DIKIRA SUAMI PENGANGGURAN
Bab 6πππ"Ya serius dong Yun, kamu nih."Kutegakan kedua bahunya, "Abang coba Abang tatap Yuni," titahku serius. Aku ingin lihat dia itu sedang bercanda apa enggak sih sebenarnya."Apa?""Abang bercanda ya? Ini sama sekali gak lucu Abang, malah Yuni tuh kesel kalau Abang bercanda kek begini."Suami mengembuskan napas lelah."Kamu nih kok gak percayaan banget sama Abang Yun? Abang harus bilang apa biar kamu ini percaya? Abang gak bohong ini."Waduh, kalau dilihat dari ucapan dan raut wajahnya suamiku emang lagi gak bohong sih, dia ngomongnya serius banget, tapi masa iya dia punya rumah kontrakan?Jujur aku gak kenal banyak soal suamiku ini. Kenal sebulan pedekate, udah gitu langsung nikah.Tapi yang kutahu sih dia orang baik karena dia pernah nolongin aku dari para pemuda iseng saat aku pulang kerja.Katanya Bang Wija itu dari Kuningan Jawa Barat, kedua orang tuanya sudah meninggal, hidup di kota sebatang kara karena merantau sejak dulu, aku kenal dia saat aku masih kerja di pabrik Garmen beberapa bulan lalu.Setiap aku mau masuk dan pulang kerja dia selalu nongkrong di warung depan pabrik makanya aku bilang suamiku itu pengangguran alias belom punya kerjaan tetap, karena emang kerjaannya cuma nongkrong doang di warung kopi."Jadi Abang serius? Kok Yuni baru tahu sih.""Ya kamu gak pernah nanya Yun, kamu kenalin Abang ke orang tuamu katanya Abang yatim piyatu, gak punya kerjaan apalagi harta, ya udah, Abang sih terserah kamu aja."Mulutku refleks terbuka."Hah kok terserah sih, ya mestinya Abang bilang dong kalau Abang punya duit banyak meski itu cuma duit warisan, punya kontrakan juga, biar Yuni gak bilang ke keluarga Yuni kalau Abang itu orang kaya."Suami menggeleng sambil mengibas tangan, "gak kaya raya juga lah Yun, cuma cukuplah kalau buat kita membangun rumah tangga," katanya sambil cengengesan.Aku menjebik dan menggerutku kesal."Eh Bang, katanya mau bawa Yuni lihat kontrakan, ayo sekarang aja yok, Yuni penasaran banget, pengen lihat wujudnya gimana," pintaku tak sabar.Akhirnya suami pun membawaku ke tempat yang dimaksud. Cukup satu jam saja naik motor bebek suami, kami pun sampai depan bangunan kontrakan dua lantai."Ini semua kontrakan punya Abang?" tanyaku cepat bahkan sebelum aku turun dari motor."Iya."Mataku spontan melotot. Kutengok lagi kontrakan yang berjejer sekitar 20 pintu itu. Rasanya aku bener-bener belum percaya walau suamiku mengatakannya sampai mulut berbusa.Pasalnya kok bisa? Apa jangan-jangan kontrakan ini warisan orang tuanya juga?"Ayo masuk Yun," ajaknya."Abang tunggu, Yuni mau nanya dulu, ini kontrakan warisan juga apa?" "Bukan, ini hasil Abang kerja keras," jawabnya ringan."Abang serius?" tanyaku lagi dengan tatapan mengintimidasi."Ya seriuslah Yun, ayo masuk, ada 3 pintu yang kosong, kamu pilih aja yang mana yang akan yang bakal kita tempati nanti."Tanpa bicara lagi, suami mengajakku naik ke lantai dua. Kemudian membuka pintu kontrakan yang kosong itu satu persatu."Jadi kamu lebih cocok yang mana Yun?" tanyanya kemudian setelah ketiga kontrakan itu kami lihat."Hah? Itu anu-Bang, sebetulnya Yuni-masih belum percaya ini Abang lagi ngeprank apa enggak sih?""Haih ngeprank gimana sih Yun?""Ya soalnya Yuni masih belum percaya aja, suami Yuni yang