Kinanti mengerjapkan matanya dengan cepat. Gadis itu berusaha untuk mencerna semua yang baru saja dikatakan oleh sang dosen.
Penawaran?
Penawaran seperti apa yang dimaksudkan oleh pria itu?
Pertanyaan itu terus berputar dalam benak Kinanti. Hingga lamunan gadis itu buyar, saat mendengar suara Damar.
“Bagaimana Kinanti?” tanya Damar, membuyarkan lamunan gadis itu.
“Huh!” Kinanti sedikit terkesiap. “Maksud Bapak … penawaran seperti apa?” tanya gadis itu.
Damar menghela napas pelan, ia menatap Kinanti lurus. “Saya ingin kita melakukan kerja sama. Kita harus berpura-pura menjadi pasangan.”
Hampir saja rahang Kinanti terlepas dari tempatnya, saking ia terkejut mendengar penuturan Damar.
Berpura-pura menjadi pasangan?
Apa dosennya itu sudah gila?
Sementara dari tempat duduknya, Damar memperhatikan Kinanti. Ia mencoba mencari tahu reaksi gadis itu, dan wajar saja jika gadis itu akan merasa terkejut.
Mereka memang tidak sedekat itu, meskipun keluarga Kinanti adalah kolega bisnis keluarganya, tetapi mereka tidak pernah dekat.
Mungkin karena status mereka sebagai dosen dan mahasiswa, membuat mereka harus sama-sama menjaga sikap satu sama lain.
Juga Damar, yang tidak pernah tertarik untuk dekat perempuan manapun selain mendiang sang istri.
“Maksud Bapak?” tanya Kinanti lagi.
Damar menarik napas dalam, kemudian membuangnya secara perlahan.
“Ya, kita harus berpura-pura menjadi pasangan. Saya pura-pura jadi pacar kamu, dan kamu juga harus berpura-pura menjadi calon istri saya,” ucap Damar.
Sejujurnya Damar sendiri tidak yakin dengan apa yang baru saja ia katakan itu. Baginya memang sangat gila.
Dan memang tidak pernah terpikirkan olehnya, untuk melakukan ide gila ini, terlebih dengan mahasiswanya sendiri.
“Kenapa?” tanya Kinanti. “Kenapa kita harus melakukan hal ini, Pak?”
Mendengar pertanyaan gadis itu, sejenak membuat Damar ragu dengan keputusannya sendiri. Apakah ia sudah melakukan hal yang benar atau tidak?
Haruskah ia batalkan saja?
Gadis itu pasti akan menuntut alasan. Dan jika Damar beritahu, bagaimana dengan reputasinya sebagai dosen di kampus?
Tapi ancaman dari ibunya kembali terngiang. Ia sangat ingat dengan ucapan sang ibu, yang berniat menjodohkan dirinya dengan Mega—adik dari mendiang sang istri.
Sementara Kinanti memperhatikan dosennya itu dengan tatapan bingung.
Memangnya siapa yang tidak bingung, jika berada di posisi Kinanti saat ini?
Untung saja Kinanti tidak pingsan, karena terkejut.
“Apa kamu tidak mau menerima tawaran saya?” tanya Damar.
“Saya perlu tahu alasan Bapak, kenapa kita perlu melakukan hal ini? apa itu salah?”
Tangan Damar terulur untuk mengambil selembar kertas, yang berada di laci mejanya. Kemudian ia memberikan kertas itu kepada Kinanti.
Kinanti menerima lembar kertas itu dengan raut bingung. Lebih bingung lagi saat melihat judul dan isinya.
“Saya ini sudah hidup menduda kurang lebih 5 tahun,” kata Damar pelan. “Dan keluarga saya terus mendesak agar saya menikah.”
“Ya sudah, Bapak tinggal menikah saja. Apa susahnya?”
Benar kan apa yang baru saja Kinanti ucapkan? kenapa juga harus melakukan hal konyol seperti ini?
Damar mendengus pelan. Sudut bibirnya sedikit terangkat saat mendengar pertanyaan Kinanti.
“Kamu pikir menikah itu seperti mengajak orang untuk pergi ke taman bermain?” Damar menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Selain saya memang tidak tertarik untuk menikah lagi, juga saya memikirkan putri saya.”
