlalu memandang rendah diri sendiri. Setiap wanita pasti istimewa di mata lelaki yang mencintainya. Begitu pun Dek Isha, istimewa di mata Abang. Jadi wajar ‘kan kalau Abang memberikan yang terbaik untuk Dek Isha,” tukas Satrio seraya tersenyum.

Isha terdiam mendengar apa yang diucapkan suaminya. Apa maksud Satrio bicara seperti itu? Tidak mungkin ‘kan pria itu mencintainya? Pasti itu hanya untuk menyenangkan hatinya dan tidak serius.

“Dek, kok diam.” Suara Satrio membuyarkan lamunan sang wanita.

“Eh, aku capek, Bang. Mau ganti baju terus tidur.” Isha beralasan.

“Apa Abang perlu keluar?” Sejak menikah, Satrio memang selalu diminta ke luar dari kamar setiap kali Isha mau berganti pakaian. Siapa tahu ‘kan setelah nikah resmi Isha berubah, jadi dia memutuskan bertanya pada istrinya.

Namun apa yang diharapkan pria berambut ikal itu tak menjadi kenyataan. Isha langsung mengangguk setelah tadi dia bertanya. “Kalau begitu Abang ganti baju sekalian mandi saja.” Satrio mengambil baju ganti kemudian keluar dari kamar.

Isha pun gegas mengunci pintu setelah suaminya pergi. Dia masih merasa malu pada Satrio. Lagi pula gadis itu juga belum siap memberikan hak Satrio sebagai suami meskipun dia tahu kalau hal tersebut tidak benar.

***

“Permisi!” Dua orang pria yang mengenakan pakaian serba hitam berdiri di depan rumah Baskoro.

Lina yang mendengar ada orang di depan rumahnya langsung keluar dari kamar. Diam-diam wanita paruh baya itu mengintip dari jendela. Dia mengernyit melihat penampilan dua orang yang ada di depan rumah. “Siapa ya mereka?” gumamnya.

“Permisi!” Salah satu dari mereka kemudian berteriak dan mengetuk pintu lebih keras.

“Ya, sebentar,” sahut Lina. Dia masuk ke kamar sebentar untuk mengambil gawai dan menyiapkan rekaman. Kalau ternyata kedua orang itu punya niat jahat, dia jadi punya bukti.

Lina menenangkan diri terlebih dahulu sebelum akhirnya membuka pintu. “Mencari siapa ya?” tanyanya tanpa basa basi.

“Selamat malam, Bu,” sapa salah seorang dari mereka dengan senyum ramah. Membuat Lina yang tadinya memasang wajah ketus, jadi mau tidak mau tersenyum.

“Malam,” balas Lina.

“Maaf, Bu, mengganggu. Apa benar Pak Satrio Bhumi Wicaksono tinggal di sini?” tanya orang tadi.

“Maksudnya Satrio suaminya Isha?” Lina memastikan.

“Iya. Pak Satrio yang baru menikah hari ini,” jawab pria berpakaian serba hitam itu.

“Iya, dia memang tinggal di sini. Tapi kayanya sekarang lagi pergi ke masjid salat Isya. Memangnya kalian ada perlu apa sama dia?” Lina kembali bersikap ketus karena menyangkut suami anak tirinya.

“Maaf kami tidak bisa mengatakannya, Bu. Yang pasti kami ingin bertemu dan berbicara langsung dengan beliau,” jelas pria yang satunya.

“Kalian pasti debt collector yang mau menagih utang karena Satrio nunggak bayar utang ya?” tebak Lina dengan penuh percaya diri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Kokoro No Tomo
terima kasih, Kak
goodnovel comment avatar
Walida Rahman Idha
ceritanya bagus bikin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 220 (TAMAT)

    “Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 219

    Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 218

    “Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 217

    Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 216

    Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 215

    “Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status