Share

Nasi Uduk Istimewa

Tak lama, perempuan itu menggelengkan kepala. "Nggah deh! Dulu, kami emang deket. Kalau sekarang, mikir dua kali kayaknya buat dekat-dekat.”

Farhana membuang pandangan ke sekitar. Rumah besar dengan halaman dan taman yang luas ini tampak begitu cantik karena beberapa lampu hias yang menyorot. Bisa serapi dan seindah ini pastinya hasil dekorasi sang ibu, pikirnya.

“Emang kenapa si Usman, Dek? Ustaz muda yang tampan dan mapan, banyak digandrungi gadis-gadis di sini. Kita aja kalah saing. Ya, nggak, Ziq?” Razaq menatap Raziq dengan alis yang dibuat naik-turun bergelombang.

“Sebenarnya, gue juga kurang suka Usman sih.” Di luar dugaan, Raziq justru menjawab demikian membuat Razaq terheran-heran.

“Nah. Bang Raziq sependapat kan sama Hana?” Kedua bola mata gadis itu berbinar. Dia merasa mendapatkan dukungan.

“Karena gue laki-laki. Masak jeruk makan jeruk?” Raziq terkekeh. Apalagi ketika melihat ekspresi sang adik yang langsung jengkel dan bete. Hana terlihat bersungut-sungut. Razaq juga spontan melepaskan tawa.

“Masalahnya, tadi saat kajian di majelis, Sintya curhat ke Hana, Bang. Soal Usman. Tiap malam mereka chattingan gitu. Hana juga ditunjukkin isi chatnya. Pas Hana baca, terkaget-kagetlah Hana ini, Bang. Nggak nyangka kalau si Usman semenjijikan itu. Iiih ....”

Farhana bergidik, merasa jijik jika teringat isi dalam pesan W******p Sintya, sahabat karibnya.

“Sintya gebetan elu kan, Bang?” Raziq menyelidik abangnya. Terlihat kemuraman terpancar di wajah Razaq.

“Emang isi chatnya apa?” tanya Razaq penasaran.

“Usman ngajakin Sintya begini, Bang.” Farhana lalu membuat gerakan jari-jemari tangan kanan dan kiri yang bersentuhan ujungnya. “Pake bibir, Bang, bukan jari!” tegasnya kemudian sambil ngeloyor masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan kedua kakak kembarnya yang terperangah kaget.

Razaq dan Raziq saling pandang, lalu bergidik ngeri.

****

“Wah, asyik nih. Tumben bener di meja makan udah disiapin nasi uduk. Siapa yang beli, Bang?”

Di pagi hari, begitu keluar dari kamar mandi, Farhana mendapati 3 bungkus nasi uduk di atas meja makan.

Harumnya tercium meskipun masih terbungkus rapi. Dari aroma harumnya gadis itu tahu nasi uduk itu buatan siapa.

“Dari fans elu berikutnya, Dek,” jawab Razaq sambil menyambar sebungkus nasi uduk dan membawanya menuju ruang tengah. Sudah menjadi kebiasaan Razaq bila makan sambil menonton televisi.

“Siapa, Bang?” Farhana menyusul abangnya sambil berjalan menuju kamarnya. Rambutnya yang basah itu hendak dikeringkan dengan hair dryer.

“Usman. Hahaha ... Hahaha ...,” Razaq menjawab sambil terbahak karena tontonan yang sedang ia saksikan terlihat lucu. Setelahnya pemuda itu tersedak sambal dan langsung bergegas menuju dapur mencari minum.

Farhana menggelengkan kepala melihat kebiasaan abangnya yang belum juga berubah. Gadis itu bersenandung sambil mengeringkan rambutnya. Setelah kering, ia sisir rapi rambut hitam lurusnya dan ia ikat dengan ikat rambut buatan sang ibu. Selesai mengikat rambut, Farhana menyambar hijab instannya yang tersampir di dipan ranjang.

“Bang Raziq ke mana, Bang?” tanya Farhana saat menyadari rumahnya terasa sepi. Selain karena bapak dan ibu yang masih menginap, juga karena tidak ada suara musik Linkin Park yang suaranya menggema di dalam rumah.

Raziq suka sekali menyalakan sound system sambil memutar lagu-lagu dari band populer internasional yang begitu digemarinya itu. Tidak hanya lagu, ada saja pertanda kehadiran Raziq di rumah itu.