“Tidak semua wanita itu menyayangi anak tirinya dengan tulus,” lanjut Damar.
“Tidak semua bukan berarti tidak ada kan, Pak?”
“Kamu benar,” jawab Damar. “Saya hanya tidak tertarik untuk mencoba.”
Kening Kinanti berkerut. “Lalu kenapa malah membuat penawaran seperti ini? Bapak tahu kan, status kita di kampus ini dosen dan mahasiswa?”
Kinanti tahu betul seperti apa mahasiswa di kampusnya—terutama mahasiswa perempuan. Mereka gemar sekali bergosip, apalagi Damar ini merupakan salah satu dosen idaman di kampusnya.
“Saya tahu itu Kinanti,” Damar menjawab pelan. “Saya juga paham dengan kekhawatiran kamu. Tapi saya melakukan ini juga ada alasannya.”
“Apa alasan Bapak?”
“Saya tidak ingin dijodohkan,” jawab Damar cepat. “Ibu saya ingin menjodohkan saya. Dan saya tidak mau hal itu sampai terjadi. Itulah kenapa, saya terpaksa melakukan hal ini. Dan sudah saya katakan, kalau saya tidak ingin menikah lagi.”
“Tapi Pak, gimana kalau misalnya orang tua Bapak malah menyuruh kita nikah betulan?”
Bukannya Kinanti tidak mau menikah dengan Damar, hanya saja pria itu terlihat begitu dingin dan tak tersentuh. Dan lagi, Kinanti juga masih terlalu muda. Ia masih ingin menikmati masa mudanya.
“Itu biar jadi urusan saya,” jawab Damar. “Tugas kamu hanya sampai saya tidak lagi didesak untuk menikah. Dan kamu juga sudah puas untuk membalas perbuatan mantan pacar kamu. Bagaimana menurutmu?”
***
Kinanti masih terdiam, gadis itu bahkan masih mencerna dengan apa yang baru saja Damar bicarakan.Dan lagi, tangannya masih memegang lembaran kertas yang berisi perjanjian yang dibuat oleh pria itu.“Bagaimana?”Suara Damar yang memecah keheningan, membuat Kinanti sedikit terkesiap.Gadis itu menggeleng pelan. “Saya masih tidak mengerti dengan semua ini, Pak.”“Bagian mana yang tidak kamu mengerti?” tanya Damar.“Kenapa Bapak harus sampai begini?” tanya Kinanti. “Bapak bisa menolak perjodohan itu, dan berikan alasan Bapak kepada keluarga Bapak.”Benar kan?Semua hal bisa dibicarakan dengan baik-baik, dan tidak sampai harus mengambil jalan pintas seperti Damar ini.Bukan apa-apa, Kinanti masih ragu lantaran ia sendiri masih tidak percaya dengan apa yang ditawarkan oleh dosennya itu.“Masalahnya tidak sesederhana itu,” jawab Damar pelan. “Dan kamu pikir, saya tidak melakukan hal yang kamu katakan barusan?”“Jika cara itu sudah berhasil, maka saya tidak perlu memanggilmu kemari,” imbuh D
Kinanti bahkan tidak tahu, jika dosen yang terkenal sangat dingin kepada wanita itu, memiliki sisi percaya diri yang tinggi seperti sekarang.Gadis itu masih tidak mengerti, kenapa harus dirinya yang dipilih oleh Damar?“Pak, saya … masih nggak ngerti, kenapa Bapak harus pilih saya untuk melakukan kerjasama ini?”Maksud Kinanti, dari sekian banyak perempuan yang ada di kampus, kenapa harus dirinya?“Saya sudah bilang, kan? Karena kamu yang paling berpotensi untuk bisa diajak kerja sama,” tutur Damar.“Tapi …”“Kinanti, coba kamu pikirkan lagi, sembari kamu baca ulang isi dari perjanjian itu,” Damar menatap lurus gadis itu. “Kamu bisa tunjukkan kepada semua orang—termasuk mantan kamu itu, kalau kamu juga bisa mendapatkan pengganti dia, bahkan lebih.”