Yuni pikir kere, pengangguran dan pemalas ternyata sekaya ini?"Bang Wija terbahak."Hahaha Abang 'kan udah bilang Abang bukan orang kaya Yun, wong cuma segini-gininya kok.""Ah Abang mah suka gitu, ya tetep aja Abang lebih kaya dibandingkan sama kami. Kami gak ada tuh punya kontrakan, sedangkan Abang? Kontrakan sampe berjejer 20 pintu, mana Yuni gak dikasih tahu pula," dengusku di akhir kalimat.Suami menempelkan jari telunjuknya di depan bibir."Husstt jangan kasih tahu siapa-siapa soal ini ya Yun, cukup kita berdua aja yang tahu."Keningku mengerut."Aih kenapa? Bukannya seru tuh kita pamer ke ibu dan sodara-sodara tiri Yuni? Mereka itu 'kan sombong banget, sok paling berada, dan suka hina-hina Abang pemalas pula, sekali-sekali kita tunjukanlah kekayaan kita Bang, biar mereka bungkam," ujarku panjang lebar.Suami mengibaskan tangan, "haih jangan atuh Yun, pamer itu gak baik, sombong itu namanya.""Ih Abang emang gak tahu? Sombong sama orang sombong itu katanya sedekah loh.""Tapi kalau kita masih bisa diam kenapa kita harus sombong? Bukannya diam juga emas ya? Biarlah mereka seperti itu kita jangan ikut-ikutan akhlak buruk mereka Yun."Bibirku menjebik, kulipat kedua tangan di dada. Kesel juga rasanya suami gak dukung rencanaku, kalau aku gak boleh pamer, ya terus ini kontrakan sebanyak ini mo dianggap gak ada aja gitu? Hih sebel."Udah ah kok jadi ngomongin pamer, sekarang kamu mau pilih yang mana Yun buat tempat tinggal kita?" tanya Bang Wija lagi.Aku diam sebentar."Sebenernya Yuni gak betah tinggal seatap sama ibu tiri Bang, tapi ... kalau Yuni pergi si ibu tiri itu akan makin keenakan aja, Abang tahu gak? Si ibu tiri itu ternyata punya rencana mau balik nama rumah peninggalan ibu kandung Yuni satu-satunya itu.""Eh masa sih Yun?""Huum, makanya Yuni maksain diri aja sebisanya supaya Yuni jangan sampe pergi apapun yang terjadi, biarlah si Mala aja nanti yang pindah rumah setelah dia nikah, ibu itu gak takut sama si Mala Bang, dia cuma takut sama Yuni karena Yuni mungkin lebih tua dari si Mala."Bang Wija mengangguk-anggukan kepalanya sambil terus menyimak pembicaraanku."Kasihan istri Abang, kalau gitu terserah kamu sajalah Yun, mau pindah hayu, mau tetap di rumah bapak juga hayu," kata suami sambil mengelus jilbabku.Aku mengembuskan napas kasar."Ya udah yuk pulang, Bang.""Ayo, tapi Abang mau mampir sebentar ke tempat kerja ya Yun, tadi kata si Wildan mau ada yang ditanda tangan katanya."Hah? Lagi-lagi aku melongo. Nih laki lama-lama bikin aku puyeng perasaan. Setelah kontrakan 20 pintu yang baru aku tahu ini, sekarang tempat kerja katanya? Masalahnya tempat kerja siape? Dia keluar rumah aja cuma pakek kolor dan nongkrong doang di pos, lah ini? Haha lucu emang laki gue mah, banyakan halunya."Ayok naik." Ucapan Bang Wija mengejutkanku.Segera aku naik dan motorpun melaju kencang."Nah kita sampai Yun," katanya setelah kami jalan sekitar 15 menit, suamipun memarkirkan motornya di depan sebuah bangunan kantor mewah.Aku turun dan melongo sendiri, kuteliti dari bawah hingga atas bangunan yang menjulang di depanku itu dengan raut kebingungan."Ayo masuk," ajaknya."Tunggu Abang, ini kita mau apa ke sini? Emang serius Abang kerja di sini?""Ya seriuslah Yuniii, kamu pikir Abang bercanda?" katanya balik