Misalnya, bunyi sendok yang terjatuh, gelas pecah, jebar-jebur air dalam kamar mandi, siulan dan lupa lagi saking berisiknya kalau Raziq ada di rumah.

“Pantesan rumah ini sepi beuuud.” Farhana langsung ngeloyor menuju dapur. Gadis manis itu mengambil piring dan meletakkannya di atas meja. Lalu ia menyiapkan teh manis hangat untuknya sendiri.

Beberapa detik kemudian perempuan berlesung pipi itu asyik menikmati setiap suapan nasi uduk lezat buatan Bu Romlah.

Tapi sepertinya ia melupakan sesuatu. Farhana pun berhenti mengunyah. “Tumben Usman kirim nasi uduk. Sekaligus tiga juga. Banyak bener.”

Lalu ia melanjutkan suapan kembali. Tapi kemudian kembali berhenti menyuap. “Jangan-jangan ada udang di balik bakwan ini,” pikirnya berburuk sangka. Apalagi jika teringat isi chat antara Sintya dan Usman. Selesai sarapan Farhana menghampiri Razaq yang sedang asyik menjilati sisa makanan di jemarinya.

“Bang, tumben amat itu si Usman kirim uduk. Dalam rangka apa? Ultahkah?” Farhana duduk menyamping menghadap abangnya yang serius menonton.

“Tahu tuh. Katanya, sih, sebagai salam penyambutan karena elu udah lulus pesantren. Kenapa?” Razaq menoleh. “Kegeeran elu kayaknya,” goda Razaq.

“Apa, sih, elu Bang.” Farhana meninju lengan kanan Razaq.

“Beuuh ... atlet mah emang beda ya pukulannya.” Razaq meringis kesakitan. Sementara Farhana berlalu meninggalkan Razaq sendirian di rumah. Gadis itu mengendarai sepeda lipat dan meluncur menuju warung Bu Romlah.

Namun, dia justru menemukan pria tampan yang membayangi mimpinya tadi malam!

“Eh, ada bang Rey dimari. Sarapan, Bang?” tegur Farhana menahan desiran di dada kala melihat Rey duduk sambil menikmati kopi.

Yang ditegur pun menoleh. Lucunya, wajah Rey juga memerah karena tersipu malu. "Cuma minum kopi, kok. Tadi sarapan di rumah. Enyak Saebah masakin semur jengkol kesukaan abang. Eh, maaf ya kalau napas abang bau.” Rey langsung menutupi mulutnya ketika menyadari dirinya lupa menggosok gigi setelah sarapan tadi.

Farhana menggeleng-gelengkan kepalanya sambil sedikit tertawa. “Santai aja, Bang. Hana maklum, kok.”

Ketika keduanya asyik mengobrol, datanglah tukang jamu yang begitu kemayu. Orangnya masih muda, bertubuh agak gemuk, dandanan menor. Kulitnya kuning langsat dan bicaranya mendayu-dayu.

Sedari tadi gadis penjual jamu ini merayu Rey yang belum menghabiskan kopinya.

“Maaf, Mbak. Saya masih minum kopi loh ini. Jadi nggak bisa minum jamu saat ini.” Rey menolak dengan halus. Si penjual jamu pun mengambil duduk sangat dekat dengan Rey hingga Rey bergeser.

Terlihat pemuda itu merasa tidak nyaman. Farhana yang menyaksikan pun begitu risih. Gadis penjual jamu itu berpakaian sangat ketat hingga membuat bagian tubuh atasnya menonjol. Membuat lelaki hidung belang membelalakkan mata jika melihatnya. Sebagai perempuan, Farhana meringis. Pemandangan yang begitu miris baginya.

“Mungkin dek Farhana mau? Nanti abang yang bayar.” Rey justru menawarkan Farhana minum jamu.

Namun, hal itu justru membuat penjual jamu itu cemberut. “Ih, Bang Rey ini jual mahal sama saya. Nggak kayak ustaz Usman. Dia itu kalau saya dekati nggak lepas pandangan matanya dari tubuh saya ini, loh. Punya selera bagus dia itu.” Gadis penjual jamu itu melirik ke arah Farhana sambil mencibir. “Permisi.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status