Tiba di rumahnya, Damar langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang berukuran king size. Pria itu menatap langit-langit kamarnya, kemudian menghela napas pelan.“Apa aku sudah melakukan hal yang benar? atau jutru malah sebaliknya?” gumam Damar.Kemudian ia bangkit dan duduk di tepi ranjang, tatapannya kini tertuju kepada bingkai foto yang ia letakkan di atas nakas. Tangannya terulur untuk mengambil benda tersebut.Damar mengusap dengan lembut wajah cantik yang sedang tersenyum ke arah kamera. “Andai kamu masih di sini, Sayang. Mungkin aku nggak perlu melakukan hal gila seperti ini,” pria itu mendekap bingkai foto tersebut.“Aku beneran nggak tahu harus gimana lagi, karena kalau aku nggak lakukan ini, Ibu bakal terus jodohkan aku dengan adik kamu,” Damar mengusap sudut matanya yang mulai berair. Damar terus berbicara seolah mendiang istrinya itu sedang berada di sisinya sekarang. Hingga tanpa sadar pria itu tertidur dengan tangan yang masih mendekap bingkai foto itu.***Sementara itu
“Kamu sedang memanfaatkan saya?” Damar menatap lurus Kinanti.Satu alis Kinanti terangkat. “Bukannya Bapak juga begitu?”SialDamar benar-benar tidak menyangka jika Kinanti akan memanfaatkan status mereka. Ternyata gadis itu sama seperti perempuan di luar sana.“Apa tidak cukup, jika hanya teman-teman kam yang mengetahui status kita nanti?’ tanya Damar. “Bukanya nanti sama saja, mantan kamu juga kan tahu berita ini?”Damar berpikir jika Kinanti ini terlalu berlebihan, kenapa juga mereka harus bersandiwara di depan keluarga gadis itu?Dan juga, bukankah perjanjian ini adalah Damar yang buat? kenapa sekarang seolah semua ada pada kendali gadis itu?Kinanti mengangkat bahunya. “Ya, itu sih yang paling fair menurut saya,” ujarnya pelan. “Emangnya Bapak pikir, mantan saya itu bakal percaya gitu aja? semua orang di kampus ini juga tahu, Bapak o
“Kapan?”Pertanyaan itu kembali Damar dengar, setelah beberapa hari ini ibunya tidak kembali menyinggung soal statusnya.“Kapan Damar?” tanya Bu Mustika lagi. “Kamu pasti hanya lagi cari alasan saja, kan? sebenarnya kamu pasti belum ada calonnya. Iya kan?”“Enggak, Bu. Damar nggak bohong,” jawa Damar.“Ya, terus kapan?!” tanya Bu Mustika lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.“Nanti, Bu. Aku juga sedang sibuk urusan kantor dan juga kampus. Dan dia juga sedang sibuk,” jawab Damar pelan.“Memangnya calon istrimu itu kerja di mana?” tanya Bu Mustika.“Ada pokoknya Bu,” Damar enggan untuk menjawab. “Sudah ya, nggak ada yang perlu Ibu khawatirkan lagi. Nanti kalau kami sudah nggak sibuk, pasti akan aku kenalkan sama Ibu.”
Kinanti mengerjap cepat, gadis itu seperti orang linglung sekarang. Hingga Anggita yang berdiri di sampingnya, sedikit menyenggol lengannya.“I-iya Pak?”Damar tersenyum tipis, kemudian menggeleng pelan. Tatapannya kini beralih pada Anggita. “Kamu boleh keluar dulu. Ada yang mau saya bicarakan dengan Kinanti.”“B-baik Pak!” Anggita langsung buru-buru keluar dari ruangan Damar, tanpa peduli dengan tatapan memohon dari Kinanti.Sementara Kinanti menatap kepergian temannya hingga gadis itu tiba di pintu, Anggita seperti tengah mengatakan sesuatu.“Semangat!” kata Anggita, yang hanya menggerakkan bibirnya saja, tanpa suara.Dan Kinanti merasa benar-benar seperti sedang dijebak sekarang.“Apa kamu akan terus berdiri?”Pertanyaan itu langsung membuyarkan lamunan Ki