bertanyanIni suamiku keknya gak lagi main-main dah, tapi apa iya suamiku kerja di kantor mewah ini? Kerja di bagian apa? Gimana caranya juga? Suamiku 'kan sehari-harinya cuma kelayaban gak jelas.Tapi kalau dia gak kerja di sini, mana mungkin suami berani bawa aku ke sini, wah kalau sampe bener suamiku kerja di kantor ini berarti suamiku itu sebenernya sultan dong, cuma selama ini dia nyamar aja jadi jamet. Haih bisa jadi.Kami pun akhirnya masuk. Bang Wija membawaku pada sebuah ruangan."Abang ini ruangan siapa? Abang jangan sembarangan masuk ih."DIKIRA SUAMI PENGANGGURANBab 91 πππSi Nayla mengangguk dan cepat mundur bersamaku. Sementara aku mempersilakan dua orang polisi itu untuk maju ke depan pintu.Tok tok tok!Musik terdengar dimatikan."Siapa sih ganggu aja? Si Inem pasti nih," gerutu mantan Ibu tiriku di dalam.Tok tok tok."Bentaaar! Sabar kenap-" Ucapannya terhenti saat ibu membuka pintu dan dia langsung melihat dua orang polisi tengah berdiri di depannya."Oh saya kira siapa. Ada apa ya, Pak?" tanyanya dengan nada suara yang melandai."Maaf apa Ibu yang bernama Ibu Halimah?""Y-a, kenapa?""Anda kami tangkap!""Ap-pa?!" Dia tampak terkejut bukan main. "Saya ditangkap? Kenapa? Apa salah saya, Pak? Kalian salah orang kali ah," cecarnya. Aku menangkap kecemasan pada nada bicaranya."Mohon kooperatif, Anda kami tangkap atas dugaan tindak kejahatan yang telah Anda lakukan, Anda sengaja membakar rumah Saudari Nayla ini dengan motif tertentu," terang petugas itu sambil dengan paksa memakaikan borgol di kedua pergelan
DIKIRA SUAMI PENGANGGURANBab 90 Bπππ***Setelah aku dibebaskan oleh si Nayla langsung yang segaja pulang dari Belanda, kami lanjut menjemput Nyonya Kinanti dari rumah sakit. Hari ini beliau diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah membaik. Setelah mengurus administrasi, kami lalu dijemput Bang Wija di depan rumah sakit.Hah, aku bersyukur setelah seminggu di kurung akhirnya aku dibebaskan. Kalau bukan karena kebaikan hati Nyonya Kinanti yang terus membujuk si Nayla, mungkin kasus ini masih membelengguku. Pasalnya para petugas itu benar-benar lambat dalam menangani kasus kebakaran yang dilaporkan si Nayla itu. Sampai aku ngerasa waktuku terbuang sia-sia hanya untuk menunggu mereka mencari bukti."Mbak, sekali lagi aku minta maaf ya, aku cuma cemas aja saat aku diberitahu soal kondisi yang terjadi di rumah, apalagi saat aku dengar soal kondisi Ibu, aku udah gak bisa mikir apa-apa. Aku nyalahin kamu saat itu karena memang kamu 'kan yang bertanggung jawab di rumah. Belum lagi
DIKIRA SUAMI PENGANGGURANBab 90 Aπππ"Loh loh ya Ibu nggak bakalan diciduk dong Na, kamu 'kan tahu siapa yang akan jadi tumbalnya."Keningku mengerut. Yang akan jadi tumbalnya? Maksud dia apa?"Yuuun!"Aku berbalik dan cepat-cepat menjauh dari teras paviliun saat Bang Wija memanggilku di dapur. Gawat kalau sampai suamiku tahu aku sedang ada di pavilun hendak melabrak dua orang jahat itu, bisa-bisa Bang Wija ceramah lagi. Bisa ribet dah urusannya.Setelah kusembunyikan gelang itu pada saku cardiganku, aku gegas menghampiri Bang Wija."Ya, Baaang.""Kamu pulang toh Yun?""Iya Bang, Yuni mau lihat kondisi rumah sebentar. Oh ya, Abang belum berangkat kerja?""Udah Yun, ini Abang balik lagi karena ada yang ketinggalan."Mulutku membola, lalu kuelus lengannya, "lain kali dinget-inget dong, ketinggalan mulu perasaan."Dia nyengir. Kamipun jalan ke ruang depan, niat hati mau mengantarnya berangkat lagi, tapi kedatangan dua orang polisi yang sudah berdiri di depan pintu membuat langkah ka
