“Tenang, juragan. Kita bisa bicara baik-baik.” Ujar Rais. Tak ingin emosi Bram semakin memuncak.
“Kamu!” Tunjuk Herman pada Galih, “Pergi kamu dari sini! Saya gak sudi Aisyah menikah dengan kamu! Sampai kapan pun, saya gak akan pernah mau merestui!” Ucap Herman, ikut tersulut emosi. Bagaimana tidak? Selain hutangnya lunas, Bram juga menjanjikannya memberinya modal yang cukup besar untuk di kelola menjadi usaha setelah menikah dengan Aisyah nanti. Herman sudah membuat rencana untuk membuka toko campuran yang besar dengan modal dari Bram. Dengan bantuan Bram yang nantinya akan jadi menantu nya, tentu tak sulit baginya untuk memiliki toko campuran yang besar. “Lagi pula uang dari mana kamu Galih untuk membayar hutang Herman hah?! Gaji kamu sebulan saja, bahkan sangat jauh!” Cetus Bram dengan sinis. Lelaki tua itu yakin, bahwa Galih pasti tak akan bisa membayar utang Herman sebanyak itu. “Tulis rekeningnya di sini!” Jawabnya dengan santai. Galih menyerahkan ponselnya pada Bram. Lelaki tua itu menerima ponsel Galih dengan tersenyum meremehkan. “Mustahil Galih! Mustahil kamu memiliki uang segitu! Tapi baiklah, ini aku tulis nomor rekeningnya biar kamu tau diri!” Ujarnya sambil mengetik nomor rekening di ponsel pemuda itu. Galih mengambil kembali ponselnya. Kemudian melakukan transfer sebanyak seratus lima puluh juta ke nomor rekening atas nama Bram Sanjaya. “Sudah!” Ujar Galih, ia arahkan ponselnya memperlihatkan bukti transfer pada Bram, Rais dan juga Herman. Mata mereka seketika melotot bersamaan. “Nggak! Ini gak mungkin!” Bram berdiri dari duduknya. Merasa tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Aisyah harus tetap menikah denganku! Itu pasti bukti transfer editan!” Tolak Bram. Galih tersenyum miring, “Lebih baik cek dulu saldonya, juragan!” Bram buru-buru mengecek m-banking. Ternyata benar, uang sebanyak seratus lima puluh juta itu masuk ke dalam rekeningnya. Sama halnya dengan yang lain. Aisyah juga ikut tercengang. Gadis itu semakin penasaran, siapa sebenarnya sosok preman di depannya ini? “Gimana, juragan? Benar kan? Kalau begitu, mulai sekarang jangan pernah lagi mengganggu calon istriku!” Tegas Galih. Ia tersenyum pada Aisyah yang kini masih mematung penuh keterkejutan. °°°° Rina mondar-mandir, “Pak! Gimana ini Pak?” Rina kebingungan saat juragan Bram meninggalkan rumahnya dalam keadaan marah. Sementara Aisyah, gadis itu telah dibawa pergi oleh Galih. Herman memijat pelipisnya yang terasa pening. Ia masih tak percaya jika hutangnya sudah di lunasi oleh preman kampung itu. “Pak!” Sentak Rina, merasa ucapannya diabaikan Herman. “Apa sih, Bu! Bapak lagi pusing!” Balas Herman kesal. “Uang dari mana ya kira-kira preman itu, Pak? Apa jangan-jangan dia maling ya?!” Tebak Rina, penasaran. Herman mengangguk, “Ya dari mana lagi, Bu? Pastilah, kalau nggak maling yang ngerampok!” “Ya ampun, Pak. Terus gimana ini? Gimana kalau nanti kita yang kena getahnya??” Rina mendadak panik. “Nggak! Meskipun preman itu sudah membayar hutang kita, Bapak gak akan merestui mereka, Bu. Enak aja!” Ucap Herman, ia mengepalkan kedua tangannya. Impiannya untuk memiliki toko campuran yang besar tak boleh gagal. “Tapi mereka udah pergi, Pak! Gimana kalau diluar sana mereka udah nikah?” “Mana mungkin! Aisyah pasti tau kalau wali nikahnya saat ini cuma aku, Bu. Kamu tenang aja, Bapak akan susun