Damar terdiam saat mendengar pertanyaan dari gadis kecil itu. Ia menatap putrinya yang juga menatapnya dengan mata berbinar.Rasanya Damar benar-benar berdosa sekali kepada putrinya. Apakah anaknya itu benar-benar menginginkan seorang ibu sungguhan?“Papa? kok diam aja?” gadis kecil itu meletakkan telapak tangannya di salah satu sisi wajah sang ayah.“Hm?” Damar tersenyum. “Ola tadi tanya apa sama Papa, Nak?”“Eyang bilang, sebentar lagi aku bakal punya Mama. Apa itu benar, Pa?”“Eyang bilang begitu?” tanya Damar, dan putrinya itu mengangguk cepat. “Memangnya Ola pengen punya Mama baru?”“Mau!” gadis kecil itu berseru. “Biar kayak teman-teman aku, Pa. Mereka semuanya ada Mama dan Papa. Cuma Ola aja yang nggak punya Mama,” raut wajahnya langsung berubah menjadi send
Tolong siapapun ingatkan Kinanti untuk mengatupkan bibirnya. Karena yang terjadi saat ini adalah, gadis itu ternganga lantaran mendengar ajakan sang dosen.Kinanti tidak salah dengar, kan?Atau ia sedang berhalusinasi sekarang?“Aduh!” gadis itu mengaduh karena mencubit pergelangan tangannya sendiri.Sementara Damar yang melihat tingkah Kinanti, merasa heran. Apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu?“Kenapa kamu?” tanya Damar.“Bapak … barusan ngajak saya pulang bareng, kan?” bukannya menjawab pertanyaan dosennya, gadis itu malah kembali bertanya.“Iya,” jawab Damar pendek.“Ini serius, Pak? jadi, saya nggak salah degar kan?”“Iya, Kinanti.”“Wah!” gadis itu kembali terkejut, karena ter
Kinanti benar-benar menuruti keinginan Ola. Ia membawa gadis kecil itu, ke makam mendiang sang ibu.Dengan diantar oleh Damar, perempuan cantik itu setia membawa Ola dalam gendongan.Sambil terus berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di komplek pemakaman itu, Damar terus memperhatikan Kinanti yang kini berada di depannya.Perasaannya benar-benar rumit sekarang. Ia tidak tahu, jika kedekatan Kinanti dengan putrinya, akan memberikan efek yang membuat Damar berada dalam sebuah dilema.Pria itu merasa perasaannya kepada Kinanti hanyalah rasa kagum saja—tidak lebih dari itu.Setidaknya itu yang Damar yakini saat ini—entah bagaimana nanti.“Nah, sudah sampai.”Suara Kinanti, membuat Damar tersadar dari lamunannya. Dan ternyata mereka telah tiba di depan pusara istri Damar.Sementara Kinanti dapat melihat buket bunga mawar merah dan putih yang begitu cantik, masih tersandar begitu saja di dipan bau nisan.Perempuan itu mengira jika bunga itu adalah pemberian Damar. Ia tersenyum samar, ad
“Apa maksud kamu?”Damar menatap lekat adik sepupunya—Adrian. Pria itu tidak suka dengan apa yang baru saja dikatakan oleh adik sepupunya.Apa maksudnya?“Apa maksud kamu Restu Adrian Dwijaya?” tanya Damar lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.Adrian mendengus pelan. Perhatiannya tertuju pada bingkai foto, yang terletak dengan manis di atas meja Damar.Sudah bisa ditebak jika itu adalah bingkai foto Damar bersama mendiang istrinya.“Mas, hubungan kalian ini hanya pura-pura. Jadi Mas nggak perlu mendalami peran,” kata Adrian.“Apa maksud kamu?” Damar terus mencecar pertanyaan yang sama. “Apa kamu cemburu?” tembaknya.“Cemburu?” Adrian bahkan melongo saat mendapat tuduhan tak berdasar itu. “Kenapa Mas bisa ambil kesimpulan seperti itu?” tanyanya tak habis pikir.“Ya, apalagi?” Damar menaikkan satu alisnya. “Kamu terlalu ikut campur dengan urusan Mas dan Kinan,” ujarnya pelan.“Aku sahabat dia, kalau Mas lupa,” balas Adrian. “Aku kenal dia dari kecil, dan dia udah kayak saudara