DIKIRA SUAMI PENGANGGURANBab 89 Bπππ"Siap, Nyonya." Mbak Inem mengangkat kedua jempolnya lalu gegas pulang naik taksi.***"Hallo Mbak Inem, ada apa?" Pagi-pagi sekali Mbak sudah telepon."Nya, ada kabar penting. Semalam pas Inem pulang dari rumah ke paviliun, Inem denger si Bibik pegawai baru itu lagi cekikikan sama anak perempuannya. Gak jelas sih apa yang mereka ketawain, tapi yang Inem tangkep sih kayaknya mereka ngerasa puas banget karena Nyonya Kinanti masuk rumah sakit. Oh ya, saat Inem datang dari rumah sakit juga si Bibik itu juga langsung nanya-nanya soal kondisinya Nyonya Kinanti. Tapi anehnya, Inem kok ngelihat dia gak ada rasa khawatir-khawatirnya atau gimana gitu layaknya orang yang habis kena musibah," tutur Mbak Inem panjang lebar.Sontak saja tanganku mengepal. Bener dugaanku, pasti gak salah lagi, ini adalah ulah mantan ibu tiriku. Astaga kejam banget dia. Terbuat dari apa hatinya itu? Udah baik kuberi dia kesempatan, tapi malah dia sia-siakan. Oke, aku gak ak
DIKIRA SUAMI PENGANGGURANBab 89 Aπππ"Ya Tuhan, semoga Nyonya Kinanti baik-baik aja."Bang Wija cepat menyalakan APAR, dan tak lama dari itu Inem juga datang bersama Pak Wahyu yang juga membawa alat pemadam yang serupa. "Cepat telepon pemadam Nem, takut apinya makin membesar!" titah Bang Wija agak teriak.Inem mengangguk dan gegas lari ke arah meja telepon. Sementara aku yang mendadak lemas hanya bisa teriak-teriak memanggil Nyonya Kinanti."Ada apa ini Yun?" Bapak datang dengan wajah cemas."Kebakaran Pak, gas meledak kata Mbak Inem, Nyonya Kinanti di dalem.""Ya Allah terus gimana?""Banyak asap Pak, jangan ke sini, Bapak tunggu di depan aja. Bang Wija sama Pak Wahyu lagi coba memadamkan apinya kok." Cepat kubawa Bapak kembali ke ruangan depan.Setelah itu aku buru-buru balik lagi ke dapur. Untunglah saat aku kembali ke sana Nyonya Kinanti sudah berhasil diselamatkan meski sudah dalam keadaan pingsan dan terdapat beberapa luka bakar di wajah dan tubuhnya. "Ya ampun Nyonya Ki
DIKIRA SUAMI PENGANGGURANBab 88 Bπππ"Kurang sabar dan masih seneng ngomel, itu yang bikin kesel. Jangankan si Yuni sama Bapak, Viona aja kesel dengernya Ibu ngomel-ngomel gini," ketus Mbak Viona.Ibu diam. Kullihat dari kaca dia menyilangkan kedua tangannya untuk menahan kekesalan. Sementara aku cekikikan puas, mantan ibu tiriku iti lagi terbakar api cemburu rupanya, aih kayak ABG aja.Setelah puas mengintip, aku gegas kembali ke dapur mengambil jus kemasan dan membawanya ke gazebo. "Loh udah selesai tah belajar ngajinya?""Selesai Yun, istirahat dulu. Udah mau Dzuhur," jawab Bapak.Kamipun minum jus sebentar, setelah itu pergi ke masjid dekat rumah bersama Nyonya Kinanti juga. Rencana di sana Nyonya Kinanti ingin dituntun membaca Syahadat oleh pemuka agama yang biasanya juga menjadi imam masjid."Oh kalian di teras rupanya? Tolong beresin bekas minum kami di gazebo ya," titahku pada Ibu dan Mbak Viona, sebelum kami berangkat ke masjid.Aku tak melihat lagi bagaimana ekspresi w