rencana biar mereka gak jadi nikah!” Ucap Herman, membuat Rina penasaran. Apa yang akan di rencanakan suaminya? “Rencana apa, Pak?” Tanya Rina. Drrt! Drrt! Tiba-tiba ponsel Rina bergetar. Ia raih benda pipih tersebut yang layarnya sudah retak, kemudian mengusap layarnya, membaca pesan yang masuk. [Bu, besok aku mau pulang! Tolong siapkan jamuan yang banyak ya... Aku bawa calon suami dan juga keluarganya] Syahnaz, putri kandungnya yang bekerja di luar kota itu kini mengirimkan pesan untuknya. Selama ini, hutangnya menumpuk untuk menghidupi gaya hedon anaknya yang hidup di kota. Namun, tentu saja Aisyah tak tahu akan hal ini. Hubungan Aisyah dan Syahnaz tak baik, sejak Aisyah tinggal di rumah Rina. Ah tidak, lebih tepatnya rumah mendiang almarhum Ayahnya yang kemudian di akui oleh Rina bahwa itu sudah menjadi haknya. Rina tersenyum, ia pernah mendengar cerita Syahnaz, bahwa calon suaminya ini orang kaya. “Pak, sepertinya kita biarkan saja Aisyah menikah dengan preman itu!” Ucap Rina, tiba-tiba berubah pikiran. “Lho? Kok gitu Bu? Bapak ini sudah punya impian besar untuk punya toko campuran yang besar, seperti yang dijanjikan juragan. Harus jadi pokoknya! Aisyah harus tetap menikah dengan juragan!” Bantah Herman. “Pak... Besok Syahnaz akan pulang! Dia datang bersama calon suami beserta keluarganya, Pak. Tanpa Aisyah, kita juga bisa kaya!” Ucap Rina dengan senyum mengembang. “Memangnya Ibu tau dari mana kalau calon Syahnaz itu orang kaya?” Tanya Herman menyipitkan mata. “Syahnaz pernah cerita Pak! Kalau kekasihnya itu adalah atasannya, sudah pasti calonnya itu orang kaya!” “Hem... Terus gimana dengan juragan Bram, Bu?” “Yang penting kan hutang kita udah lunas! Kita tendang saja si Aisyah dan Adiknya itu kalau dia udah menikah sama si preman itu! Kalau ternyata uang yang dia pakai bayar hutang itu curian, biarkan saja Aisyah yang kena getahnya. Ibu yakin kok, kalau Syahnaz bisa mengangkat derajat kita, Pak!” Rina semakin gencar membujuk suaminya. Herman tersenyum, ia setuju dengan perkataan istrinya barusan. “Iya juga ya, bu. Sudah saatnya Syahnaz membuat kita bangga. Selama ini kan bapak mati-matian cari pinjaman untuk kehidupannya di kota.” Ujar Herman. Otaknya kini menemukan sebuah ide baru agar impiannya tidaklah gagal. °°°°° Sementara itu... Galih membawa Aisyah ke cafe yang semalam gadis itu datangi bersama Rian. “Ngapain kamu bawa aku ke sini?” protes Aisyah. Sejak kejadian semalam, Aisyah seolah membenci tempat ini. Tempat di mana ia dan Rian sering bertemu. Bayangan indah hubungan mereka dulu seakan terlihat jika berada di cafe ini. “Duduklah, kamu pasti lelah.” Ujar Galih, tak peduli akan raut wajah Aisyah yang kesal. “Harusnya hari ini aku bekerja! Tapi, gara-gara kalian hari ini aku jadi bolos kerja.” Ucap Aisyah sambil mencebik kesal. “Hem... Kamu resign aja! Aku tidak mau istriku capek kerja nantinya.” Jawab Galih, membuat wajah Aisyah seketika berubah. Tutur kata yang tenang itu seakan menembus hati Aisyah, ‘Istriku?’ Batinnya, merasakan sesuatu yang aneh. “Pagi Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang pelayan yang telah berdiri di samping meja mereka, setelah Galih melambaikan tangan pada pelayan itu. “Buatkan coffe latte dan americano.” “Baik, Pak. Di tunggu sebentar ya.” Pelayan itu beranjak pergi dengan menunduk hormat. Dahi Aisyah berkerut, ia merasa pelayan itu memperlakukan Galih tidak seperti pada pelanggan lainnya. Meskipun di cafe ini memang terkenal ramah dengan pelayanannya, tetapi ada hawa yang berbeda saat pelayan tadi menatap Galih. Satu hal yang membuat Aisyah tertegun. Galih memesankannya coffe latte? Dari mana pria itu tahu kalau Aisyah menyukai minuman itu?