Kinanti merasa senang sekali saat berbincang dengan Alif dan juga neneknya. Sepasang nenek dan juga cucunya, yang kebetulan tengah beristirahat di depan ruko fotocopy yang ada di dekat kampus Kinanti.“Terus, setelah ini Nenek sama Alif mau ke mana lagi?” tanya Kinanti dengan senyum cerah yang tak pernah luntur sejak tadi.“Ya pulang,” jawab si nenek. “Nanti si Alif juga sebentar lagi dijemput sama ayahnya,” lanjutnya.Kinanti mengangguk-angguk paham. Kemudian pandangan gadis itu tidak sengaja menangkap sebuah mobil, yang sangat familiar untuknya. Kening perempuan cantik itu mengernyit samar. Rasanya sangat tidak mungkin, jika itu adalah mobil Damar. ‘Ngapain?’ tanya Kinanti dalam hati. Kalaupun memang benar itu adalah Damar, lalu kenapa pria itu hanya diam di sana? Bukannya masuk ke dalam kampus. Kinanti menggelengkan kepalanya, tidak mau memikirkan hal yang berat-berat. “Kamu kenapa?” tanya si nenek. “Eh?” Kinanti sedikit terkesiap. “Nggak apa-apa kok, Nek. Aku nggak apa-apa,”
Sementara di dalam ruang kerjanya, Damar sedang serius memperhatikan layar ponselnya , yang menunjukkan ruang pesannya bersama Kinanti.Ini aneh. Dan Damar sadar itu, jika sikapnya akhir-akhir ini memang sangat aneh.“Sebenarnya apa yang sedang aku lakukan?” gumam pria tampan itu.Ia sendiri bingung dengan apa yang sedang dilakukannya. Akhir-akhir ini dirinya kerap memikirkan Kinanti, tanpa sebab.Atau mungkin ini karena dirinya ikut terbawa perasaan saja, saat melihat interaksi Kinanti dan juga putrinya.Pria tampan itu mengangguk pelan. “Iya, pasti karena itu,” ucapnya seolah menjawab pertanyaan yang sejak tadi ada dalam benaknya.Tapi … apa hanya itu?Bukan karena yang lain?Dan tatapan Damar tertuju pada bingkai foto, yang terpajang manis di atas meja kerjanya. Tanpa sadar pria itu tersenyum lembut saat menatap sosok yang ada dalam foto itu.Tangan Damar terulur untuk mengambil bingkai foto itu. Ia mengusap dengan lembut wajah cantik yang tengah tersenyum, menghadap kamera.Itu ad
“Ini enak banget sih,” kata Anggita saat menyantap nasi pecel pemberian Kinanti. “Tahu aja lo, kalau gue belum sarapan.”Ya, pada akhirnya Kinanti memutuskan untuk membawa nasi pecel itu ke kampus, lalu diberikannya kepada si sahabat.Karena Kinanti benar-benar kekenyangan sekarang. Makanan yang diberikan oleh Damar, habis tak bersisa—kecuali hanya meninggalkan kotak makan, yang emang tidak bisa dimakan.“Lo udah sarapan emang, Ki?” tanya Anggita.“Udah,” jawab Kinanti pendek.Anggita mengangguk-angguk. “Iya sih, karena nggak mungkin kalau lo belum sarapan, tapi malah kasih gue sarapan,” ujarnya. “Kenapa nggak mungkin?”“Ya, aneh aja nggak, sih? Lo belum sarapan, tapi malah kasih gue sarapan.”Dan tepat saat itu Anggita mendapat sebuah sentilan di dahinya. Gadis itu mengaduh pelan, kemudian meringis saat melihat wajah kesal Kinanti. “Kita temenan bukan sehari dua hari, ya! gue slengkat kaki lo, kalau ngomong begitu lagi!”“Iya, iya. Bercanda gue,” kata Anggita.Lalu tak lama setelah
“Ini buat saya, Pak?”Kinanti benar-benar bingung, saat tiba-tiba mendapati Damar berada di depan kosnya.Damar mengangguk. “Sebagai tanda terimakasih saya, untuk yang kemarin.”Ah, itu lagi.“Tapi saya rasa ini nggak perlu, Pak,” kata Kinanti.Damar menggeleng pelan, tapi wajahnya mengulas senyum tipis. “Nggak apa-apa. Kamu memang pantas mendapatkan itu.”Meskipun masih dilanda rasa bingung, tapi Kinanti tetap tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepada dosennya itu.Ya, perempuan manapun pasti akan senang saat mendapatkan hadiah—termasuk Kinanti.“Terimakasih sekali lagi, Pak,” ujar Kinanti.“Sama-sama Kinanti,” jawab Damar.Ah, Kinanti benar-benar tidak biasa dengan Damar yang terlihat begitu baik dan manis. Karena selama ini yang ia kenal adalah, Damar yang dingin, dan juga selalu melemparkan kalimat pedas.Sementara jantung gadis itu sudah berulah sejak tadi. Karena benar-benar tidak ada yang memberitahunya jika, Damar bisa setampan ini saat sedang tersenyum.Dan Kinanti takut,
