LOGINKinanti mengerjapkan matanya dengan cepat. Gadis itu berusaha untuk mencerna semua yang baru saja dikatakan oleh sang dosen.
Penawaran?
Penawaran seperti apa yang dimaksudkan oleh pria itu?
Pertanyaan itu terus berputar dalam benak Kinanti. Hingga lamunan gadis itu buyar, saat mendengar suara Damar.
“Bagaimana Kinanti?” tanya Damar, membuyarkan lamunan gadis itu.
“Huh!” Kinanti sedikit terkesiap. “Maksud Bapak … penawaran seperti apa?” tanya gadis itu.
Damar menghela napas pelan, ia menatap Kinanti lurus. “Saya ingin kita melakukan kerja sama. Kita harus berpura-pura menjadi pasangan.”
Hampir saja rahang Kinanti terlepas dari tempatnya, saking ia terkejut mendengar penuturan Damar.
Berpura-pura menjadi pasangan?
Apa dosennya itu sudah gila?
Sementara dari tempat duduknya, Damar memperhatikan Kinanti. Ia mencoba mencari tahu reaksi gadis itu, dan wajar saja jika gadis itu akan merasa terkejut.
Mereka memang tidak sedekat itu, meskipun keluarga Kinanti adalah kolega bisnis keluarganya, tetapi mereka tidak pernah dekat.
Mungkin karena status mereka sebagai dosen dan mahasiswa, membuat mereka harus sama-sama menjaga sikap satu sama lain.
Juga Damar, yang tidak pernah tertarik untuk dekat perempuan manapun selain mendiang sang istri.
“Maksud Bapak?” tanya Kinanti lagi.
Damar menarik napas dalam, kemudian membuangnya secara perlahan.
“Ya, kita harus berpura-pura menjadi pasangan. Saya pura-pura jadi pacar kamu, dan kamu juga harus berpura-pura menjadi calon istri saya,” ucap Damar.
Sejujurnya Damar sendiri tidak yakin dengan apa yang baru saja ia katakan itu. Baginya memang sangat gila.
Dan memang tidak pernah terpikirkan olehnya, untuk melakukan ide gila ini, terlebih dengan mahasiswanya sendiri.
“Kenapa?” tanya Kinanti. “Kenapa kita harus melakukan hal ini, Pak?”
Mendengar pertanyaan gadis itu, sejenak membuat Damar ragu dengan keputusannya sendiri. Apakah ia sudah melakukan hal yang benar atau tidak?
Haruskah ia batalkan saja?
Gadis itu pasti akan menuntut alasan. Dan jika Damar beritahu, bagaimana dengan reputasinya sebagai dosen di kampus?
Tapi ancaman dari ibunya kembali terngiang. Ia sangat ingat dengan ucapan sang ibu, yang berniat menjodohkan dirinya dengan Mega—adik dari mendiang sang istri.
Sementara Kinanti memperhatikan dosennya itu dengan tatapan bingung.
Memangnya siapa yang tidak bingung, jika berada di posisi Kinanti saat ini?
Untung saja Kinanti tidak pingsan, karena terkejut.
“Apa kamu tidak mau menerima tawaran saya?” tanya Damar.
“Saya perlu tahu alasan Bapak, kenapa kita perlu melakukan hal ini? apa itu salah?”
Tangan Damar terulur untuk mengambil selembar kertas, yang berada di laci mejanya. Kemudian ia memberikan kertas itu kepada Kinanti.
Kinanti menerima lembar kertas itu dengan raut bingung. Lebih bingung lagi saat melihat judul dan isinya.
“Saya ini sudah hidup menduda kurang lebih 5 tahun,” kata Damar pelan. “Dan keluarga saya terus mendesak agar saya menikah.”
“Ya sudah, Bapak tinggal menikah saja. Apa susahnya?”
Benar kan apa yang baru saja Kinanti ucapkan? kenapa juga harus melakukan hal konyol seperti ini?
Damar mendengus pelan. Sudut bibirnya sedikit terangkat saat mendengar pertanyaan Kinanti.
“Kamu pikir menikah itu seperti mengajak orang untuk pergi ke taman bermain?” Damar menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Selain saya memang tidak tertarik untuk menikah lagi, juga saya memikirkan putri saya.”
“Tidak semua wanita itu menyayangi anak tirinya dengan tulus,” lanjut Damar.
“Tidak semua bukan berarti tidak ada kan, Pak?”
“Kamu benar,” jawab Damar. “Saya hanya tidak tertarik untuk mencoba.”