“Ikut aku, Renita!!” Seru Wijaya kemudian mendorong tubuh Renita untuk masuk ke dalam mobil. “Apa-apaan kamu, Wijaya?!” Bentak Renita tak terima Wijaya hanya diam, tak menggubris teriakan Renita. Ia kemudian ikut masuk ke kursi pengemudi, lalu segera melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. “Kamu mau bawa aku ke mana kamu, Wijaya?? Hentikan mobilnya sekarang juga!!! Kamu itu udah gak punya hak untuk bawa aku seperti ini!!” Teriak Renita sedikit panik. Wijaya tersenyum menyeringai, menoleh sejenak pada Renita yang menatapnya tajam, “Kenapa tidak? Kamu saja bebas melakukan apa yang kamu mau kan, maka aku juga bisa bebas melakukan apa yang aku mau!!” Jawab Wijaya. Napas Renita jadi memburu, ia sekarang benar-benar takut dengan Wijaya yang bisa saja melakukan sesuatu di luar kendali. “Renita, Renita... Aku sudah berusaha membujuk kamu dengan baik-baik. Tapi, kamu sepertinya memang sudah tidak bisa di ajak bicara baik-baik!” Ucap Wijaya lagi, membuat Renita semakin ketakutan. “Janga
“Mas, kita mau ke mana?” Tanya Indri penasaran. Kini, mereka berada di dalam taksi yang sama. Wijaya juga tak bisa membawa mobilnya, karena dalam isi surat perjanjian pra nikah itu memang semua aset termasuk mobil dan segalanya akan menjadi hak milik Renita apabila Wijaya sampai terbukti berselingkuh. “Sekarang kita ke rumah kamu,” Jawab Wijaya, santai. Indri terkejut mendengar ucapan Wijaya, “Ke rumahku, Mas? Kamu mau tinggal sama aku?” Tanyanya lagi memastikan, raut wajahnya begitu bahagia. Wijaya mengangguk. “Untuk sementara waktu, sampai Renita mau melunakkam hatinya dan mau memaafkan aku!” Jawabnya. “Emang sebenernya gimana sih, Mas? Kok bisa kamu di usir dari rumah kamu sendiri? Terus kenapa kamu juga gak bawa mobil?!” Tanya Indri lagi, penasaran. Indri sangat yakin jika Wijaya tak akan mungkin bisa miskin. la menebak pasti hanya Renita lah yang merencanakan itu semua. Wijaya hanya diam, matanya menatap lurus ke depan. Memikirkan bagaimana caranya agar Renita mau memaafkan
“Apa kurang jelas perkataan saya tadi? Rumah ini bukan lagi milik Pak Wijaya!! Rumah ini adalah milik Mama saya. Jadi, Silakan Tante bawa aja ini laki-laki, urus Pak Wijaya dengan baik ya!!” ucap Galih mempertegas kemudian memanggil asisten rumah tangga yang sudah ia suruh untuk membereskan semua pakaian Wijaya. “Bi, tolong berikan koper itu pada wanita itu!” Titah Galih pelan, membuat Bi Nun mengangguk pelan. “Apa apaan ini, Galih?! Kenapa kamu usir Papa kamu sendiri?!” Tanya Indri heran. “Loh? Katanya Tante mau sama Papa? Ya sana bawa aja Papa pergi, kurang baik apa coba? Mama udah gak mau sama Papa. Itu kan yang Tante inginkan?” Jelas Galih seraya tersenyum sinis ke arah Indri. Indri menatap Wijaya serius untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Namun, pria itu hanya diam, Wijaya benar-benar seperti orang bodoh yang tak bisa bersuara membela dirinya lagi. “Udah, cepetan! Sana bawa Papa! Semua milik Papa buat Tante deh.” Ucap Galih lagi kemudian mendorong koper itu ke arah Indri.