Kinanti mengerjap lambat, tapi tatapannya masih tertuju pada pria yang duduk di belakang kemudi.“Kinanti?”Dan aras panggilan itu Kinanti kembali tersadar dari lamunan. Perempuan cantik itu sedikit terkesiap saat tersadar.“I—ya, Pak?”“Kamu melamun?” tanya Damar dengan kening yang berkerut.“Huh? E—nggak, saya nggak melamun, kok!” jawab Kinanti. “Bapak tadi bilang apa?” tanyanya kemudian.Damar menghela napas pelan. “Saya tadi bilang terimakasih,” ujarnya pelan.“Terimakasih untuk—-apa?”Damar menyandarkan punggungnya pada kursi, pria itu meraup udara sebanyak yang ia mampu. Ada sesak yang tidak bisa dijelaskan saat kembali mengingat kejadian tadi.“Pak Damar?” panggil Kinanti dengan hati-hati. “Terimakasih untuk yang tadi,” jawab Damar pelan. “Tidak perlu—”“Perlu!” sahut Damar cepat. Kemudian pria itu menoleh menatap Kinanti. “Saya perlu ucapkan itu, Kinanti. Karena berkat kamu, saya dapat melihat senyuman Ola yang sudah lama hilang.”Kinanti kembali mengerjap lambat, entah kenap
Damar berderap cepat, begitu ia tiba di rumah. Kunci mobil langsung ia serahkan pada salah satu pelayan, sementara dirinya sudah ingin cepat masuk ke dalam. Dan saat ia tiba di ruang makan, ada perasaan lain yang tiba-tiba menelusup ke dalam dada. Apalagi setelah melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Di hadapannya kini terlihat putrinya sedang asik bermain bersama dengan Kinanti. Gadis cilik itu rupanya ingin dibacakan sebuah dongeng oleh Kinanti. “Dan pada akhirnya, mereka hidup dengan bahagia. Tamat!” ujar Kinanti, seraya menutup buku cerita yang ada di tangannya. “Wah, pasti senang sekali ya, kalau punya Mama dan Papa?” ujar Ola dengan polosnya. Kinanti tersenyum, tangannya terulur untuk mengusap lembut pipi kanan gadis cilik itu. “Kenapa ngomong begitu, Sayang?” tanyanya dengan lembut. “Ola capek, Tante. Tiap hari di sekolah selalu diledek sama teman-teman,” gadis kecil itu sedikit menggembungkan pipinya. “Mereka selalu bilang, katanya Ola itu kasihan nggak punya Mama.
Damar tahu, jika saat ini ibunya sudah mulai menyukai Kinanti. Dan itu artinya, dirinya sudah tidak lagi khawatir, akan kembali didesak untuk menikahi adik iparnya—Mega.Rencananya tidak sia-sia. Kendati tak didesak untuk menikahi sang adik ipar, tetap saja ada desakan untuk Damar segera menikahi Kinanti. Dan itu tentu saja kembali membuat pria itu kembali pusing. Waktunya dengan Kinanti memang masih lumayan panjang. Tapi itu tidak menutup kemungkinan, jika ibunya akan terus mendesaknya. “M—menikah?” cicit Damar. Bu Mustika mengangguk. “Iya lah. Memangnya mau apa lagi? Kamu itu sudah terlalu tua, Damar. Sedangkan Kinanti? Dia masih sangat muda, pasti banyak laki-laki yang menyukai dia.”“Dia masih kuliah, Bu.”“Hampir selesai, kan? Tahun depan?” sahut Bu Mustika. “Minimal tunangan dulu, jadi kalian benar-benar ada ikatan. Biar nanti setelah lulus, kalian bisa langsung menikah.”Damar terdiam, tidak menyahuti. Hingga ibunya itu kembali bersuara. “Atau kalian langsung menikah saja