Kening Kinanti berkerut. “Lalu kenapa malah membuat penawaran seperti ini? Bapak tahu kan, status kita di kampus ini dosen dan mahasiswa?”
Kinanti tahu betul seperti apa mahasiswa di kampusnya—terutama mahasiswa perempuan. Mereka gemar sekali bergosip, apalagi Damar ini merupakan salah satu dosen idaman di kampusnya.
“Saya tahu itu Kinanti,” Damar menjawab pelan. “Saya juga paham dengan kekhawatiran kamu. Tapi saya melakukan ini juga ada alasannya.”
“Apa alasan Bapak?”
“Saya tidak ingin dijodohkan,” jawab Damar cepat. “Ibu saya ingin menjodohkan saya. Dan saya tidak mau hal itu sampai terjadi. Itulah kenapa, saya terpaksa melakukan hal ini. Dan sudah saya katakan, kalau saya tidak ingin menikah lagi.”
“Tapi Pak, gimana kalau misalnya orang tua Bapak malah menyuruh kita nikah betulan?”
Bukannya Kinanti tidak mau menikah dengan Damar, hanya saja pria itu terlihat begitu dingin dan tak tersentuh. Dan lagi, Kinanti juga masih terlalu muda. Ia masih ingin menikmati masa mudanya.
“Itu biar jadi urusan saya,” jawab Damar. “Tugas kamu hanya sampai saya tidak lagi didesak untuk menikah. Dan kamu juga sudah puas untuk membalas perbuatan mantan pacar kamu. Bagaimana menurutmu?”
***
“Besok kamu kelas pagi?” tanya Damar, saat dalam perjalanan mengantar Kinanti pulang ke kosnya.“Jam 8 sih, Mas,” jawab perempuan cantik itu. “Mas besok ada jadwal di kampus juga?” tanyanya.“Ada, tapi cuma sebentar. Paling cuma sampai jam 10,” pria itu menjawab pelan. Fokusnya masih pada kemudi, meski sesekali ia melirik sang kekasih yang duduk di sampingnya. “Kamu nanti kabari saja selesai jam berapa, biar Aidan yang jemput kamu,” lanjutnya lagi.Kinanti yang tengah bermain ponsel, mengalihkan pandangannya sejenak. “Mas … nggak bisa jemput, ya?” tanyanya.“Iya,” Damar mengangguk kecil. “Aku harus cek berkas, dan juga ada lunch bareng klien siangnya.”Kinanti mengangguk-angguk paham. Ia tidak masalah dengan hal itu, dan mengerti akan kesibukan sang kekasih.Karena hanya diam, Damar melirik Kinanti. Ia khawatir, perempuan itu akan marah dengannya karena berhalangan untuk menjemput.“Ini … kamu nggak apa-apa kan, Sayang? bukan lagi ngambek?” tanya pria itu.“Hah?” kening Kinanti berker
Rangga ikut bangkit, saat wanita di depannya juga bangkit. Dengan gerakan seolah tanpa disengaja, ia sedikit menabrak wanita itu, hingga minumannya tumpah dan mengenai tas wanita itu. “Oh, maaf,” kata Rangga pelan. “Saya tidak sengaja. Saya bantu bersihkan?” tawarnya. Wanita itu mendongak menatap Rangga, yang kini tengah tersenyum manis padanya. Namun di balik itu semua, ia justru penasaran dengan tatapan Rangga, yang sepertinya menyimpan sesuatu. Maka wanita itu pun mengangguk kecil, menerima ajakan Rangga. Mereka keluar dari tempat itu, tentu saja dengan gerakan yang tidak sampai mencuri perhatian siapapun—terutama Damar dan Kinanti. Begitu merasa berada di tempat yang aman, barulah Mega melontarkan pertanyaan. “Kenapa kamu bawa saya ke sini? kita nggak saling kenal, kan?” tanyanya. Alih-alih langsung menjawab, Rangga justru tersenyum kecil. Ia kembali melihat sekitar, memastikan sekali lagi, jika mereka betul-betul sudah aman. “Kita memang nggak saling kenal,tapi saya yakin