{Mas, kamu di mana Mas! Gawat, kita harus ketemu, Mas!} Indri mengirim pesan pada Wijaya.Namun sampai sepuluh menit belum ada tanda-tanda balasan dari lelaki itu.Gigi Indri gemeretak kesal, bagaimana kalau dia viral di sosial media?“Pak, lebih cepat lagi ya, Pak!” Titah Indri pada supir taksi.Tujuan Indri saat ini adalah ke rumah Wijaya. Mau tak mau ia harus mencari pria itu di sana. Tak peduli jika nantinya bertemu dengan Renita. Yang penting sudah bertemu dengan Wijaya.Sampai di depan gerbang rumah yang besar itu, Indri akhirnya menghela napas lega.“Rumah masa depan... Huhh, gak sabar banget jadi nyonya di sini,” Gumam Indri kemudian berjalan ke depan gerbang usai membayar taksi.“Permisi...” Teriak Indri sambil mengetuk pintu pagar.Namun, beberapa menit belum ada tanda-tanda satpam menghampirinya. la pun mencari bel yang ternyata ada di pojok pintu gerbang.Dua, bahkan sampai lima kali Indri memencet bel, tapi tak kunjung ada seseorang yang datang membukakan gerbang.“Satpam
“Ya maaf, Ma. Mila kan hanya nanya saja.” Ucap Mila merasa tak enak hati. la pun segera masuk ke dalam rumah dan menuju kamar.Di dalam kamar, ternyata Rian baru saja selesai mandi. Sampai saat ini, laki-laki itu belum mau membuka hati untuk istrinya.“Mas, mobil Mama mogok katanya,” ucap Mila memberitahu suaminya.Mata Rian memicing. “Biarin aja, gak usah ikut campur urusan Mama!” Jawabnya ketus.Deg!Mila terperanjat. Hatinya seketika terasa perih mendengar perkataan sang suami.“Ikut campur? Aku cuma kasih tau Mas, aku gak ada ikut campur apa pun,” Balas Mila denga ketus.“lya. Pokoknya jangan pernah ikut campur urusan Mama. Aku kasih tau dari sekarang!” Ujar Rian kemudian segera keluar dari dalam kamar, meninggalkan Mila yang tertegun.Mila menatap pintu kamar yang sudah di tutup Rian itu dengan helaan napas kasar.“Sampai kapan begini sih? Lama-lama aku gak tahan menjalani rumah tangga ini!” Gumam Mila.Sebagai wanita, ia tentu juga ingin di perlakukan dengan baik oleh suaminya.
“Usir Papamu dari sini, Nak. Mama gak rela rumah penuh perjuangan ini di injak oleh lelaki yang sudah menodai hati Mama dengan wanita lain, Mama gak ikhlas Galih, Mama gak relaaaa...” Titah Renita, tangisan yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah di dada putranya. Mata Galih seketika menyorot tajam ke arah Wijaya. Satu tangannya mengusap lembut punggung Renita, tetapi satu tangannya lagi mengepal dengan erat. la sungguh geram dengan perbuatan Wijaya. Demi apa pun Galih tak pernah melihat Renita serapuh seperti sekarang. Dari getar suara Ibunya saja sudah bisa terbaca bagaimana rasa sakit yang saat ini di alami oleh Renita. “Papa gak tuli kan? Cepat pergi sebelum aku yang bertindak kasar, Pa!” ucap Galih dengan tajam. Wijaya langsung berlutut di hadapan Galih dan Renita, “Maa... Maafkan, Papa, Ma. Papa sadar Papa sudah menyakiti Mama. Tolong kasih kesempatan Papa satu kali lagi, Ma.” Suara Wijaya begitu sendu membuat Galih mencebik kesal. “Harusnya dari awal Papa mikir kalau deng