“Udah lah, ikhlasin aja itu si Kinanti.”Kalimat itu berasal dari salah seorang sahabat Rangga. Tentu saja, membuat pemuda itu langsung menoleh, dan memberikan tatapan tajamnya. “Ikhlasin?” ulang Rangga. “Enak aja, gue susah payah dapatkan dia. Masa ujungnya dia sama orang tua itu?”Kedua sahabat Rangga saling melempar pandangan. Mereka merasa, jika Rangga ini sepertinya sudah gila. Masalahnya, penyebab putusnya hubungan Rangga dan Kinanti, ya karena ulah pemuda itu sendiri. Dan sekarang, tiba-tiba merasa tak senang, Kinanti berhubungan dengan laki-laki lain. Aneh betul memang si Rangga ini. “Ya, lo juga bego, anjir!” salah satu teman Rangga yang lain, ikut menyahut. “Udah tahu susah dapatinnya, malah selingkuh. Kan, goblok!”Rangga berdecak kesal. Apalagi jika diingatkan kembali, tentang alasan hubungannya dengan Kinanti berakhir.Ya, memang betul salah dirinya, tapi bisakah untuk tidak mengingatkannya? Rangga paham betul, jika dirinya salah. Tapi tetap saja ia tidak mau mengak
Rangga tersenyum miring, menatap pria yang ada di hadapannya. Meski begitu, dalam hatinya mengumpati pria itu—Damar.Bisa-bisanya, pria yang dari segi usia saja, jauh di atasnya. Apalagi dari segi status. Jelas Rangga lebih unggul. Rangga lebih muda, dan mungkin hanya satu tahun di atas Kinanti. Secara status jelas, ia adalah seorang pria lajang—lebih tepatnya bujangan. Sedangkan Damar? pria itu dilihat dari perbedaan usia saja, jauh di atas Kinanti. Dan lagi, pria itu berstatus duda dengan satu anak. Artinya, sangat tidak cocok dengan Kinanti, yang masih gadis. Meski dari segi finansial, Damar jelas jauh lebih unggul dibanding Rangga. Tapi tetap saja, itu semua tidak bisa menjadi landasan untuk keduanya menjalin hubungan asmara. Apalagi mengingat Damar yang juga berprofesi sebagai dosen, di kampus yang sama dengannya. Rasanya sangat tidak etis, jika ada hubungan asmara antara mahasiswi dan dosennya. Dan Rangga sangat yakin, jika ada sesuatu yang mendasari hubungan mereka. Kare
“Kangen nggak sama Tante?” Kinanti tersenyum lembut, kepada gadis kecil yang sejak tadi memeluk lehernya. “Kangen!” sahut gadis cilik itu. Matanya berbinar, saat menatap Kinanti. “Tante jarang banget main ke sini. Kan, Ola jadi kangen?” Kinanti tertawa kecil, saat melihat wajah Ola yang sedikit memberengut. Ditambah lagi, bibir gadis kecil itu yang sedikit mengerucut dengan pipi yang menggembung. Sangat menggemaskan! Dan Kinanti tidak tahan, untuk tidak mencium pipi Ola. “Aduh, anak Tante gemesin banget, sih?” kata perempuan itu. “Maaf, ya? akhir-akhir ini Tante memang lagi sibuk banget di kampus. Kuliah Tante lagi banyak tugas.”Ola menghela napas pelan. “Tapi hari ini kita beneran main kan, Tante?” tanyanya. “Iya, dong,” Kinanti mencubit pelan. “Pokoknya, hari ini kita main sampai puas. Oke?”Ola mengangguk senang, kemudian tatapannya beralih kepada sang ayah yang ikut tersenyum. “Papa ikut nggak?” tanya gadis kecil itu. Damar tersenyum tipis. “Nanti Papa nyusul aja, ya? soa
“Kinan, Sayang? kok malah ngelamun?”Kinanti mengerjap cepat, kemudian menggeleng pelan dan tersenyum kecil pada Damar. Ia baru tersadar, jika sejak tadi tengah melamun. Sampai akhirnya mendengar suara Damar. “Eh? enggak, aku nggak melamun kok, Mas,” elaknya. “Tadi cuma kepikiran tugas kuliah aja.”Damar menghela napas pelan. “Pelan-pelan saja, nggak perlu terlalu diforsir. Kalau butuh bantuan, bilang sama aku. Hm?”Kinanti mengangguk cepat, karena tak ingin membuat pria tampan itu semakin khawatir kepadanya. Sementara Damar, diam-diam menghubungi asistennya. [Tolong suruh Eric, mengawasi Rangga. Dia tampak mencurigakan][Siap, Pak]Pria tampan itu menghela napas pelan. Ia menatap Kinanti yang kini tengah mencuci piring, bekas makan mereka.Ia berderap pelan, kemudian memeluk perempuannya dari belakang. “Kenapa kamu cuci piringnya, hm?”Kinanti meringis, karena suara Damar terasa seperti menggelitiki tengkuknya. “Mas, geli, ih!”Bukannya berhenti, Dama malah semakin menggelitiki







